Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[CHALLENGE] Friend or Fiend

Bimabet
Hrrrrrrrrrrr ceyem om ceritanya
Tp penasaran xixixiix
Naya ya naya bisa bagi om biar aq yg pecah kelapanya xixixi
 
kepada suhu mega..

tolong kirim alamat lengkap.

so,nanti midnit kita tau musti kemana nyari om mega kalo ketiduran..

sengamat suhu.
 
#KopiForMegatron21 :banzai: :banzai: biar om mega kagak ketiduran lagi :pandajahat:
 
kepada suhu mega..

tolong kirim alamat lengkap.

so,nanti midnit kita tau musti kemana nyari om mega kalo ketiduran..

sengamat suhu.

Ancaman terror...:aduh:
 
cuma mo bilang, 2 jam 19 menit lagi.. :ngupil:
 
Naah...:ogah:
Uda minum kopi koq...

Btw, 1jam 18menit lagi...
:banzai:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
anjriittt....INDObangSAT ada gangguan... Sorry guys... Baru bisa OL nih... Bntar ya, copy paste dulu
 
Chapter 5 – Friend or Fiend - updated 24/10/14


krvavi-mjesec.jpg



~** 5 **~





POV Reni......



“J-jangan...... A-ampunn.... Ren...Ampun...” begitulah racauan yang keluar dari mulut Tomi ketika aku menampakkan diri di hadapannya. Saat itu Tomi sedang ada di rumahnya yang megah, sendirian. Ia baru saja melakukan hubungan sex dengan kekasihnya beberapa jam lalu.


“Ampun?? Hi..hi..hi..”
Aku menyuguhkan sebuah pemandangan sama persis dengan keadaan mayatku saat Tomi membunuhku.


“Lepas...Lepaaaaassss...AAAAaaaaakkhhhh....” Tomi meronta-ronta saat aku melemparkan kepalaku ke pangkuannya. Ia tergopoh-gopoh merangkak mundur saat berusaha menjauh.
“Akkkhhh...Akkkhhh........ enak banget kontol lo Tom...Akkkkhhhh...terus....” ucapku.


Wajahnya pucat pasi.
Aku yakin sekali ia hafal dengan kalimat itu. keringat dingin mulai terlihat membasahi leher dan dahinya.
Jerit putus asa dan rajukan memohon itu membuatku semakin bersemangat.


Pembalasan bagiku harus selalu lebih kejam.
Sebelum membunuhnya, aku ingin bermain-main dengan rasa takutnya.
Aku melompat maju ke arah Tomi. Dengan jari-jari tangan berkuku tajam, kulucuti seluruh pakaian yang menempel di tubuhnya.


”Breeekk....breeekkk...”


“UUAAAAHHH......AAAAAKKKHHH.....AAAKKKKHHH”
Ia meronta, memekik, menjerit, dan memohon kepadaku. Tubuhnya kini penuh dengan luka sayatan karena bercengkerama dengan jemariku yang berkuku tajam seperti serigala.


“Mmmmhhh.... belum Tom.... Belum” aku kini membelalakkan mata lebar lebar dan menatapnya dengan tajam. Dengan sekejap tatapan mata, kubuat tubuhnya kaku tak bergerak. Ia kini terbaring kaku tak berdaya. Menunggu, saat dimana ajal akan menjemputnya dengan kejam.


“Tom.... Mmmmhhh..... gue kangen sama kontol lo” ucap kepalaku yang kuletakkan di atas dada Tomi. Bibir Tomi bergetar hebat, air mata mulai menetes dari sudut matanya hingga mengalir ke telinganya.


Kini aku menampakkan tubuhku yang tanpa busana degan leher yang terpotong bersimbah darah. Aku menindihnya, menyebarkan rasa takut ke seluruh tubuhnya.
“lo suka ini kan Tom..... Hmmmmhhh??” kusodorkan puting susuku ke arah bibirnya yang mengatup.


Ia meronta, berusaha menghindar dari puting susuku yang berlumuran darah.
Namun bukan Reni namaku jika tak mampu memaksanya. Dengan sebuah jentikan jari, sebuah asbak yang tergeletak di atas meja kulesatkan ke arah dahinya.


”Duaggg......”


“AA- Aaaa-aaaakkhh..” Tomi memekik spontan saat luka di dahinya mulai berdarah. Saat itulah mulutnya terbuka lebar dan kujejali dengan puting susuku.


“MmmmmhhhHH.... ayo hisap Tom... gigit.... bukanya lo selalu suka sama toket gue?”
Puas sekali rasanya aku menyiksa batin Tomi. Ia kini begitu ketakutan hingga kurasakan penisnya menyemburkan air kencing. Hahaha, ia ngompol seperti bocah.


“Ihhh... kok udah nyemprot Tom... gue belom apa-apa nih.........” kepalaku di atas dadanya tersenyum sinis.
Dari puting susuku kini kubuat aliran darah yang terus mengucur deras.
“Hoookkhh...ohhhookkkhh...uudaaaa..oohhookk ampun....” Tomi meronta, rasa takutnya kini memuncak. Aliran darah yang mengucur deras itu membasahi wajahnya dan menyulitkan ia bernapas.


“Minum Tom.... ayo.... jangan malu-malu.....” kepalaku kini kupindahkan, dan kuletakkan di atas selangkangan Tomi, tepat di depan penisnya yang masih terkulai lemas.


Perlahan kepalaku mulai menjilat-jilat testisnya, berlanjut ke batangnya yang mulai mengeras dan berujung pada kuluman brutal pada ujung penisnya.


“Glek....glekk...glek....Ohhooookkk.....glekk....”
Merasa tak bisa menolak, Tomi akhirnya meminum darah yang mengucur dari puting susuku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana ngerinya berada dalam posisi Tomi sekarang.
“enak Tom.....?? mau coba yang ini??” kulepaskan puting susuku, dan kudekatkan leherku yang terputus ke mulut Tomi. Kini, darah itu kualirkan dari lubang tenggorokanku dan tepat mengucur ke mulutnya. Ia semakin gelagapan, Tomi menggeleng-gelengkan wajahnya, berusaha menghindari kucuran darah itu agar ia dapat bernapas.


Di bawah sana, penis Tomi sudah kutaklukkan sepenuhnya.
Penis itu mengeras dan mengacung tegak berdiri dengan kepalaku bertengger di ujung kepala penis itu.
Mulutku di sana terus menghisap penisnya dengan kuat. Sesekali, aku menggigit batang penis itu. Aku tahu, Tomi sangat benci jika penisnya terkena gigi saat sedang di oral.


Ahh, menyenangkan sekali. Tapi sayang, aku tidak bisa berlama-lama. Kekuatan rohku akan segera menipis jika aku terlalu lama bermain-main dengan ketakutannya.
Saatnya hidangan utama....!!


Kepalaku yang tersangkut di ujung penis Tomi, kini kulepaskan.
Aku memundurkan tubuhku, mendekatkan penis Tomi ke lubang vaginaku.
“MmmmhhhHH... gue udah kangen banget sama kontol yang satu ini...” gumamku.


Dengan sekali tekan kumasukkan penis Tomi ke dalam vaginaku.
Vagina, yang sudah kubumbui dengan gigi taring tajam di setiap sisinya.


“AAAAAAaaaaaaaaaaaarrrggghh....” Tomi memekik.
“Lohh... kenapa Tom? Apa memek gue makin enak dengan ditambah gigi taring?”


Tomi meringis kesakitan. Matanya ia katupkan erat-erat. Aku tahu ia menderita, dan aku senang karenanya. Aku tidak akan puas sebelum Tomi menyadari, bahwa kematian akan jauh lebih menyenangkan.


Namun kendati ia terus meronta, penis yang sudah mengeras itu tak akan mampu menolak lubang neraka di bawah sana. Dengan cepat aku menggerakkan tubuhku naik turun di pangkuan Tomi. Ia menjerit sejadi-jadinya. Ia akan tahu, seperti apa sakitnya seorang perawan saat pertama kali melakukan persenggamaan. Dengan ini, kuharap ia melupakan niat untuk memerawani Naya.


Belum puas sampai di situ.
Aku masih ingin menorehkan ingatan mengerikan di batin Tomi. Kuraih kepalaku dan kudekatkan ke arah wajah Tomi. Kutekan kepalaku keras-keras agar bibir kami menyatu.


‘Oohhh..... manisnya pembalasan dendam’ batinku.
Melihat air mata semakin deras mengalir di pipinya, aku merasa sudah cukup membuatnya menderita.
Dengan sedikit hentakan pada otot vaginaku, aku memotong penis Tomi. Ini akan jadi sebuah kenangan pahit di penghujung usianya.


“AAAAAAAAAARRRRRRGGHHH.....” ia menjerit. Air mata kembali mengalir deras dari sudut matanya.
Raut wajah penuh penderitaan itu tercetak jelas. Mata Tomi yang seakan ingin melompat dari tempatnya bersembunyi tak akan berbohong. Sorot mata itu benar-benar menyiratkan sebuah ketakutan dan putus asa.
Kini saatnya membalas Tomi dengan hal serupa.


”Ctek....” aku menjentikkan jari.


“lo ingat ini Tom??”
Dengan sihir, aku membuat sebuah golok bersimbah darah muncul di udara.
Mata Tomi memandang ngeri saat ia melihat golok itu. benda itulah yang memisahkan kepala dari tubuhku. Dan kini, benda yang sama akan membalaskan dendamku.
“Hi....Hi....Hi.....HI....HI....HI” aku tertawa puas melihat mata Tomi yang kini terbelalak ngeri.


”Zraaaaakkk.......”
Dengan sekali hujaman, kepala Tomi terlepas dari tubuhnya.


’Aku menang....’ gumamku.


Nikmatnya sebuah pembalasan. Sejenak, aku masih terdiam di sana meresapi indahnya warna merah tua yang mengalir dari lehernya, dan membasahi lantai ruangan ini. Tapi, kesenanganku nampaknya terusik oleh sebuah gejala aneh yang tiba-tiba terjadi.


’Loh?? Ada apa ini?’ batinku. Sungguh, kejadian aneh ini benar-benar diluar rencanaku.


Tubuh Tomi terbakar hebat dan berubah menjadi abu seketika. Sesaat aku tertegun. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ia mati dengan cara yang aneh. Tapi akhirnya aku tidak ambil pusing, dendamku sudah terbalas, dan aku sudah melindungi keperawanan Naya dari tangan Tomi. Aku kini bisa tenang, seharusnya...... bisa tenang.


***​


Satu minggu berlalu sejak kematian Tomi.
Namun, rohku belum juga meninggalkan dunia. Aku merasa, sepertinya ada yang tidak beres. Ini tidak masuk akal, akhirnya kuputuskan untuk mengawasi gerak-gerik Naya. Aku curiga, jangan-jangan proses kematian itu tidak sempurna.


Ternyata firasatku benar. Tomi belum mati sepenuhnya.
Jiwa Tomi berkelana bebas, ia kini justru sudah sangat dekat dengan Naya, bahkan sudah berkomunikasi.


Tomi yang sudah menjadi setengah roh masih mengincar diri Naya. Sepertinya, sebelum ia mati, Tomi telah bersumpah untuk menyelesaikan keinginannya. Dengan mata rohku, aku melihat dengan jelas bagaimana Tomi sudah merasuki diri Naya dan berdiam di dalamnya. Dengan campur tangan Tomi, perasaan Naya menjadi was-was jika aku berada terlalu dekat mereka. Dengan kekuatannya, ia berhasil menanamkan ilusi di pikiran Naya.


Bagaimana ini, jika tidak melenyapkannya, aku tidak akan bisa pergi ke akhirat.
Kekuatan rohku kini semakin menipis, aku harus mengumpulkan tenaga terlebih dahulu untuk mengantarkan jiwa Tomi ke neraka selamanya.


Hingga tadi sore, pengaruh jiwa Tomi sudah sedemikian kuat. Ia berhasil mengontrol sedikit bagian tubuh Naya, yang berujung pada tumpahnya minuman yang sedang ia sajikan. Imbasnya, Naya di pecat.


Saat itu...
Dapat kulihat dengan jelas raut wajah sesosok pria yang sungguh mirip seekor babi. Pria itu menghardik Naya dengan kata-katanya yang kotor.
Naya berusaha menjelaskan dengan terbata-bata, namun saat Naya mencoba bicara, babi itu segera memotong ucapannya.


Aku, yang tak terima Naya diperlakukan seperti itu, tak akan tinggal diam.
Aku tahu betul seperti apa jalan pikiran si-babi. Aku bisa membaca pikirannya dengan jelas.
Ia adalah seorang yang tamak tentang apapun...APAPUN. Ia bahkan memanfaatkan sekertarisnya yang begitu membutuhkan pekerjaan, dengan memaksanya berhubungan intim.


’Bajingan ini tidak bisa dibiarkan....’ batinku.
Aku berpikir sejenak. Aku bisa saja membunuhnya dengan mudah, namun jika aku sampai salah perhitungan, maka jiwa si-babi akan berkelana seperti halnya Tomi.


Ahhh ya, aku tahu bagaimana caranya.
’Huh....akan kubuat orang lain membunuhnya....Hi...hi...hi...hi...hi’


POV Naya
*******


Segala hal yang diceritakan Reni telah menjawab semua pertanyaanku.
Namun aku kini tak bisa berpikir jernih. Apa yang harus kulakukan untuk menanggapi semua ini. Terlebih, Reni telah melenyapkan nyawa manager RichTaste. Aku tidak bisa percaya begitu saja bahwa Reni masih sahabatku, Reni yang dulu kukenal.


“Ren....?” tanyaku.
Sejenak kupandangi raut wajah Tomi yang sekarat, ia hampir menjemput ajalnya dalam cekikan Reni.
“Ya Nay?” jawabnya. Ia memandangku dengan tatapan teduh seperti biasa.


“Kenapa lo lakuin semua ini Ren? Lo udah bunuh seseorang....”
“Kenapa?” Reni bertanya balik. Ia nampak tidak puas dengan kata-kataku yang mempertanyakan sikapnya.


“Gue sayang sama lo Nay.... gue gak akan biarin siapa pun nyakitin lo....”
Aku menarik napas sejenak. Ohh Tuhan, bantu aku berpikir jernih.
Tatapan mata Reni berubah sendu saat mengucapkan kalimat itu. Aku tidak bisa lagi mempertanyakan sikapnya, karena jika aku ada dalam posisinya, mungkin aku akan melakukan hal yang sama, bahkan lebih kejam.


“Apa yang bisa gue lakuin?” tanyaku “maksud gue, apa gak ada cara lain buat mengakhiri ini semua? Gue nggak mau lo jadi seperti ini Ren.... gue gak mau...” kata-kata itu terucap begitu saja dalam rasa putus asaku.
Mataku memandang wajah Reni dengan berkaca-kaca. Cahaya bulan yang menerangi kami sesekali tertutup awan. Dalam gelap, dapat kulihat mata Reni berpendar keunguan. Sangat berbeda dengan warna merah menyala yang kulihat sebelumnya.


“Nggak.... gue gak bisa ngebiarin si-bangsat ini ngedapetin apa yang dia mau...” ucap Reni seraya kembali memandangi wajah Tomi.
“Trus? Apa dengan begini dia bakal berhenti gangguin gue? Apa dengan dia mati, dia akan hilang dari hidup gue?” tanyaku.


Reni diam sejenak, ia tak langsung menjawab. Sepertinya ia ragu, karena yang saat ini kulihat, Reni menundukkan wajahnya.
“Ada dua kemungkinan Nay.... gue juga nggak tau pasti mana yang bakal terjadi” jawab Reni.


Telingaku kini meningkatkan kewaspadaannya. Aku ingin mendengar segala kemungkinan yang disampaikan Reni dengan baik.


“Pertama, setelah gue bunuh setengah raganya untuk kedua kali, dia bakal bener-bener mati dan jadi roh.... sama kayak gue, lalu pergi ke neraka” lanjutnya. “Yang kedua, rohnya gak bakal tenang dan tetep ngehantuin lo”


Mataku terbelalak mendengar kemungkinan kedua yang dikatakan oleh Reni.
“A-apa.... nggak... gue gak mau Ren... gue gak mau” jawabku seraya menggelengkan kepala.
Aku sudah muak dengan keadaan ini. Aku tak ingin lagi berurusan dengan Tomi. “Trus gimana Ren....please... kasi gue pilihan...”


“Nggak Nay.... lo ga boleh nurutin apa maunya, gue gak akan birain dia nyentuh badan lo” jawab Reni.
“Lo terlalu berharga buat gue Nay... gue gak akan ngebiarin dia merawanin lo” lanjutnya.


“A-apa cuma itu pilihannya? Apa cuma dengan ngebiarin dia merawanin gue?”
“Jujur.... gue berharap ada pilihan lain....” jawabnya.


“Tapi lo yakin kan? Dia gak akan ganggu gue lagi kan?”
“Sorry Nay, gue nggak tau kalo soal itu. Kemungkinannya gak terbatas. Yang gue tau, lo udah berhutang sama dia... dan hutang sama roh itu berbahaya Nay”


“huk... uhuk.... cepet bunuh gue Ren... Dengan begitu.... k-kita bisa setara, lo ga akan bisa nge..halangin gue lagi.. huk... uhuk...” Tomi tertawa sinis. “lo tau betul, roh gak akan.... bi-bisa.... pergi ke akhirat sebelum.... keinginannya terpenuhi”


“JANGAN BANYAK OMONG LO ANJING......” Reni menyentak, sorot matanya yang tajam semakin berpendar keunguan.
Namun kurasa kata-kata itu hanyalah luapan emosi Reni semata, karena kulihat, dia sama sekali tidak memperkuat cekikannya.


Aku kini berada dalam persimpangan jalan yang tak bisa kupilih.
Di satu sisi, aku ingin terlepas dari Tomi selamanya. Tapi di lain sisi, aku tidak bisa merelakan keperawananku untuknya.


Berpikir sejenak dalam diam, aku menundukkan kepalaku. Aku harus membuat keputusan. Ya, satu keputusan yang terbaik bagi semuanya.
“Ren... biarin dia dapet apa yang dia mau” ucapku.


Mendengar ucapanku barusan, Reni sontak menoleh ke arahku.
“A-apa?? Nay..... lo jangan bodoh..... keperawanan lo jauh lebih berharga”
“Trus gue punya pilihan apa lagi Ren?? Gue udah berhutang sama dia, dan gue gak mau terus di hantuin kayak gini... gue mau bebas Ren... dan gue gak mau ngebebanin lo lagi.... lo udah cukup menderita karena gue.... karena keegoisan gue...”


Reni memandang lekat-lekat ke arah mataku.
Ia ingin menangis, namun air mata sudah tak mungkin mengembalikan semuanya.


“Nay....” Reni seakan membujuk diriku untuk berpikir kembali.
“Ren, anggap aja gue nurutin saran lo. Gara-gara gue, lo sampe terbunuh.. gue gak mau lagi kalo lo harus nanggung semuanya karena keegoisan gue. Lepasin dia Ren, biar dia dapetin apa yang dia mau dan lo bisa tenang” Aku telah membulatkan tekad. Mungkin inilah saatnya aku melepas sebuah kesucian demi seorang sahabat. Terlebih, aku ingin Reni juga mendapat ketenangan karena aku telah ikhlas merelakan kesucianku direnggut.


Reni memandang bengis ke arah wajah Tomi yang tersenyum tipis dalam cekikannya.
Bibir Reni gemetar. Ia tau, bahwa tidak ada gunanya menahan keinginanku. Sementara itu, Tomi terus tersenyum mendengar kata-kata yang telah kuucapkan.


Tomi menang...


Dengan geram, Reni melempar tubuh Tomi menjauh.
Tubuh Tomi melayang di udara. Sisa-sisa kekuatan roh miliknya sudah merasuk kembali ke dalam raga fana itu. Tubuh Tomi yang melayang di udara malam, berpendar merah sesaat sebelum ia turun dengan perlahan.


“Hehehe... keputusan yang bagus cantik...” ucap Tomi seraya menjejakkan kaki di lantai atap.
Senyum penuh kemenangan tersungging di bibirnya. Ya, rencana yang di disusun oleh Tomi berjalan lancar.


Wajah Reni berubah makin beringas.
“GUE INGETIN LO TOM..... BERANI LO MAIN KASAR SAMA NAYA........” Reni mengacungkan jari telunjuknya ke arah Tomi.
“Terus kenapa? Lo mau bunuh gue Ren? Silahkan.... so what” Tomi merentangkan kedua tangannya, seakan mempersilahkan Reni untuk mencabik tubuh fana itu.


“Ren, cukup.... ini semua salah gue” aku menoleh sesaat ke arah Tomi. Ia masih berdiri di sana dengan tangan terentang serta sebuah senyum licik yang berpadu dengan sorot matanya yang menyala merah.
“Lakukan apa yang lo mau Tom... gue bakal bayar hutang gue sekarang”


“Huhuhu.... seperti yang gue prediksi. Lo pasti bakal bayar hutang lo”
Tomi berjalan mendekat. Tubuh manusianya mulai berubah bentuk. Bulu-bulu hitam tumbuh di sekujur tubuhnya menggantikan busana yang membalut tubuh itu. Otot dada dan lengannya membesar. Aku menelan ludah sejenak, membayangkan apa yang akan terjadi jika tubuh mengerikan itu menyetubuhiku. “Lo.... milik gue sekarang...” suara Tomi berubah parau.


“R-Ren.. D-dia.......” ucapku terbata-bata. Aku kini bergidik ngeri.
“Ya... jiwa di sana itu, adalah manifestasi pikiran jahat Tomi. Gue juga bisa berubah kayak gitu kalo gue lagi punya niat jahat” jawab Reni.


Sebuah perasaan berdesir hinggap di sekujur tubuhku.
Tomi yang sudah berdiri di hadapanku, kini mengusap pipi kananku dengan tangannya yang berbulu. Ia mendekatkan wajahnya memandangku lekat-lekat dari berbagai sisi.


“Mmmhh... benar-benar barang bagus” gumamnya.
Kurasakan dengan jelas hembusan napasnya yang panas menerpa daun telingaku. Tanganku kukepalkan erat-erat. Aku kini sangat takut, benar-benar takut. Tak pernah terbayang dalam hidupku, jika suatu saat keperawananku akan direnggut oleh sesosok makhluk mengerikan.


“Nay... tenang, gue ada di sini” Reni merangkulkan kedua tangannya di pinggangku. Ia memeluk dan merapatkan tubuhku padanya. “Ini bakal sedikit sakit, tapi gue pastiin dia gak akan nyakitin lu lebih jauh”


Pelukan Reni membuatku sedikit tenang, payudaranya yang lembut kini menopang punggungku.
Reni menuntunku untuk merebahkan diri di lantai atap, dan mulai membantuku untuk melepaskan busana. Punggungku kini dapat merasakan debu kerikil kasar yang menempel di sana. Butiran pasir dan debu kini menempel pada punggung dan bokongku.


Aku mengerling sejenak, memandang ke arah sosok mengerikan Tomi.
Pandanganku terarah tepat di selangkangannya. Di mana sebuah penis hitam besar berdiri tegak.


”Glek....” aku menelan ludah.


Reni meraih pipiku, lalu memalingkan wajahku agar berhadapan dengan wajahnya.
“Sssst... jangan dilihat Nay, lo pandang aja wajah gue” ucap Reni. Pandangan matanya begitu sayu. Reni kini meletakkan pundakku di pangkuannya. Jemari Reni yang lembut kembali membelai pipiku. “Gue sayang banget sama lo Nay...” ia berkata lirih, sedetik kemudian sebuah cairan perak membasahi pipinya.


Mendengar ucapannya, air mataku kembali mengalir.
Rasa haru menyelimuti perasaanku. Entahlah apakah Reni merasakan hal yang sama. Berada dalam keadaan seperti itu aku hanya mampu berkata “Ren... maaf, gara-gara gue...”


”Cuuupp...”
Reni memotong ucapanku dengan sebuah kecupan. Bibirnya membungkam suaraku hingga aku tak mampu berkata-kata.


Mendapat perlakuan penuh kasih dari Reni, vaginaku mulai dibanjiri cairan kenikmatan. Reni tahu akan hal itu, dan ia akan melakukan apapun agar membuat cairan itu semakin membanjir. Dengan lembut ia membelai payudaraku agar vaginaku semakin licin.


“Wah... mengharukan sekali....” ucap Tomi dengan senyum sinisnya. “Saatnya hidangan utama.... bukan gitu Ren??” ucapnya pada Reni. Reni tidak menggubris, ia tahu, tak ada gunanya menanggapi ucapan Tomi.
Perlahan Tomi menyibak kedua pahaku ke samping. Vaginaku yang kemerahan kini dapat ia lihat dengan leluasa. “Mmmmmhh... sayang kalo memek bagus gini gak di nikmatin dulu”


Aku sudah tak ingin melihat apa yang akan dilakukan Tomi terhadap tubuhku. Aku sudah tidak peduli.
Anganku kini dipenuhi oleh bayangan Reni, seorang sahabat yang setia bersamaku bahkan setelah ia mati.


”Sluuuurrpppp....”


“Mmmmhhhh....” aku melenguh mesra dengan bibir yang masih menyatu dengan bibir Reni.
Di selangkanganku, aku merasakan sebuah sapuan lidah dingin yang menelusuri tiap lipatan vaginaku.
Mataku terpejam. Yang kubayangkan saat ini adalah Reni, sedang mengoralku di sana.


“Mmmmhh.....Mmmhhh....” aku kembali melenguh.
Kenikmatan itu kurasakan dari jemari Reni yang memilin puting susuku.
“Aaaaakkhh.. Rennnn.....” aku kini bisa bebas meracau saat Reni melepaskan pagutan kami. Ia merebahkan diri dengan tetap menjadikan pahanya sebagai bantal untuk kepalaku. Kuraih leher Reni dan kudekatkan kepalanya ke payudaraku.


”Sluurppp...”
Reni mulai bermain dengan lidahnya. Puting susuku yang mengacung keras tak luput dari jilatan dan kulumannya.


’Ohhh god..... aakkhhh nikmat’


“AAAAaaaaakkkhh..... MMmmmmhhh....” aku meracau.
Otot-otot vaginaku mulai berkedut. Sensasi nikmat pada jilatan Tomi di klitorisku membuatku melayang.
Hasratku semakin menggebu. Denyutan itu kurasakan semakin kuat sebelum aku melenguh panjang.


“Ooooooohhhhhhhhh......”
Cairan kenikmatan itu menyembur deras. Tomi yang masih membenamkan wajahnya di sana tampak begitu puas karena berhasil menghantarkanku menuju orgasme yang pertama. Bak seorang yang kelaparan ia menjilati cairan vaginaku dan menelannya.


“Hehehehe..... nikmat banget... perfect” gumam Tomi.
Tubuhnya yang hitam berbulu, kini bangkit. Ia mengarahkan kepala penisnya mendekat ke lubang vaginaku, lalu menekannya perlahan.


“Aakkhhh....saaakit....” aku memekik pelan saat kepala penis berdiameter enam sentimeter itu membelah lubang perawanku. Saat itu Reni mengerling ke arah Tomi. Pandangan matanya tajam mengancam, seakan memperingatkan Tomi untuk tidak berlaku kasar.


Perih...
Ya, hanya itu yang kurasakan. Aku tidak pernah membayangkan bahwa ritual melepaskan keperawanan bisa begitu menyakitkan. Yang kutahu, hanyalah racauan dan desahan penuh nikmat yang dipertontonkan pada artis film panas dalam tiap adegannya.


“Okay...okay... kita main halus ya sayang... Mmmhh....” Tomi kembali menyuguhkan senyum memuakkan. Ia memandangku sejenak, menikmati lekuk tubuhku dengan matanya. Raut wajahku yang tenggelam dalam kenikmatan semakin membuat hasratnya menggebu.


Perlahan-lahan, Tomi kembali menusukkan batang kejantanannya ke dalam vaginaku.
Dapat kurasakan dengan jelas rasa tersayat yang datang silih berganti. Selaput daraku telah robek, kehormatanku telah direnggut. Kini aku telah resmi menyandang status tidak perawan.


“HHhhggggghhh....” aku mengejan menahan perih, saat penis Tomi kembali menyeruak masuk semakin dalam hingga tenggelam sepenuhnya di dalam vaginaku. Aku tidak bisa terus berdiam, aku harus mengalihkan perhatianku pada sesuatu.


Saat itulah aku sadar bahwa vagina Reni berada tepat di hadapanku.
Aku tersenyum sejenak sebelum mendekatkan wajah ke vagina miliknya. Gaun putih transparan yang ia kenakan kusibak dengan mudah, lalu aku mulai memainkan peranku.


“Ooouuuhh...Nayy....Mmmmhh....”
Reni mulai menggeliang saat sapuan lidahku merayap di lipatan vaginanya.
Sebelah tangannya kini membelai rambutku dengan lembut.


Aku sangat menyayangi Reni seperti saudaraku sendiri.
Mungkin jika tragedi ini telah berakhir, aku tak akan lagi melihat sosoknya. Kuanggap ini sebagai ucapan perpisahan terakhir sebelum Reni benar-benar pergi untuk selamanya.


Menyadari kemungkinan itu, air mataku kembali menetes.
Sahabat macam apa aku ini. Di saat Reni mengorbankan nyawanya untuk melindungiku, aku justru tak bisa melakukan apapun untuk dirinya. Aku hanya berharap, pengorbanan ini bisa membawa jiwa Reni untuk tenang di alam sana.


“Uuuugghhhh.....Aaaakkhhh...”
Rasa sakit pada liang vaginaku semakin menjadi-jadi saat Tomi mulai menggoyangkan pinggulnya maju-mundur. Vaginaku terasa begitu sesak menerima penisnya yang besar dan mengacung keras.


“Aaaakkhhh... gilaaa... enak banget memek lo Nay....” Tomi mulai meracau.
Ia memegangi pinggangku seraya tetap menggenjot dengan tempo pelan.


Reni kembali mengulum puting susuku.
Berharap rangsangan itu sedikit mengobati rasa sakit yang kurasakan.
Yah, itu sangat membantu. Rangsangan nikmat itu sedikit membuatku lupa tentang betapa sakit vaginaku saat ini.


“Aaaaaahhhh...MMmmmhh........Ahhhhhhh...Ahhhh...Ahhh..Ahhh..Ahhh..” aku melenguh berulang kali. Suara itu menggema di kegelapan malam.
Tomi mulai mempercepat tempo permainan. Dari sorot matanya aku dapat menilai bahwa ia sangat menikmati jepitan vaginaku yang masih sangat sempit.


“Yeess.... Ahhhh... Holy shit.... emang bener-bener gak ada tandingannya, memek perawan....”
Aku dan Reni tak menggubris ucapan Tomi. Kami berdua menenggelamkan diri pada permainan kami.
Reni sudah hanyut dalam fantasinya. Sementara aku sedang membayangkan Reni menusuk-nusuk vaginaku dengan dildo vibrator miliknya.


“Ren..... terus tancep Ren.... Aaahhh....”
Rasa sakit pada rongga vaginaku mulai memudar. Aku mulai menikmati permainan ini.
Hasratku akan sebuah penis yang menyeruak ke dalam vaginaku telah tercapai. Kendati penis itu berasal dari sesosok mengerikan di hadapanku, aku tak mempedulikannya. Bagiku, permainan ini adalah permainanku bersama Reni, dan keperawanan ini kupersembahkan untuk Reni seorang. Keberadaan Tomi di sana hanyalah sebagai pemeran figuran, hanya sebuah pion yang tak berarti dalam papan permainan catur.


”Slepp...Slepp...Slepp...”
Tomi mulai bermain dalam tempo cepat. Penis hitam itu menghujam liang vaginaku semakin dalam.
Gerakan tubuh fana miliknya membuat tubuhku bergoyang-goyang. Pinggangku yang masih bersentuhan dengan lantai atap kasar semakin membuat hasratku meninggi. Entah masokis atau bukan, aku cukup menikmati penderitaan ini.


“Nnnngghhh...Nnnnnngghhhhh....AaaaaahhhhHHHH...”
Aku melenguh panjang saat cairan vaginaku menyembur dari sela penis Tomi. Darah perawanku meleleh di sana bersama cairan bening yang menetes di lantai atap.


“Ohh..... udah nyampe duluan ternyata... hahaha...” Tomi tertawa sinis.
Penisnya masih terus bergerak di dalam liang vaginaku, kendati aku kini megap-megap saat berusaha mengambil napas.


Aku yang baru saja mengalami orgasme cukup hebat tak mampu menahan hujaman yang terus kuterima. Reni tau akan hal itu. Dengan sebelah tangan ia mendorong Tomi menjauh untuk melepaskan penisnya.


”Plop...” penis Tomi terlepas.
Akhirnya, untuk beberapa detik aku bisa menikmati orgasme kedua yang kurasakan.


“Ehh... apa-apaan nih?” hardik Tomi.
“Jangan macem-macem lo...” Reni mengarahkan telunjuknya ke wajah Tomi. “Biarin Naya istirahat dulu bajingan...”


Melihat Reni yang terbakar amarah, aku segera menarik lengannya untuk merebah di sampingku.
“N-Nay....??” ucapnya saat memandangku dengan raut wajah kebingungan.


Tubuh Reni sudah terbaring bersamaku di lantai atap.
Dengan sebelah tangan aku menyibak gaun putih yang membalut tubuhnya hingga payudara Reni menyembul di hadapanku.


“Ren.... gue sayang sama lo” ucapku seraya menindih dan mengulum puting payudaranya.
Aku tak dapat melihat raut wajah Reni saat itu. Namun dari jemarinya yang bergetar saat membelai rambutku mesra, dapat kusimpulkan bahwa Reni sedang menahan tangis.


“Cepet selesaiin mau lu Tom... dan tinggalin gue selamanya” ucapku tanpa menoleh ke arah Tomi.
Pinggul dan bokongku sudah terangkat ke atas. Aku bersujud di atas tubuh Reni dan kembali menatap matanya. “Ren.... gue gak mau berpisah dari lo..” ucapku saat itu.


Reni hanya tersenyum. Ia merangkulkan kedua tangannya ke leherku, mengisyaratkan padaku untuk mendekat. Saat bibir kami menyatu, dapat kurasakan Tomi sedang menancapkan penisnya kembali.


”Slep....” dapat kurasakan kembali, penisnya yang besar kini mengisi rongga vaginaku hingga penuh sesak. Rasa perih itu kembali, namun aku tak mau mempedulikannya.


Bibir Reni yang lembut kini kunikmati dalam sela tangis haru.
Aku tak mau ia pergi, sungguh. Aku tak ingin memiliki sahabat lain selain dirinya.
“Hehehe.... udah pasrah rupanya...” ucap Tomi dibalik punggungku.


”Sleppp... Sleppp... Sleppp...”
Penis Tomi kembali menikmati sempitnya liang vaginaku. Tak munafik, aku juga merasakan betapa nikmatnya disetubuhi. Namun dalam pikiranku, sosok Tomi telah kubuang jauh-jauh. Seperti sebelumnya, kuanggap persetubuhanku dengan Tomi sebagai persetubuhanku dengan Reni.


“Aaaakkkhh.. Ren..... enak...Akkkhh....” aku mulai meracau.
Reni memandangku dengan perasaan haru saat itu. Ia paham, bahwa racauan yang terlontar dari bibirku hanya untuk mengalihkan pikiran semata. “Nayy...Mmhh... isepin toket gue Nayyy....” ucapnya membalas racauanku.


Tanpa perlu dikatakan untuk kedua kali, segera kuturunkan wajahku ke arah payudara Reni.
Dengan rakus kedua payudara ranum itu kunikmati. Reni sangat menyukai gigitan-gigitan lembut di area putingnya. Dan aku, akan memberikan semua itu dengan senang hati.


“Akkkhhh...Akkkhhh........ enak banget kontol lo Tom...Akkkkhhhh...terus....” merasakan gigitan lembut, Reni mulai meracau tak jelas. Namun aku menangkap apa maksud perkataan itu. Ia sedang memprovokasi Tomi.
“Tooomm...AaaaaakkhhHHH... enak banget Tommm... sodok teruss... AAAAaaakkkHHH..” kuikuti apa yang Reni lakukan.


“DIEM LO BERDUA ANJING.....AAAAAAKKHHH...AKKKKHHHHHHHHHH.....” hardik Tomi.
Sesuai dugaan, Reni tersenyum licik saat memandang raut wajah Tomi yang tenggelam dalam fantasinya. Dinding-dinging vaginaku merasakan dengan jelas bagaimana penisnya berkedut-kedut dan membesar.


“Slep.. Slep.. Slep.. Slep..”
Tomi mempercepat gerakannya. Umpan yang dilemparkan olehku dan Reni berhasil membuatnya memacu hasrat. Gesekan yang semakin intense, membuatku terbakar nafsu. Aku sudah merasakan, bahwa orgasme ketiga itu akan segera datang.


“OOOOooooooohhhh........” Tomi melenguh panjang seraya menancapkan penisnya sedalam mungkin ke dalam rahimku.


”Croott..... Crooott.... Croott...”


“AAAAaaaaaaaaakkhhh....AAAHHHHH....”
Hujaman dahsyat itu membuatku menggeliang. Tanpa sadar aku ikut tenggelam dalam badai orgasme ketiga yang lebih kuat dari sebelumnya.
Cairan hangat dari ujung penisnya menyembur, memenuhi rahimku dengan spermanya.


Setelah orgasme Tomi berakhir, kami semua terdiam.
Dapat kurasakan rongga vaginaku mulai merapat kembali. Penis Tomi perlahan-lahan kembali mengecil sebelum akhirnya terlepas dengan sendirinya.


Cairan putih kental mengalir keluar dari lubang vaginaku bersama dengan darah kesucian. Debu-debu halus yang menyelimuti lantai atap berubah menjadi lembab ketika cairan kental itu menetes membasahi mereka.


Keringat dan peluh yang membasahi sekujur tubuh telah menguras habis seluruh tenagaku.
Kepalaku mulai pusing, pandangan mataku mulai gelap. Kupeluk erat-erat tubuh Reni sebelum kesadaranku hilang di dalam pelukannya.


~***~​


Saat aku membuka mata, aku sudah kembali berada di dalam kamar kontrakanku.
Pakaian yang membalut tubuhku masih lengkap, kendati keringat yang membasahi tubuhku masih menempel.


Kucoba meraba lutut dan sikuku, namun tak ada luka lecet akibat kejadian semalam.
’Apa itu hanya mimpi?’ tanyaku dalam hati.
Sontak aku menanggalkan celana yang kukenakan dan memeriksa vaginaku.


Selaput daraku sudah robek. Itu artinya kejadian semalam bukanlah mimpi semata.
Teringat akan kejadian yang menimpa Bu Shinta, aku segera mengenakan celana kembali dan menghambur keluar kamar.


“Eh...Naya, kok tumben udah siang belum berangkat kerja?” sapa Bu Shinta yang sedang berjalan menyusuri lorong untuk kembali ke kamarnya.
“B-Bu Shinta gak apa-apa kan?” ucapku gelagapan. Aku berjalan mendekat ke arahnya, lalu kuamati tiap jengkal tubuhnya dengan seksama. Tidak ada tanda-tanda luka fisik atau semacamnya. Mungkinkah kejadian semalam hanya mimpi? Tapi jika benar mimpi, kenapa keperawananku bisa hilang?


Bu Shinta memiringkan kepala dengan tatapan bingung. Ia menatap raut wajahku yang terkesan panik lalu berkata.
“Kamu kenapa Nay??”


Seketika itu aku memeluk tubuh Bu Shinta dan menangis di bahunya.
“N-nggak Bu.... Hiks.... Naya gak apa-apa.... Hiks...hiks.... Naya cuma mimpi buruk semalam...”
“Lhoo... mimpi kok dipikirin amat Nay... sudah gak apa-apa kok” ucap Bu Shinta seraya membelai rambutku yang hitam tergerai.


“Ibu.... aku laper...” anak Bu Shinta yang paling bungsu berdiri di ambang pintu dan menatap kami.
“Kak Naya kenapa bu?” ia bertanya dengan nada polos.
“Nggak apa-apa... Kak Naya habis mimpi buruk semalam...” ucap Bu Shinta.


Aku melepaskan pelukanku padanya dan mulai menyeka air mataku.
Perasaanku kini lega, ternyata kejadian tewasnya keluarga Bu Shinta hanyalah halusinasi yang ditanamkan Tomi.


“Duh Nay... sampe keringetan gini. Mandi dulu sana, sudah jam sembilan lhoo..” ucap Bu Shinta.
“I-iya Bu....” ucapku.


~***~​


Menemukan fakta bahwa seluruh kejadian mengerikan yang menimpa para penghuni rumah susun itu hanyalah ilusi, pikiranku benar-benar tenang.
Aku kembali ke kamarku untuk membersihkan diri. Di atas meja yang bersanding dengan ranjangku, lampu handphoneku sudah menyala berkedip.


Tadinya kupikir bahwa lampu itu berkedip adalah tanda bahwa baterainya hampir habis. Namun setelah meraihnya, aku menemukan sebuah SMS dari Tomi.


Deg....Deg....Deg....
Jantungku kembali berdebar.


Mungkinkah Tomi belum menghilang sepenuhnya dari dunia? Bukankah aku telah membayar hutangku dengan keperawanan. Aku kembali dirundung perasaan takut, sangat takut.


“Baca aja Nay..... gak perlu takut”


“AAAAAAAAAAAAAA.............” aku tersentak kaget.
Sebuah suara yang berasal dari balik punggungku membuatku sontak berbalik.
Di sana, sosok Reni berdiri anggun dengan gaun putih transparan, seperti yang kulihat semalam.


“R-Ren... l-lo....” ucapku gelagapan.
“Jangan takut begitu si.... Tomi udah pergi kok... kali ini untuk selamanya” ucap Reni. “Lo jangan benci Tomi ya… jangan pernah nyimpen dendam kayak gue…”


Aku menarik napas panjang sesaat.
Berharap agar rasa sesak di dada ini menghilang.
“Nay.....” Reni mendekat.


Aku sontak melangkah mundur menjauhinya. Tak bisa kupungkiri, aku kembali takut.
“Ihhh... kok lo takut sama gue sih... oke, gue gak ngedeket deh... baca aja dulu SMSnya..”
Aku melirik sejenak ke arah handphone yang berada dalam genggamanku sebelum memandang kembali ke arah Reni.


“Baca aja... nggak usah takut...” ucapnya lagi.


Debar jantungku mulai stabil, aku mulai bisa bernapas dengan normal.
Segenap keberanian sudah kukumpulkan untuk membuka SMS dari Tomi. Dengan sebuah sentuhan jari, aku menekan tombol hijau di sudut kiri atas pada barisan keypad.


‘Nay... ini Tomi.

Aku minta maaf untuk semua yang telah aku lakukan. Aku tau keegoisanku sudah buat kamu dan Reni menderita. Aku cuma mau ucapin terima kasih untuk semuanya, berkat kamu aku sekarang tenang. Sebagai permintaan maaf, sebelum aku pergi, aku udah transfer uang lagi ke rekening kamu. Mungkin uang sama sekali gak bisa dibandingkan dengan kesucian kamu, tapi... manfaatkan baik-baik. Seperti sebelumnya, aku cuma mau berguna buat orang lain sebelum aku benar-benar pergi, aku nggak akan muncul lagi. Sekarang aku tenang, aku bisa pergi.’



SMS panjang itu telah kubaca dengan seksama.
Jika semua yang dikatakan Tomi benar, lantas kenapa Reni tidak bisa pergi bersamanya? Mengapa jiwa Reni tetap terjebak di dunia nyata?


“R-Ren...” ucapku lirih.
“Iyah... gue tau lo mau tanya apa” jawab Reni. “kejadian semalam bukan mimpi, Tomi bener-bener udah merawanin lo. Tapi kejadian yang nimpa orang-orang lain cuma ilusi....” lanjutnya.


“Setelah semuanya selesai, Tomi sempet minta maaf sama gue, sebelum akhirnya pergi. Dia ngirim raga utuhnya ke tempat pembuangan sampah, polisi udah nemuin jasadnya tadi pagi.”
“T-Terus?? Kenapa lo gak bisa pulang ke akhirat?” tanyaku.


“Hihi... lo lupa ya, sumpah gue ada dua. Yang pertama, gue bakal bales dendam ke Tomi dan itu udah gue lakuin” ucapnya. “yang kedua, gue mau lindungin lo supaya Tomi nggak ngambil keperawanan lo, dan gue gagal” lanjutnya.


“J-jadi....” mataku memandang lekat-lekat ke arah Reni yang tersenyum memandangku.
“Yap.... gue gak bisa pergi sebelum misi gue berhasil Nay... dan sekarang karena misi gue gagal, gue bisa tetep ada di sini nemenin lo” ucapnya.


Rasa bahagia sekaligus haru menyeruak di dalam hatiku. Aku menundukkan wajah dan membiarkan air mataku kembali mengalir.
Di satu sisi, aku menyalahkan diri sendiri. Karena keegoisanku Reni berakhir sebagai roh yang terjebak di antara yang hidup. Namun di lain sisi, aku bahagia karena bisa terus bersama Reni.


“Sssshhh.. udah, yang terjadi biarlah terjadi. Lo gak perlu nyesel” Reni mendekat dan memeluk tubuhku.
Dapat kurasakan hangatnya kasih sayang yang dicurahkan Reni padaku, bahkan di saat ia telah tiada, Reni tetap setia mendampingiku.


“Lagian, gue juga seneng bisa terus sama-sama lo Nay...” ucapnya.
Reni menyeka air mataku dengan ibu jarinya. “Jadi jangan sedih ya Nay..... gue gak mau liat orang yang gue sayang sampe nangis”


Aku tersenyum dalam tangis dan kuanggukkan kepala beberapa kali.


~***~​


Hari-hari setelah kejadian itu berjalan normal. Tak terasa, sudah beberapa bulan berlalu.
Aku kini memiliki pekerjaan baru. Atau bisa dikatakan sebagai usaha baru.


Saat aku mengecek saldo di tabunganku pagi itu, aku menemukan sembilan digit angka berada di layar ATM.


Aku hanya bisa menutup mulutku dengan kedua tangan saat memandangnya dengan rasa tak percaya. Tomi benar-benar telah mentransfer banyak uang ke dalam rekeningku. Dari uang yang diberikan Tomi, aku memulai sebuah usaha yang menghidupiku hingga kini.


Well… tidak mudah untuk memaafkan Tomi, aku akui itu.
Namun seiring waktu berlalu, aku kini telah merelakan semuanya. Kesucianku, kini telah menghantarkan jiwa seseorang untuk kembali ke akhirat.


Reni, sahabatku kini setia menemani hari-hariku.
Ia mengikuti ke manapun aku pergi dengan melayang di sampingku. Reni berkata, ia akan melindungiku dari setiap orang yang mencoba berbuat jahat.


Seperti saat itu.
Saat itu aku sedang menaiki motor matic menuju toko handphone milikku, motorku di cegat oleh beberapa orang pria yang mengacungkan sebilah pisau di masing-masing tangan mereka.


Entah seperti apa sosok mengerikan yang ditampakkan Reni, mereka semua membelalakkan mata dengan ngeri. Kutebak, Reni menampakkan sosoknya yang tanpa kepala. Para perampok itu lari tunggang-langgang, meninggalkanku dan Reni yang tertawa cekikikan.


Walaupun masih tersisa sedikit rasa benci terhadap diri Tomi.
Namun dalam hati aku berterima kasih. Karena berkat bantuannya, aku bisa merubah hidupku menjadi lebih baik. Lagipula, berkat usaha baruku, aku bisa memberi lapangan pekerjaan untuk orang lain.


“Ehh... Mbak Naya. Tumben pagi bener datengnya Mbak?” sapa Dara, salah satu karyawanku di toko handphone.
“Iya Ra... lagi jenuh di rumah, jadi pengen nengokin kalian” jawabku sambil memarkirkan motorku di pinggir jalan.


Pandanganku beralih pada sebuah papan neon box yang bertengger di atas toko.
Di sana terpampang nama toko milikku.


Friend’s Fone


Kudedikasikan nama toko itu pada sosok Reni dan Tomi, sahabatku.
Setelah memandang papan neon box itu beberapa saat, aku melanjutkan langkahku naik ke lantai dua. Di sana adalah ruanganku untuk mengurusi stok barang dan pembukuan.


Ruko ini terdiri dari tiga lantai.
Ruangan itu cukup besar karena aku tidak menggunakan sekat untuk membatasi ruangannya.
Di lantai paling atas, aku sudah mempersiapkan sebuah ruangan untuk kutinggali nantinya. Agaknya jenuh juga hidup di rumah susun yang pengap dan sumpek. Namun karena belum selesai membereskan lantai atas, aku tetap bertahan di kontrakanku untuk sementara waktu.


“Nay.... lanjutin yang semalem yuk?” Reni berbisik di telingaku.
Aku hanya tersenyum karena paham maksud dari kata-katanya.


Setelah duduk di kursi nan empuk, aku menarik sebuah laci paling bawah yang tersemat di meja kerjaku.
Di sana, sebuah dildo vibrator milik Reni kusimpan.


Ya, di ruangan inilah terkadang aku melampiaskan nafsu bersama Reni.
Kulepaskan kait pada celana denim yang kukenakan dan kutarik hingga sebatas mata kaki. Dildo vibrator milik Reni segera kunyalakan. Yah, bisa dibilang benda ini adalah warisan yang diberikan Reni untukku.


Kubuka lebar kedua pahaku dan kutancapkan dildo bergetar itu ke dalam lubang vaginaku di sana.
Selama ada Reni di sini, aku tak perlu takut kegiatan kami diketahui. Reni akan segera memperingatkan aku begitu ada salah satu karyawan yang naik ke lantai atas.


“Mmmmhhh.....” aku menggumam meresapi tiap getaran di dalam vaginaku. Akhirnya, kata-kata Reni menjadi kenyataan. Aku bisa merasakan betapa nikmatnya membiarkan dildo vibrator ini menancap di dalam vaginaku.
Di sisi tubuhku, Reni sudah menampakkan tubuh polos tanpa busana. Ia mendekatkan payudaranya pada wajahku dan memintaku untuk menghisapnya.


Hidup, terkadang memang tak berjalan secara masuk akal.
Terkadang, kita harus memilih sesuatu yang bahkan tak kita inginkan.
Begitu pula hidupku.


Berbagai kepahitan yang telah kujalani memberikan banyak pelajaran berharga.
Salah satunya membuatku mencetuskan sebuah kalimat.
“Iblis atau bukan, sahabat tetaplah seorang sahabat”


Aku sempat bertanya pada Reni.
Mungkinkah ia akan pergi meninggalkan aku suatu saat nanti? Jawabnya, “Mungkin Nay...”
“Jangan dong, gue kan gak mau sendirian lagi... emang karena apa lo bisa ninggalin gue??” tanyaku lagi.


“Gue akan menghilang untuk selamanya.... kalau seorang sahabat udah ngelupain bahwa gue ada….”







:bye:
~~**Friend of Fiend**~~
-E-N-D-
Cast - Epilog - updated 28/10/14
 
Terakhir diubah:
anjrit pake dopost :bata:
aarrghhhhhh
:stress:
 
Bimabet
Haaaa :kangen:

*edit setelah baca*
:baca:
Super sekali quotes diakhir ceritanya om.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd