Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Change?

udh di publis aja,nnti ada yg mnilai sing penting yakin hu :pandaketawa:

kayanya itu tread bakal ane biarin tenggelem gan...ada tokoh yg gw ikutin trus gataunya dia baca dan minta distop soalnya ga mau ngebuka lembaran lama...ya udah ane spik tp doi minta syarat isi dari ceritanya harus ganti...daripada beribet mending bikin yg lain toh?

sorry mayori kalo mengecewakan :(
 
Gile lu don blm update juga :sendirian:

oiii iciiiii san bertapa mulu .... kapan release Maha Karya Lu .... Revisi Mulu dah :pandaketawa:

______________ :ngacir:
 
Terakhir diubah:
[size=+2]
Tetap Setia Nungguin [/size]​


[size=+3]
UPDATE [/size]​
 
lebaran hari kedua, nunggu THR suhu DH cair 25 scene :)
 
Scene 37
Out Of Control



Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Iliana Desy Prameswari



Winda shirina ardeliana


Helena Mauricia


“Arhhh... erghhh.... ” rintihnya meraskaan sakit

Merahnya darah mewarnai tangaku. Goresan luka yang sangat dalam. Mataku mendelik ketika melihat darah itu semakin memerah.

“HENTIKAAAAAAAAAAAAN!” teriakku

“Ha ha ha Bisa juga ka...” ucap bernard terhenti




---------------------​

Malam yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan namun yang terjadi sebaliknya, penuh dengan ribuan nyanyian tawa kini menjadi menjadi jeritan-jeritan. Andrew, jatuh dalam pelukan Arta dengan sebuah luka sayatan yang lumayan dalam pada dadanya. Sedangkan Arta, bersimpuh menahan tubuh Andrew yang terjatuh ke arahnya. Matanya mendelik melihat darah yang sangat merah, mengalir dari dada sahabatnya.

Tiba-tiba saja keluar suara keras dari bibir Arta. Teriakan yang menghilangkan rasa takut dalam dirinya. Perasaan yang selama ini terus menghantuinya, akibat sebuah kejadian dimasa lalu. Perasaan yang benar-benar ingin dilupakannya. Kesedihan yang sebenarnya tidak ingin dia lihat kembali. Itulah mengapa dia menyembunyikan jati dirinya agar tidak terperosok ke dalam dunia yang penuh kekerasan. Disembunyikannya agar tidak kembali merasakan rasa sedih dan pahit yang sama dengan masa lalunya. Rasa sedih dan pahit yang akhirnya membuatnya meraskan ketakutan.

Tapi lambat laun jalan hidupnya tidak jauh dari yang pernah dia geluti. Perjalanan hidupnya di kota, menuntunnya kembali ke masa seperti masa yang telah lalu. Dan sekarang, apa yang telah dia alami semasa SMA, kembali terulang kembali. Darah yang merah segar, mengalir dari tubuh sahabatnya. Kejadiannya pun hampir sama dengan yang telah terjadi. Sebuah kejadian yang menimpa salah satu sahabat dekatnya.

Sejenak setelah mata Arta melihat darah Andrew, sebuah tamparan keras menampar jiwanya. Membangkitkan sebuah emosi. Sebuah emosi yang sebenarnya bisa dia kendalikan di masa SMA-nya, karena sebuah kejadian, emosi itu seakan menjadi momok menakutkan baginya. Pandangannya berubah menjadi lebih tajam. Aliran nafasnya menjadi lebih dalam. Aura disekitar tubuhnya menjadi gelap.

Setelah teriakan keras Bernard masih saja tertawa keras. Berjalan mendekati Arta yang terdiam dengan Andrew di pangkuannya. Baru beberapa langkah, mata Bernard menangkap sebuah bola mata yang berbeda dari Arta. Mata itu langsung membuatnya berhenti melangkah. Mata itu, membunuh setiap keberanian yang berada dalam urat nadi Bernard. Pelan, langkah kaki Bernard yang diawal melangkah maju kembali mundur perlahan.

Masih ada tangis, masih ada teriakan. Masih ada kesedihan di malam ini. Helena bangkit menuju ke arah Andrew dan Arta. Hanya beberap langkah ketika Helena bergerak mendekati Andrew, terasa sebuah hawa yang berbeda. Arta sangat berbeda.

“Hei ber, sudahlah jangan takut” ucap Kristian kepada Bernard. Langkah Bernard masih sedikit mundur.

“Ta-tapi yan... ” Bernard sedikit ketakutan

“Halah cuma culun saja lu takut” ucap Frans

Helena tersadar akan aura yang berbeda. Dia terdiam sejenak, memandang Arta yang bernafas seperti layaknya predator. Lelaki yang bersama kekasihnya, Andrew, bergerak sangat cepat setelah meletakan tubuh kekasihnya itu. Sebuah tendangan membuat tubuh bernard terpental jauh. Membuat Kristian dan Frans seakan tak percaya. Helena yang awalnya terkejut, begitu juga dengan yang lainnya, kemudian cepat dia tersadar dan mendekati serta memeluk kekasihnya, Andrew.

“Bajing...” belum sempat kristian melanjutkan kata-katanya, sebuah kayu yang terbakar pada ujungnya, terlempar ke arahnya

“Argh” teriak kristian, kedua tangannya mencoba melindungi wajahnya. Ketika kedua tangannya terbuka. Arta sudah berada dibawah tubuh kristian dan memandangnya.

“Bunuh...”

“Bunuh...”

“Bunuh...”

Kata-kata itu yang ada didalam kepala Arta.

“Hah!...” teriak Kristian

“ARGHHHHH!”

Sebuah upper cut, tepat di dagu kristian. membuatnya terjungkal kebelakang, pistolnya lepas. Semua suara terdiam, seakan tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Culun, ya, culun seharusnya dia adalah lelaki culun. Tapi sekarang tidak!

Mata itu menoleh ke arah Frans, pandangan matanya tajam. Lebih tajam dari pisau belati yang diacungkan Frans ke arah Arta. dengan rasa takut, Frans melangkah maju dan mengayunkan belatinya. Dengan langkah tenang, Arta meghindar. Telapak tangan Arta menndapatkan wajah Frans, didorongnya kepala Frans hingga menghantam ke tanah. Belati terlepas, kedua tangan Fran mencoba menarik tangan Arta dari wajahnya. Tepat ketika tangan Arta terlepas sebuah injakan mendarat di wajahnya.

Sedikitpun tak terlihat rasa belas kasihan dari wajah lelaki kampungan ini. Kedua tangan Arta menari kaos Frand hingga dia berdiri. Masih dalam keadaan terkejut dan belum mampu sadar akan perubahan si lelaki culun. Rangkaian pukulan bertubi-tubi meluncur keras kearah perutnya. Terlalu cepat pukulan itu menghantam ke arah tubuh Kristian. Diakhiri sebuah pukulan ke arah dagu. Tanpa menunggu, tangan Arta sidah menarik kembali kaos Kristian. Ditarik kemudian di banting ke di atas kap mobil.

“AAAAAARGH!” rintih kesakitan kristian

“Eh, oke, culun, eh, siapa nama kamu, tenang bro, ini hanya main-ma...” teriak bernard

Tapi nahas, ketika bernard bersimpuh bukan ampunan yang dia dapatkan tapi sebuah tendangan keras di wajahnya. Ditarik, dibanting, dihajar, hingga terdengar tulang yang patah. Diseret ke arah mobil, kepalanya di hantamkan ke bodi mobil. Darah mengucur dari kepalanya.

“Ampuunfth.. ampunnnrgghhh...” rintih bernard

Di buka pintu mobil, bernard dilempar kedalam begitupula dengan Kristian. Kristian seperti tak mampu menangani si anak kampungan ini. Kepalanya dihantamkan tiga kali ke bodi mobil dan langsung dilempar kedalamnya. Sedangakan Frans, yang sedikit terasadar, hendak berlari meninggalkan tempat kemping Arta dan kawannya. Tapi nahas, tubuhnya langsung ditarik oleh Arta, yang bergerak lebih cepat darinya. Beberapa kali, pukulan dan tendangan mengarah ke tubuhnya. Diseret layaknya bangkai anjing, di hempaskan punggungnya ke bodi mobil.

“Per-gi!” pelan, dengan mata membunuh

“Ba... baikrghhh...” ucap Frans

Dibiarkannya Frans masuk kedalam mobil. Suara deru mobil terdengar, Arta mundur tepat berada didepan mobil.

“MATI LU BANGSAT!” teriak Frans

Mobil bergerak ke arah Arta, pandangan mata itu masih membunuh. Arta bergerak kesamping mobil, tepat ketika berada disamping kaca pengemudi, tangannya memukul pecah kaca mobil tersebut. Mobil langsung berhenti, ketika tangan itu meraih kaos Frans kembali. Ditarik hingga setengah tubuh Frans keluar.

“Per-gi!” pelan, dengan mata membunuh

Frans, benar-benar ketakutan. Hanya tubuhnya saja yang masih bisa mengemudi. Mobil itu langsung pergi menghilang dengan kecepatan penuh.

“Andreeeeew” tangis Helena

“Eh...” Arta mendengarnya




---------------------

“Eh..”

“Andrew” ucapku lirih,

Aku tersadar, terdengar rintihan dari Andrew dan juga tangisan Helena. Dengan rasa takut, perlahan aku membalikan badanku. Kulihat Andrew bersimbahkan darah pada dadanya, pada bekas sayatan belati Bernard. Sebuah pemandangan yang tak aku inginkan, Desy dan Dini berada disamping Andrew begitupula Helena. Aku segera mendekatinya, dan bersimpuh didepan tubuh temanku ini. Darah itu, warnanya sama, air mataku mengalir.

“Ergh... “ sedikit terdengar suara darinya, dia masih hidup

“Obat! Mana obat! Berikan aku obat, cepat! untuk menghentikan lukanya!” bentakku keras, aku melihat ke arah mereka semua, melihatku.

“Eh, obat... obat... obat dimana?” Desy tampak gugup ketika mendengar teriakanku

“Cepat cari obat!” teriakku, menyobek kaos yang dikenakan Andrew

“Ar, kita tidak membawa obat” ucap Irfan

“Eh...”

“Tak ada?” Aku menoleh ke arah Irfan, gugup takut, perasaan yang sama. aku tak ingin kehilangan lagi, tak ingin

“Gak ada Ar, ki-kita eng-enggak ba.. bawa” ucap Johan sedikit gugup ketika melihatku

“Hash hash hash...” aku menoleh ke arah Andrew, dia kesakitan. Bayangan kelam masa lalu mencoba menguasaiku.

“Bertahan Ndrew” ucapku, dengan suara parau. Takut, aku benar-benar takut. Kulepas kaosku, ku basahi kaosku dengan air hangat, kupuntir dan kututup kan pada lukannya.

“Arghh...” dia kesakitan

“Bertahan, aku mohon bertahanla...” ucapku terhenti ketika hidungku mengendus aroma wangi tanaman yang sudah tak asing lagi. Ya ini aroma tanaman yang biasa digunakan untuk mengobati luka.

“Eh, kalian jaga Andrew!”

“Fan, mana senter?!” ucapku keras, seakan otot-otot leherku keluar semua

“Eh, i.. ini” ucapnya, memberikan senter kepadaku

Tanpa baju, hanya menggunakan celana aku berlari memasuki hutan pinus.

“Arta! Kamu mau kemana?!” teriak Desy, aku tidak menghiarukannya

Suasana gelap, aku berlari. Andrew harus diberi pertolongan pertama, darahnya harus dihentikan terlebih dahulu sebelum dibawa kerumah sakit.

“Jangan mati, jangan mati” isak tangisku

Aku berlari mengikuti aroma tanaman ini, hingga aku temukan. Beberapa tanaman herbal yang biasa digunakan untuk mengobati luka. Aku mencabutnya, menariknya, beberapa dari tanaman itu. Setelah aku rasa cukup, aku berlari kembali menuju tenda. Air mataku tak henti-hentinya keluar. Tidak, aku tidak ingin kehilangan lagi. Sesampainya aku di tenda, aku langsung meracik tanaman tersebut.

“Ar, cepetan Ar...” isak tangis helena yang menopang tubuh Andrew.

“Sudah...” aku berbalik dan langsung mendekati Andrew. Ku bukan kaos yang aku tutupkan tadi, Kututup lukanya dengan racikanku, dan kututup kembali dengan kaosku.

“Arghh....” rintih Andrew, selang beberap saat, tubuhnya melemah dan seakan tak ingin bergerak. Tubuhnya lemas rebah di pangkuan Helena.

“Ndrew!” ucapku keras

“Ndrew, jangan mati ndrew!” teriakku sembari menggoyang tubuhnya

Plak...

“Somplak lu Ar, gue capek tahu mau, tidur ergh” ucapnya, dengan sedikit senyum. Aku sedikit lega dan bisa mengusap air mataku.

“Eh...”

“Awas Din” aku bergerak ke samping Andrew, kurangkulkan tangan kirinya. Aku membopong tubuhnya

“Ar, Andrew mau dibawa kemana?” tanya helena

“Rumah Sakit, bawa semuanya yang penting segera tinggalkan tempat ini!” teriakku sembari berlari

Aku terus berlari di jalan yang aku tempuh siang tadi, dengan hanya mengandalkan ingatan. Kuliewati beberapa tenda yang masih ramai, kadang gelap, kadang terang. Aku terus berlari, tak kupedulikan teriakan-teriakan teman-temanku dibelakang. Aku terus berlari.

“Santai Ar, erghh... gue gak bakal mati ergghhh...” ucapnya

“Sudah! Kamu diam!” bentakku

Aku terus berlari, menuju sebuah pos penjagaan. Aku berteriak minta tolong kepada penjaga disana, mengatakan bahwa kami tadi diserang. Tanpa banyak bicara mereka segera menyiapkan mobil untuk membawa Andrew.

“Bertahan, kamu pasti akan sembuh dan pulih lagi Ndrew” ucapku

“Argh... kampret lu ar” ucapnya, aku hanya tersenyum dengan air mata yang sedikit megering

“Sudah mas, ayo masukan segera ke Rumah Sakit!”Teriak seorang penjaga yang mengemudikan mobil

“Tunggu! Aku ikut!” terika helena dari belakang

Helena, Desy, Dina dan Irfan juga Johan berteriak dari kejauhan untuk ikut. Aku kemudian berteriak kepada mereka yang inngin ikut agar sedera naik. Satu persatu mereka naik hingga mobil penuh tak ada tempat lagi.

“Cepat! segera ke Rumah Sakit!” teriakku

“Iya mas!” ucap sopir,

“Fan, Jo, pastikan Andrew tidak kenapa-napa?!” teriakku

“Sip Ar!” ucap mereka berdua. Walau sedang dalam keadaan kesakitan, Irfan dan Johan masih bisa aku andalkan.

“Han, bawa mobil gue!” teriak Irfan, melemparkan kunci ke arah burhan. Setelah kunci di tangkap Burhan, mobil yang membawa Andrew kemudian bergerak pergi.

“Yang lain ikut Burhan!” teriakku, kulihat mereka sangat kelelahan

“Arta, ayo cepat!” teriak Dini, aku terpaku dan hanya dia. Kepalaku menggeleng, aku mundur. Ada rasa takut jika aku melihat Andrew kembali.

“Arta cepetan ikut!” teriak Dinda

“Sudah kalian cepat kesana! Cepat! Aku akan menyusul!” teriakku, perasaan takut menghantuiku

“Baiklah, janji susul kami!” teriak Tyas, aku mengangguk

Mobil melaju, aku melangkah menuju ke samping pos satpam. Duduk di bawah dan bersandar pada bangku, kakiku aku tekuk dan tanganku aku tumpuk, wajahku aku benamkan. Aku menangis, menangis kembali mengingat sebuah kejadian yang seharusnya tidak aku ingat.

“Ndri... Andri...” isak tangisku, sosok Andrew benar-benar mirip dengan sahabatku Andri. Wajahnya mirip, begitupula lagaknya.

“Maafkan aku Ndri, maafkan...” aku masih menangis

“Siapa Andri?” Aku terhenti menangis sejenak ketika Dini tiba-tiba bertanya kepadaku. Aku mengangkat kepalaku, memandangnya sejenak. Dia duduk bersimpuh didepanku, tersenyum kearahku. Aku tak mempedulikannya dan kembali menunduk.

“Hei... jangan menangis” ucapnya lembut. Kurasakan tubuhnya bergeser dan duduk disebelahku

“Andrew akan baik-baik saja, racikan tanaman tadi...”

“Racikan untuk menyembuhkan luka bukan? Gu.. Aku yakin dia akan baik-baik saja” ucap Dini, tubuhnya sedikit menyenggol tubuhku namun tak kuhiraukan, dan aku masih terisak

“Artaaaaa... Sudaaaaaah, jangan menangis lagi” ucapnya, pelan. Tangannya memegang lengan kananku.

“Seharusnya kamu ikut mereka dan tidak berada disini” ucapku dengan suara parau

“Aku sebenarnya mau ikut, liat kamu nangis gak tega. Sebenarnya takut, tapi setelah apa yang kamu lakukan tadi hmmm. itu sudah membuatku yakin kalau Andrew bakal selamat” ucapnya lirih,

“Sudah, berhentilah menangis” lanjutnya, tangannya lembut menarik kepalaku merebahkannya di bahunya

“Aku tidak ingin kehilangan lagi din, ndak mau aku Din...” isak tangisku dalam harap

“Ar... percayalah, Andrew pasti selamat” ucapnya, tangannya lembut mengelus kepalaku

Aku terus menangis dan menangis, seharusnya aku bersama mereka tapi, tapi... tidak.. aku ingin sendiri. Aku tidak ingin melihatnya lagi, tidak ingin merasakan kehilangan lagi. Aku takut, takut, sangat takut jika... jika..., tidak, kamu harus hidup Ndrew.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Scene 38
A Piece of His Memories



Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Iliana Desy Prameswari

Aku tidak menyangka, sama sekali tidak menyangka akan apa yang baru saja terjadi. Lelaki yang selama ini aku kenal sebagai lelaki lemah berubah menjadi lelaki yang berbeda. Cara dia memandang, seakan-akan bukan dirinya. Matanya berbeda dengan yang selama ini aku lihat, begitu tajam. Namun ada sedikit aura kesedihan yang sedikit terpancar dari amarahnya yang meluap.

Dan memang benar ada kesedihan didalam amarahnya. Ada ketakutan yang selama ini dia sembunyikan. Kini dia menangis, seperti anak kecil, sangat lemah. Tubuhnya bergetar, isak tangisnya tak berhenti walau aku beberapa kali mencoba untuk menenangkannya. Rasa takutnya, rasa sedihnya bercampur menjadi satu dalam tangisannya.

“Aaar, sudah, jangan menangis lagi” bujukku sekali lagi. Dia sangat acuh kali ini. Benar-benar tidak ada gunnya jika aku harus memaksanya untu kberhenti menangis.

“Ar, kita kerumah sakit” ajakku pelan

“Tidak... kamu saja, aku disini” suaranya parau

“Apa kamu tidak ingin melihat Andrew?”

“Ar...” lanjutku, dia mengangkat tubuhnya, kembali bersandar pada kursi. Kepalanya menggeleng

“Mbak, ini barang-barangnya” ucap penjaga-penjaga tempat wisata yang tiba-tiba datang. Aku segera berdiri dan menghampiri penjaga yang membawakan sisa barang dari tenda kami.

“Oh iya mas, bisa bantu masukan ke mobil sedan itu. ini kuncinya” ucapku kepada penjaga tempat wisata. Kuambil tasku dari tumpukan barang yang dibawa oleh penjaga wisata kemudian kuserahkan kunci mobil ke penjaga. Tak lupa aku berikan uang yang aku ambil dari dompetku, sebagai tanda jasa telah membantuku.

Aku berbalik, kulihat Arta kembali menunduk memeluk kedua kakinya, tak bisa kulihat wajahnya. Ku tinggalkan dia sejenak mengantar penjaga-penjaga tersebut ke mobil. Setelahnya aku menuju warung, membeli minuman hangat sembari menunggu penjaga-penjaga tersebut memasukan barang bawaan ke dalam mobil. Setelah semua masuk, kunci mobil diserahkan kepadaku kembali.

“Ada apa mbak? kok masnya itu sampe teriak-teriak seperti itu?” tanya ibu penjual

“Gak papa kok bu” jawabku secukupnya agar tidak terlalu lama aku meninggalkan Arta. Segera aku bayar dan ku bawa dua gelas minuman hangat. Pelan aku mendekatinya, isak tangisnya masih terdengar jelas.

“Ar, minum dulu” ucapku, dia mengangkat kepalanya yang penuh dengan air mata di wajahnya. Dia menggelengkan kepala.

“Aaarr...” ucapku lirih, dia mengambil minuman itu dan meminumnya.

“Seandainya dari awal aku tidak bersikap culun, seandainya aku menjadi diriku sendiri, seandainya aku...”

“ARGH!” dia melempar minuman

“Semua ini tak akan terjadi, semua ini salahku! Semuanya, dari dulu sampai sekarang! Arghhhhh!” teriaknya, tangannya memukul-mukul udara. Amarahnya begitu terlihat, berbeda dengan Arta yang culun sebelumnya

“Aku bodoh! aku bodoh! aku bodoh! aku bajngan! Aku, aku yang seharusnya mati! Aku yang seharusnya mendapatkan lukan itu! Bukan Andri yang harus mati, bukan Andrew yang harus terluka!” teriaknya, aku terkejut ketika kedua tangannya kemudian memukuli kepalanya sendiri.

“Arta sudah hentikan! Jangan menyalahkan dirimu!” teriakku, yang langsung mencob menahan kedia tangannya.

“Apa?! Kamu tahu apa din? Kamu tidak tahu semuanya! Kamu tidak pernah tahu! Terlalu banyak rasa sakit din! Arghhhh!” tubuhnya ambruk dan bersandar kembali. Tangannya melemah dan aku melepaskannya. Aku duduk menghadap ke arahnya.

“Semuanya salahku, seharusnya aku tidak datang ke kota. Seharusnya aku tidak menerima beasiswa itu, seharusnya aku berada didesa! Bekerja! Kenapa aku harus datang ke kota” ucapnya, kedua tangannya menutup wajahnya

“Semua bukan salahmu, dan kamu tidak sepatutnya menyalahkan dirimu” ucapku sedikit keras. Dia sedikit menoleh ke arahku. Tubuhku sedikit gemetar ketika mata itu menatap langsung mataku. Berbeda, beda sekali, tajam.

“Ini semua gara-gara aku din! Lihat Andrew terluka, dan dan... Andri din, Andri, sahabatku mati karena kecerobohanku. Dia mati din, dia mati... sahabat terdekatku kamu tidak tahu, dia mati memeluk tubuhku, da.. da darahnya mengucur...” mataku sedikit berkaca ketika dia mengatakannya. Kedua tangannya menengadah mencoba mengingatkan dia kepada kejadian yang telah lampau. Sedikti terkejut atas apa yang dia katakan kepadaku baru saja.

“Wajahnya kesakitan... ta.. tapi dia terus tersenyum... semuanya terlambat, dia ma... dia mati di perjalanan”

“INI SEMUA SALAHKU!”

“Seharusnya! Aku yang mati!” teriaknya

“Aku benci diriku, aku benci diriku” ucapnya, tangannya memukuli kepalanya

“Arta! Sudah hentikan!” bentakku, meraih kepalanya, kupeluk kepalanya di dadaku. Tubuhnya melemah, aku tak peduli orang-orang disekitarku melihat kami

“Dia mati din, dia mati... mati din.. dia pergi... Andri pergi din, padahal dia sudah berjanji padaku kita akan membuat perkebunan teh di desa. Ta.. tapi, dia.. gara-gara aku.. dia mati din, dia mati... semua salahku din, salahku...” ucapnya diselingi isak tangis, mataku berlinang air mata. Entah apa yang terjadi pada masa lalunya. Andrew dan Andri, seakan orang yang sama di mata Arta. Apa mugkin Andrew mengingatkan Arta kepada Andri?

“Tenangkan dirimu Ar, sudah... tenang”

“Andri... Dia pasti sangat bangga kepadamu, karena telah menyelamatkan sahabatnya” ucapku, menarik kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke wajahku

“Ta-tapi dia mati din, aku... aku, aku tidak bisa menyelamatkannya... semua karena aku... aku yang...” ucapanya tak berlanjut, air matanya terus mengalir. Isak tangisnya tak berhenti.

“Karena aku suka mencari masalah Andri menjadi korban... harusnya aku yang mati... aku yang matiiiii” kembali aku terkejut dengan pengakuan Arta, masa lalunya sedikit tergambar di dalam pikiranku

“Tenangkan dirimu, kita pulang. Tenanglah” aku mengelus kepalanya dengan lembut. Isak tangisnya tak berhenti. Aku bingung apa yang harus aku katakan kepadanya. Tak tahu cara menenangkannya.

“Aaaar... aku akan mengantarkanmu pulang, setelahnya kamu jenguk Andrew ya kalau sudah tenang” ucapku, namun dia masih tetap diam dengan isak tangisnya.

“Aaar... Andrew pasti selamat dan dia pasti ingin bertemu denganmu. Mau ya?” bujukku, wajahnya menengadah memandangku. Aku mengangguk dan tersenyum ke arahnya. Dia membalasnya dengan anggukan.

Tubuhnya begitu kotor, aroma darah tercium dari tubuhnya. Tak mengenakan kaos, bahkan aku berpikir apa Arta tidak merasakan kedinginan. Pelan aku papah dia kedalam mobil, dia duduk disampingku. Aku kemudian masuk, dia masuk diam dan memeluk kakinya. Pelan kujalankan mobil. Ingin sekali aku membawanya ke Rumah Sakit, tapi melihat kondisinya tidak mungkin. Bisa-bisa dia marah kepadaku atau mungkin akan berlari menjauh dari rumah sakit. Hufth, dia diam terus, dan ini malah membuatku bingung.

Kulihat di BBM-ku, Dina mengatakan bahwa mereka sekarang berada dirumah sakit terdekat dengan tempa wisata. Andrew kondisinya membaik, orang tua Andrew yang berada diluar kota meminta agar Andrew bisa dipindahkan ke Rumah Sakit Kota. Dari BBM Dina, Andrew akan dibawa ke rumah sakit kota esok pagi karena kondisinya benar-benar baik berkat racikan yang dibuat Arta. setelah aku melihat BBM-ku, aku menoleh ke arah lelaki disampingku. Dia masih terisak, entah sampai kapan dia akan terisak.

“Ssshh... huuuft...”

“Ar, tidurlah, beristirahatlah. Kamu pasti lelah kan?” ucapku, dengan satu tangan meraih pundaknya.

Baru kali ini aku bisa bersikap lembut pada seorang lelaki. Dia menggelengkan kepalanya. Tubuhnya berbalik membelakangiku, memandang keluar jendela sembari bersandar pada kursi. Isak tangisnya masih terdengar. Sesekali dia menyebut nama Andri kembali. Andri, sahabatnya mungkin ada kesamaan dengan Andrew atau mungkin kejadiannya. Entahlah.

Sembari mengemudikan mobil, aku mengelus kepalanya. Perjalanan lumayan jauh, isak tangisnya masih terdengar. Lambat laun isak tangisnya meredup namun nafasnya masih sedikit tersengal. Aku tetap mengelus kepalanya selama perjalanan menuju ke kontrakannya. Hingga akhirnya kami telah sampai ke komplek gemah ripah loh jinawi. Aku antarkan Arta tepat didepan kontrakannya, dan dia menunjukan arahnya. Maklum aku tidak pernah mengantarkannya hingga depan kontrakannya hanya sebatas depan kompleks.

Aku kemudian turun, dia membuka pintu mobil dengan sangat malas. Tubuhnya lemas, aku langsung berlari kecil kearahnya dan memapahnya berjalan. Sesampainya didepan kontrakannya dia langsung duduk dan bersandar.

“kabari aku” ucapnya, sedikit terisak

“Aku akan menemanimu sampai kamu tenang” ucapku

“Jangan... lebih baik kamu ke rumah sakit. Aku ingin snediri” kakinya tertekuk, kedua siku tangannya di lutut kakinya. Kepalanya menunduk. masih terdengar sedikit isak di ucapannya, suaranya sendu.

“Baiklah, tapi kamu janji tidak melakukan hal-hal konyol” ucapku, dia mengangguk pelan

“Dan janji, jenguk Andrew” bujukku, dia kembali mengangguk. Aku kembali ke mobil dan mengambil tas milik Arta. ku letakan disampingnya.

“Aku pergi Ar, jika ada apa-apa, jangan sungkan untuk meghubungiku” ucapku, dia kembali mengangguk. Hufth, dia dari tadi hanya mengangguk-angguk saja.

Aku meninggalkannya, seskali aku menengok ke arahnya. Ku lihat dia kembali ketika aku sudah berada didalam mobil, posisinya masih tetap sama. Hmm, mungkin memang harus aku tinggalkan dia.

Ku jalankan mobil kembali ke arah tempat wisata, menuju ke rumah sakit. Rasa kantuk sudah menguasaiku. Kupacu cepat mobil agar aku segera sampai ditujuan. Setelah sampai aku segera ke bagian informasi untuk menanyakan kamar Andrew, karena Dina aku BBM juga tidak membalas.

Sesampainya di kamar, kubuka pintu pelan, kulihat Helena mengelus-elus kepala Andrew yang terbaring nyeyak di atas ranjjang. Sedangkan Irfan dan Johan sudah mendapat perawatan dan ditemani Tyas serta Dinda. Mereka dalam satu kamar bersama Andrew. Salma, Burhan, Winda dan yang lainnya juga ada didalam ruangan Andrew, mereka sudah tertidur. Dina menoleh ke arahku dan aku mendekatinya. Ruangan yang dingin, ruangan dengan tiga ranjang pesakitan untuk Andrew, Irfan dan Johan.

“Bagaimana Andrew?” bisikku ketika mendekati Dina

“Ssst... dia baik-baik saja” ucap Dina berdiri, dia menarikku keluar. Aku duduk di bangku luar rumah sakit.

“Arta bagaimana dia?” tanya Dina, selang beberapa saat Desy keluar mendekati kami. Aku berada ditengah-tengah mereka.

“Intinya dia baik-baik saja, hanya dia tidak ingin kesini. Gue sebenarnya ingin membawanya kesini tapi kelihatannya tidak mungkin. Dia terus menangis” ucapku

“Eh.. ada sesuatu di masa lalunya, kelihatannya” ucap Desy

“Iya, tadi Arta menyebut nama Andri. Sahabatnya, kalau dari luapan emosinya, ada sebuah kejadian yang mirip dengan kejadian tadi. dan Andrew mengingatkan Arta tentang Andri, tapi perbedaannya hanya, Andri... meninggal” ucapku, Desy dan Dina terkejut

Hening sesaat...

“Tapi Arta baik-baik saja kan?” tanya Desy lagi, aku mengangguk.

“Tadi seakan-akan bukan Arta” ucap Desy

“Iya...” ucap Dina

“Entahlah, tapi tadi dia terlihat sangat lemah setelah kejadian itu” ucapku, bersandar karena lelah

“Tapi yang dia lakukan tadi...”

“Benar-benar dilluar dugaanku, kata dokter racikan yang dibuat Arta menghentikan luka. Bahkan membuat darah lebih cepat mengering. Dokter sempat heran mengenai racikan obat luka tadi” ucap Desy, yang membungkuk dan menyangga dagunya

“Bahkan tadi setelah menjahit luka Andrew, dokter sempat tanya ke aku bagaimna cara membuat obat racikan tadi” ucap Dina menyandarkan kepalanya dibahuku

“Arta, ah, sudahlah aku tidak mengerti dia. Sejak awal dia memang terlihat aneh” ucapku

“Memang” ucap mereka bersamaan

Aku hanya menjawab dengan manikan bahuku. Heninng sesaat, aku meraskaan ngantuk.

“Umiii... ngantuuuk” ucapku manja ke Desy

“Iya umi” Dina pun sama

“Iya... iya... Dini geser kesini, dah kalian rebah sini” ucap Desy, ya Desy yang selalu mendewasai kami.

Aku merebahkan kepalaku di pahanya, Dina merebahkan kepalanya di bahu Desy. Kami tertidur, menunggu pagi tak terpikir oleh kami kembang api untuk ber-resolusi. Rasa lelah sudah membuat kami tak kuat untuk itu semua. Pagi nanti, kami juga harus menemani Andrew ke Rumah Sakit di Ibu Kota.

Apa yang terjadi pada dirimu Ar? kini kamu sudah tidak bisa bersembunyi lagi, semua sudah melihat dirimu yang sebenarnya. Akankah kamu bersembunyi lagi? Aku hanya berharap kamu datang kemari sesuai janjimu. Menemui kami semua.

Kamu sungguh berbeda Ar. Ada sekelebat bayangan masa lalu ketika aku melihatmu. Ah sudahlah, masa bodoh, aku capek Ar kalau suruh mikir kamu terus. Eh, lha siapa yang nyuruh aku mikir kamu ya? Sudahlah, yang jelas, kamu harus menjelaskan kepada kami, entah kapan. Tidur sajalah, capek. Lelah...

“Desy, anget kalau tidur bareng dia hi hi hi...”bathinku
.
.
.

Keesokan paginya, Andrew siuman setelah operas kecil semalam. Tepat pukul 12 siang, Andrew dibawa ke Rumah Sakit Kota untuk perawatan dan juga agar orang tuanya bisa langsung cepat bertemu Andrew. Sedangkan Irfan dan Johan keadaanya juga sudah membaik. Kulihat mereka sudah bisa bercanda dengan yang lainnya. Irfan dan johan sudah tidak jadi pasien lagi, kini anya Andrew saja. Bersama dengan Ambulan, kami mengantarkan Andrew ke Rumah Sakit Kota.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd