Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Catatan Seorang Wartawan

Bimabet
Ajakan Kencan?


Rabu pekan kedua, Februari 2011


Aku merutuk dalam hati melihat kemacetan di Jalan Panjang ke arah Pondok Indah. Waktu sudah menunjukkan pukul 8.30, sedangkan aku baru sampai di perempatan Pos Pengumben. Antrian mobil mengular. Sepeda motor saling salip dari sisi kanan dan kiri mobilku. Seharusnya aku naik ojek saja tadi.


Pagi-pagi, Andriana sudah mengirim sms.


“Mas, jangan lupa ya nanti jam sembilan FGD-nya”


Aku menjawab singkat, “Oke, saya segera ke sana.”


Aku salah hitung waktu perjalanan. Aku berangkat dari kosanku di daerah Kebon Jeruk tepat pukul delapan. Baru lima ratus keluar dari tempat tinggalku, aku dihadang kemacetan di lampu merah dekat tol Kebon Jeruk. Hampir setengah jam ada terjebak di sana.


Ponselku berkali-kali berdering. Nama Andriana terpampang di layar. Aku mengabaikannya. Lebih baik fokus nyetir sajalah.


Ponselku kembali berdering, tanda ada pesan masuk.


“Selamat pagi Mas Asta. Sudah sampai mana?”


Sejenak aku membaca pesan itu. Namun kubiarkan tanpa membalasnya.


Aku tiba di Hotel Atlet Century Senayan pukul 9.30 pagi, telat setengah jam dari jadwal. Aku masuk ke ruangan meeting setelah bertanya pada resepsionis. Diskusi sudah dimulai.


Aku melihat ada Ganjar Pranowo dari PDI Perjuangan, Abdul Hakam Naja dari PAN, Pasek Suardika dari Partai Demokrat serta Titi Anggraini dari Perludem, lembaga pemantau pemilu. Sebagian dari mereka telah aku kenal karena pernah menjadi narasumber tulisanku. Aku segera mencari satu tempat duduk kosong sembari memberi tanda pada moderator, yang tak kukenal namanya.


Saat aku duduk, sedang terjadi perdebatan mengenai sistem pemilihan. Aku melihat Ganjar Pranowo dan Pasek Suardika berdebat cukup hangat.


“Kami mengusulkan agar pemilu berikutnya menggunakan sistem pemilihan tertutup. Cuma memang tidak tertutup sepenuhnya. Partai politik wajib menyerahkan daftar caleg ke publik setahun sebelum pemilu. Sehingga, publik bisa menilai apakah calon yang diajukan memiliki rekam jejak yang baik atau tidak,” Ganjar menjelaskan.


Dua partai politik, PDI Perjuangan dan PKS merupakan fraksi yang mendukung sistem pemilihan tertutup. Pemilih tidak memilih caleg seperti yang sekarang, tetapi cukup mencoblos gambar atau nomor partai. Yang berhak duduk sebagai anggota DPR adalah mereka yang berada di nomor urut kecil dan seterusnya sesuai perolehan suara partai.


“Tapi Mas Ganjar, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan aturan ini di undang-undang sebelumnya. MK telah memutus, sistem yang dipakai adalah proporsional terbuka dengan suara terbanyak. Saya cuma khawatir, kalau kita nanti buat tertutup, nanti dibatalkan lagi oleh MK,” kata Pasek Suardika.


Saya mengacungkan jari, berusaha menyela diskusi mereka.


“Saya lebih sepakat dengan usulan Mas Ganjar. Sebab, sistem suara terbanyak justru meminggirkan peran partai. Sekarang yang terpilih justru mereka yang memiliki banyak uang dan bisa membeli pemilih. Partai politik akhirnya sekadar menjadi kendaraan semata. Saya khawatir, jika sistem suara terbanyak tetap diterapkan, yang terpilih justru bukan orang yang punya rekam jejak panjang dalam demokrasi,” aku menyumbang pendapat.



“Lagipula,” aku menambahkan, “MK sebenarnya memberikan keleluasaan pada pembentuk undang-undang untuk membuat regulasi. Saya kira, kekhawatiran Pak Pasek tak beralasan.”


Aku kembali menambahkan, “Persoalannya, sistem tertutup mesti diikuti dengan keterbukaan partai politik. Saya mengusulkan, sistem perekrutan caleg dilembagakan dan dimasukkan ke undang-undang. Sehingga ada mekanisme baku secara general dan publik bisa memantau dan terlibat langsung dalam rekrutmen caleg. Saya sekaligus mengusulkan agar ada revisi UU Partai Politik.”


Pendapatku disambut interupsi. Aku berdebat agak sengit dengan Pasek dan Abdul Malik Haramain dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Aku mendorong pemilihan sistem tertutup berdasarkan nomor urut. Mereka mendorong sistem terbuka berdasarkan suara terbanyak.


Diskusi tak menemukan titik temu. Aku berada satu kubu dengan Ganjar dan seorang lagi dari PKS. Sementara Fraksi Demokrat, Golkar, PAN dan Gerindra ngotot memakai sistem terbuka. Moderator menyudahi diskusi dengan mengatakan bakal membawa usulan ini ke rapat pansus.


Selain sistem pemilihan, persoalan lain yang dibahas pada diskusi hari itu adalah mengenai daerah pemilihan, alokasi kursi per daerah pemilihan, parliament threshold, presidential threshold dan sistem penghitungan kursi. Aku memberikan sumbangan ide yang cukup banyak meskipun aku yakin tak semuanya bakal diterima.


Pasek Suardika selaku Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu berjanji bakal membawa hasil diskusi ke rapat pansus.


“Untuk Asta, nanti kita diskusi lagi secara informal ya,” kata Pasek sembari menoleh ke arahku. Aku tahu itu sindiran karena kengototanku mendebatnya sejak tadi. Aku tersenyum sambil memberikan kode siap.


Saat Pasek menyampaikan ucapan penutup diskusi, aku mengarahkan pandangan ke seluruh sudut ruangan. Selain peserta diskusi, ada beberapa orang yang bertugas sebagai staf sekretariat Komisi II, fotografer internal mereka dan notulen.


Pandanganku bertemu dengan seorang perempuan berambut pendek di sudut meja. Cantik. Putih. Anggun. Aku memasang kacamata untuk memperjelas pandanganku.


Wajahnya seperti tak familiar. Rasa-rasanya dulu kami memang pernah bertemu waktu aku mengisi pelatihan di FISIP UI Depok. Cuma waktu itu dia tidak secantik ini, dan tidak semodis sekarang. Barangkali dulu anak ini belum dandan.


Secara kebetulan, dia menoleh ke arahku. Dan pandangan kami bertemu. Dia tersenyum. Saya tidak membalasnya dan cuma menganggukkan kepala.


Jangan bayangkan aku bakalan deg-degan. Pekerjaanku membuatku sering bertemu dengan wanita cantik. Tidak ada yang namanya cinta pada pandangan pertama.


***

“Saya tadi cemas banget lho, Mas Asta nggak jadi datang,” kata Andriana.


Kami berbasi-basi saat bertemu di ruang makan. Aku sengaja mengambil giliran paling buncit, biar tidak berebutan. Andriana ada di antrian di depanku. Dia menoleh dan kami berkenalan ulang. Ternyata benar dia Andriana. Aku kali ini bisa melihatnya dari dekat. Cantik. Cantik banget.


Beres antrian makanan, kami duduk di salah satu meja. Anggota DPR telah pulang duluan. Tersisa beberapa orang staf Komisi II DPR dan rekan kerja Andriana.


“Tadi terjebak macet. Gila banget di Jalan Panjang. Aku nggak sempat pegang hape karena fokus nyetir,” kataku.


“Sudah berapa lama liputan di DPR, Mas? Kayaknya paham banget isu soal pemilu,” tanya Andriana.


“Hahaha. Sudah enam tahun saya liputan politik dan hukum. Sebelumnya sempat di kriminal. Setelah itu, ya muter-muter di DPR saja sampai sekarang.”


“Pantesan. Waktu saya minta rekomendasi ke anggota pansus siapa wartawan yang bisa diundang, rata-rata mereka jawab, undang Mas Asta aja.”


“Mereka narasumberku, sering banget diskusi soal politik. Yah sedikit-sedikit saya ngertilah soal pemilu. Kamu sendiri sudah lama kerja jadi konsultan?”


“Baru setahun Mas. Dan belum konsultan, masih pegawai. Lulus kuliah ngelamar ke mana-mana. Eh, keterimanya di Wahana. Ya udah jalanin saja dulu. Kalau Mas, sudah lama jadi wartawan?


“Tujuh tahunanlah. Abis lulus, sama kayak kamu, ngelamar ke mana-mana. Akhirnya jadi wartawan. Enak ternyata, karena bisa ketemu dengan orang baru terus,” kataku, sambil tertawa.


“Berarti masuk kuliahnya angkatan 2001?”


“Hahaha. Kenapa? Mau nebak umur?” kataku.


“Enggak kok. Kan kita satu almamater,” kata Andriana. Saat tersenyum malu, pipinya memerah, senyumnya imut menggemaskan.


“Saya angkatan 2002, tidak setua tebakan kamu kok. Apa? Umur? Baru mau menjelang kepala tiga,” kataku tertawa.


Andriana tertawa. Bibirnya merah, giginya amat rapi.


“Kapan-kapan, kita diskusi dong soal politik. Saya awam banget nih, pengen belajar banyak. Kalau belajar dari anggota DPR kan malesin. Kadang mereka sibuk bener. Banyak juga yang ganjen.”


“Nggak semua gitu kok. Mas Ganjar itu baik. Aku banyak belajar darinya. Pak Hakam Naja juga baik. Aku beberapa kali diajak ngobrol dikasih banyak informasi sama dia,” aku menjelaskan.


“Tapi bolehlah, kapan-kapan kita ngopi. Kamu senggangnya kapan?” aku bertanya.


“Jangan kayak terpaksa gitu dong, Mas,” Andriana tersenyum lucu. “Aku sih bisa kapan saja, asal setelah jam kerja.”


“Boleh, nanti kita kontakkan lagi ya. Aku mesti ke kantor nih,” kataku sambil beringsut pergi.


***

Sepekan setelah diskusi di Senayan, aku sedang merokok di halaman kantor setelah makan siang. Ada Mas Eki, redaktur di desk olahraga, Mas Djaya, redaktur di halaman internasional, Mas Umam, redaktur di politik sekaligus bosku.


Kami ngobrol ngalur ngidul ngomongin soal politik, olahraga hingga masalah perempuan. Salah satu yang membuatku betah jadi wartawan ya ini, pekerjaan yang membuat aku bisa ngobrol dengan bebas. Praktis sebenarnya kerjaan wartawan itu adalah ngobrol, ngobrol dan ngobrol. Baru setelah itu menulis. Beruntung, ada jenis pekerjaan yang menampung hobiku.


Di tengah gelak tawa kami, sebuah pesan masuk ke hapeku.


Andriana.


Ngapain ini anak ngontak? pikirku.


“Mas, senggang nggak nanti malam?”


Wah, serius juga dia follow up obrolan kami.


Ah, jangan geer dulu. Dia juga mendekati banyak wartawan. Jangan merasa spesial, deh, Asta.


“Aku nanti ada ketemu orang jam lima. Barangkali sampai jam tujuh. Jam 8, oke?” aku mengetik pesan dan mengirimkannya.


Andriana membalas cepat.


“Jam 8 di Plaza Senayan?”


“Siapa saja?” aku membalas.


“Tadi aku ngontak beberapa anak wartawan, tapi mereka pada nggak bisa.”


Tuh, kan. Jangan geer deh.


“Jadinya?” aku membalas.


“Berdua saja.”


Seketika aku deg-degan dan senyumku mengembang.
 
Terakhir diubah:
Buset dah kagak asik banget kirain bakalan ada yang seru eh taunya kagak
 
Sebenarnya banyak yg pengen ane tanya2 tentang wartawan... tp ntar deh klo dah tamat... krna pengen jugajadi wartawan lepas... apalagi yg bagian olah raga bisa keluar negri brow.... :pandaketawa:
 
Bertuturnya lancar dan lugas
kayak perosotan dikasih oli
optimis bisa sampai tamat
 
Iiiish bisa aja nih Mas Asta. Katanya gak bakalan deg-degan, udah biasa ketemu wanita cantik...
eh, tersipu-sipu juga liat yg senyum menggemaskan :siul::siul:

Kelemahan saya itu. Sok cool di depan orang, tapi kalau ada yang cakep dan pinter lewat, deg-degan juga mah...
 
Bertuturnya lancar dan lugas
kayak perosotan dikasih oli
optimis bisa sampai tamat

Perosotan dikasih oli lancar bener ya suhu? Sebenarnya, cerita ini sudah jadi, tapi tak ada detail bagian "panasnya". Jadi, perlu permak dikit-dikit, agar tetap pantas ditaruh di forum ini.
 
Sebenarnya banyak yg pengen ane tanya2 tentang wartawan... tp ntar deh klo dah tamat... krna pengen jugajadi wartawan lepas... apalagi yg bagian olah raga bisa keluar negri brow.... :pandaketawa:


Dulu ane juga pengen jadi wartawan olahraga broow. Pengen liputan piala dunia, piala eropa. Tapi, nasib berkata lain. Kalau mau tanya-tanya, silakan PM aja hu....
 
kesan nyata:hore: begitu terasa.. apalagi banyak didukung tokoh negara sertainya..
selalu ditunggu:beer: perkembangan lanjutan nya..​
 
Wow udah update, makasih hu.
Wah Arta wartawan politik nih, bakalan seru nih kencan dengan Andriana mantan yg dulu mempecundangi Arta. wkwkwk
 
Keren, pengetahuan tentang politiknya dapet. Sekalian dibikin indeks dong suhu
 
Calon trit yg wajib dipantengin updatenya...semangat Om...
 
lancrot suhu.. begron reformis.. kyk milis apakabar.com
 
Wartawannya beneran ini kayaknya suhu

Eh.. Ijin menyimak ya suhu
Awal baca saya kira bakal jadi wartawan infotainment dan anu (beberapa bayangan mainstream yang muncul di otak saya) hehe
Ternyata wartawan berats, politricks
:ampun::beer:

Lanjutkan suhu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd