Session 10 :
Probado por hechos
I : Haloo Lucky!!
L : Ada apa lagi mbak Inna??
I : Apa maksudmu kabur dari rumahku?
L : Aku sibuk.
I : Ya ga bisa gitu dong. Apa-apa kamu lukai para pengawalku?
L : Mereka yang mulai..
I : Alasaan!!
L : Terserah.
I : Aku minta kamu kembali kesini!!
L : Ga.
I : Luckyyy!!
L : Cari aja pengawal yang lain.
I : Kamu kan sudah janji untuk tidak bantu Bimo lagi!!
L : Iya benar. Aku ga bantu Bimo lagi. Aku hanya ingin lindungi keluargaku.
I : Brengsekk!!. Lihatlah, kamu akan menyesal!!
Tutt..tutt
Inna, dia datang terlalu kebetulan. Aku rasa dia ada kaitannya dengan kasus ini. Baiklah...akan kita buktikan, siapa yang akan menyesal!!
Mama, Firsa, Oca, Prima, dan aku kembali duduk bersama di meja makan menikmati makan siang hasil karya chef Oca. Kulihat mama dan Firsa kurang bersemangat, selera makan mereka seperti hilang.
"Fir, dimakan dong...jangan sedih terus. Kasihan mama kamu, kasihan Lucky. Mereka tentu sangat khawatir melihat kondisimu yang seperti ini!"
ucap Prima memberi semangat.
"Kamu ga tau rasanya jadi anak yang tak pernah bertemu orangtuanya!!. Meski ada mama Lily yang selalu sayang ke aku, tapi namanya anak pasti ingin bertemu bertemu orangtuanya yang asli. Atau setidaknya mendengar kabar mereka saja aku sudah cukup senang!!"
Firsa menyalak. Emosinya belum stabil. Perhatian yang diberikan Prima justru membuatnya semakin terpukul.
"Gampang banget kamu bilang 'jangan sedih'. Tau apa kamu soal anak yatim piatuuu??!"
lanjut Firsa memojokkan Prima.
"Hahaha...daripada ngomong ngelantur, mending kamu diam Fir!!. Cukup kamu tahu saja ya..aku dari bayi hidup di panti asuhan. Sampai sekarang aku sebatang kara!!. Lebih pedih mana dibanding hidupmu yang masih ada kasih sayang mama Lily??"
jawab Prima dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca. Firsa melongo dan tak bisa berkata-kata.
Sejenak kemudian Prima berlalu meninggalkan meja makan diikuti oleh Oca yang berusaha menenangkan.
"Firsa...sabar ya nak. Mama paham jika kamu masih tertekan. Jalani saja, biar waktu yang akan mengiringi langkahmu sayaang,"
bisik mama lembut.
"Maafin Firsa mamaa...mas Lucky...Firsa tak pernah mensyukuri nikmat yang ada..."
Firsa menangis menyesali perbuatannya yang telah melukai perasaan Prima.
"Kamu nanti minta maaf ke Prima ya sayang,"
bujuk mama dengan diiringi senyum keibuan.
"Iya mama. Pasti!!"
balas Firsa.
malam harinya...
"Mas Prima...aku minta maaf banget, tadi aku kasar ke kamu,"
Firsa meminta maaf dengan disaksikan kami yang sedang duduk bersama di ruang tamu.
"Gapapa Fir...memang nasibku untuk selalu di injak-injak, dihina, dikucilkan. Kenyataannya aku kan gelandangan. Ga punya keluarga, ga punya strata sosial. Aku terima saja apa adanya."
pedih sekali jawaban Prima. Siapapun yang mendengarnya pasti akan iba.
"Pliss mas...jangan ngomong gitu. Aku ga pernah hina kamu kok. Tadi cuma emosi saja,"
pohon Firsa, berharap Prima memaafkan.
"Iya mas...kami semua peduli kok sama mas Prima. Kita berlima adalah keluarga. Bukan begitu bu Lily??"
Oca melengkapi.
"Oca benar nak Prima...kalian semua anak-anakku. Kita adalah keluarga. Masa bodo dari mana kalian berasal. Kita diciptakan memang untuk bersatu. Jadi tidaknya kisah cinta Lucky dan Firsa, atau Prima dan Oca. Kita tetap keluarga. Jika kalian berpisah sebagai kekasih, kembalilah sebagai saudara,"
petuah bijak sang ibu suri sejenak meluluh lantakkan tembok-tembok tinggi kerajaan egosentris. Kini saatnya jiwa yang berbicara.
"Maaf Bu...saya salah!!"
ucap Prima menyesal.
"Mamaa!!"
koreksi mama Lily.
"Iya..Ma..mama,"
ucap Prima mengulangi kata-katanya.
"Kalian semua...Lucky, Firsa, Prima, Oca...panggil aku mama!!. We are one!!"
ulang mama Lily untuk semua.
"Iya mama,"
Serempak mereka berucap.
Baiklah anak-anak, pelajaran Taman Kanak-kanak malam ini dinyatakan : selesai.
~~~|_~~~
"Kesimpulan atas kasus ini, masih abu-abu antara papa Rio dan pak Bimo dalangnya. Meski mama berkeyakinan bahwa papa Rio tak akan sekeji itu, tapi bukti nyata belum ada. Kita perlu profesional menyikapi ini!"
suaraku mengalir mengisi ruang tamu markas. Semua sedang menyimak.
"Untuk membuktikan itu semua, aku ada ide,"
lanjutku.
"Gimana bro, penasaran kita,"
tanggap Prima.
"Bro, tugasmu, tolong carikan nomer handphone papa Rio. Entah dari data perusahaannya, atau menyadap, atau apalah kamu yang lebih paham caranya!"
satu instruksi kuberikan kepada Prima. Ia mengangguk cepat.
"Aku akan segera hunting setelah rapat kita ini,"
terdengar suara Prima menanggapi. Jempolku menjawab mantan musuhku tersebut.
"Langkah selanjutnya, aku mohon mama bersedia menelepon papa untuk membuat janji bertemu. Usahakan bertemu di rumahnya. Mengapa dirumahnya?, alasan pertama adalah mengamati kekuatan pasukan papa Rio jika memang beliau pelakunya. Memang sih sedikit riskan karena kita akan berada di tengah markasnya yang tentu full pengawalan, tapi aku yakin bisa mengatasinya setelah melihat kemampuan Prima bertarung kemarin. Alasan kedua adalah ingin melihat respon istrinya papa Rio. Jujur aku curiga si Inna yang menyekapku kemarin adalah istri papa Rio."
panjang lebar ku utarakan skema yang sudah kususun dikepalaku.
"Aku ikut bertarung mas!!. Aku juara karate di kampus,"
potong Oca cepat.
"Lho kemaren pas mau diculik kenapa ga kamu lawan sendiri??"
tanyaku menyangsikan kemampuan Oca.
"Belum waktunya. Aku masih mengulur waktu menunggu tindakan nyata dari para pelaku. Namun ternyata mas Prim sudah muncul duluan,"
ucap Oca membela diri.
"Ok aku anggap kamu bisa ya. Langkah selanjutnya, adalah tugas Oca untuk mengawal mama Lily dan membawa pergi dari lokasi jika terjadi keadaan darurat dan genting. Aku harap Firsa sudah siaga dengan mobil di suatu tempat yang aman untuk menjemput mama!"
lanjutku.
"Baik akan aku siapkan juga alat komunikasi wireless untuk masing-masing dari kita agar mudah berkomunikasi satu sama lain. Ditambah kamera pengintai di masing-masing tubuh kita yang terkoneksi dengan layar di dalam mobil agar Firsa dapat memantau perkembangan situasi,"
Prima menambahkan. Aku sangat senang melihat kiprahnya yang sangat membantu.
"Dengan cara ini semoga dapat ditemukan fakta tentang kasus yang kita hadapi. Kita akan melihat respon papa Rio bagaimana agar dapat menarik kesimpulan. Jika perkiraanku tepat maka harusnya pak Bimo sekarang bingung mencari mama. Dan jika memang terbukti bahwa pak Bimo pelakunya, maka saat pertemuan itu dia akan datang. Kita lihat nanti, sebenarnya siapa diantara mereka yang berdiri di pihak kita!!"
pungkasku mengakhiri penjelasan tentang skema.
"Setelah ini, sambil Prima mencari data kontak papa Rio, aku dan Prima akan menyiapkan semua peralatan yang diperlukan. Termasuk alat beladiri untuk pertahanan kita,"
imbuhku. Semua menatapku dengan tegang. Tak kupungkiri, akupun demikian juga. Namun logikaku tetap berjalan mengimbangi perasaan yang terus berkecamuk. Ini bukan kasus klienku. Ini masa depan keluargaku!!.
~~~|_~~~
Hari belum terlalu larut. Sekitar setengah jam yang lalu kulihat jam di layar handphone-ku menunjukkan pukul 22.00. Mama dan Firsa sudah tertidur memeluk segala kecamuk pikiran demi esok hari yang nampaknya akan cukup melelahkan untuk dilalui. Esok hari mama berencana menghubungi papa Rio dan sekaligus mengajak bertemu hari itu juga. Entah apakah berhasil, tapi yang jelas mereka berusaha mempersiapkan fisik sebaik mungkin dengan istirahat yang cukup.
Begitu juga denganku. Aku punya cara tersendiri dalam mempersiapkan fisikku. Aku lebih senang menyebutnya latihan dan pemanasan. Di halaman belakang markas ku tempa fisik dengan berlatih beladiri. Berbagai kombinasi pukulan, tendangan, bantingan, dan sebagainya ku asah sedemikian rupa untuk membangun kepercayaan diri lebih tinggi sekaligus meregangkan otot-otot dan persendian yang ada.
Prima malam ini bersama Oca sedang bergerak dalam mode senyap. Mengendap dan memasang beberapa kamera dan alat pelacak di sekitaran rumah pak Bimo.
Sambil menunggu mereka datang maka kuisi waktu dengan berlatih fisik seperti yang tengah kulakukan sekarang. Keringat bercucuran membasahi singlet yang kukenakan. Celana pendekku yang berbahan kaos juga terlihat mengetat lengket membungkus tubuh bagian bawah. Penisku terlihat menonjolkan lekukan akibat celana pendek yang lengket tersebut.
Merasa lelah, sejenak aku duduk di sebuah gazebo sederhana yang malah lebih mirip poskamping. Kunyalakan sebatang rokok menemani kesendirianku sambil terus berpikir tentang berbagai rencana.
Haaaa!!
Teriakku tertahan saat tiba-tiba kurasakan sesuatu yang lembut menempel dipundakku. Aku menoleh dan terkejut.
Firsanti (Firsa)
"Firsaa..ngagetin ajah. Kok ga jadi tidur sayang?"
mataku melotot ke arah Firsa yang sudah berada di belakang punggungku tanpa kusadari.
"Gerah mas, banyak nyamuk juga. Akhirnya kebangun deh,"
Firsa mengucek matanya menghilangkan rasa kantuk.
"Ohh..yaudah duduk sini aja biar segeran. Udara di sini enak, semriwing,"
tukasku memberi tempat Firsa untuk duduk. Kami berdampingan menengadahkan wajah menikmati bintang gemintang yang berserakan di angkasa.
"Ribuan bintang, atau bahkan beribu-ribu juta bintang tak pernah berhenti mengerlingkan sinarnya setiap malam. Meski kita kadang mengacuhkannya. Dan kita, kamu, aku, Prima, serta yang lainnya laksana bintang-bintang itu. Harusnya tiap saat selalu memberikan yang terbaik bagi orang-orang disekelilingnya, tanpa berharap untuk dianggap. Dengan begitu kita akan terlupa dengan azas keakuan. Ego kita terpelihara rapi dalam bilik-bilik senyap yang tak pernah berusaha mengemuka. Mengabdikan diri sebagai butiran pelengkap semesta. Mengesampingkan makna hak pada batas pagar pemahaman. Aku selama ini belajar untuk tak menuntut dimana orangtuaku, harta nenekku, kelayakan nasibku, apapun itu. Aku hanya berusaha melangkah agar menjadi manfaat bagi semua, atau minimal bagi orang-orang yang aku sayangi."
Entah darimana aku mendapatkan bahasa sepuitis itu. Semuanya mengalir begitu saja dari bibirku.
"Kian hari berjalan aku semakin banyak belajar dari kamu, dari mama, dari mas Prima, dari Oca tentang bagaimana menjalani hidup dengan lebih berarti. Ratap dan sepi adalah dua sejoli yang selalu mengintimidasi kejiwaan, kemudian menyeretnya pada sosok ego dengan hanya mengenal aku dan mencampakkan empati, persis seperti yang mas bilang barusan. Sekarang aku paham mas. Bukan aku terlahir untuk mendapatkan apa, tapi aku terlahir untuk memberikan apa,"
Firsa sepertinya juga sedang keranjingan jiwa puitis. Terdengar dari ucapannya yang berusaha mengimbangi.
"Syukurlah Fir...meski masa laluku perih, dan masa kinimu juga pedih, namun kebersamaan kita adalah obat antara satu dengan yang lain. Melengkapi dari yang terlukai,"
lanjutku.
"Terima kasih mas. Terima kasih semua yang telah kamu dan mama berikan. Plisss jangan tinggalin aku ya mas. Aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini selain kalian!"
suara Firsa mengalun lembut bersama hembusan sang bayu yang sepoi menggoyangkan indah gerai rambut panjangnya.
Kupeluk bahu Firsa yang duduk disampingku. Pelan ia mulai menyandarkan kepala. Dapat kucium aroma shampoo nan wangi dari rambut Firsa.
"Tegarkan langkahmu, hadapi rintangan, jalan cerita masih terbentang. Aku ada bersamamu."
Bisikku tak kalah lembut.
"Iih maaas..gelii,"
Firsa sedikit mendesah sambil memegang tengkuknya. Mungkin bisikan ku di telinganya membuat ia merinding.
"Dasar mesum, orang serius malah mendesah,"
ledek ku.
"Hiiih..namanya juga respon badan. Mana aku tauuu!!"
Firsa menoleh dan mencubit gemas pipiku.
Cupp
Tak kusia-siakan momen, lembut kukecup bibir indahnya. Firsa hanya diam meresapi.
"Situu yang mesum, nyosor aja tahu-tahu!!"
ledek Firsa membalas.
Tak kupedulikan, kini kulumat bibir mungilnya. Ia menjawab dengan lumatan serupa. Sekian menit kami sibuk dengan permainan bibir dan lidah. Matanya mulai sayu terdorong lonjakan hasrat.
Perlahan tangannya mulai menjalar meremasi tonjolan di celana pendekku yang sejak tadi selalu curi-curi di liriknya.
Tak mau kalah serangan, aku juga ikut meramasi buah dadanya yang saat ini terlihat sangat montok dibalut kaos ketat sambil kami teris berciuman. Sejenak ia melenguh diantara sela napas.
Melihat bagian bawah pakaiannya yang berupa rok pendek, aku cepat berinisiatif dengan berjongkok di depannya. Kuraba belahan vaginanya dari balik rok. Celana dalam itu sudah membasah di bagian tengah.
Tarikan jariku pada sisi jahitan celana dalam memberi isyarat untuk meminta ijin untuk melepas celana dalam tersebut. Firsa mengangguk lemah dengan menggigit bibir bawahnya. Sedikit mengangkat pinggul ia biarkan aku melucuti celana dalam tanpa melepas rok yang ada.
Dibawah sinar rembulan kupinta Firsa untuk mengangkat paha, bertumpu pada sisi bibir dudukan gazebo, dan membuka lebar. Sekejap terlihat lah pemadangan sangat memukau. Seorang dara cantik nampak berseronok mempertontonkan belahan vagina di udara bebas. Sensasinya sungguh membuatku bergetar.
Gesekan pertama jariku tepat ditengah belahan itu membuat ia merintih pelan.
"Uhmm mass,"
rintihan parau Firsa memecah keheningan malam ditengah pekarangan.
Demi mengejar waktu sebelum Prima tiba. Kudaratkan lidahku menjuluri area lembab di selaksa vagina Firsa. Jempolku langsung menyerang titik utama di klitorisnya.
"Shhh..."
bibirnya mendesis seperti kepedasan. Matanya terkatup dan membuka silih berganti.
Lidah ini semakin liar mencumbui bibir vagina Firsa. Mulai dari ujung atas, berlari keujung bawah mendekati sunhole, kembali ketengah, meronjok kaku ke arah dalam, kemudoan kembali menggelitik klitorisnya.
"Uuhhssh mass aah.."
desahan makin kentara terdengar mewakili segala rasa yang ia inderakan.
Mengingat bahwa ia tak lagi perawan, ku masukkan satu jari penuh menggelitik rongga dalam. Jari itu berputar, menekuk, mengorek segala dinding pejal yang ia temui di dalam sana.
"Ouuhh...hmmm,"
Firsa mengatupkan bibirnya menahan suara desahan agar tak semakin membahana. Jariku sudah membuat ia melayang tak karuan.
Melihat ia menikmati. 3 jari sekaligus kulesakkan. Lidahku masih saja menggelitik klitoris. Dua rangsang sekaligus yang bakal membuat ia semakin membumbung tinggi ke angkasa.
"Iiishhh nakall tangannya ahh,"
racau Firsa namjn tak sedikitpun melarang.
Kocokan 3 jari kupercepat. Ia meraung-raung gila. Aku harap mama cukup pulas dalam tidurnya. Aku tak ingin mama melihat kejadian 21++ ini. Meski mama merestui hubungan kami, namun sangat canggung bagi kami jika tertangkap basah melakukan hal yang vulgar.
"Mass..aaauhh enakkk ampunnn,"
desah Firsa.
Bunyi kecipak liang basah membuatku semakin bersemangat. Kutekuk sedikit jari kearah dinding atas vagina untuk menemukan area g-spot setiap kali kutarik jari.
"Uuuh mass mau nyampee ahh masss,"
"Ehhh ehh ehh... mass ahh,"
"Iya disitu...cepetin ahh ahh ahh mas aku nampeeee ahhhh,"
Firsa mengerang. Cairan squirt menyembur deras. Ia tersentak-sentak mengikuti semburan. Sebagian wajahku basah oleh cairan Firsa dan segera kuusap menggunakan singlet yang sebelumnya sudah basah oleh keringat. Sisa cairan Firsa menyiram tanah di depan gazebo.
"Mas belum keluar. Ayukk kita masukkan mas kontolmu!!"
Firsa menggeliat saat melihatku kembali berdiri.
"Sudah, kita sudahi dulu sayang. Sebentar lagi Prima datang!"
ucapku mengingatkan.
"Masukin bentar laaah, kasihan kamu mas!"
pinta Firsa.
"Ga sayaaang, terlalu riskan. Kamu juga perlu segera istirahat. Besok akan sangat menguras pikiran dan tenaga,"
kembali ku tolak permintaan Firsa. Tak menampik, aku juga sangat sangat sangaaat menginginkannya. Tapi aku tak ingin fatal jika mendadak Prima dan Oca melihatnya.
Brumm..
Ceklaang!!
Terdengar deru mobil mendekat, diikuti pagar yang dibuka. Tentu saja itu Prima dan Oca, karena hanya Prima yang membawa kunci pembuka gembok pagar, kami belum sempat menggandakannya. Untung saja aku tepat dalam mengambil keputusan untuk segera menyudahi aksi liar kami.
"Fiuuhh...capeknya broo!!"
Prima yang melihat kami dari arah garasi langsung menuju ke belakang tanpa melewati bangunan utama. Ia menelentangkan tubuh di gazebo sambil menggerakkan tangan, menggeliat.
"Gimana tadi disana?"
tanyaku penasaran.
"Aman terkendali. Oca terpaksa mengalihkan perhatian penjaga dengan menggodanya agar aku bisa leluasa masuk. Namun begitu aku selesai dan keluar terlihat dua orang penjaga itu tengah berkelahi sengit dengan Oca. Beuuh.. Oca top banget dah. Udah kayak bola karet aja dia melenting kesana kemari menghabisi dua penjaga itu!!"
puji Prima dengan memandang wajah ayu si imut yang sekarang tengah bersandar di tiang penyangga gazebo.
"Yaa terpaksa mas. Mereka raba-raba tetekku. Wah ga bisa dimaafkan. Aku bikin patah sekalian tangan-tangan kurang ajar itu!!"
ucap Oca bercerita dengan berapi-api.
"Wew sadess!!"
aku melongo menanggapi kegaharan si imut.
"Ati-ati lu bro, jangan godain Oca!!...salah-salah bisa patah burungmu hahaha.."
godaku pada Prima.
"Kamu juga mas, awas kalau nyakitin Firsa!!"
"Waduww..***nyam,"
"Hahaha.*** kok mas becanda. Paling cuma aku kunyah otongnya kalian kalau macem-macem,"
"Iish horor!!"
~~~|_~~~
"Ok Pa, dua jam lagi aku akan datang ke sana. Tolong share lokasinya,"
mama Lily baru saja mengakhiri teleponnya dengan papa Rio. Mereka bersepakat untuk bertemu di rumah papa Rio dua jam lagi.
"Kalian berdua resmi sebagai agen B-Id mulai hari ini. Firsa sebagai agen 03, dan Oca sebagai agen 04."
Ucapku sambil mengulurkan seragam baru ber-design ninja warna putih bersih.
Kami ber empat kecuali mama segera mengenakan seragam ala ninja berwarna putih tersebut. Tak lupa kloningan topeng yang biasa kukenakan. Tapi hanya aku dan Prima yang tetap menggunakan warna perak. Dua cewek imut memaksa untuk dibuatkan topeng warna pink. Alhasil berdirilah dua gadis ninja didepanku dengan mengenakan topeng pink mereka. Ahaha.*** gagah sama sekali, ninja kok pakai topeng pink. Aya aya wae.
"Woy matanya!!"
bentak Oca saat memergoki aku dan Prima yang ngiler menatap tubuh dewi-dewi ninja yang terbungkus bahan ketat. Buah pantat dan buah dadanya membusung indah.
"Iyaak iyakkk...ampunn!!"
aku dan Prima terkaing-kaing menerima jeweran dari mama Lily. Ahhh.. 3 wanita kok galak semua sih, ampun dah.
Harusnya ninja sepaket dengan katana-nya. Namun karena kami ninja kawe, maka yang kupunya hanya mandau dan badik. Mandau kuberikan kepada Prima, dan dua buah badik ukuran tanggung kuberikan masing-masing untuk Firsa dan Oca. Tak lupa mereka kubagikan ranjau kaki sebagai ganti dari suriken yang lagi-lagi tak ada stoknya.
Prima sejenak masuk kekamarnya dan kembali dengan membawa sebuah trisula bergagang pendek yang diberikan kepadaku. Kuterima alat itu dengan senang hati.
"Mbak Firsa, tugas kamu nanti adalah menggantikan posisiku sebagai pemantau dan pengintai layar kontrol. Led tersedia di dalam mobil dan terkoneksi dengan semua kamera yang sudah aku pasang di masing-masing pin di tubuh kita. Kamera juga sudah terpasang di sekeliling kediaman pak Bimo. Satu lagi alat komunikasi, mbak yang mengatur arus komunikasi antara kita berlima. Ringkasnya, panel control ada di tangan mbak Firsa dan kami mengandalkannya. Untuk keamanan, semalam mobil Oca sudah aku lapisi film gelap kacanya, juga peredam tembakan di hampir seluruh body mobil!"
Prima kuakui memiliki kemampuan yang tidak dapat dianggap remeh. Segala penjelasannya kepada Firsa sangat profesional dan sistematis.
Sebelum berangkat, terakhir ku selipkan belasan pisau kecil disaku-saku sepatu. Berlima kami melangkah menuju mobil. Firsa duduk sebagai driver.
~~~|_~~~
..please check index for new update