Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Change?

Scene 33
Forever And For Always



Helena Mauricia


Arlena Karyaningtyas



In your arms I can still feel the way you
want me when you hold me
I can still hear the words you whispered
when you told me
I can stay right here forever in your arms

And there ain't no way--
I'm lettin' you go now
And there ain't no way--
and there ain't no how
I'll never see that day....

Mmmm, baby
In your heart--I can still hear
a beat for every time you kiss me
And when we're apart,
I know how much you miss me
I can feel your love for me in your heart

And there ain't no way--
I'm lettin' you go now
And there ain't now way--
and there ain't no how
I'll never see that day....

'Cause I'm keeping you
forever and for always
We will be together all of our days
Wanna wake up every
morning to your sweet face—always

Dengan alunan musik dari sematponku yang ku hubungkan dengan earphone di telingaku. Di dalam mobil, aku terus bernyanyi selama perjalanan pulang. Entah kenapa hanya lagu itu-itu saja yang aku putar,tidak mau yang lain. Jelaskan, aku bahagia sekarang, masalah yang selama ini membuatku murung, kini sudah selesai. Cuaca yang mendungpun seakan cerah bagiku.

Sesampainya di kamar kos, aku langsung terjun bebas ke kasur. Dengan segera ku balikan tubuhku menjadi terlentang.

“ANDREW!” teriakku.

Ini semua berkat Arta. Jika bukan dia yang menolongku mungkin aku tidak akan pernah bersama Andrew lagi. Kuraih sematponku dan ku ketik pesan ke Andrew.

To : Ayangz Andrew
Sampai mana?
Lama aku menunggu juga tidak ada balasan dari ayangz-ku. Huh, jadi sebel juga rasanya. Tapi sudahlah, paling dia sedang dalam perjalanan ke kostku. Aku bangkit dan mengganti pakaianku. Seperti biasa, kupakai tank-top dan celana selutut. Nyaman banget sih, pakai pakaian begini.

Sambil menunggu ayangz-ku, ku buat segelas susu coklat hangat.

Ting.. ting... ting...

Alangkah beruntungnya aku, mendapat pertolongan hanya karena aku kekasih dari Andrew. Jadi senyum-senyum sendiri jika mengingat semuanya. Hm, sebentar-sebentar, tapi aneh juga ketika Arta menolongku. Jangan-jangan dia suka sama aku. Lucu juga, tapi tidak mungkin. Cara dia mengatakan kepadaku, agar aku menjaga Andrew, sangat dalam. Ngena banget. Bahkan kalau aku ingat lagi, Arta sangat menginginkan Andrew tetap bersamaku. Kalau tidak, tidak mungkin dia akan memberikan aku pertolongannya. Arta, aku yakin suatu saat nanti, kamu akan memperlihatkan dirimu yang sebenarnya. Dan.. semoga kamu menjadi penolong bagi kami semua, teman-temanmu, keluargamu.

Tok... Tok... Tok...

“Eh” aku terkejut oleh suara ketukan pintu.

“Halooo... permisiiiii...”

Aku tersenyum mendengar suaranya. Teriakan khas dari sang ayangz-ku, Andrew Nugraha. Aku segera melangkah mendekati pintu. Berhenti sejenak menunggu suaranya lagi.

“Halooo... adakah kekasihku didalam. Disini Andrew, Andrew yang terkasih... tercinta... dan tersayang” teriaknya kembali membuat senyumku semakin lebar. Seperti biasa, Ayangz-ku selalu saja begitu. Aku tetap tidak membukakan pintu, aku masih menunggunya untuk berteriak lebih keras. Benar saja, selang beberapa saat kemudian dia berteriak kembali untuk ketiga kalinya.

Klek...

Ku buka pintu hingga setengah terbuka. Kepalaku keluar dan memandangnya dengan pandangan datar.

“Aha! Kekasihku tercinta!” ucapnya keras. Tapi aku memandangnya datar.

“Mas-nya siapa?” tanyaku

“Eh.. eh...” dia menoleh ke kanan, ke kiri.

“Aku?” ucapnya heran dengan jari telunjuk menunjuk kehidungnya.

“Iya, kamu mas” jawabku. Pandanganku datar ke arahnya dengan hati menahan tawa.

“Ayang, ini Andrew. Ayangnya Helena” ucapnya. Wajahnya berubah memelas.

“Bukan. Ayangku namanya Andrew Nugraha. Bukan Andrew yang terkasih, yang tercinta, yang tersayang. Bukaaan... Bukan kamu, mas” aku memandangnya dari atas ke bawah.

“Ayang, ayang jangan gitu do..” ucapnya yang terhenti

“Maaf mas, aku nunggu Andrew Nugraha. Maaf mas, terima kasih” ucapku dengan senyum yang seolah kupaksakan.

Seketika itu juga kututup pintu kamarku. Aku berbalik dan bersandar pada pintu. Kututpi tawaku dengan telapak tangan kanan. Agar tidak terdengar olehnya.

“Ayaaaang... ini Andrew. Andrew. Masa ayang lupa. Ayaaaaaaaang..” ucapnya dengan mengetuk-ngetuk pintu pelan.

“Maaf mas. Mas-nya salah orang” ucapku dari balik pintu

“Sayaaaang.. Ini Andrew Nugraha sayang” ucapnya saambil menggedor-gedor pintu dengan pelan

“Oh... mas Andrew ya” teriakku senang

Aku langsung membuka pintu lebar-lebar. Ku tarik tangannya, kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri. Baru menutup pintu dan bersandar pada pintu. Aku hela nafas panjang.

“Untung mas tadi cepetan masuk” ucapku

Andrew tampak bingung dengan sikapku.

“Ada apa sih yang?” tanyanya. Gayanya khas, menggaruk-garuk kepala.

“Sssst..” aku mendekat dan menyilangkan jari telunjukku di bibirnya.

“Jangan keras-keras. Tadi itu ada yang ngaku-ngaku pacarnya adek. Pakai yang terkasih dan tercinta terus apa itu tadi. Padahal kan Helena itu adeknya mas. Pacarnya mas” ucapku sambil memonyongkan mulut sok manis

“itu mas, ayaaaaaang” dengan wajah memelasnya.

Aku rangkulkan kedua tanganku di lehernya. Lalu ku pandang ke dalam matanya, dan kemudian tersenyum manis.

“Gak perlu yang terkasih, tercinta dan tersayang. Cukup Andrew Nugraha. Biar nama Adek gak terlalu panjang. Lebih bagus juga Helena Nugraha” ucapku sambil memandangnya.

Mendengarnya, Andrew langsung bereaksi. Kepalanya menunduk, senyumnya mengembang. Tiba-tiba tangan kanannya merengkuh pinggangku dan menariknya kuat, sehingga tubuhku menempel dengan tubuhnya. Kedua tanganku pun memluk lehernya hingga kening kami bertemu. Kepalanya menggeleng pelan. Hidungnya menyapu-nyapu hidungku. Aku tersenyum. Menundukkan kepalaku, malu rasanya. Tangan kirinya meyisir rambut depanku yang menutupi sedikit wajahku.

Perlakuan manis tangannya di rambutku ternyata hanya sesaat. Tak seberapa lama kemudian tangannya turun menuju pipiku, lanjut ke bibirku, dan daguku untuk mengangkatnya sedikit ke atas. Pelan bibirnya mencium bibirku. Mataku sedikit terbelalak, terkejut, kemudian menyipit. Menerima kehangatan ciumannya.

Bibirku begitu pasif ketika bibirnya menempel di bibirnya. Namun sedetik setelah bibirnya lepas, kedua tanganku langsung menarik kuat lehernya. Seolah berontak, bibirku seakan tak ingin lepas dari bibirnya. Lama sekali kami berciuman, seraya kedua tangannya memeluk pinggangku.

“Ahhh... terima kasih sayang sudah datang” ucapku selepas kami berciuman.

Dia tersenyum dan mengangguk.

“Adek buatin coklat panas ya?” aku tersenyum.

Dia kembali mengangguk. Aku lepas pelukanku dan berjalan meninggalkannya. Tiba-tiba dia memelukku dari belakang dan mencium kepala bagian belakangku. Aduuuh rasanya... bikin merinding saja.

“Sudah sayang... nanti sayang gak minum-minum lho” ucapku

“he’em” dia melepas pelukannya.

Aku buatkan dia segelas coklat panas. Sayangku sedang duduk di karpet putihku. Memandang ke luar melalui jendela kamarku. Aku dekati dia, kuletakan coklat panas didepannya. Dia menoleh kearahku sebentar kemudian tersenyum kepadaku. Aku ambil lagi gelasnya dan kuberikan kepadanya. Senyumnya, kini aku tak perlu merindukannya lagi karena aku akan selalu melihatnya.

Gluduk... Gluduk...

Dhuar...

Aku sedikit terkejut. Hanya memejamkan mataku tatkala suara gemuruh di langit yang akhirnya datang. Sejenak aku melirik ke arah jendela. Kulihat kembali sayangku yang dnegan tenang meletekan gelasnya di lantai.

Tik... tik... tik....

Srrrsssshhh....

Hujan pun turun dengan derasnya. Kedua tangannya berpindah kebelakang meyangga kedua tubuhnya. Kepalanya menoleh ke arahku dan tersenyum. Aku membalasnya. Kakiku aku tekuk kedepan dan kupeluk. Senyuman kami berdua berubah menjadi tawa. Tak tahu apa penyebab tawa kami. Hingga akhirnya kami berhenti tertawa. Hening. Mata kami berpandangan. Ditemani dengan suara hujan yang semakin deras.

Entah apa yang kami pikirkan. Tubuhnya mendekat pelan. Akupun terpaku. Kakiku yang semula aku peluk kini rebah dilantai dan kutekuk kebelakang. Keningnya kembali menyentuh keningku. Perlahan bibir kami berpagutan. Kedua tangannya memeluk leherku, mengelusnya. Kedua tanganku menggenggam ujung kaos yang berada disamping pinggangnya. Menggenggamnya erat. Bibir kami terus menempel. Ciumannya aku rasakan semakin hangat. Saling memuaskan.

Sejenak ciuman kami lepas, namun tak lama. Bibir kami kembali berpagutan. Tangannya yang semula membelai leherku, aku tarik sedikit kasar ke dadaku, berhenti di payudaraku. Dia tampak sedikit terkejut, namun kurekatkan kembali tubuhnya untuk menghilangkan keraguannya. Lembut dan sedikit kaku dia menyentuhnya, meremasnya. Aku yakin inilah pertama kalinya dia menyentuhnya.

“Yang, sud... mmphh” bibirku kembali menutup bibirnya terlalu yang banyak omong itu.

Tangannya berpindah ke atas payudaraku mendorong pelan tubuhku sehingga bibir kami lepas. Sontak aku merasa kecewa. Wajahku menunjukkan raut yang sedih. Ku gigit bibir bawahku. Air mata mulai mengembang dikelopak mataku. Pandanganku menjadi kabur. Tanganku turun ke pahaku dan mengepal erat. Aku terus memandangnya.

Ku pukul dadanya keras. Dia langsung memelukku. Aku menangis sejenak. Aku dorong dia hingga terjengkang kebelakang. Aku rebahkan dadaku di dadanya. Aku cium lagi bibirnya. Tangan kananku, turun hingga mengelus bagian tengah pahanya. Inilah pertama kalinya aku mengelus bagian intimnya yang masih terbungkus

“Yang... sud... mmppphhh...” dia sudah tak berani lagi mendorongku disebabkan air mata yang terus menetes dari mataku. Masa bodoh, kalau dia mengira aku cewek apalah-apalah. Yang jelas aku ingin memberikan kepunyaanku kepadanya

Dengan cepat dan lembut ku buka resleting celananya, kutarik kebawah celana di pinggang itu hingga terlihat celana dalamnya. Aku geser tanktopku hingga terlihat gundukan buah dadaku. Kutarik paksa tangannya untuk memegang buah dadaku. Dia tampak gugup. Langsung dia memelukku kembali.

“Apa? Apa yang adek inginkan?” tanyanya pelan ditelingaku

“Mas...” jawabku singkat.

Kuangkat tubuhku dan menciumnya kembali. Awalnya tangannya hanya diam menikmati sensasi bibirku. Ketika ciumanku turun kelehernya. Tangannya bergerak kini meremas pelan payudaraku. Aku kini hanya bisa diam, bibirku terhenti di lehernya. Ketika tangannya mulai menurunkan tank-topku hingga payudaraku kini benar-benar menempel didadanya yang masih terbungkus kaos. Kuangkat kepalaku dan bibirnya langsung menyambar bibirku.

Lama kami berciuman. Ku angkat tubuhku hingga kedua tanganku berada didadanya. Payudaraku terapit oleh lenganku. Tubuhnya sedikit bangkit, aku bergeser. Kepalanya mendekat ke dadaku. Mencium lembut payudara, lalu turun dan bermain di puting susuku.

“ehmm... sayang...” rintihku.

Kedua tangangku beralih memeluk kepalanya. Kudaratkan ciumanku berkali-kali di ubun-ubun kepalanya.

Aku benar-benar menikmati sentuhan bibirnya di puting susuku. Aku menikmatinya. Aku ingin dia yang pertama menyentuhnya dan memainkannya. Lama aku menikmatinya, ku dorong pelan tubuhnya. Kucium lembut bibirnya. Turun ke lehernya. Ku tarik kaosnya ke atas dan ku mainkan puting susunya. Lama aku bermain di sana, ciumanku turun keperutnya. Kutarik celana dalamnya. Kulirik penisnya menegang keras. Aku rebahkan pipiku di perutnya. Ku pegang dan kuurut pelan. Penis yang besar lebih dari yang pernah aku kulum.

Aku bangkit dan memposisikan diriku tepat disampingnya. Kukecup ujung penisnya. Aromanya menyengat tapi aku menyukainya. Kulirik wajahnya yang terpejam menahan nikmat. Bibirku mulai mengulumnya.

“Ah... sayang... ughhh....” rintihnya

Aku masih mengulumnya. Kepalaku naik turun pelan, menikmati setiap milimeter penisnya. Aku tak bisa melahap semuanya. Sebagian aku kocok dengan tanganku. Semakin lama, aku semakin mempercepat kulumanku. Tangan kanannya memegang kepalaku sedang lengan tangan kirinya menutupi wajahnya.

Selang beberapa saat kemudian tubuhnya mulai kaku. Bibirku aku majukan, mengunci penisnya. Beberapa kali dia mengejang. Cairan spermanya keluar dalam mulutku. Setelah yakin tak ada sperma yang keluar lagi, baru ku tarik pelan bibirku. Menjaga agar tak setetes spermanya keluar dari mulutku. Aku duduk bersimpuh memandangnya. Dia memandangku dengan dahi mengrenyit. Ku telan spermanya.

Aku lepas celana selututku beserta celana dalamku. Aku tarik tubuhnya dengna posisinya berada di tengah-tengah pahaku. Aku sudah basah karena apa yang aku lakukan tadi. Kedua tangannya berada disamping tubuhku. Aku menarik lehernya. Kucium bibirnya. Ujung penisnya sudah menyentuh vaginaku.

Tiba-tiba dia memelukku erat. Menggeser tubuhnya ke samping, hingga pahaku kembali tertutup.

“Sudah yang, sudah” ucapnya.

“Ke-kenapa yang?” aku gugup tak kusangka dia menghentikannya. Wajahnya diangkat tepat di depan wajahku.

“Cukup sayang...” ucapnya

Matanya begitu teduh. Meneduhkan gejolak hatiku. Aku menangis, entah karena malu atau karena yang lainnya. Matanya benar-benar membuatku takluk.

“Maafkan aku mas, aku cuma...” ucapku terisak

“Sudah... kita hentikan ini semua. Belum saatnya” ucapnya membuatku kembali terkejut.

“Nanti... mas belum siap” jawabnya

“Kenapa? Apa karena mas...” ucapku terhenti

“Mas cinta Ade. Mas percaya Ade, tapi bukan saat ini untuk melakukannya. Mungkin nanti ketika mas sudah siap” ucapnya. Bibirnya mengecup bibirku.

“Ade takut kehil...” kata-kataku terhenti untuk kedua kalinya

“Tidak. Mas akan selalu ada. Karena wanita ini, tubuh ini akan menjadi milik mas” matanya tajam

“Percayalah, nanti kalau mas yang minta baru adek kasih he he he” tiba-tiba candanya keluar. Aku memukul dadanya pelan.

“Terus kenapa mas gak mau?” tangis manjaku

“Masih takut, takut kalau jadi. Terus itu, mas kan masih kuliah” jelasnya

“Terus mas sama yang lain gitu?” aku ngambek

“Enggaaaaak sayang, enggaaak. Percaya sama mas” ucapnya

Aku memeluk lehernya.

“Kalau suatu saat nanti mas pergi dari adek. Ambil milik adek, karena itu yang ingin adek berikan sama mas. Terserah mas setelah kejadian ini, mas mau mikir apa” ucapku terisak di samping kepalanya. Kembali dia mengangkat wajahnya tepat didepan wajahku.

“Mikir apa?” tanyanya dengan senyuman

“Pasti mikir kalau adek ud... mmppphhh” bibirku disumbat dengan bibirnya. Sebentar.

“Lha masih apa tidak?” tanyanya. Aku mengangguk dengan air mata mengalir di pipiku

“Mas percaya sama adek” ucapnya. Tapi aku ragu dia percaya.

“Kalau mas gak percaya, masukin aja. Pasti ntar keluar darahnya” rengekku

“hi hi hi... lucu. Udah ah, mas mau meluk adek aja” ucapnya

Dia bergeser ke kanan tubuhku. Tubuhku dimiringkannya hingga membelakanginya. Dipeluknya tubuhku. Satu tangannya berada di sebelah leherku, yang lain hinggap di payudaraku.

“Pokoknya kalau mas pergi. Gak mau lagi sama adek. Ambil puny...” ucapku terhenti kembali.

Tangan yang berada di payudaraku menutup mulutku.

“Katanya mau belajar” ucapnya. Aku jadi teringat pesan yang aku kirimkan.

“Ya, tadi kan juga belajar” aku tersenyum mengusap air mataku

“Pelajaran pertama, tidur bareng dulu. Tapi pakai baju yuk” ajaknya

“Gak, gak mau. Harus kaya gini, besok juga!” ucapku sedikit keras. Antara jengkel dengan bahagia.

Aku tersenyum.

“Ja-jangan, nanti kalau mas itu..” ucapnya

“Biar. biar aja terjadi. Pokoknya pelajaran pertamanya sehabis kuliah” rengekku

“eh, itu.. ya deh... tapi ati-ati, ntar kalau mas gak kuat lho” candanya

“bodoh” jawabku

Penisnya masih terasa mengeras di sela pantatku. Dia memelukku erat, diiringi hujan diluar yang sangat deras. Tubuhnya memelukku erat, sangat erat. Sesekali dia mencium tengkuk leherku. Geli rasanya. Aku tersenyum. Ternyata lelakiku lebih kuat daripada yang aku kira.

“Pindah ke kasur yuk” ucapku.

“He’em...” jawabnya. Dia bangkit terlebih dahulu.

“Aaaa...” teriakku

Aku terkejut. Tiba-tiba saja dia menggendong tubuhku. Aku tersenyum. Kupeluk lehernya, kutarik kepalanya. Bibir kami berpagutan. Sedikit susah dia berjalan karena celananya masih berada di pahanya.

Tubuhku direbahkannya dengan pelan. Setelahnya dia melepas celanannya. Tegak berdiri tapi kok ya gak pengen. Hm, aku akan menunggunya. Kembali dia rebah didepanku. Memelukku. Memasuukan tubuhku kedalam pelukannya. Hangat sekali tubuhnya, aroma keringatnya juga sedikit terasa menusuk ke dalam hidungku.

“Pelajaran pertama adek belum lulus lho he he he” candanya

“Terus kriteria lulus apa?” tanyaku dalam pelukannya

“Belum ditentukan he he he” jawabnya

“Huuu... Itu dedek kecilnya suruh tidur. Adek makan lagi ntar” candaku

“Ja-jangan... ntar gak bisa buat dedek kecil lho” jawabnya

“Auuuch,,,” aku cubit perutnya

“Maksudnya ya bukan dimakan beneran Andrew Nugrahakyuuuu...” jawabku

“He he he...” kembali dia memelukku setelah tawa cengengesannya

“Peluk yang erat mas... yakinkan hatiku. Bahwa kamu akan selalu berada disampingku” ucapku. Berada dalam pelukannya.

“Pasti” jawabnya

Kembali dia memelukku erat. Mataku perlahan terpejam.

Hujan diluar semakin deras. Namun dinginnya sama sekali tidak terasa olehku. Akupun terlelap diselimuti kebahagiaan. Hangat tubuhnya membuatku merasa nyaman, terlindungi oleh orang yang selalu aku kasihi dan aku cintai. Andrew Nugraha, aku berharap menjadi pendampingmu kelak.





---------------------​

“Mbak arlena, kita pulang yuk mbak. Kita selesaikan besok, lagipula kita kan juga butuh istirahat mbak.” ucap rekan kerjaku

“Sekarang saja, biar besok kita bisa santai dan pulang lebih awal” balasku

“Mbak, tapi kan ini laporannya masih buat lusa mbak” ucapnya

“Iya, tapi kalau bisa selesai malam ini, besok kita bisa santai dan kita bisa laporan lebih awal. Kalau laporannya lebih awal, kita bisa pulang lebih awal juga kan?” balasku, yang kemudian melanjutkan membuat laporan

“Mbak, maaf sebelumnya. Kita kan sudah pergi lebih dari 2 hari mbak, aku cuma...” ucap perempuan yang disampingku ini. Dia menunduk dengan wajah sedikit kecewa. Aku memandangnya

“Ada apa? Kamu capek?” tanyaku heran sembari memandangnya.

“Eh, anu mbak, aku... adikku dikontrakan sendirian mbak, masih SMP. Kasihan kalau aku tinggal terus mbak. Takut kenapa-napa” ucapnya, dia tak berani memandangku

“Eh, adik...” bathinku. Aku teringat adikku yang sebelumnya mengirimkan pesan kepadaku. Sekarang sudah lewat jam 7 malam.

“Iya, iya kita pulang” ucapku, dia langsung tersenyum. Kami membereskan kertas-kertas yang berserakan ini, dan langsung menuju pulang.

Di dalam mobil pikiranku merasa bersalah, sudah jam setengah delapan malam. Beberapa kali aku meneleponnya hanya nada sambung dan tidak diangkat. Hujan sedari tadi jam 7, belum berhenti juga. Adik, kenapa aku bisa melupakan adikku yang ingin bertemu denganku. Hujan semakin deras, pikiranku tidak tenang. Entah mengapa tidak bisa tenang, ah, mungkin adikku datang dan langsung pulang karena rumah masih kosong. Tidak mungkin dia menunggu, tapi kenapa tidak diangkat teleponku?

Tiiin... tiiiin... tiiiin...

Macet, macet, macet, kenapa sih pas saat seperti ini malah macet. Ah, salahku juga terlalu banyak membuang waktu untuk pekerjaan. Aku dulu sering marah ke Ayahku karena terlalu banyak bekerja, sekarang aku malah lebih gila dibanding ayahku. Padahal, aku mempunyai seorang adik yang seharusnya aku mengurusnya. Di saat seperti ini, Ibu. Maafkan aku.

Jalanan sesak, akhirnya dengan bergerak sangat lambat aku bisa melewati kerumunan roda empat ini. Hujan yang semakin deras, membuat pikiranku tidak tenang. Entah mengapa semua yang ada di otakku tertuju pada adikku. Aku coba menangkan diriku, tidak tergesa-gesa. Dengan laju mobil yang pelan, aku memasuki kawasan perumahanku. Tepat ketika mobilku mendekati rumah, lampu mobil menangkap seoarng lelaki. Tubuhnya meringkuk didepan gerbang rumahku. Ku hentikan mobilku.

“Adik...” ucapku, aku langsung membuka pintu dan turun dari mobil. Aku mendekatinya dan bersimpuh didepannya

“Adiiik...” aku menggoyang tubuhnya

“Eh, mbak...” dia tersenyum, hujan semakin deras

“Kenapa tidak telepon mbak? Ah, sudah adik masuk dulu, sebentar mbak bukakan” ucapku berdiri dan membuka pintu gerbang. Dia berdiri, dan tetap tersenyum

“Masuk dulu dik, ini kuncinya. Mbak masukan mobil dulu” ucapku, dia mengangguk

Datar, datar sekali. Ekspresinya hanya tersenyum, aku memandangnya sejenak. Melihatnya melangkah menuju pintu rumah. Baru aku tersadar, air hujan sudah membasahi tubuhku. Aku langsung berlari dan masuk kembali ke dalam mobilku. Aku masukan mobilku dan kututup pintu gerbang. Kupercepat langkah kakiku. Dia masih saja berdiri didepan pintu, menggigil kedinginan dan memeluk tasnya.

“Adik! Kenapa malah gak buka pintu sih?!” aku sedikit jengkel dengannya, dia hanya tersenyum saja

“Huh!” lenguhku, sebenarnya kasihan juga tapi kenapa gak telepon atau gimana.

“Dah masuk, cepetan! Terus mandi!” marahku kepada adik semata wayangku ini. Kedua tanganku berpinggang, tak ada canda darinya.

Aku masuk dan menutup pintu. Ketika kau berbalik, aku melihat sesuatu yang aneh. Dia berjalan masuk ke dalam ruang keluarga dengan langkahnya yang pelan. Segera, aku ambilkan handuk dan ku tutupkan ke pundaknya. Kulihat pandangan matanya melihat ke teras belakang rumah. Aku tidak menghiraukannya, mungkin dia teringat akan taman dibelakang rumah dulu. Aku segera mandi, berganti pakaian dan keluar dari kamar. Dia masih tetap berdiri, tak bergeser dari posisinya tadi. Handuknya pun masih tetap berada di pundaknya. Aku mendekatinya, kulihat tetesan air dari tubuhnya yang membasahi lantai. Masih memeluk tas yang dia bawa. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum.

“Adik! Mbak kan tadi sur...” ucapku terhenti, ketika adikku menyerahkan tasnya. Sebagian tasnya basah.

“Ada titipan buat mbak, buka saja tasnya mbak. Maaf membuat mbak marah” ucapnya, menyerahkan kotak kaleng penignggalan ibu. Pelan dia melangkah meninggalkanku. Handuk di pundaknya di letakan di sofa.

“Adik! Mandi dulu nanti.. “ aku tak berani berucap lagi, dia membuka pintu kaca geser dan duduk ditepian kolam renang. Padahal di luar hujan menjadi gerimis.

Rintikan gerimis membasahi tubuhnya. Tetap saja dia menyulut rokok putih kesenangannya. Aneh memang, merokok di bawah tetesan gerimis. Benar-benar keras kepalanya sama denganku. Tapi ada sesuatu yang tak biasa dari dirinya. Sesuatu telah terjadi pada diri adikku. Sembari memandangnya, aku duduk di sofa. Kubuka tasnya, hanya berisi kotak kaleng peninggalan Ibuku. Ku ambil kotak kaleng tersebut dan kuletakan tas adikku di lantai. Kulihat kertas yang dilipat rapi, buku tabungan, ATM dan juga sebuah amplop kecil putih.

Aku mengambil kertas yang dilipat rapi, aku membukannya dan baru membaca lembar pertama. Aku sudah menangis, inikah yang membuat adikku mejadi diam. Membuat adikku terdiam seperti saat ini, dia rindu pada Ibu. Dia rindu pada ibu dan datang kepadaku. Aku mengambil buku tabungan dan ATM, sebuah nama yang membuatku semakin hanyut dalam kesedihan.

Aku mengalihkan pandanganku kepada adikku yang masih merokok. Aku bangkit, kaleng itu terjatuh dan amplop kecil putih ikut terjatuh. Jatuh terbalik. Amplop kecil itu bertuliskan namaku. Nama panggilanku. Aku kembali duduk dan membuka amplop kecil tersebut. Amplop kecil yang tidak direkatkan pada bagian penutupnya. Aku ambil kertas yang dilipat rapi didalamnya. Dibagian luar kertas tersebut tertulis nama lengkapku.

Untuk Arlena KaryaningTyas, malaikat kecilku
“Tulisan ini, tulisan Ibu.” Bathinku
 
premium aja ..
ijin baca suhu .... eh .. itu ..em ...anu ..
...
... kog sedikit sekali up date nya suhu ????.
 
Terakhir diubah:
Haisssssss tanggung bdner motongx hu.... Padahal pengen baca surat wasiatx
 
Scene 34
Maaf



Arlena Karyaningtyas

Untuk Arlena KaryaningTyas, malaikat kecilku

"Tulisan ini, tulisan Ibu." Bathinku

Air mataku mulai mengembang di kelopak mataku. Nama yang tertulis dengan tulisan yang khas. Lama aku memandang tulisan itu. Seakan aku kembali ke masa lalu. Tulisan yang benar-benar membuatku rindu kampung halaman. Tulisan tangan Ibu.

Pelan, aku buka kertas tersebut. Lipatan kertas terdiri dari dua lembar kertas. Aku membukanya, kembali kulihat adikku. Dia tersenyum memandangku, dengan rokok yang masih ditangannya.

Untuk Arlena KaryaningTyas
Malaikat kecilku, malaikat yang selalu membuat hidupku bahagia
Bagaimana kabarmu sayang? Ibu sangat rindu bertemu denganmu
Apakah kamu sehat selalu nak? Ibu suka sekali ketika bercanda denganmu
Lalu kamu akan tertawa "Hi hi hi hi hi"
Hi hi hi hi... lucu sekali tawamu nak, membuat ibu sangat bahagia
"Ibu, maafkan arlena bu" bathinku.

Air mataku mulai mengembang di kelopak mataku.

Arlena sayangku, malaikat kecilku
Sudahkah kamu bertemu dengan adik lelakimu? Adik yang selalu kamu tanyakan
Ingat kan dulu, Arlena sering sekali bertanya tentang perut besar ibu kan?
Jika kamu membaca surat ini berarti kamu sudah bertemu dengan adikmu
Karena Ibu yakin, adikmu akan menemukan surat ini​

"Arlena, Arlena sudah bertemu dengannya bu, sudah bertemu... Adik sekarang bersama Arlena bu..." bathinku
, aku menoleh ke arah adikku. Air mataku sudah tak bisa terbendung dan mengalir di pipiku.

Bagaimana adikmu? Ganteng tidak sayang? Hi hi hi hi hi
Ibu jadi suka ketawa mirip kamu sayang, lucu sekali sayang
Sayang, bagaimana? Ganteng tidak? Ganteng kan?
Dulu kamu ingin adik lelaki yang ganteng kan?
Terakhir Ibu melihatnya dia tumbuh menjadi lelaki yang sangat gagah dan ganteng

"Iya bu, ganteng bu... dan juga jengkelin" bathinku. Hatiku semakin pedih. Air mataku semakin deras

Ibu memberi nama adikmu sama seperti yang kamu inginkan
Artinya juga sama sayang, sama seperti yang kita bicarakan dulu
Oh iya sayang, Arlena dulu juga pernah bertanya mengenai arti nama arlena ya?
Nama kamu itu artinya,
Arlena itu ya Ibu, harapan Ibu maksudnya, Cuma beda huruf "E" saja sayang
Kalau Karyaningtyas, ibu berharap kamu bisa terus berkarya dalam hidupmu
Terus berkarya ya sayang, tapi jangan terlalu terlelap dalam karyamu
Jaga adikmu ya sayang, percayalah dia juga tahu yang terbaik untukmu​

Satu lembar aku baca belum juga selesai, tapi tangisku tak berhenti. Air mataku jatuh membasahi kertas dengan bentuk tulisan yang sangat aku ingat.

Arlena, malaikat kecilku
Adikmu, dia sebenarnya tidak nakal dan dia sangat pintar
Hanya saja, Ibu terlalu sering kasar kepadanya
Katakan padanya jika kamu bersamanya
Katakan kalau ibu sangat sayang kepadanya, ibu terlalu sering memarahinya
Mungkin karena ibu tidak pernah berjumpa denganmu
Ibu selalu membanding-bandingkan adikmu denganmu
Setiap hal kecil yang ibu lihat, ibu selalu teringat kepadamu
Bahkan ketika adikmu tidak bisa melakukannya sepertimu, ibu marah
Dalam batin ibu, ibu merasa bersalah, padahal hanya adikmu yang menemani ibu
Saat Ibu sakit seperti sekarang ini, adikmu yang merawat Ibu

Katakan kepadanya sayang, kepada adikmu
Maafkan ibu yang berlebihan memarahinya
Katakan padanya, maafkan ibu yang terlalu kasar kepadanya
Ibu pernah menamparnya sayang, ketika dia lupa memberi makan omen
Omen, adalah harta berharga ibu darimu
Ibu terlalu berlebihan

"Aku pasti akan mengatakannya bu" batinku

Oia sayang, Adikmu itu anak yang lucu sayang, dia suka sekali mengerjai ibu
Ibu itu suka sekali dikerjai adikmu, katanya ibu jelek tapi setiap hari ibu digoda
Katanya kalau lihat senyum ibu, dan tawa ibu
Hari-harinya akan lebih indah, disisi lain bathin ibu tersiksa
Jika adikmu mengatakan senyum dan tawa
Karena ibu sering memarahinya

Sayang, katakan kepadanya
Ibu sangat mencintainya, sangat menyayanginya
Ibu hanya berharap arlena tumbuh seperti Ibu
Agar Ibu merasa tenang ketika adikmu merasa sedih
Berkali-kali adikmu selalu mengatakan sayangnya kepada Ibu
Berkali-kali adikmu bilang tidak ingin berpisah dengan Ibu
Ibu takut ketika Ibu hilang nanti, tak ada yang menemaninya
Dia manja, namun dia adalah lelaki yang kuat
Jagalah dia selalu
Aku berhenti membaca surat itu, mengusap air mataku dan melipatnya kembali. Kumasukan dalam amplop kecil itu, dan kusimpan didalam kamar. Sebenarnya aku masih ingin membacanya, tapi adikku, dia disana membutuhkanku. Gerimis reda. Aku melangkah mendekat. Masih berada didalam rumah. Dari balik kaca, aku lihat pandangannya kosong. Bibirnya tersenyum. Beberapa puntung rokok tergeletak disampingnya. Adikku sedang sedih karena teringat Ibu.

Segera aku berjalan ke dapur. Aku buatkan minuman hangat. Pelan aku mendekatinya.

"Adik, ini mbak buatin teh hangat, minum dulu dik" ucapku. Kuletakan teh hangat disampingnya. Aku bergeser dan berjongkok dibelakangnya, kupeluk tubuh adik lelakiku

"Berhentilah merokok, segeralah adik minum teh hangat ini. Mandi dan istirahat." ucapku

"Adik masih ingin disini mbak, mbak tidur saja dulu" ucapnya dengan kaki didalam kolam renang.

"Bagaimana cara seorang kakak perempuan tidur dikala adiknya sedang bersedih?" tanyaku

"Adik tidak sedang sedih, hanya ingin sendiri. Adik kesini untuk mengantarkan surat yang adik temukan di kotak kaleng itu. Sebentar lagi adik akan pulang ke kontrakan" ucapnya, kupeluk semakin erat tubuhnya

"Jangan pulang... adik tidak boleh pulang. Mbak akan merasa sangat bersalah" ucapku sedikit terisak.

"Mbak tidak melakukan kesalahan mbak, jangan nangis mbak" ucapnya

"Maafkan Ibu dik, Ibu sangat mencintaimu, sangat menyayangimu. Semua ibu tuliskan di surat untuk mbak, jika ibu pernah menamparmu dan adik marah. Tampar mbak sebagai gantinya" ucapku, air mataku sedikit mengalir

"Tidak, tidak pernah sedikitpun terbesit kebencian kepada Ibu. Sekalipun Ibu selalu memarahiku, sekalipun Ibu selalu membandingkanku dengan mbak. Aku semakin sayang dengan Ibu, itu tandanya Ibu selalu memperhatikanku." Dia berbalik dan tersenyum kepadaku

"Jika ibu tidak memarahiku, adik malah bingung mbak" ucapnya lagi membuatku tersenyum

"Dasar... adikku nakal" ucapku.

Aku memeluknya semakin erat. Kugoyang tubuhnya, tangannya yang dingin meremas pergelangan tanganku.

"Eh, mbak, kok digoyang-goyang" ucapnya kedua tangannya yang dingin menggenggam pergelangan tanganku.

"Katanya kangen?" balasku

"Hiiii siapa yang kangen, mbak kepedean" ucapnya

"Beneran? Tinggal bilang kangen aja susah... ya sudah, mbak mau pergi aja" ucapku melepaskan pelukanku

"Mbaaaak... adik kangen..." tangannya erat menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku kembali memeluknya

"Katanya...." ucapku terhenti. Senyumku mengembang tatkala tubuhnya bersandar pada tubuhku. Aku kecup pipi adikku.

"Ibu sedang apa ya mbak?" tanyanya. Membuat haru hatiku

"Sedang lihat kita dik. Ibu bahagia kita kumpul..." ucapku terisak. Kubenamkan bibirku di pundaknya. Kepalanya menoleh ke samping dan tersenyum. Senyumannya tenang. Mungkin dia sudah menangis lebih dulu dariku. Lebih lama dariku.

Hening...

Kurasakan tubuhnya sedikit menggigil.

"Mandi dulu gih?" ucapku, dia mengangguk. Lalu mengambil teh hangat dan meminumnya.

Setelahnya, aku tarik tubuhnya perlahan, dia bangkit. Jari-jari kakinya tampak memutih karena kedinginan. Aku menggandenganya hingga dikamar mandi yang berada didekat ruang keluarga. Aku sediakan pakaian yang sebelumnya aku beli untuknya. Aku menunggunya diluar kamar mandi, berjongkok disamping pintu kamar mandi. Kupandangi ternit rumahku. Aku benar-benar merasa bersalah akan ketiadaanku ketika adikku lahir. Aku bangkit...

"Diiiik, ini kaosnya, mbak belikan" ucapku pelan, dia membuka sedikit pintu kamar mandinya dan mengulurkan tangannya

Setelahnya, aku membuatkan mi instant dan minuman hangat untuknya.

"Nah gitu kan tambah ganteng" ucapku, ketika melihat adikku memakai kaos dan celana pendek yang aku belikan

"He he he... culun mbak bukan ganteng" ucapnya

"Hmmm... terserah adik. tapi maem dulu" ucapku, sembari membawakan mi ke sofa depan TV. Dia memakannya dengan lahap

"Enak mbak" ucapnya

"Iiih, itu kan cuma mi instan" balasku

"Tapi enak, beda dengan buatanku. Mi-nya ndak medok (terlalu lama di rebus)" ucapnya

"Ehem... adikku pintar muji ternyata" ucapku. Sambil mengunyah dia menoleh ke arahku dan tersenyum. Kulihat wajahnya lelah. Ku elus kepalanya.

"Habis ini bobo sama mbak ya? jangan bobo diluar" ucapku, dia memandangku sesaat

"Gak boleh nolak, itu pesan ibu" paksaku, dia tersenyum.

Selesai dia makan aku usap sisa kuah di bibirnya. Sedkit ada kemiripan dengan Ayah. Aku letakan mangkuk di depan sofa. Aku gandeng adikku kedalam kamar. Seperti anak kecil, kepalanya direbahkan di pundakku. Aku tuntun dia rebah di tempat tidur. Tubuhnya miring, aku duduk di pinggir tempat tidur tepat didepannya. Aku elus lembut wajahnya.

"Mau ini?" ucapku, sambil menunjuk ke dadaku

"Ndak mbak, adik hanya ingin tidur" ucapnya

"Mbak takut kalau adik gak bisa bobo" ucapku

"Jadilah kakak perempuanku, sewajarnya kakak perempuan terhadap adiknya. Hanya Ibu yang boleh, dan itu saja sebentar. Adikkan dah pernah cerita." Ucapnya

"Ups, mbak kira masih pengen hi hi hi" tawaku

"Jelek..." ucapnya sambil menjulurkan lidahnya.

"Dingin mbak..." lanjutnya.

Baru sadar kalau AC menyala dan adikku tak memakai selimut. Aku selimuti adikku. seperti ketika ibu menyelimutiku waktu kecil. Dia telah tumbuh dewasa, pikirannya jauh lebih berlogika daripada aku. Bodohnya aku. Aku masuk dalam selimut dan kupeluk tubuhnya dari belakang, kupeluk kepalanya dan kurapatkan didadaku.

"Maafkan mbak, tadi membentakmu" ucapku

"Itu tandanya mbak sayang kepadaku" balasnya

"Mbak memang sayang kepada adik, mbak akan jaga adik selalu" ucapku

"Adik juga akan menjaga mbak, selalu" balasnya

"Beritahu mbak kalau ada yang salah dari mbak" lanjutku

"Beritahu adik juga mbak..."

"Aku lelah mbak, ingin tidur" ucapnya

"Eh, iya tidurlah adikku sayang... semoga semuaya akan menjadi lebih baik" ucapku

"He'em..." jawabny

Nafasnya pelan, kupeluk kepalanya semakin erat.

Kaze ga yoseta kotoba ni
Oyoida kokoro
Kumo ga hakobu ashita ni
Hazunda koe​

"Nyanyikan untuk ade hingga selesai" ucapnya pelan

"He'em.." jawabku

Kepeluk lebih erat kepalanya, tanganku mengelus kepalanya. Nafasnya menjadi lebih lembut, dan tubuhnya menjadi lebih hangat.

Tsuki ga yureru kagami ni
Furueta kokoro
Hoshi ga nagare, koboreta
Yawarakai namida​

"Suara mbak indah" ucapnya, aku cium rambutnya

Suteki da ne
Futari te o tori aruketa nara
Ikitai yo
Kimi no machi, ie, ude no naka

Sono mune
Karada azuke
Yoi ni magire
Yume miru​

"Seperti ibu" suaranya pelan namun aku masih bisa mendengarnya

Kaze wa tomari; kotoba wa
Yasashii maboroshi
Kumo wa yabure; ashita wa
Tooku no koe

Tsuki ga nijimu kagami o
Nagareta kokoro
Hoshi ga yurete, koboreta
Kakusenai namida

Suteki da ne
Futari te o tori aruketa nara
Ikitai yo
Kimi no machi, ie, ude no naka

Sono kao
Sotto furete
Asa ni tokeru
Yume miru​

Kuraskaan nafasnya mulai teratur. Aku bangkit dari tidurku, kembali aku mengambil amplop kecil itu. Kulihat wajah adikku sudah tenang, dia tertidur bersama dengan mimpinya. Aku keluar dari kamar, ku buat teh hangat untuk menemaniku malam ini. Kubuka amplop kecil itu dan meneruskan membacanya.

Arlena, apa kabar dengan ayahmu?
Adakah dia baik-baik saja sayang? Ibu rindu dengan ayahmu
Sampaikan maaf ibu kepada ayahmu sayang, tak bisa memenuhi kebutuhannya
Tak bisa berada disampingnya sebagai istri yang baik untuk ayahmu​

"Ibu... Ayah telah menyakitimu tapi kenapa Ibu masih saja mengkhawatirkannya?" bathinku menangis. Sebegitu cintanya Ibu dengan Ayah, walau Ayah telah pergi bersamanya.

Sayangku arlena
Jagalah selalu adikmu, katakan padanya kebaikan-kebaikan ayahmu
Ibu selalu menceritakan bagaimana ayahnya begitu baik kepadanya
Namun, sebuah rahasia tetap akan terbuka
Dia selalu menanti kehadiran ayahnya, kehadiran yang tak kunjung datang
Tapi dia selalu tersenyum, selalu bahagia ketika ibu bercerita tentang ayahnya

Ibu yakin adikmu telah mengetahui sesuatu tentang ayahnya
Ibu hanya takut, penantian yang dulu adikmu nanti
Akan menjadi kebencian

Sayangku arlena, jagalah adikmu
Dalam dirinya tersimpan jiwa seorang prajurit yang tak kenal lelah
Ada sebuah jiwa dalam diri adikmu, jiwa yang terkadang bisa meluap-luap
Jiwa itu akan selalu keluar, ketika dia terlalu takut
Jiwa yang Ibu takutkan akan keluar ketika bertemu ayahmu

Jagalah dia, peluklah dia ketika bertemu ayahmu
Peluklah dia, adikmu, sayang
Agar dia selalu dalam kehangatan kasih sayang Ibu
Jujur Ibu telah salah, jadi ibu mohon sayangilah adikmu
Karena Ibu yakin, arlena pasti bisa memberikan kasih sayang kepada adiknya
Maafkan ibu, yang selalu membuat adikmu bersedih
Maafkan ibu, yang selalu membuatmu bersedih

Ibu sangat mencintai dan menyayangi anak perempuan Ibu
Arlena KaryaningTyas
Ibu sangat mencintai dan menyayangi anak lelaki Ibu
Arta Byantara Agasthya

Jadilah kalian selalu saudara yang selalu menopang dalam menjalani kehidupan
Jagalah adikmu, adikmu akan selalu menjagamu
Dia juga tahu yang terbaik untukmu
Jagalah dia selalu​

Arlina AyuningTyas​

Tangisku pecah. Air mataku mengalir. Aku memeluk surat dari Ibu, erat aku memeluknya.

"Ibu... maafkan arlena, seandainya saja dulu..."

"Maafkan arlena bu maafkan...." aku menangis. Aku menangis karena aku benar-benar telah melupakan hal berharga dalam hidupku.

Seandainya saja dulu aku memaksa ayah untuk pulang ke desa. Seandainya saja aku tidak terlena dengan kehidupanku yang sekarang ini. seandainya saja, seandainya saja. Jika memang ada kesempatan untuk memutar waktu, aku akan memutarnya. Tapi semua sudah tidak mungkin lagi untuk diputar. Semua telah terjadi, dan tak akan pernah bisa diubah.

Air mataku masih terus mengalir. Dadaku sesak ketika harus mengingat masa kecilku. Aku bodoh, terlalu bodoh karena kehidupanku di tempat ini membuatku melupakan asalku. Aku orang udik, aku orang desa tapi hanya karena kejayaan ayahku, aku menjadi kacang yang lupa akan kulitnya. Ah, benar-benar bodoh.

Kulipat kembali, dan kembali aku masuk kedalam kamar. Kusimpan rapi amplop di almariku. Kulihat adikku tidur dengan lelapnya,wajahnya terlihat sangat tenang dan damai. Aku mendekatinya dan kupeluk kepalanya kembali dari belakang. Entah mengapa aku ingin bernyanyi kembali, walau pelan, aku ingin menyanyikannya lagi. Hingga mata ini lelah untuk terbuka dan terlelap dalam lelah tangisku.

.

.

.


"Eh dimana ini? Kenapa semuanya menjadi gelap?"

"Eh.." kurasakan seseorang memelukku leherku dari belakang. Seorang wanita, lembut dan hangat pelukannya.

aaaaaaa"Sayang, kamu tumbuh menjadi wanita yang cantik"

"Suara ini" aku menangis. Aku genggam erat pergelangan tangan wanita yang memelukku. Ibu. Terdengar tawa kecilnya menirukan cara tertawaku.

aaaaaaa "Sayang, jaga adikmu ya"

"Ibu..." semakin aku menggenggam erat dan menarik tubuh ibu. Menariknya lebih dekat ke tubuhku.

aaaaaaa"Sudah jangan menangis, ibu mohon jaga adikmu"

"Ibu, maafkan arlena..."

aaaaaaa"Tidak perlu minta maaf sayang. Berjanjilah ada Ibu untuk selalu menjaga adikmu. Jaga adikmu"

"Iya bu, Iya... pasti"

aaaaaaa"Terima kasih sayang. Jadilah wanita cantik. Cantik hati dan parasmu sayang. Kapan-kapan kita bertemu lagi sayang"

"Ibu! tunggu! Jang..." Tangan itu menghilang. dan ketika aku berbalik kebelakang,, sudah tak ada siapa lagi.

"Ibu... Ibu..." aku terus berteriak memanggilnya.

.

.

.

"Ibu!"

"Hash hash hash..."

Aku terbangun, bangkit dan duduk. Kututup wajahku dengan kedua tanganku. Sebuah mimpi, mimpi yang indah. Walau hanya suara Ibu yang aku dengar, tapi jelas itu adalah Ibu yang berada dibelakangku. Aku hela nafas panjang, kembali rebah. Itu Ibu, suaranya. Suaranya sudah cukup membuatku bahagia.

Aku angkat tubuhku lalu ku miringkan. Kulihat adikku masih tertidur, wajahnya masih sangat lelah.

"Eh, jam 3" bathinku, ketika aku melihat jam di dinding kamarku

Segera aku bangkit dan menyiapkan teh hangat untuk adikku. Suasana yang sama dengan suasana ketika aku masih kecil, gelap dingin dan sejuk. Kubangunkan adikku, dia tampak sedikit malas sekali untuk bangun. Mungkin karena lelah tapi aku terus memaksanya bangun. Hingga akhirnya dia bangun dengan wajah yang sangat malas. Aku ajak adikku ke halaman belakang. Kami duduk bersebelahan, memandang kandang omen.

"Mereka masih tidur ya mbak?" tanya adikku

"He'em... nanti kalau sudah ada mentari pagi juga bakalan bangun mereka" ucapku

"Terus makanannya apa mbak?" tanya adikku

"Tuh, udah mbak siapkan wortel sama kangkung. Nitip di pos satpam, jadi setiap pagi mbak minta ke penjual sayur keliling untuk nitip di pos satpam. Nanti pas pulang mbak ambil" ucapku

"Mbak..." ucapnya

"Hmm..." aku menoleh ke arahnya

"Ndak papa he he he" ucapnya

"Huh! Dasar suka ngerjain mbaknya" ucapku

"Yeee siapa yang ngerjain mbak? Ndaklah, aku ndak suka ngerjain cewek jelek weeeek" ucap adikku, yang langsung berdiri

"Eh, gitu ya sekarang sama mbaknya? Awas kalau ketangkap!" ucapku keras, benar kata ibu. Dia suka jahil ternyata

Aku berlari, mencoba menangkap adik lelakiku. Tawa canda kami di pagi buta, dimana tak cahaya matahari masih enggan menyapa. Aku menemukan sesuatu yang hilang dari kehidupanku, kebahagiaan. Ya, aku selalu mencarinya namun tak pernah aku mendapatkannya. Hingga subuh berlalu aku masih saja bercanda dengannya.

Ketika pagi menjelang. Tepat setengah enam pagi, aku mengantar adikku pulang ke kontrakannya. Dia harus berangkat kuliah, sedangkan aku harus berangkat kerja. Dalam perjalanan aku sangat bahagia pagi ini. Jika ada kesempatan seperti ini lagi aku tak ingin melewatkannya lagi. Kesempatan bersama adikku yang jahil. Hi hi hi.

Dikantor, semua pekerjaan aku selesaikan dengan cepat. Semua laporan perjalanan keluar kota sudah aku selesaikan, dan sudah aku serahkan. Besok aku libur begitupula dengan rekan kerjaku. Rekan kerjaku bercerita kalau adiknya sangat senang ketika melihatnya pulang. Dia juga seperti aku memiliki adik laki-laki, hanya saja aku baru bertemu dengan adik laki-lakiku sedangkan dia sejak lahir sudah bersamanya. Pulang kerja aku menelepon adikku, aku menjemputnya dan membawanya kembali kerumahku.

"Taraaaaaaaaa...."

"Ni dik, maem dulu gih" ucapku meletakan sepiring nasi goreng buatanku

"He'em mbak" ucapnya,

Begitu lahap dia memakannya, aku memandangnya tampak lucu sekali.

"Enak?" ucapku

"Enak mbak, pedasnya mantap" ucapnya

Aku bangkit dan kuberi makan omen di sore hari ini. Adikku menghampiriku, bersama kami memberi makan si omen-omen berbulu halus ini. Dia sangat jahil, nakal, seperti kata Ibu. berkali-kali dia mengatakan aku jelek hanya sekedar untuk mengundang amarahku. Kuberi tinju pelan dilengannya, lalu dia akan berlagak terhempas jauh. Candanya memang berlebihan, terlalu hiperbola tapi itulah dia, adikku, adik semata wayangku.

"Dik..." ucapku pelan

"Iya mbak" jawabnya

"Menurut adik... mmmm..." aku berhenti dan memandangnya

"Mmmm apa mbak? serius banget wajah mbak" ucapnya

"Gimana ya... mmm... itu" ucapku, jujur saja aku masih bingung mengucapkannya

"Apa to mbak?" tanyanya

"Ayah..." akhirnya aku berani mengucapkan kata itu, dia memandangku dan tersenyum

"Kenapa dengan ayah mbak?" tanyanya

"Tidak, hanya saja... adik tidak ingin bertemu dengan ayah?" tanyaku, dia menggeleng

"Hufth... adik sudah tahu ceritanya ya?" tanyaku

"Kakek dan nenek yang bercerita" ucapnya

"Adik benci sama yah?" tanyaku

"Adik tidak tahu" jawabnya

"Mbak harap adik tidak membencinya. Karena itu pesan dari Ibu, jadi apapun yang terjadi dia tetap ayah kita d..." ucapku terhenti ketika adikku bangkit dan melangkah menuju kolam renang. Direndam kakinya dan menyulut rokok putih itu lagi

"Adik tidak tahu, jangan tanyakan masalah itu lagi. Adik tidak tahu... benar-benar tidak tahu" ucapnya

"Iya, tapi bukan berarti harus menghindar terus kalau diajak ngomong dong dik. Ugh... asepnya dik" ucapku, yang mendekatinya

Aku duduk menjaga jarak dengannya, karena asap rokoknya. Hening sesaat, hingga sebatang rokok itu habis.

"Sudahlah mbak... adik capek, adik mau mandi. Terus tidur" ucapnya bangkit hendak masuk ke dalam rumah.

"Gitu kan kalau diajak ngomong. Adiiiiik..." ucapku

"Mbak, belum saatnya membahas masalah itu. Adik mohon" ucapnya

"Baiklah... tapi tidak selamanya, mbak akan selalu membahasnya. Karena isi tabungan yang adik pakai itu juga kiriman darinya" ucapku

"Adik tahu, dan adik tidak pernah menggunakannya. Teman adik yang menggunakannya" ucapnya

"Eh... maksudnya" ucapku, dia bersandar pada tembok kemudian berjongkok. Mencertiakan sebuah kejadian yang sangat miris tentang temannya bernama helena. Aku tersenyum, hatinya sangat baik.

"Kenapa adik mau menolongnya?" tanyaku, dia memandangku sedikit tajam

"Ada sebuah kenangan pahit dan adik tidak ingin mengulang kenangan pahit itu" ucapnya, berdiri lalu berlalu menuju kamar mandi

"Adik, maksud adik apa?" tanyaku, tapi dia sudah masuk kedalam rumah. Aku menngejarnya namun dia sudah masuk ke dalam kamar mandi.

Setelah mandi pun, aku memaksanya untuk bercerita. Tapi tetap saja dia diam. Matanya tersirat kepedihan akan masa lalunya. Ada sesuatu selain Ibu, ada sesuatu yang membuatnya tetap diam. Mungkin memang belum saatnya aku mendengar ceritanya. Aku yakin pasti suatu saat nanti dia akan bercerita padaku.

Malam ini dia tidur bersamaku, kupeluk kepalanya dan kunyanyikan lagu indah yang selalu kami dengar ketika hendak tidur. Saat tadi sebelum tidur, dia selalu jahil kepadaku. Menggodaku, dan membuatku selalu tertawa lepas. Dia kebahagianku, semoga dia selalu menjaga kakak perempuannya. Aku akan menjaganya, itulah kewajiban seorang kakak kepada adiknya. Ya, aku akan selalu menjaganya.

Keesokan paginya aku menjalani kehidupanku, kantor dan pekerjaan setelah mengantarnya pulang untuk kuliah. Kini aku telah larut dalam kehidupanku, kehidupan yang penuh dengan hiruk pikuk khas perkantoran. Laporan, audit, ah semuanya sangat menyita waktuku. Namun aku tak akan lupa mengirimkan sms ke adikku, adik lelakiku.





---------------------​

"Dini ya?" ucap seorang lelaki

"Eh, mas gama ya?" ucapku

"Iya, wah tambah cantik aja kamu din" ucap mas gama. Mengulurkan tangannya.

"Iiih, mas ternyata masih suka godain cewek" ucapku, sembari meraih tangannya. Kujabat tangannya.

"Kan cowok. Wajar dong, eh ngomong-ngomong lagi cari apa di toko buku?" tanya mas gama

"Biasa mas, nyari buku-buku buat kuliah" ucapku, perasaanku saat ini sangat senang sekali.

Mas Gama, cowok keren yang dari dulu selalu hadir dalam pikiranku. Dia orangnya ramah, supel, enak diajak ngomong. Dulu aku mau masuk ke univ yang sekarang ini karena mas Gama juga, tapi sayangnya jaraknya terlalu jauh dengan angkatanku. Mas Gama sekarang sudah S2, sedangkan aku masih semester 3.

"Diniiii..." panggilnya membuyarkan lamunanku

"Eh, i.. iya mas" jawabku

"Kok malah bengong?" ucapnya

"Eh, anu, gak papa mas" ucapku, aku tersenyum memandangnya

"Lho malah senyum-senyum sendiri?" ucapnya, membuatku tersipu malu dan menunduk

"Kesini sama siapa?" tanyanya

"Eh, anu itu mas sama Dina" ucapku

"Wah kalian klop ya?" ucapnya, aku mengangguk

Aku dan mas Gama kembali mengobrol. Entah mengapa hatiku serasa berbunga-bunga dekat dengan lelaki ini. Kenapa ya hatiku senang banget rasanya ketika bertemu dengan mas Gama? Pertama kali melihatnya dulu waktu aku SMA, mas Gama yang datang ke SMA-ku untuk sosialisasi mengenai universitasnya. Sudah ganteng, tinggi, iiih perfect-lah pokoknya. Udah gitu, senyumnya manis banget.

Selang beberap saat Dina datang bersama dengan mas Sandi. Kami kemudian makan siang bersama, aku dan Dina senang sekali. Terlebih Dina, tampak sekali dia manja-manja gitu sama mas Sandi. Tahulah aku, dia ngefans banget sama Mas Sandi. Mas Sandi satu angkatan dengan Mas Gama, hanya saja beda jalur. Mas gama melanjutkan S2-nya, kalau mas Sandi sekarang jadi fotographer.

Walau sebentar tapi udah lumayanlah buat hatiku seneng, apalagi udah tukeran nomer hape. Huh, enak tuh Dina, pulang sambil mainan hape. Dah jelas tuh kalau dia lagi BBM-an ma mas Sandi idolanya. aku kan juga pengen kali.

"Diniiii... ih mas sandi ganteng banget tadi" ucap Dina, rebah diatas tempat tidur

"Huh! Sebel ma lu, gue" ucapku duduk di pinggiran tempat tidur

"Yeee... kok sebel?" tanyanya

"Lha lu, disuruh gantian nyetir kagak mau" ucapku

"Iiih, kan tadi waktu berangkat udah gue, gantian dong sayang. Hi hi hi"

"Udah sekarang hubungi tuh Satria pujaan lu" ucap Dina

"Eh, iya..." ucapku

Ya, hingga menjelang tidur. Aku dan Dina sibuk dengan sematponnya masing-masing. Kadang kami tertawa-tawa sendiri karena percakapan kami dengan idola kami. Duh, senengnya, banget. Benar-benar bisa melupakan semua kegalauan hati. Moga aja bisa jadi pasangan hidupnya, ya itu harapan kami. Harapan kami berdua. Moga-moga aja mereka cowok yang baik. Hi hi hi...
 
Terakhir diubah:
Scene 35
Our (Dirty) Little Secret



Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Iliana Desy Prameswari



Winda shirina ardeliana


Ainun ... ...

“Bro, sist, saudara-saudaraku. Seperjuangan!” teriak andrew didepan kelas

“Yaelah lu ndrew, kaya mau demo aja” ucap Johan

“Udaaaahh... dengerin mas Andrew dong” ucap helena

“Ciyeee... pengacaranya gak terima nih ye” ucap Dina

Mereka saling lempar ejekan, hingga andrew akhirnya berdiri diatas meja dosen.

“WOI!” teriak Andrew, membuat semua teman-teman sekelas langsung menghadap ke arahnya.

“Nah gitu dong, ada orang ganteng ngomong malah pada ngomong sendiri. dah dengengerin dulu” ucapnya dengan gaya ya seperti biasanya.

Aku dari tadi hanya diam, memandang Andrew dari belakang dengan pikiran yang melayang entah kemana. Arta... Arta, memang lebih baik banyak diam daripada banyak masalah yang akan kamu hadapi. Helena, dia sekarang jadi tambah akrab denganku walau tidak begitu dekat paling tidak dia selalu menyapaku dan sedikit bercandan denganku. Bu ainun, aku lupa menanyakan kabar tentang wanita itu. Jadi kangen banget sama bu ainun. Mbak arlena, aku tambah bahagia, dia sekarang sering sekali membangunkan aku ketika jam 2 atau jam 3 pagi.

“Woi Ar, lu ikut kagak?!” teriak Andrew

“Eh... a-ada apa? ada apa?” aku berdiri dan terkejut

“Makanya jangan banyak melamun, dasar!” ucap keras Dini di sampingku

“Eh, ma-maaf... ndak dengar” aku duduk kembali. Wajahku menunduk.

“Yaelah, malah gak jawab pertanyaan gue! Lu mau ikut kagak woi!” teriak andrew sekali lagi

“Eh, i-ikut kemana ndrew?” tanyaku

“Yaaaaaaah.. hadeeeeeeeeehhh” ucap mereka semua bersama

“Tahun baruan lun, culun” ucap andrew

“Ya udah gue ulangi sekali lagi. Gue, Irfan, Johan dan burhan mau ngadain acara kemping bareng, tempatnya aman kok. Ada pengelolanya, kemping menjelang tahun baru. Kita berangkat 31 desember siang. Yang jelas, kita dah hubungi pihak sananya. Ngeboking maksudnya. Dan udah ada tempat buat kita ngekemp. Masuknya agak jauh sih tapi bisa kok mobil masuk sana. Tapi gini, gak asik kan kalau kita pake mobil ke tempat kita ngekemp. Jadi ya kalau bisa kita dari tempat parkir jalan kaki tapi kalau mau make mobil gak papa...” ucap andrew

“Lu kebanyakan tapi ndrew, tapi tapi tapi...”

“Udah, dilist aja yang mau ikut sapa” ucap Irfan

“He he.. biasa, gue gitu lho bro”

“Okay siapa yang mau ikut? Sampai saat ini, baru mmm yayang gue yang ikut, sama dinda an Tyas” ucap andrew

“Huuuu.... ha ha ha” tawa seisi kelas ketika nama helena disebut

“Boleh bawa cowok?” ucap Winda

“Boleh dong, asal jangan anjing peliharaan ha ha ha” jawab andrew diikuti gelak tawa seisi kelas.

“Aku ikut” ucap Desy

“Bawa yayang kagak?” tanya Johan kepada Desy

“Enggaklah, sibuk dia” ucap Desy, dengan wajah cemberut

“Ciyeee... jangan cemberut dong des, jelek tau!”

“Gue juga” lanjut Dini setelah menyenggol bahu Desy

“Eh, bentar gue hubungi mas-ku dulu” ucap Winda

“Kelamaan winda sayang udah ikut aja ngisi liburan ya sayang ya?” bujuk Dina kepada Winda yang sibuk dengan sematponnya.

“Gue ikut Andrew, kasihan Helena kalau nanti kamu anggurin” ucap Dina kepada Andrew

“Gak bakal Na’... weeek” ejek Andrew

Akhirnya dari beberapa anak dalam kelas, ada yang ikut, ada juga yang tidak. Winda akhirnya ikut juga, tapi pacarnya si ronald tidak ikut. Dari penuturannya, pacarnya sedang sibuk dengan apalah yang tidak jelas. Kalau aku pasti sudah bisa menebak kalau si ronald bakalan sama cewek yang di festival itu. Andrew, helena, Irfan, dinda, Johan, Tyas, burhan, Salma, Dina, Dini, Winda, dan Desy ikut ke acara itu sedangkan teman-teman yang lain tidak ikut karena ada yang pulang ke kota masing-masing. Maklumlah, tahun baru selalu bertepatan dengan liburan.

“Okay, sip, dan Arta. Lu gak ada alesan buat nolak. Jadi lu harus ikut!” ucap andrew keras

“Eh, a-anu a-aku itu ndrew” aku gugup

“Udah, ikut aja. Besok dijemput Ar. Tenang aja, siapin jajan yang banyak ya?” ucap helena

“Iya, ar. lu harus ikut, dah sering ketinggalan lu. Makannya lu jadi culun permanen ha ha ha” celetuk Johan

“Eh...” aku diam

“Ya, Arta ikut!” ucap Desy tiba-tiba. Aku menoleh ke arahnya, tapi Desy tidak menoleh sama sekali. Semua orang menoleh ke arah Desy. Dina, Dini, dan Winda saling berpandangan bingung. Tapi masa bodohlah.

Akhirnya mau tidak mau aku harus ikut dalam acara tersebut. Acara masih minggu depan, ini adalah hari terakhir kuliah, tepat satu minggu sebelum tahun baru. Seusai rapat ngekemp. Kami semua pulang dan seperti biasa aku selalu pulang terakhir dari yang lain. Sesampainya di kontrakan, aku meminta ijin kepada mbak-ku untuk mengikuti acara tahun baru-an bersama teman-teman kuliahku. Dan aku dijinkan untuk mengikutinya. Katanya biar ndak culun permanen.

Mbak arlena sendiri juga ada acara dikantornya. Sebenarnya mau mengajakku tapi aku ada acara sendiri. Sekalipun aku tidak ada acara pasti aku akan tetap menolaknya. Bisa jadi teman mbak Arlena yang tidak aku kenal adalah teman dari teman yang aku kenal. Bahaya jika aku ikut. Eh, tapi aku sudah ikut sama teman-teman kuliahku. Kenapa aku pikirkan? Hadeh!

Malam semakin larut, aku duduk sendiri didepan kontrakan. Beberapa warga kompleks tampak berjalan memutari jalanan sekedar mengecek keadaan. Samo dan Justi, ah, masa bodoh dengan mereka. tampaknya mereka lebih bahagia kalau tidak bersamaku. Aku sendiri juga tidak ada niat untuk menanyakan kabar mereka. Sudahlah, aku tahu suatu saat nanti mereka akan kembali ke sini, bersamaku. Entah kapan, tapi yang jelas mereka akan kembali.

To : Bu Ainun
Bu...

From : Bu Ainun
Bu?
Gak romantis!

To : Bu Ainun
Kok gitu?

From : Bu Ainun
Gak romantis!

(bingung aku dibuatnya, aku beranikan diriku kembali)

To : Bu Ainun
Bu Ainun Sayang

From : Bu Ainun
Gak usah pake bu napa?

To : Bu Ainun
Ainun Sayang

From : Bu Ainun
Sini, aku tunggu kalau kelamaan, aku tidur!
Gak usah bales, langsung sini!

To : Bu Ainun
Bukannya ada saudara pak RT?

From : Bu Ainun
Malam ini mereka pergi nginap di rumah mertua,
Aku gak ikut. Karena pulang kuliah maghrib.Cepet!

Hufth, kebiasaan ini cewek satu ini. Dibilang cinta, tidak mungkinlah dia istri orang. Tapi kalau istri kenapa di biarkan menganggur? Malah aku yang mirip suaminya. Mungkin sekedar sayang, tapi kalau sayang apa tidak terlalu jauh ya?

Ku kunci pintu kontrakan. Sebenarnya tidak dikunci pun juga tidak masalah. Tidak ada benda berharga didalamnya. Isinya buku kuliah dan tidak ada komputer ataupun benda-benda mahal lainnya. Sejenak aku pandangi pintu kontrakan. Ku hela nafas pannjang. Sebagai persiapan menuju ke rumah Ainun.

Aku berjalan hingga perempatan. Sebenarnya suasana malam ini tenang tapi di pos Ronda ramai sekali. Dari balik pagar tembok salah satu rumah diperempatan, aku mengintip mereka. Mencari waktu yang tepat untuk menyebrangi gang yang langsung ke arah pos ronda. Tampak dari kejauhan mereka sedang menikmati malam dengan kopi dan rokoknya. Kalau aku pura-pura ke Pos Ronda, pasti ditinggal tidur Ainun karena terlalu lama aku membuatnya menunggu. Tapi kalau tidak kerumah Ainun, pasti dimarahi Ainun juga. Aku berjongkok, bersandar pada pagar tembok. Aku mengintip kembali keadaan. Pas... langsung lari.

“Hash... hash...”

Aku berhenti sejenak. Kelelahan gara-gara ketakutan. Baru saja mau melangkah.

“Lho mas Arta, kok disini? muter kompleks ya?” ucap seorang bapak, tetangga depan kontrakan

“Eh... a-anu, iya pak” aku gugup. Skak mat.

“Lha bapak mau kemana?” balik bertanya. Untuk menghilangkan ke gugupanku.

“Ini mau jalan muter sekalian pulang” ucap bapaknya

“Oh iya pak” ucapku

Bapak tetangga depan kontrakanku itu berlalu, aku pura-pura berjalan melewatinya. Setelah berbelok aku balik lagi, tepat di belokan aku mengintip bapaknya. Setelah aku pastikan si bapak memang pulang ke rumahnya, aku lanjutkan langkahku. Melihat situasi kanan dan kiri, melompati pagar, merayap bak seorang tentara yang sedang perang. Tepat di pintu aku membukannya. Pintu terbuka aku masuk dengan merayap, langsung aku menutup pintu dengan kakiku.

Aku balik tubuhku dan terlentang. Sesosok wanita berdiri dan kemudian berjongkok diatas kepalaku. Samar-samar, cahaya dari ruang tengah memantulkan senyuman itu. Satu tangannya menutupi bibirnya yang tersenyum manis. aku benar-benar heran, wanita secantik ini sejak menikah tidak pernah sama sekali diberi nafkah batin.

“Kalau liat kamu kesini pas malem-malem gini lucu banget. Bener-bener pejantan tangguh hi hi hi” ucapnya

“Hufth... capek tahu ndak? Mesti kalau suruh sini pas malem gini. Banyak bapak-bapak ronda lagi” ucapku, bangkit dari rebahanku

Hegh... tepat ketika aku duduk langsung dipeluknya

“Keringatmu baunya harum” ucapnya tanpa menjawab pertanyaanku

“Eh, nun eh bu... kok” ucapku sedikit gugup

“Nun aja manggilnya, awas kalau ada imbuhan didepannya lagi. Kemarin sudah nun kenapa masih kasih ‘bu’ lagi? Cukup ainun ” ucapnya, dengan memeluk erat. Kepalanya disandarkan di pundakku

“Enakan ada imbuhannya” balasku

“Aaaaaaaaaaarghhhh.... sakit” rintih sakitku ketika satu tangannya mencubit punggunguku

“Imbuhannya Ai maksudnya...” lanjutku, sembari menegakan tubuhku

“Kok Ai?” dia duduk disampingku sambil membuang muka. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum geli.

“Lha kan bener Ai... Ainun” ucapku, dia melihatku sejenak

Kepalanya langsung bersandar dipundakku, pasti suasana jadi seperti ini. Hening, terus sedih-sedihan. Aku sebenarnya malas kalau harus sedih-sedihan terus. Curhat ini, itu, habis itu sedih.

“Pak RT di rumah?” tanyaku

“Udah dibilang gak ada, masih nanya. Lagian tumben nanya?” dia balas bertanya

“Kan memastikan saja” jawabku

“Kalau suruh sini berarti sepi” ucapnya

“Kalau ndak sepi, boleh kesini?” tanyaku

“Boleh, emang siapa yang ngelarang? Sini aja, kalau berani sih” ucapnya

“Berani sih berani. Ainun-nya tuh mau ndak ditemui” ucapku

“Iiih... gemes deh, berani banget manggil ibu RT-nya pake namanya” ucapnya, yang tiba-tiba langsung mencubit kedua pipiku

“Eh, itu..” aku malah gugup dan takut sendiri

“Udah, ndak papa owk iya to to to to” ucapnya. Menirukan logat bicaraku.

“Ndak usah pakai logatku to, biasanya bilang ‘gak’ pake diganti ‘ndak’. Ndak pantes” ucapku

“Hi hi hi... lucu kamu ar” ucapnya

Pelan bibirnya mengecup keningku. Hening sesaat...

“Ar..” pelan, lembut suaranya

“Iya...” balasku

“Temeni aku sampai kamu menikah ya? Walau pada akhirnya bukan denganku” ucapnya tiba-tiba. Selalu saja kata-katanya membuatku tertegun.

“Jangan bilang seperti itu, aku malah sungkan nanti kalau main kesini. Seakan-akan aku memanfaatkanmu” ucapku, dia menoleh ke arahku

“Bukan, seharusnya bukan kamu tapi aku yang memanfaatkan kamu. Jika kamu berpikiran seperti itu. Jujur saja aku seneng bisa sama kamu. Jalani bareng-bareng ya?” balasnya

“Hufth... jalani gampang, masalah hati susah” ucapku, sambil merebahkan tubuhku dilantai

“Memang, tapi gak tahu juga nantinya kan? Lagian kamu mau sama emak-emak kaya aku?” ucapnya, sambil memeluk kaki, dagunya diletakan di lututnya. Pandangannya datar ke arah tembok.

“Mau” jawabku. Dia menoleh ke arahku, mata kami saling berpandangan.

“Terima kasih” jawabnya. Pandangannya kembali ke arah tembok

“Jika itu mungkin. Tapi kelihatannya... tidak” kata-katanya benar-benar membuatku sedikit sesak.

“Jangan benci aku, karena aku tidak ingin melihat matamu. Matamu yang tak mau memandang mataku lagi” ucapnya

“Didepan tidak ada yang tahu. Sekarang bilang ya, bisa saja besok tidak. Sekarang bilang tidak mungkin bersama, bisa saja besok bersama. Siapa yang tahu?” ucapku. Aku alihkan mataku kembali ke ternit ruang tamu.

Tiba-tiba dia menarik tanganku. Tepat dilenganku langsung di gigitnya.

“Arghhhh... nuuuuun sakiiiiit....” rintihku tertahan, karena tidak mungkin aku berteriak keras. Ada bapak-bapak ronda.

“Gemes sih. Habis, kamunya sok dewasa” tangannya berbalut kerudungnya menutup bibirnya yang hendak tertawa keras. Terdengar suara cekikikan dari bibirnya yang tidak kunjung berhenti. Aku bangkit dan duduk bersila menghadap ke arahnya. Ku sangga daguku.

“Orang banyak tertawa berarti dia kesepian” ucapku. Dia langsung berhenti dan memandangku. Dia malah mendekatkan tubuhnya ke arahku. Bibirnya mendekat ke arah telingaku.

“sssst.. makanya temenin” bisiknya

“Auuuuch... nuuun sakit” dia menggigit telingaku tanpa aba-aba. Dia mundur dan langsung berdiri. Menjulurkan lidahnya kemudian tertawa cekikikan. Dia berjalan masuk ke ruang keluarga. Aku sedikit berpikir, kelihatannya ada yang aneh dengan cewek ini. Beda, apa ada yang salah dengannya ya? Atau...

Bugh...

Tiba-tiba sebuah bantal kecil mengenai wajahku. Aku terkrjut dan kulihat Ainun berdiri dengan wajah jenngkelnya. Pipinya menggelembung. Memang benar-benar jengkel, tapi jengkel kenapa?

“Huh! Dasar! Cowok kaku!” ucapnya sedikit membentak dan kemudian masuk ke dalam.

Aku bangkit dan melangkah ke ruang keluarganya. Bingung sebenarnya aku. Kusibak korden, di ruang keluarga kulihat dia sedang menonton televisi. Mengacuhkan aku. Aku kemudian duduk di sampingnya. Aku senggol bahunya tapi dia tetap diam saja.

“Kaku gimana maksudnya?” tanyaku. Dia menoleh ke arahku. Memandangku dari bawah hingga wajahku. Aku menggaruk-garuk kepalaku. Dia masih saja diam. Aku memandangnya terus tanpa berkata apa-apa. aku dekatkan tubuhku dan langsung aku memeluknya. Aku satukan keningku di kepalanya.

“Kamu tahu gak?” tanyanya

“Apa?” ucapku

“Cara bicara kamu dah banyak berubah, dulu kamu formal banget. Sekarang, kamu beda banget dengan yang dulu. Lebih gimana ya, hmmm... kelihatan kalau kamu sebenarnya orang yang mudah berteman” ucapnya. Yang ditanya apa, jawabnya apa. Tapi memang benar apa yang dikatakannya. Aku lebih lepas ketika bicara dengannya, seperti berbicara dengan teman sebaya.

“Eh, itu...” ucapku

“Sudah, jangan kamu ubah. Itu kan kamu yang sebenarnya, aku malah lebih suka dengan kamu yang sekarang. Emang sih logat kamu masih kedaerah-daerahan, tapi kamu lebih lepas” ucapnya. Dia menoleh ke arahku.

“Terus, kaku itu maksudnya apa?” tanyaku masih memeluknya. Dia malah memandangku lagi dan diam lagi. Mau diputar model apapun itu tetap saja aku tidak tahu. Tiba-tiba jari telunjuknya menunjuk-nunjuk pipinya sendiri.

“Eh, maksudnya?” tanyaku. Dia menoleh dan memandangku.

“Mungkin kamu satu dari satu juta lelaki ya?” ucapnya terhenti.

“Maksudnya?” tanyaku

“Satu dari satu juta lelaki yang... lihat posisi kamu” ucapnya yang tidak jelas. Aku melilhat posisiku yang memeluknya.

“Sudah?” tanyanya. Aku mengangguk.

“Kamu grogi apa gimana?” tanyanya. Eh, jangan-jangan yang dia maksud. Aku melepas pelukanku dan duduk menghadap ke arah TV yang sudah menyala. Dia kemudian menyandarkan kepalanya di pundakku. Sedikit aku menoleh ke arahnya.

“Mungkin jika bukan kamu yang disini” ucapnya sambil tersenyum

“Sudah ah, beruntung aku bertemu dengan kamu Ar. Beruntung banget. Bukan orang lain, karena orang lain pasti akan memanfaatkan situasi ini” ucapnya

“Aku kan juga memanfaatkan” dia bangkit dan menoleh ke arahku. Tapi aku menoleh ke arah TV yang menyala itu.

“Memanfaatkan situasi, biar bisa dekat sama kamu nun. Walau harus kaya orang mau perang” ucapku. Terdengar suara tawa kecilnya.

Tak ada kata-kata darinya. Kembali dia bersandar pada pundakku. Berdua dalam hening, hanya suara TV yang mengisi ruang keluarga ini. Sesekali aku dan dia menghela nafas panjang secara bersamaan. Acara TV yang benar-benar konyol, tidak ada yang menarik sama sekali.

“Tahun baruan, aku diajak sama teman-teman kemping” ucapku

“Bagus dong, biar kamu itu bergaul sayang. Gak Cuma di kos saja. Masa tahu baruan dikos terus” ucapnya

“Lhadalah, dulu kalau aku ikut temanku main, juga ndak bakal kenal sama Ai... nun” ucapku

“Iya Arta, bener kata Arta kok. Kalau Arta tahun kemarin main, Ainun gak ketemu sama Arta. Ainun seneng kok Arta kemarin bantu-batu di festival, jadinya Ainun bisa ketemu sama Artaaaaaaa..” ucapnya, bangkit dan tersenyum sambil mencubit kedua pipiku

“Dah ah, Arta jangan bahas lagi” manja banget rasanya sekarang wanita ini

“Aku ngantuk” balasku. Yang benar-benar mengnantuk.

“Bobo dikamar, minum air bening dulu sebelum bobo” ucapnya, dia berdiri dan mengambilkan aku minum. Ainun berada didepanku, sembari menyerahkan segelas air putih. Aku meminumnya, mata kami tak lepas berpandangan

“Eh, mau kemana?” tanyaku, melihat dia kembali ke ruang tamu

“Ambil sandal kamu sayang, tuh kebiasaan. Mau nyelingkuhin istri orang, sandal lupa dimasukan” ucapnya

“Aku pulang” ucapku sambil berdiri, melangkah ke arah ruang tamu.

“Iiih... marah, gitu aja marah. Iya, iya, ngapelin pacar bukan nyellingkuhin istri orang” candanya,

Ku julurkan lidahku dan kemudian berbalik masuk ke kamarnya. Entah kenapa, aku bisa santai sekali ketika masuk kamarnya. Wangi, bersih, rapi, semua terlihat sangat indah didalam kamar ini. Apalagi tempat tidurnya, empuk. Teringat akan sesuatu yang pernah terjadi di kamar ini.

“Sudah jangan diingat-ingat lagi. Kalau kepengen bilang” ucapnya santai di belakangku. Aku menoleh ke belakang. Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Dia membalasnya dengan senyum. Melangkah mendekatiku dan membetet hidungku.

“Bobo yuk” ucapnya. Tanpa basa-basi, aku langsung rebah dan memeluk guling membelakangi pintu masuk. Terasa dia menaiki tempat tidur. Memelukku dari belakang, bibirnya mencium leherku.

“Jangan berbalik, bau rokok, gak enak” ucapnya

“Iya...” balasku

Pelukannya lepas, Dia kembali berdiri, aku membalikan tubuhku, tubuhku miring menghadap ke ainun yang melepas kerudungnya. Roknya dilepas, hanya memakai celana pendek ketat. Dia kembali rebah didepanku, menarik tangaku untuk memeluknya. Kepalanya berada tepat didadaku.

“Boleh aku minta sesuatu?” tanyanya

“Peluk aku, elus kepalaku hingga aku tertidur” ucapnya

“Iya...” balasku

Aku memeluknya, perlahan tanganku mengelus kepalanya. Tubuhnya semakin masuk kedalam pelukanku, nafasnya menyebar didadaku. Kurasakan kehangatan tubuhnya, kudengar nafasnya mulai teratur. Matanya terpejam, dengan senyum di bibirnya. Dia telah tertidur, aku dekatkan lagi tubuhnya keutbuhku. Rasa lelah memanggilku untuk kembali dalam dunia mimpi.
.
.
.

“Ugh...” aku terbangun, tubuhku terlentang dan kepala ainun ada di dadaku

Tanganku mengelusnya pelan dengan mata yang sedikit susah untuk terbuka. Tanpa menggeser tubuh ainun, aku merogoh saku celanaku mengambil hape. Jam setengah dua malam, pasti nanti mbak arlena akan membangunkan aku. Aku kirim sms ke mbak arlena kalau aku sudah bangun, jadi tidak perlu mbak arlena untuk membangunkan aku.

“Erghh... hoammm...” dia terbangun dan mengucek matanya

“Kalau masih ngantuk tidur lagi aja nun” ucapku, di rebahkan kembali kepalanya di dadaku. Satu tangannya mencubit pipiku.

“Bobo bukan tidur” suaranya pelan, tapi manjanya kelihatan. Aku geser kepalanya di bantal

“Mau aku buatkan teh?” tanyaku. Walau sebenarnya aku tidak tahu dimana letak teh, yang jelas ada didapur. Dia menatapku lembut, dan mengangguk tersenyum padaku.

Aku melangkah keluar menuju dapur. Mengambil dua gelas. Sedikit bingung mencari letak gula dan yang lainnya. Membuka rak-rak yang ada didapur. Tiba-tiba tangan lembut memegang pergelangan tanganku. Mengarahkan ke rak yang belum aku buka. Aku menoleh dan memandangnya tapi dia sama sekali tidak menoleh ke arahku. Aku buka rak tersebut dengan dia yang bersandar pada pundakku.

Dia menemaniku. Tak henti-hentinya aku tersenyum kepada dua buah gelas yang berada didepanku. Aku angkat kedua gelas tersebut. Dengan tangan masih memegang gelas, aku menunjuk ke arah halaman belakang rumahnya. Dia mengangguk pelan dengan wajah ngantuknya. Hm, ngantuk tetap saja terlihat ayu.

Di halaman belakang rumah, kami duduk bersebelahan. Di sebuah bangku panjang mennghadap ke taman. Ada kolam ikan didepan kami, taman dan juga tempat jemuran pakaian. Tak ada ikan didalam kolam tersebut karena tak ada air didalamnya. pagi hari yang hening.

“Pas manisnya” ucapnya memecah keheningan diantara kami. Mataku meliriknya dan tersenyum.

“Boleh aku bertanya?” tanyanya

“Iya..” jawabku

“Apakah kamu akan membenciku ketika aku melukaimu atau meninggalkanmu?” tanyanya

“Kenapa selalu bertanya hal yang sama?” balasku bertanya. Aku menoleh dan mengrenyitkan dahiku.

“Hanya... Sudah jawab dulu” ucapnya sembari meminum teh hangat dan menoleh ke arahku

“Tidak” jawabku

“Bohong” Balasnya

“Tidak akan pernah” jawabku kembali

“Sekarang bisa saja bilang tidak, mungkin besok kamu akan bilang ya” ucapnya

“Aku tidak akan pernah membenci orang yang menyayangiku, sekalipun suatu saat akan membenciku” ucapku

Pelan tubuhnya merapat ke tubuhku. Kepalanya bersandar pada lenganku. Suasana menjadi hening kembali. Sebuah kata-kata yang pelan dan lembut terucap dari bibirnya.

“Terima kasih”

Aku tidak akan membenci wanita ini sekalipun sakit yang akan kurasakan. Aku akan selalu memandangnya seperti aku memandangnya sekarang. Ibu. Ibu yang mengajari semuanya. Karena rasa sayang bukan berarti harus membencinya walau pun sayang itu berubah. Paling tidak, tetap menganggapnya ada dan menyapanya selayaknya manusia sebagai makhluk sosial.

“Aku ngantuk” ucapnya. Dia bangkit dan merangkul leherku. Tak ada permintaan dari dia untuk menggendongnya. Tapi bahasa tubuhnya mengatakan dia tidak ingin berjalan ke kamar.

Dengan pelan aku menggendongya hingga ke dalam kamar. Ku rebahkan tubuhnya yang sudah tidak sadarkan diri itu. Ada senyum di wajahnya ketika dia terbang ke alam mimpi. Aku benar-benar tidak menyangka akan semua ini. Bertemu dengan orang-orang baru yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Sayang? Mungkin hanya sebatas itu saja kepada wanita ini. Mungkin tak lebih. Itu kata logikaku tapi aku tak tahu kata perasaanku. Ada sesuatu yang berbeda ketika dekat dengannya. Beberapa yang dekat denganku. Beberapa yang selalu membuatku gugup. Ah Desy, bagaimana kabarnya sekarang? Winda juga. Mereka berdua sudah baik kepadaku. Dini dan Dina, ah, aku tidak begitu mengerti mereka. Tapi mereka juga sudah baik kepadaku. Wanita, perempuan, sungguh misteri. Entah apa yang akan terjadi suatu saat nanti.

Aku beringsut dan duduk bersandar pada ranjang. Sedangkan Ainun tidur nyenyak di atas tempat tidur. Mataku lelah, biasanya aku masih bisa menahan. Mungkin karena pagi ini tak ada rokok yang menemaniku. Aku terlelap dalam lelah.
.
.
.

“Jagalah mereka yang sayang kepadamu dan sayangi mereka. Sesakit apapun yang kamu rasakan”

.
.
.

“Egh” Suara itu lagi. Suaranya lagi.

Aku terbangun tepat pukul 5 pagi, tapi tak kutemukan Ainun. Kurenggangkan tubuhku dan bangkit, keluar kamar. Kutemukan dia sedang menonton televisi. Pakaiannya lengkap, kerudung hijau, kaos hijau dan rok berwarna putih. Dengan dua gelas teh berada didepannya.

“Mandi dulu sayang” ucapnya, aku tersenyum memandangnya. Dia membalasku dengan snyumannya.

Segera ku membersihkan tubuhku. Kenapa aku bisa berada disini lama sekali. Tidak seharusnya terlalu lama. Mungkin aku harus segera pulang. Segera aku selesaikan mandiku dan keluar dari kamar mandi menuju ruang keluarga.

“Eh, itu pintunya kok dibuka?” tanyaku ketika duduk disampingnya. Dari ruang keluarga tempatku menonton TV terlihat pintu depan terbuka

“Kenapa? takut ketahuan?” tanyanya menyenggolkan lengannya ke lenganku. Aku mengangguk pelan.

“Hi hi hi... udah gak papa kali, yang penting kamu gak keluar. Mereka juga gak bakalan tahu. Just sit down beside me, okay? Kalau mau pulang ntar aja. Terus kalau mau merokok di halaman belakang. Tapi...” ucapnya terhenti, aku memandangnya

“Jangan deket-deket aku, gak suka bau rokok!” tegasnya

“Mungkin harus pulang” ucapku sambil memandang ke arah ruang tamu

“Disini saja” tegasnya, dengan tangan berpinggang menghadapku

“Lha aku ndak ganti pakaian?” ucapku

“Di almariku dah ada” ucapnya, sambil menunjuk arah kamar, sesaat kemudian pandangannya kembali ke TV

“Pakaian dalamku?” ucapku

“Ada semua” ucapnya, terlihat sangat cuek sekali denganku pagi ini

“Memangnya tahu ukurannya?” ucapku, ainun menoleh sesaat kearahku

“Arta, ainun kan kalau bangun lebih dulu daripada Arta. Jadi ainun tahu ukurannya. Teruuuus, ainun beli waktu pulang kuliah” jelasnya membuatku sedikit terkejut. Sampai segitunya ini cewek.

“Biar kalau mau ganti gampang, dah kamunya tetep disini. sampai dia pulang” ucapnya

“Hufth, ndak bisa ngrokok” lirihku

“Ada ya, cowok lebih memilih rokok ketimbang memilih cewek” ucapnya kesal, wajahnya juga tampak kesal. Aku menjadi gugup.

“Ya sudah, ngrokok dibelakang. 5 menit! Balik sini lagi” ucapnya

“Nih tehnya” lanjutnya sambil meyerahkan segelas teh kepadaku. Aku Cuma bisa senyum-senyum saja. Segera aku berdiri dan berjalan ke belakang rumah. Segera aku menyalakan rokokku. Benar-benar segar, seperti oase di padang pasir.

“Sudah lima menit!” teriaknya dari dalam

Sedikit tubuhku melompat ke atas ketika mendengar teriakannya dari dalam rumah. Tak kusangka dia akan berteriak sekeras itu. Padahal dari luar saja terlihat anggun dan kalem. Ditambah lagi, ini baru saja aku menyalakan kenapa sudah ada 5 menit. Segera saja aku hisap sekuat-kuatnya.

“Lima menit sudah lewat!” teriaknya sekali lagi. Membuatku semakin kencang menghisap. Setelah satu batang habis, segera aku minum teh segelas tadi. Aku bangkit dan kembali masuk kedalam rumah.

“Sikat gigi sekalian” ucapnya

Riibet banget kalau sama cewek ternyata. Benar-benar membuatku pusing. Mau dekat saja harus wangilah, bersihlah, inilah itulah. Apa semua cewek seperti itu ya? Kakak perempuanku juga seperti itu tidak suka bau rokok. Mungkin sebagian besar sangat besar, wanita tidak suka rokok.

Segera setelah aku selesai menghilangkan bau rokok. Aku kembali ke ruang keluarga. Duduk disampingnya dan menonton televisi bersamanya. Wajahnya sedikit cemberut ketika aku meliriknya. Entah karena apa dia cemberut.

“Kalau dekat sama cewek itu dipeluk! Bukannya dianggurin! Katanya sayang, tapi ih nyebelin” ucapnya tiba-tiba, ini kenapa cewek jadi judes kaya gini? Aku memandangnya sejenak. Di membuang muka. Aku menggeser dudukku ke belakang. Aku peluk tubuh kecilnya. Pelan tubuhnya bersandar pada tubuhku

“Emmhh.. anget” ucapannya kembali lembut. Matanya tertutup. Bibirnya sedikit berkilau karena efek lipstik yang dia pakai. Merah jambu warna yang pas pada bibirnya.

Aku tarik dagunya pelan. Matanya terbuka kembali memandangku. Aku sedikit menunduk. Entah keberanian darimana aku juga tidak tahu. Aku sentuhkan bibirku ke bibirnya. Tangannya kemudian meraih leherku dan menarik paksa hingga bibir kami bersatu. Lidahnya keluar masuk kedalam mulutku. Lidah kami bertemu. Kaku lidahku, namun melemah mengikuti setiap gerakan lidahnya. Tanganku bergeser, meremas pelan payudaranya. Tak ada penolakan, malah semakin panas ciuman kami berdua.

Bibir kami lepas dan kulihat senyuman di bibirnya. Dipeluknya tubuhku dan berbisik.

“Aku lagi dapet hi hi hi” tawanya membuatku sedikit bingung

“Dapet?” tanyaku

“Menstruasi sayang hi hi hi... maaf ya sayang, jangan nafsu lho” candanya.

Aku kembali tersenyum dan langsung mencium bibirnya lagi. Mau menstruasi atau tidak pun, bagiku bukan masalah. Yang penting aku bisa memeluknya. Kini aku lebih berani karena tak ada penolakan dari awal. Walau aku tahu yang aku lakukan salah tapi perasaanku mengatakan benar.

Dalam hangat kami berciuman. Lama kami berciuman hingga matanya menjadi sayu. Bibirnya menjauh dari bibirku. Nafasnya sedikit berat. Pelan dia kemudian memelukku.

“Aku lelah, aku ingin tidur” ucapnya pelan

“Kalau aku tertidur, Arta tutup pintu depan ya?” pintanya,

“He’em...”Jawabku

Selang beberapa saat dia tertidur, aku rabahkan di karpet depan TV. Aku bangkit dan menutup pintu serta menguncinya, dengan penuh waspada tentunya. Kembali aku ke ruang keluarga dan mengangkat tubuhnya untuk aku pindakan ke dalam kamar. Aku rebahkan tubuhnya di tempat tidur, tiba-tiba tangannya menarikku lembut.

Aku rebahkan tubuhku miring ke arahnya. Kembali kami berciuman. Terlihat senyum dibiir yang aku lumat. Tangannya mengelus lembut bagian belakang kepalaku. Matanya sayu, membuatku merasakan kehangatan darinya. Ketika bibirnya lepas, kepalanya beringsung kebawah. Masuk ke dalam pelukan, menempel didadaku. Alunan nafasnya semakin lama semakin teratur. Di terlelap dalam pelukanku.

Waktu masih pagi, tapi aku juga meraskan ngantuk. Lama aku memeluknya membuatku ikut tertidur bersama dengan kehangatan tubuhnya. Dalam lelah, aku memeluknya. Memeluknya erat. Hangat.

.
.
.
“Ughh....” aku merasakan ada yang membetet hidungku

“Akhirnya bangun juga...” ucapnya, tengkurap didadaku dengan kepala tepat di atasku. Tangannya langsung menutup mulutku ketika aku hendak menguap.

“Gak baik tahu, menguap gak ditutupi” ucapnya, tiba-tiba dia kembali memelukku. Kini aku telentang dengan seorang perempuan diatas dadaku

“Iiih, bangun” ucapnya sembari meraba selangkanganku

“Eh, jangan” ucapku

“Iya, iya... gitu aja marah” ucapnya, bangkit, menggeser tubuhnya duduk dipinggiran tempat tidur

“Ndak marah. Katanya dapat” godaku

“Egh, emang kalau dipegang harus dimasukan? Iiih, Arta mesum” ucap ainun, mentowel hidungku

“Eh, maaf” aku menyadari perubahan sikapku

“Sudah, jangan kaya gitu aku gak suka tahu. Jadi diri sendiri, jangan terlalu formal. Kalau sama aku saja, ya kamu milikku”

“Eits! Gak boleh nanya-nanya lebih, tinggal jawab iya, okay?” ucapnya, aku mengangguk. Dia tersenyum dan berdiri

“Air bening saja, jangan kebanyakan kopi sama teh, gak baik” ucapnya memandangku dengan senyuman indah dibibirnya. Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya. Dia duduk memandangku yang sedang meminum segelas air putih. Dia selalu tersenyum, senyumnya yang membuatku rindu.

“Tahun baru besok, aku bersama keluarga besarku akan kumpul” ucapnya. Setelah segelas air bening aku minum.

“Kalau kamu bagaimana? Jadi kan sama teman-temanmu?” tanyanya, aku mengangguk.

“Oh, sama yang tiga, eh empat ya sekarang” ucapnya, ketika aku memberikan gelas kepadanya.

“Iya..” jawabku singkat

“Cantik-cantik ya mereka?” tanyanya, aku memandangnya tapi wajahnya masih tersenyum. Aku merasakan sesuatu yang berbeda dari pertanyaannya.

“Kenapa? kamu pasti mikir aku cemburu ya?” tanyanya, aku mengangguk

“Emang, gak boleh?” tanyanya lagi

“Bo-boleh...” aku sedikit gugup

“Mau kamu sama siapa, ya yang penting. Awas kalau sampe lupa sama aku!” matanya mendelik, tangannya menubit pahaku

“Arrghh... iya, iya.. afthhhh... nuuuuun sudaaaaaah sakit” ucapku

“Hi hi, maaf” ucapnya. Aku menghela nafas panjang dan memandangnya sekali lagi.

“Sudah jangan kamu pikirkan, kamu pasti mikir yang enggak-enggak kan?” dia memandangku denan senyumannya

“Aku hanya berharap kamu menepati janji kamu. Bersamaku, hingga kami memiliki pendamping. ” ucapnya santai, tersenyum memandangku.

“Dan, posisiku sekarang memiliki suami. Jadi kalau kamu punya pacar, ya tetep harus sering jenguk aku. Dan... tanpa sepengetahuan pacar kamu” ucapnya datar, kemudian berbisik di telingaku untuk kata-kata terakhirnya. Aku memundurkan kepalaku dan memandangnya.

“Sudah, kamu santai saja. yang penting ketika kamu bertemu denganku, bersikaplah biasa. Tidak usah kam...” ucapnya terhenti tatkala mataku memandang tajam matanya

“Aku mainan?” tanyaku, dia menggeleng

“Terus?” lanjutku bertanya

“Aku tidak tahu Ar. Aku hanya ingin bersamamu. Itu saja. Kamu pasti berpikir aku mempermainkanmu, tapi... kalau kamu pergi dengan sangat cepat setelah ini. Aku yang tidak bisa menerimanya. Itu... pasti” jelasnya

“Aku cinta kamu. Kamu tidak perlu membalasnya, karena aku tidak mau masa mudamu hancur karena aku. Seperti teman-temanmu sebelumnya” Tubuhnya bergeser dan bersandar pada tubuhku

“Sayang, jika aku bisa berpisah dengannya. Aku pasti ada untuk kamu sekalipun kamu bersama dengan yang lain. Cemburu itu wajar. Aku bukan tante-tante yang akan mengekangmu, lagi pula aku tidak seperti tante-tante kan?” ucapnya

“Jadi diri kamu sendiri, dan jika ada sedikit waktu, temani aku” ucapnya

“Iya..” balasku. Yang sebenarnya aku bingung dengan semua yang terjadi.

Tubuhnya beringsut, kepalanya berada di pahaku. Kami saling berpandangan, wajahnya putih, senyumnya manis, ayu benar-benar ayu. Jari-jariku bermain-main di sekitar wajahnya, matanya kemudian terpejam dengan senyum dibibirnya. Lama sekali aku memainkan jariku di wajahnya, karena dia selalu mengatakan terus, dan terus memainkan jariku diwajahnya. Suka katanya, aku pun tak keberatan.

Selang beberapa saat ada telepon masuk di sematponnya. Dia bangkit dan mengambil sematponnya. Telepon dari suaminya. Setelahnya dia mengatakan kepadaku bahwa sore ini mereka akan pulang. Suaminya dan juga keluarganya. Aku segera bangkit dan berjalan ke ruang tamu. Kami kemudian duduk bersamadi ruang keluarga. Mengobrol sejenak dan kemudian pulang.

“Gak pamitan sama yang punya rumah?” tanyanya, aku menoleh kearahnya yang berjalan mendekatiku. Aku mengangguk pelan, membalikan tubuhku.

“Ya sudah hatmmmm...” aku memeluknya dan mencium bibirnya

“Sudah yang, bentar lagi dia pulang” ucapnya sembari memundurkan kepalanya

Bibirku kembali maju, tapi dia menghindar. Aku peluk tubuhnya lebih erat sehingga dia semakin dekat. Dia tersenyum, bibir kami kembali berciuman. Akhirnya, mau tidak mau aku harus segera pulang.

“Jika ada waktu, temani aku” ucapnya lirih, wajahnya tampak bahagia

“Pasti...” jawabku

Akhirnya aku berpisah dengannya, berjalan meninggalkan sebuah rumah tempat dimana rasa nyamanku berada. Langkahku tampak sedikit berat meninggalkan rumah itu, inikah yang dirasakan Justi dan Samo saat itu? sementarakah atau selamanya aku tidak tahu. Tepat aku melewati perempatan, hanya beberapa langkah, aku mendengar deru mobil melewati dibelakangku. Kini aku sangat membenci suara deru mobil itu.





---------------------
Aku tidak tahu, benar-benar tidak tahu kenapa aku sangat menyayangimu. Entah kenapa aku sangat mencintaimu. Entah kenapa kehadiranmu selalu aku harapkan. Matamu mengisyaratkan sebuah perlindungan, kehangatan tubuhmu memberikan aku kenyamanan. Ketika bersamamu, aku bisa menjadi diriku sendiri. Galak, manja, judes, itu semua yang dikatakan teman-teman kuliahku dulu ar, seandainya kamu tahu.

Bau keringatmu masih menempel di tempat tidur ini ar, tempat dimana awal kebahagiaanku sebagai seorang wanita. Aku dan kamu, belum pernah sama sekali mengikat janji. Bahkan aku tak ada kewajiban sekecilpun untuk memenuhi keinginanmu, tapi... ah, entahlah ar, seakan aku kini menjadi seorang wanita yang harus dan selalu menurut kepadamu. Kepada seorang lelaki yang bukan suamiku, dan itu adalah kamu sayang, Arta.

Arta Byantara Agasthya
 
Terakhir diubah:
I light a candle, In the garden of love
To blind the angels,Looking down from above
I want, I need, The fruit of your pine
It tastes so bitter sweet Cause I know it's not mine
I want to come inside

We act like strangers, When you're holding his hand
Cause there's a danger that we both understand
We run like thiefs, Through the temple of sin
Till we fall on our knees then you go back to him
I want to feel alive

Hit the lights
And I'll come crawling to your window tonight
Come on and send the sign
I'll be your dirty little secret and you'll be mine
You got me knock knock knocking at your door
And I'll be coming back for more
We made a promise and we keep it
Our dirty little secret

Mungkin memang benar. Ini adalah rahasia kecil kita. Rahasia kecil, sangat kecil dan aku tak ingin semua orang mengetahuinya. Karena isi hatiku tak ingin ada yang mengetahui. kecuali kamu Ar, Arta. Aku hanya ingin kamu yang mengetahui isi hatiku dan aku hanya ingin kamu yang mengisinya.
 
:suhu:...Akhirnya suhu DH update juga...

Sekian lama menunggu tak sia sia...
Ceritanya apik selalu mengena..
Mengalir indah apa adanya..
Membuat aku mudah memahaminya..

Kadang merasa penasaran..
Siapakah dia gerangan..
Si penulis master of roman..
Sungguh menyentuh perasaan..​

Adakah dia laki laki nan rupawan..
Ataukah perempuan nan menawan..
Tapi satu yang tidak kuharapkan..
Semoga bukan laki laki yang kemayu'an..
.......:bata:

Mantaplah suhu cerita....:jempol:

Yachhhhh...Ane komen buat scene yang pertama...malah ada susulan ternyata...
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd