Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG BULAN JINGGA

BAGIAN 10
Wanita Yang Aneh



Sudah seminggu Lia balik kedesanya dan rencananya hari ini kami akan ketemuan. Semalam dia sudah menghubungi aku dan kami sudah janjian untuk bertemu di apartemen yang rencananya akan dipakai tinggal oleh Lia selama setahun.

Apartemen itu milikku dan aku membelinya tiga hari yang lalu. Aku tidak akan mempermasalahkan, kalau seandainya Lia akan terus tinggal disana melebihi batasan waktu yang kami sepakati. Mau dia sampai lulus kuliahpun, pasti akan aku ijinkan.

Semenjak pertemuanku dengannya seminggu yang lalu dan ditambah bertemu Lia dalam versi lain dimimpiku, aku seperti merasa ada ikatan emosional dengannya, tapi lebih dekat ke Lia yang ada didalam mimpiku.

Terus siapa Lia yang ada didalam mimpiku itu.? Lia yang berwujud dan sebentar lagi akan aku temui, atau Lia lain dan itu hanya ada dalam mimpiku.? Kalaupun 2 sosok ini berbeda, kenapa bentuk tubuh mereka sama persis dan tidak bisa dibedakan.? Cara menatap dan rasa sentuhannya pun sama. Arrgghh, susah sekali aku menceritakan secara detail kedua sosok itu. Otakku tidak bisa dipaksa berpikir dengan keras dan efeknya bisa membuatku cenat – cenut. Cuukkklah.

Satu jam lagi, aku akan bertemu dengan Lia. Aku sudah tidak sabar untuk menjumpai wanita berhijab itu, bukan karena ritual yang akan kami lakukan. Aku ingin mendengar bagaimana kisahnya ketika dia menuju ke air terjun Bulan Jingga. Aku juga ingin bertanya kepadanya, apakah dia akan balik kesana lagi dan apakah aku bisa ikut dengannya.? Jawaban dari pertanyaan itu lebih penting aku dengar, dari pada harus mendengar dia bercerita tentang ritual yang akan kami lakukan. Ritual itu tidak perlu diceritakan, tapi langsung dipraktekan aja. Aku ingin sekali ke air terjun Bulan Jingga, karena mungkin disana aku akan menemukan jawaban dari pertanyaan yang ada didalam pikiranku saat ini.

“Woy. Pemuda yang tidak diharapkan bangsa.” Panggil Pak RT yang mengejutkanku dari lamunan dan dia sudah berdiri didekat pintu pagarku.

“Eh, ada Pak Rete. Masuk pak.” Ucapku berbasa – basi, seperti yang biasa dilakukan orang – orang dari negeri khayangan ini.

Oh iya. Saat ini aku sedang duduk diteras rumahku dan aku asyik dengan sebatang rokok yang aku hisap.

“Wah, kebetulan sekali. Ada kopi kan.?” Sahut Pak RT yang menerima tawaranku dengan riang gembira.

Cuukkk. Beneran disambar tawaranku. Tau gitu tadi, aku hanya tanya kabarnya aja, tanpa perlu menawarinya singgah.

“Tenang Pak. Banyak stok didalam.” Jawabku dan Pak RT sudah duduk dikursi dengan santainya.

“Ya sudah, kamu buatkan sekarang.” Perintah Pak RT dan aku langsung berdiri, tanpa bisa menolaknya.

“Pakai air panas yang mendidih, jangan pakai air panas dari dispenser. Bikin sakit perut aja.” Ucap Pak RT sambil mengambil bungkusan rokok marlrobo black ku.

“Siap Pak. Apa perlu kompornya saya bawa kesini, jadi Pak Rete bisa lihat prosesnya.?” Tanyaku dan aku buat dengan nada yang bercanda, karena sebetulnya aku jengkel dengan permintaannya yang aneh – aneh itu.

“Mending kompornya kamu antar kerumahku aja Ngga. Mumpung komporku lagi diservice sama Kang Yayan.” Jawab Pak RT, lalu dia menghisap rokoknya.

“Gimana kalau Kang Yayan aja yang aku suruh tinggal dirumah Pak Rete, jadi kalau kompornya Pak Rete rusak lagi, tinggal teriakin ditelinganya aja.” Ucapku sambil melangkah ke arah dapur.

“Uhuk, uhuk, uhuk.” Pak RT keselek asap rokoknya.

“Cah gemblung.” (Anak gila.) Maki Pak RT terdengar dari dapurku.



Sat, set sat, set.

Dua cangkir racikan kopi yang aku aduk dengan air mendidih sudah jadi dan aku membawanya ke teras.

“Monggo Pak Rete.” (Silahkan Pak RT.) Ucapku sambil meletakkan dua gelas cangkir dimeja.

“Nahh. Kalau asapnya mumbul – mumbul gini, pasti rasa kopinya enak dan gak buat sakit perut.” (Mumbul = terbang) ucap Pak RT, sambil menuangkan kopi ke lepek yang ada dibawah cangkir.

“Sruuppp. Ahhhhh.” Pak RT terlihat sangat menikmati kopi buatanku.

Ya, aku memang sudah bisa sedikit membuat kopi yang enak, karena aku belajar dicafe yang aku punya.

“Gimana – gimana Pak.? Apa sudah ada kabar dana kenakalan dari serangan fajar.?” Tanyaku sambil mengambil rokokku, lalu membakarnya.

“Sudah banyak yang nawari.” Jawab Pak RT.

“Terus rencananya siapa yang kita pilih.?” Tanyaku lagi.

“Pilihan itu serahkan kepribadi masing – masing orang Ngga, gak perlu kita pengaruhi, dengan embel – embel seratus atau dua ratus ribu.” Jawab Pak RT lalu dia menghisap rokoknya.

“Lumayan loh Pak. Seratus atau dua ratus ribu sudah dapat beberapa bungkus rokok.” Ucapku, setelah itu aku juga menghisap rokokku.

“Dengan uang segitu aja, mereka dapat suara, terus mereka jadi dan lupa sama kita selama lima tahun. Praktek seperti itu yang bisa buka peluang bagi mereka korupsi, untuk mengembalikan modal, terus mencari modal lagi, untuk pemilihan yang akan datang. Belum lagi untuk kebutuhan keluarga besarnya, apa gak makin besar korupsinya.?” Ucap Pak RT dengan bijaknya.

“Ya sama aja Pak. Tanpa kita terima dana kenakalan dari mereka, peluang korupsinya besar juga kok. Jadi kan lebih baik kita terima aja dana kenakalan itu.” Ucapku yang tak mau kalah.

“Pilih yang sesuai hati aja Ngga. Kita kan bisa menilai mana yang terbaik dan peluang korupsinya lebih kecil.” Ucap Pak RT yang sudah matang dalam urusan seperti ini.

“Ya, ya. Gak usah diperpanjang lagi pembahasannya Pak. Kita cape berdebat, yang diatas ongkang – ongkang kaki aja.” Ucapku.

“Nah, kamu sudah tau gitu kok.” Sahut Pak RT dan kami langsung diam beberapa saat.

Aku meminum kopiku yang masih panas, lalu aku menghisap rokokku, begitu juga dengan Pak RT.

“Kamu gak kuliah Ngga.?” Tanya Pak RT.

“Sudah titip absen Pak. Hehehe.” Jawabku, lalu aku tertawa pelan.

“Betul – betul pemuda yang tidak diharapkan bangsa kamu itu Ngga.”

“Kamu belum ngerasain kerja sampai bijimu keringatan sih, makanya enteng kalau ngomong.”

“Ingat, gak semua orang bisa seberuntung kamu, yang bisa berkuliah dengan uang yang berlimpah.”

“Banyak dari mereka itu harus bekerja keras dulu, untuk bisa berkuliah. Sekali – kali lihat kebawah Ngga, jangan keatas atau kedepan terus. Ingat, orang bisa terpeselet, karena menginjak batu kerikil, bukan batu gunung yang besar.” Pak RT menasehatiku dan aku hanya mengangguk pelan.

“Sruuppppp, Ahhhh.” Pak RT menghabiskan kopi yang ada dicangkirnya.

“Ya sudah, aku mau ngecek Kang Yayan sudah selesai service komporku atau belum.” Ucap Pak RT sambil berdiri.

“Oke Pak. Nanti kalau jalan disebelah kiri ya.” Ucapku lalu aku tersenyum ke arahnya.

“Engga. Aku mau jalan ditengah aja, biar orang lebih gampang nabrak aku.” Ucap Pak RT sambil berlalu dari hadapanku, lalu beberapa saat kemudian.

CHIIITTTT.

Sebuah sepeda motor yang melaju kencang, hampir menabrak Pak RT dan untungnya si pengendara cepat menginjak remnya.

“Otakmu kamu taruh dimana.? Jalan lingkungan perumahan gini, pakai laju – laju segala. Ku tinju batang hidungmu, baru tau rasa kamu.” Omel Pak RT dengan emosinya dan dia menggertak dengan pukulan yang sengaja ditahannya.

“Maaf Pak, maaf. Saya terburu – buru.” Ucap orang yang usianya kira – kira sama seperti aku dan dia terlihat ketakutan.

“Tinju Pak, tinju.” Ucapku memanas – manasi Pak RT.

“Iiiiiiii. Kucakar – cakar bijimu nanti.” Ucap Pak RT dengan gerakan mencakar dan wajahnya terlihat garang.

“Loh he, sebenarnya Pak Rete mau ninju apa mau nyakar.?” Tanyaku.

“Diam kau, pemuda yang tidak diharapkan bangsa.” Omel Pak RT kepadaku.

“Oke, oke. Saya gak mau ditinju, apalagi dicakar.” Ucapku, lalu aku masuk kedalam rumah, karena aku mau bersiap – siap ketemu dengan Lia.

Oh iya, cangkirnya belum kubawa masuk.

Akupun keluar lagi dan terlihat Pak RT masih mengomeli pemuda yang hanya bisa tertunduk saja.

“Apa lihat – lihat.?” Tanya Pak RT kepadaku.

“Yeeee. Siapa juga yang lihatin Pak Rete. Saya mau ngambil cangkir kopi kok.” Ucapku sambil mengambil dua cangkir kopi itu, lalu aku membawanya masuk dan mencucinya.

Aku lalu pergi mandi, terus berpakaian rapi, setelah itu aku keluar rumah menggunakan mobilku. Tapi sebelum sampai di apartemen, aku singgah di Indofebruary untuk membeli rokok.

Setelah membeli rokok dan aku sudah kembali ke dalam mobil, akupun meraih Hpku untuk menelpon Lia.

“Halo sayang. Sudah sampai mana nih.?” Tanyaku.

“Sayang, sayang. Memangnya kamu berani halalin aku.?” Jawab Lia diujung telpon sana.

Nah, ini nih. Ini nih, yang membedakan Lia yang nyata sama Lia yang ada didalam mimpiku. Lia yang ini orangnya agak keras, sedangkan Lia yang ada didalam mimpiku itu lemah lembut.

“Berani. Sekarang kah kita temui orang tuamu.?” Tanyaku dan aku menantang balik Lia.

“Gak mau. Punyamu kan gak tahan lama. Nanti aku nyesal jadi istrimu.” Jawab Lia yang membuat gatal telingaku.

“Hahaha. Nanti setelah ritual kan punyaku bisa tahan lama.” Ucapku dan aku tidak menanggapi ejekannya, karena urusan setelahnya pasti akan panjang.

“Dihh. Tahan lama karena melakukan ritual aja bangga.” Sahut Lia dengan gemasnya.

“Ya iyalah. Apapun kelebihan kita dan dari manapun asalnya, kita harus membanggakan diri. Gak perlu menunggu orang lain untuk mengucapkan kata bangga pada kita.” Ucapku dan aku mencoba bijak kepada Lia.

“Sudah – sudah. Malas aku berdebat sama kamu. Lima menit lagi aku sampai di apartemen.” Ucap Lia yang ternyata sebentar lagi sampai di apartemen.

“Oke sayang. Aku juga sudah dekat kok.” Ucapku.

“Ya.” Ucapnya lalu dia mengakhiri obrolan kami dan dia tidak protes lagi dengan panggilan sayangku.

Akupun menjalankan mobilku dan mengarah ke apartemen yang sudah terlihat didepan mata.

Tidak berselang lama, akupun sudah memarkirkan mobilku dan sekarang aku berjalan ke arah Lobby apartemen.

Kedatanganku ini rupanya bersamaan dengan kedatangan Lia dan aku langsung berjalan ke arahnya, sambil merentangkan kedua tanganku, seperti gerakan yang akan memeluknya.

Camelia Handayani

“Sayang.” Ucapku dengan lembut kepada Lia, lalu aku akhiri dengan senyuman.

Barang yang dibawa Lia ternyata cukup banyak. Dengan memakai gamis dan jilbab lebar berwarna hijau muda, Lia menggendong tas pungung yang lumayan besar, serta tas kain ditangan kanan dan kirinya, yang ukurannya besar juga.

“Sayang, sayang.” Gerutunya dengan kesal, tapi tidak mengurangi kecantikan diwajahnya.

“Kok sensitive banget sih.? Itu juga, kenapa bawaannya banyak banget.? Tadi mau aku jemput pakai acara nolak lagi.” Omelku ke Lia.

“Jangan ngomel aja. Berat ini.” Ucapnya sambil menurunkan tas kain dikedua tangannya.

“Iya tuan putri. Sini aku bawa tas punggungnya.” Ucapku.

“Gak usah, bawa yang ini aja.” Ucapnya sambil menunjuk kedua tas kain yang ada dilantai.

“Siap tuan putri.” Ucapku sambil menenteng kedua tasnya itu, lalu aku mengajaknya kekamar.

TING.

Pintu lift terbuka dan kami berdua langsung masuk, lalu aku memencet lantai yang akan kami tuju.

“Supir travelnya tadi rese banget. Masa aku digodain mulai dari desa sampai depan apartemen tadi.” Lia mengeluarkan unek – uneknya dan mungkin karena itu, mood Lia jadi jelek.

“Ya wajarlah. Siapa juga gak mau godain wanita secantik kamu.?”

“Jadi kamu mau godain aku juga.?”

TING.

Pintu lift terbuka dan kami berdua melangkah keluar.

“Enggak, aku cuman mau miliki kamu aja.” Jawabku.

“Apasih, gak jelas banget. Dasar crocodile.” Ucap Lia dan sekarang kami sudah berada didepan pintu kamarku.

“Hahaha. Jadi pengen gigit kamu.” Ucapku sambil menempelkan kartu ke pintu kamarku.

“Coba aja kalau berani.” Ucap Lia.

“Hahaha.” Akupun hanya tertawa, lalu.

Ceklek.

Pintu kamar terbuka dan kami berdua masuk keruang apartemen baruku ini. Fasilitas diapartemnenku ini sudah sangat lengkap dan kami hanya tinggal berbelanja kebutuhan sehari – hari.

“Kamu mau tidur dimana.? Kamar yang itu atau kamar yang ini.?” Tanyaku sambil menunjuk kedua kamar bergantian.

“Aku terserah kamu aja.” Jawab Lia.

“Ya sudah, kamar yang ini aja. Ruangannya lebih luas dan spring bad nya juga lebih lebar.

“Kenapa harus ruang luas dan lebar.?” Tanya Lia.

“Ya karena kita berdua kan tidur bersama selama satu tahun penuh.” Jawabku sambil melangkah masuk kedalam kamar.

“Loh, enak dikamu dong.” Ucap Lia yang ikut berjalan masuk dibelakangku.

“Tenang aja, kamu juga pasti enak kok.” Ucapku sambil meletakkan kedua tas kain didekat lemari dan Lia juga meletakan tas punggunnya.

“Makin gak jelas aja crocodile satu ini.” Ucap Lia dan dia melihat ke arah sekeliling ruangan kamar yang luas ini.

Kembali aku rentangkan kedua tanganku ke arah Lia, yang berdiri tidak jauh dari hadapanku.

“Mau ngapain kamu.?” Tanya Lia dan dia mendekapkan kedua tangannya didepan dadanya.

“Kangen.” Ucapku dan tanpa basa basi lagi, aku langsung memeluk tubuh wanita cantik ini.

“Ihhhh. Crocodile.” Ucap Lia yang tidak menolak pelukanku ini, tapi dia memundurkan wajahnya, agar tidak terlalu dekat dengan wajahku. Kedua tangannya pun masih berada didepan dadanya dan itu menghalangi rapatnya pelukanku ini.

“Hemmmm.” Aku mencium aroma Lia dan jujur aroma tubuhnya itu sungguh menggairahkan sekali.

“Kamu mau cium aku ya.?” Tanya Lia sambil mengerutkan alis matanya.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, tapi aku memajukan langkah kakiku sampai Lia tersandar dilemari dan wajahnya yang tadi menjauh, tertahan oleh lemari yang ada dibelakangnya.

Tatapan mata kami bertemu dan suasana langsung terasa hening. Tidak ada celetukan yang keluar dari mulutku dan tidak ada suara kejengkelan dari Lia.

Lalu etah apa yang terjadi diantara kami berdua, karena tiba – tiba ada kecanggungan yang hadir dan menyekat dengan tembok yang sangat tebal.

Kami memang baru bertemu dua kali dan itu sudah cukup mengakrabkan kami berdua. Ya memang, pertemuan yang pertama mengharuskan kami berdua akrab. Bukan hanya sekedar mengharuskan, tapi juga mewajibkan, karena situasinya ‘memaksa’ harus seperti itu.

Untuk pertemuan yang kedua ini, aku membuat suasananya mengalir begitu saja, karena aku merasa kedekatan kami sudah cukup intim. Tapi kenapa tiba – tiba saat ini jadi canggung ya.? Apa karena aku memeluknya tanpa ada persetujuan dari dia.? Apa dia tidak suka dengan sikapku yang mungkin baginya sudah sangat kurang ajar.?

Jujur tidak ada terlintas sedikitpun dipikiranku untuk melecehkan atau merendahkan Lia, walaupun dia itu wanita panggilan. Aku hanya ingin membangun kedekatan emosional, karena kami berdua akan melakukan ritual. Aku sangat menghormatinya dan aku menganggapnya sedang bekerja, karena selama 1 tahun ini dia sudah terikat ‘kontrak’ denganku. Aku juga tidak melibatkan perasaanku, karena itu hanya akan menggangu ‘kontrak’ yang telah kami sepakati.

Memang harus aku akui, kalau aku sangat nyaman berada didekatnya dan hatiku juga terasa sangat tenang sekali. Tapi entah kenapa, sampai detik ini tidak ada getaran cinta sedikitpun yang terasa. Sekali lagi bukan karena Lia itu wanita panggilan, tapi ada hal lain yang tidak bisa aku jelaskan dengan kata – kata.

Hiuuffftt,huuuuu.

Terus apa yang harus aku lakukan disuasana yang canggung ini.? Apa suasana seperti ini akan terus berlarut.? Apa ritual kami nanti bisa dilaksanakan disituasi seperti ini.? Apa pertanyaan tentang air terjun Bulan Jingga bisa aku sampaikan.?

Enggak, enggak.

Aku gak bisa biarkan suasananya seperti ini terus dan aku harus bisa menjebol dinding tebal kecanggungan ini.

Wajah kami yang begitu dekat ini membuat aroma tubuh Lia semakin menggairahkan dan aku langsung lebih mendekatkan wajahku kewajahnya. Bibirku mengarah ke bibirnya dan ketika tinggal sedikit lagi bibir kami bertemu,

Cuuppp.

Lia memalingkan wajahnya dan kecupanku mendarat dipipinya yang lembut. Akupun tidak segera melepaskan kecupanku ini dan pelukanku yang terhalang kedua tangannya ini tetap mengerat.

“Aku seperti wanita murahan ya.?” Lia bertanya pelan dan suaranya terdengar bergetar.

Akupun langsung melepaskan kecupanku dipipinya dan aku juga melepaskan pelukanku. Aku melangkah mundur dengan tatapan mata yang melihat ke arah wajah Lia.

”Enggak.” Jawabku singkat, jelas dan padat.

“Terus kenapa kamu berani memelukku, berani merayuku, berani memanggilku sayang dan berani menatapku dengan tatapan yang nakal.? Apa karena kamu sudah membayarku, jadi kamu merasa sudah memiliki tubuhku.?” Tanya Lia yang membuat telingaku kepanasan, seperti tersiram air yang mendidih.

“Maaf kalau tindakan dan ucapanku membuatmu tidak nyaman.” Ucapku lalu aku keluar kamar.

Aku menuju ke arah sofa yang ada diruang tamu, lalu aku duduk sambil membakar rokokku.

Aku hisap rokokku dalam – dalam, lalu aku mengeluarkannya perlahan.

Hiuufftt, huuuu.

Bodoh. Harusnya aku sadar dengan sikap Lia yang terlihat kesal ketika tadi datang, itu karena dia mencoba menjaga jarak denganku. Bukannya peka, aku malah berbuat kurang ajar dan itu membuatnya semakin tidak nyaman.

Tujuanku yang ingin membangun emosi dengannya sebenernya baik, tapi caranya mungkin salah dan terlalu frontal.

Walaupun Lia terlihat jutek, aku tau dia itu wanita yang lembut dan penuh kasih sayang. Akunya aja yang tidak bisa mengambil hatinya dan justru terkesan seperti melecehkannya.

Terus bagaimana kelanjutannya setelah ini.?

Ahhhh, persetanlah dengan yang namanya ritual. Mau jadi atau tidak, aku gak perduli. Keinginanku tidak terlalu menggebu untuk masalah itu dan mood ku juga lagi turun, setelah kejadian tadi.

Hiuufftt, huuuu.

Aku hisap rokokku lagi dan tidak terasa empat batang rokok sudah aku nikmati. Lia masih didalam kamar dan aku masih duduk diruang tamu.

Lalu tiba – tiba, Lia keluar kamar dan berjalan ke arahku. Dia sudah berganti pakaian yang lebih santai dan kelihatannya dia mau keluar. Dia menggunakan kaos lengan panjang yang longgar, rok kain serta jilbab yang sama – sama lebar dan dia menenteng dompet serta Hp ditangan kirinya.

Lia berdiri didekatku dan aroma parfum yang dipakainya langsung tercium dihidungku. Aroma parfum yang lembut dan aku sangat menyukainya.

“Aku lapar.” Ucap Lia.

“Aku pesankan online.” Sahutku.

“Pengen makan diluar.” Ucap Lia lagi.

“Sendiri.?” Tanyaku

“Kamu tega.?” Lia bertanya balik

Hiuufftt, huuu.

Kembali aku menghisap rokokku, lalu aku mematikannya diasbak, setelah itu aku berdiri.

“Ayolah, aku juga lapar.” Ucapku lalu aku mengantongi Hp dan bungkusan rokokku, lalu aku mulai melangkah keluar ruangan dan Lia berjalan disampingku.



Sat, set sat, set.

Sekarang kami berdua sudah berada didalam mobil dan tidak ada obrolan sama sekali, setelah dari ruang tamu tadi sampai duduk didalam mobil ini. Aku malu untuk mengajaknya ngobrol dan dia juga terlihat canggung untuk memulai berbicara.

“Mau makan apa.?” Tanyaku tanpa menoleh ke arahnya.

“Sop buntut.” Jawabnya.

“Rekomendasi tempat.?” Tanyaku lagi.

“Ngikut.” Jawabnya.

“Oke.” Ucapku dan obrolan kami hanya sesingkat itu saja.

Aku lalu mengarahkan mobilku ke arah café sawah, karena disana ada koki baru dan kata karyawanku, dia jago masak sop buntut.

Tanpa menceritakan panjang lebar tentang suasana dalam mobil yang terasa canggung dan juga hambar, mobilku sudah sampai diparkiran café sawah.

“Pagi bos.” Sapa Kang Udin ketika aku turun dari mobil.

“Pagi kang.” Jawabku dan melihat wajahku yang lagi jutek, Kang Udin langsung menundukan kepalanya.

Aku dan Lia langsung masuk kedalam café. Kami memilih tempat yang dipojokan dan kami berdua duduk bersebelahan.

Diam, diam dan hanya diam.

Aku dan Lia berbicara hanya ketika memesan makanan serta minuman, setelah itu kami diam lagi. Aku membakar rokokku, sambil menunggu pesanan kami datang. Sedangkan Lia, dia tidak melakukan apapun. Tidak memainkan Hpnya, tidak tolah - toleh dan tidak juga membaca menu yang sengaja ditinggal dihadapannya. Dia hanya diam dengan tatapan lurus ke arah pegunungan sana dan telapak tangan kirinya menopang pipi kirinya.

Terus apa yang harus aku lakukan disuasana yang sangat menggathelkan (Menjengkelkan) ini.? Apa aku berdiri, lalu aku membungkuk sambil memegang kedua lututku, setelah itu aku berteriak.

BAJINGANN, BAJINGANN, BAJINGANN.

Begitu.?

Enggak lah cok. Gilaku belum separah itu. Mungkin levelnya baru 11 dari nilai 100 tingkat kegilaan.

Oh iya, sebenarnya aku malas makan, walaupun aku itu lapar. Mungkin karena suasana yang menggathelkan dari tadi, selera makanku jadi turun.

Hiuufftt, huuu.

Kembali aku menghisap rokokku dan bertepatan dengan pesanan kami yang datang. Aku lalu mematikan rokokku diasbak sambil memandangi hidangan yang ada dimeja.

Dua mangkok sup buntut, dua piring nasi, sepiring emping, sambal, jeruk nipis dan segelas es lemon tea serta segelas lemon tea hangat. Hidangan ini sangat menggiurkan dan selera makanku yang tadinya turun, langsung naik seketika.

Dalam diamnya, Lia melayani persiapan makanku. Mulai mendekatkan sop buntut ke hadapanku dan di ikuti sambal serta jeruk nipisnya. Lia lalu mengangkat piringnya dan membagi setengah nasinya kepiringku.

Aku lalu meracik sop buntut sesuai seleraku, setelah itu aku melahapnya. Sop buntut itu ternyata sangat lezat dan ini pasti akan menjadi menu andalan dicafeku.

Makananku habis terlebih dahulu, walaupun porsinya lebih banyak. Disela Lia menikmati makanannya, dia mengambilkan es lemon tea untukku dan aku langsung meminumnya. Aku lalu membakar rokokku dan Lia melanjutkan makannya.

Hiuufffttt, huuuu.

Beberapa saat kemudian, rokokku telah habis aku hisap dan biasanya aku selalu menghisap dua batang rokok setelah makan. Aku lalu mengambil bungkusan rokokku, tapi Lia mengambilnya terlebih dahulu dan meletakannya jauh dari jangkauanku.

Cuukkk.

Sebegitu perhatiannya wanita ini sama aku dan dia melakukan itu tanpa bersuara. Akupun mengalah dan sekarang aku hanya diam sambil tolah toleh, seperti kipas angin yang tergantung didinding.

Lia sudah menyelesaikan makannya dan dia juga sudah menghabiskan minumannya.

“Mba.” Panggilku ke salah satu karyawanku dan aku mengkodenya untuk membawakan bill (tagihan yang harus aku bayar). Aku membiasakan membayar setiap apa yang aku pesan, walaupun ini adalah cafeku.

“Iya Pak.” Ucap karyawanku sambil menganggukan kepala dari arah meja kasir sana.

Aku lalu mengambil salah satu ATMku yang sudah aku persiapkan untuk Lia.

“Bayar.” Ucapku sambil menyerahkan kartu ATM kepada Lia dan aku tidak melihat ke arahnya.

“Kenapa gak bayar sendiri.?”

“Itu kamu pegang, untuk kebutuhanmu dan makan kita.”

“Kenapa gak ditransfer.?”

“Ribet.”

“Gak usah aja.”

“Ambil.” Ucapku dengan tegas dan aku menoleh ke arahnya.

“Iya, iya” Jawabnya dengan pasrah.

“Paswordnya 071297.” Ucapku sambil memalingkan wajahku lagi.

“Tanggal, bulan dan tahun lahirmu.?” Tanya Lia dan aku yang terkejut, langsung melihat ke arah Lia lagi, karena dia tau tentang tanggal lahirku.

Liapun langsung berdiri dan sebelum karyawanku datang membawakan bill nya, Lia kekasir terlebih dahulu.

Akupun mengikutinya berjalan dibelakangnya dan setelah Lia menyelesaikan pembayaran, kami berdua keluar dan masuk kedalam mobil.

Aku menjalankan mobil dan sebelum balik ke apartemen, kami berdua singgah ke minimarket untuk membeli kebutuhan sehari – hari. Mulai dari bahan makanan, sabun pewangi, handuk kecil dan lain – lain.



Sat, set sat, set.

Malam sudah mulai menyapa dan kami juga baru selesai makan malam. Lia yang memasak dan hasil masakannya lumayan enak. Aku sampai tambah dua kali dan itu membuatku kekenyangan.

Sekarang aku hanya bisa tersandar disofa dengan sebatang rokok yang aku hisap dan dihadapanku juga ada segelas kopi.

“Sebatang aja rokoknya untuk malam ini.” Ucap Lia dan baru kali ini dia berbicara, setelah dari café tadi. Gila gak.? Gila banget pastinya. Kami berdua tidak saling berbicara ketika didalam mobil, selama belanja dan ketika makan malam.

Jujur ini sangat menyiksa sekali, tapi aku juga bingung harus berbicara apa dengannya. Aku takut keceplosan dan itu bisa membuatnya ngambek lagi.

“Iya.” Jawabku dan Lia langsung masuk kedalam kamar.

Kembali aku menghisap rokokku dan aku ingin menikmatinya, karena hanya ini saja nafas bantuan yang bisa aku hisap untuk malam panjangku. Sebenarnya aku bisa saja merokok diam – diam, karena bungkusan rokokku ada didepanku. Tapi aku tidak ingin membuat dan menambah masalah dengan Lia.

Rokokku telah habis dan aku hanya bisa berdiam diri, dengan pikiran yang melayang entah kemana.

Satu menit, sepeluh menit, tiga puluh menit, satu jam, lalu akhirnya satu sengah jam, aku masih duduk disofa dan aku bingung harus berbuat apa.

“Kita mulai terapinya sekarang.” Ucap Lia yang mengejutkan dari lamunan dan dia berdiri didekat pintu kamar.

Aku lalu menoleh ke arahnya dan aku semakin terkejut, karena pakaian yang dikenakannya sangat seksi sekali. Dia yang biasa mengenakan gamis dan jilbab lebar, malam ini menggunakan daster lengan pendek dan panjangnya hanya sebatas lutut. Jilbab yang dikenakannya pun tidak selebar biasanya dan itu menambah keseksiannya.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh ini, aku bisa melihat kulit tangan dan kakinya yang tidak tertutup itu sangat mulus dan putih. Mungkin karena jarang terkena sinar matahari, warna kulitnya jadi seperti itu dan aku hanya bisa meneguk air liurku dengan beratnya.

“Terapi apa.?” Tanyaku dan aku berusaha menguasai nafsuku yang mulai menggeliat.

“Itumu.” Jawabnya.

“Bukannya itu ritual ya.?” Tanyaku.

“Sudahlah, masuk kekamar.” Ucap Jawab Lia lalu dia masuk kedalam kamar.

Cok, cok, cok.

Kenapa sih Lia masih jutek aja sama aku.? Tidak cukupkah permintaan maafku tadi.? Terus aku harus melakukan apa, supaya dia gak jutek lagi.? Terus kenapa juga aku masih bisa bertahan seharian ini, padahal suasananya sangat menggathelkan.? Apa karena bentuk perhatiannya itu yang membuatku bisa bertahan.? Ahhh, cukklah.

Aku lalu berdiri dan aku langsung masuk kedalam kamar. Lia sudah menungguku dan dia duduk dipinggir Kasur.

Suasana pun terasa semakin canggung dan tegang. Aku yang sudah berdiri tidak jauh dari Lia, bingung harus berbuat apa dan Liapun sepertinya juga bingung harus dimulai dari mana.

“Jadi bagaimana.?” Tanyaku dengan agak ragu.

“Kamu telanjang aja dulu.” Jawab Lia dan ekspresi wajahnya tidak sejengkel tadi, tapi sekarang lebih ke arah malu dan juga bingung.

“Beneran.?” Tanyaku yang terkejut dengan perintah Lia.

“Iya.” Jawab Lia dan perlahan dia sudah bisa menenangkan dirinya, tapi aku yang masih belum bisa menguasai diriku.

Focus mataku sekarang justru tertuju ke buah dada Lia, yang menyembul dari balik daster yang dipakainya, serta sedikit pahanya yang terbuka, karena dasternya tertarik keatas.

“Fokus ke terapi, jangan ke yang lain.” Ucap Lia dan kembali lagi terlihat wajah judesnya, karena aku terpergok menatap buah dada dan pahanya. Diturunkannya daster itu sampai menutupi lututnya dengan di iringi tatapan tajam ke arahku.

Cuukkk. Salah dan salah lagi aku cok.

“Buka, gak pakai lama.” Ucap Lia dan akhirnya dia mempunyai alasan yang kuat untuk mempertahankan kejutekannya.

Hiuuffftt, huuuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

Aku buka kaos dan celana panjangku, menyisakan celana dalam yang masih menempel diselangkangan.

Jujur aku agak grogi mau telanjang bulat dihadapan Lia. Jangankan berpikir untuk bersetubuh dengannya, mau merasakan bibir manisnya itu saja, aku sudah ketakutan. Entah kenapa saat ini pikiranku ke Lia tidak bisa bringas seperti seminggu yang lalu dan justru perasaan malu yang mendominasi. Ada apa dengan diriku saat ini.?

“Aku gak mau terlalu lama menunggu ya. Aku ngantuk, mau istirahat. Sekarang cepat buka celana dalammu, terus naik kekasur.” Ucap Lia dengan tatapan yang sangat sinis sekali.

“Iya, iya.” Ucapku sambil menurukan celana dalamku dengan gerakan yang sangat lambat sekali.

Tuiinggg.

Adikku keluar dari sangkarnya dan posisinya sedang tertidur pulas. Walaupun ada pemandangan indah nan seksi dihadapanku, adikku seolah tak perduli dan dia seperti sedang bermimpi indah.

Akupun langsung naik keatas Kasur, lalu tidur dengan posisi menghadap ke langit – langit kamar.

“Geser dekat aku sini.” Ucap Lia yang sudah berdiri dilantai dan dekat pinggir Kasur.

Tanpa mendebatnya ucapan Lia, aku menggeser tubuhku mendekat ke arahnya dan Lia langsung mengambil botol berwarna hijau yang ada dimeja sebelah Kasur.

Dituangkannya isi botol itu ketelapak tangan kanannya, lalu tangan kirinya meletakan botol hijau itu ke meja lagi. Lia lalu duduk disebelah kananku, tepatnya ditepi kasur, dengan posisi memungungi aku dan kedua kaki yang menapak kelantai.

Cuukkk. Dia beneran tidak ingin memperlihatkan bagian paha maupun dadanya ke arahku aku.

“Ingat, focus. Pikiranmu jangan kemana – mana.” Ucap Lia, tanpa melihat ke arahku.

“Iya.” Jawabku, lalu

Tap.

Lia menyentuh batang kemaluanku yang tertidur, dengan tangan kanannya yang sudah dibasahi oleh ramuan yang dibawanya.

Dimulai dengan menggenggam pangkal bawah batangku dengan posisi jempol dan jari telunjukanya yang menempel dibulu jembutku yang tipis, lalu digerakan keatas sampai jari kelingkingnya menyentuh leher kemaluanku. Diulanginya lagi gerakan seperti itu beberapa kali dan anehnya, batang kemaluanku masih tetap tertidur.

Batang kemaluanku juga tidak merasakan efek apapun, ketika ramuan yang mengental dan seperti minyak itu, sudah membasahi seluruh kulit kemaluanku. Tidak panas, tidak gatal ataupun geli.

Apakah efek dari ramuan itu membuat batangku mati rasa.? Apakah Lia beneran melakukan terapi.? Atau jangan – jangan sebenarnya yang asli itu melakukan ritual, bukan terapi.? Apa Lia punya niat jahat kepadaku.? Apa karena sikapku yang sudah kelewatan.?

Cok. Semoga saja efek ini tidak terlalu lama dan Lia tidak punya niat jahat sedikitpun kepadaku. Kalau sampai dia tersinggung gara – gara tingkah kurang ajarku dan dia mengganti ramuan asli dengan ramuan palsu yang bisa membuatku impoten permanen, bisa bunuh diri aku. Bajingan.

Tap.

Tiba – tiba Lia menjepit leher kemaluanku menggunakan jari tengah dan jari telunjuknya lalu,

Nyuttt.

Lia menarik kepala kemaluanku keatas dan pinggulku pun secara replek mengikut keatas. Dia seperti sedang menarik karet yang lentur sampai terlihat lurus.

“Adduhh, duuh. Lia.” Ucapku dan Lia langsung melemaskan tarikannya.

“Jangan dilawan atau kamu akan kehilangan penismu selamanya.” Ucap Lia yang membuat tubuhku merinding dan aku langsung menurunkan pinggulku lagi.

Kembali Lia menarik penisku yang terkulai lemah ini ketas sampai kencang dan kali ini pinggulku tidak ikut terangkat. Lia menahan tarikkannya selama beberapa detik, lalu dilemaskan, setelah itu ditariknya ke arah kiri dan ditahan beberapa detik, lalu dilemaskan lagi, setelah itu lagi – lagi ditariknya dan sekarang ke arah kanan, lalu ditahannya dan setelah itu dilemaskan. Diulangi gerakan seperti itu beberapa kali dan aku hanya diam membisu.

Cuukkk. Ini bukan terapi cuukkk, ini penyiksaan. Memang tarikannya tidak terasa sakit, tapi itu bentuk penyiksaan yang sangat brutal dan tidak menghargai hak asasi perkontolan. Melihat adikku yang terkulai lemah dan tidak ada perlawanan sedikitpun, Lia tidak berhenti menyiksanya, tapi justru semakin menggila.

Akupun tidak berani mengeluarkan suaraku, karena aku bisa kehilangan adikku ini untuk selamanya. Bajingan.

Tuinggg.

Lia melepaskan jepitan dileher kemaluanku dan adikkupun langsung terkulai lemah tak berdaya.

Hiuufftt, huuuu.

Sudah selesai ya.? Akhirnya selesai juga penyiksaan yang aku alami untuk hari ini dan aku harus menyiapkan mental untuk penyiksaan minggu depan, minggu depannya lagi, sampai 6 bulan yang akan datang. Bajingan

.”Lihat keatas, jangan menunduk.” Ucap Lia yang tiba - tiba naik keatas kasur, lalu dia melebarkan kedua kakiku dan dia duduk diantara selangkanganku.

Cuukkk, mau apa dia.? Apa penyiksaan ini belum berakhir.? Terus penyiksaan apa lagi yang mau dibuatnya untuk adikku.?

Tap.

Nyiuttt.

Lia mencengkram kedua bijiku dan rasanya sangat ngilu sekali.

“Ya’, ya’, ya’.” Ucapku sambil melotot ke arahnya. Melotot bukan karena marah, tapi karena kesakitan.

“Sudah kubilang jangan menunduk.” Ucap Lia sambil meremas kedua bijiku.

“Iyaaaaa.” Sahutku dan aku langsung melihat ke arah langit – langit kamar.

Bajingaann. Kenapa dia meremas bijiku, seolah bijiku itu seperti adonen kue yang siap dibentuk.? Gila, gak punya perasaan. Coba puttingnya aku cubit, terus aku tarik kesana kemari sekuat tenagaku, mau gak dia.? Dia gak tau apa, kalau saraf – saraf di kemaluan itu sangat sensitive dan menyambung ke otak kepala.? Bajingan’og.

Perlahan Lia mulai melepaskan cengkaramannya di bijiku, lalu dia meraih batangku.

Tap.

Aku sempat terkejut sesaat dan kembali ketegangan mulai menyelimuti diriku. Pikiran burukku mulai melayang kemana – mana dan aku sangat ketakutan, dengan nasib masa depanku yang ada dijemari Lia.

Kedua jempol Lia terasa mulai mengurut batangku dan kali ini dia melakukannya dengan sangat lembut sekali. Lia menekan kedua jempolnya dipangkal bawah batangku, lalu digerakannya keatas, sampai sebatas leher kemaluanku. Gerakannya sangat lambat dan tekanan jempolnya yang tidak bertenaga itu seperti mengelus kulit kemaluanku.

“Uhhhhh.” Kulit kemaluanku yang tadi mati rasa, perlahan mulai bisa merasakan lembutnya sentuhan jemari Lia.

Adikku mulai menggeliat dan dia terbangun dari tidurnya.

Ketegangan yang menyelimuti aku dari tadi perlahan mulai menghilang, bersama pikiran burukku tentang kekejaman Lia tadi.

Elusannya mulai membangkitkan nafsuku dan kemaluanku mulai mengeras.

Cukup lama Lia memijit kemaluanku dan aku berharap sesi terapi ini bisa lama, kalau bisa sampai keluar pejuh kenikmatanku.

Dan ketika kemaluanku sudah benar – benar berdiri tegak, Lia menghentikan pijatannya dibatang kemaluanku. Kemaluanku pun berdenyut, lalu diikuti rasa gatal diluruh permukaan kulit batang kemaluanku.

“Uhhhhhh.” Aku mendesah dan pinggulku sampai terangkat sedikit. Aku tidak ingin sesi ini berakhir dan aku ingin Lia melanjutkannya sekarang juga.

“Lia, uhhh.” Ucapku sambil menunduk dan Lia yang bersimpuh diselangkanganku, langsung melirikku dengan tajam.

Melihatnya seperti itu, aku melihat ke arah langit – langit kamar dan aku ingin mengocok batang kemaluanku sendiri. Rasa gatal dikemaluanku semakin menjadi dan akupun langsung menggerakan tangan kananku ke batang kemaluanku.

Plakk.

Lia langsung menepis tangan kananku dan kembali aku melihat ke arahnya.

“Jangan melakukan apapun.” Ucap Lia dengan tegasnya.

“Gatal ya’, gatal.” Ucapku sambil melotot.

“Ya sabar. Kamu bisa sabar gak sih.?” Mata Lia melotot dan sepertinya dia tidak mau dibantah.

“ARGGGGHHH.” Aku menggeram dengan emosinya dan pandanganku kembali tertuju pada langit – langit kamar.

Tap.

Telapak tangan Lia sekarang berada tepat diatas lututku, lalu dia menekan jempolnya agak kuat, setelah itu dia mulai menggerakkannya keatas sampai menyentuh pangkal pahaku.

“Ahhhhhhhh.” Desahku dan tubuhku langsung menggelinjang, karena sensasi pijatan tangan Lia itu semakin membakar nafsuku dan batangku juga semakin gatal.

“ARRGGGGHHHHH.” Aku mengeram lagi dan kedua tanganku mengepal dengan kuatnya.

Ingin rasanya aku bangkit, lalu aku menyeret tubuh Lia ketengah kasur, setelah itu aku memperkosanya tanpa ampun.

Pengaruh ramuan itu ternyata sangat luar biasa membangsatkan. Awalnya terasa biasa, tapi lama – kelamaan efeknya seperti obat perangsang dengan dosis yang paling tinggi. Apalagi ditambah dengan sentuhan demi sentuhan Lia dipahaku, membuat nafsuku semakin menggila dan aku membutuhkan pelampiasan.

Pijatan demi pijatan yang diulang beberapa kali dipahaku, membuat nafasku semakin memburu dan kemaluanku semakin berdiri dengan keras, sekaras baja.

Aku butuh belaian dan aku butuh pelampiasan.

Argghhh. Persetan dengan terapi ini, Akumau mengakhirinya sekarang juga.

Tap.

Lia memegang batang kemaluanku, sebelum aku menyudahi terapi yang menggathelkan ini.

“Aaaaakhirnya, uhhhh.” Gumamku dan Lia mulai mengocok batangku dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya meremas biji dengan sangat lembut.

Ya, ini yang aku mau. Walaupun tidak memakai lubang vaginanya, setidaknya tangan Lia mau mengeluarkan pejuh kenikmatanku.

“Ahhhh. Terus Ya’, terus. Ahhhh.” Desahku dan Lia semakin memercepat kocokannya.

Perpaduan serangan dari kocokan dibatang dan remasan dibiji, membuat birahiku membumbung tingga ke langit kenikmatan. Pejuhku yang menggumpal dan sudah semingggu tidak aku keluarkan ini, langsung berlarian ke arah kepala batangku yang siap untuk menyemburkannya.

Puncak kenikmatan sudah berada didepan mata dan dengan refleknya, pinggulkupun terangkat ketas.

“AKU KELUAR YA’ AHHHHHHH.” Teriaku, lalu.

Nyuutttt.

Lia mencengkrang leher kemaluanku dengan kuat, lalu dia menutup lubang kencingku dengan jempolnya.

“LEPAS YA’, LEPASSSSSS.” Teriakku, tapi cengkramannya dileher kemaluanku justru semakin menguat dan tekanan dilubang kencingku juga tidak kalah kuat.

“ARRGGHHHHHH.” Teriakku dengan pinggul yang semakin terangkat tinggi, lalu.

Buhggg.

Pinggulku terjatuh dikasur dan pejuhku yang sudah berada ditengah leher kemaluanku, kembali turun dan menghilang entah kemana.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu dan aku langsung duduk dengan cepat. Aku duduk dengan kedua kaki selonjor kedepan dan Lia masih bersimpuh dihadapanku.

“Kenapa ya’.? Kenapa kamu nyiksa aku.? Aku salah apa sama kamu.? Apa karena aku sudah bertindak kurang ajar sama kamu ketika kamu datang tadi, jadi kamu balas dendam sekarang.? Gak cukupkan permintaan maafku tadi.? Aku harus melakukan apa, supaya kamu gak jutek lagi dan kamu gak nyiksa kontolku seperti barusan.? APA YANG HARUS AKU LAKUKAN.? APA.?” Ucapku dengan emosinya dan aku akhiri dengan teriakan yang cukup keras didepan wajahnya.

Wajahnya langsung terlihat memucat dan dia terkejut dengan sikapku yang seperti ini.

“Aku mau sudahi terapi ini dan kamu harus melayani aku sekarang juga. Aku mau menuntaskan nafsuku sekarang juga dan harus sampai tuntas.” Ucapku sambil memegang kedua pundaknya

Sebelum dia menyanggupi permintaanku ini, aku langsung memeluk tubuhnya dan tubuhku menodorong kedepan sampai tubuh Lia terlentang dikasur. Karena jarak duduknya dengan ujung kasur terlalu dekat, batas kasur yang menahan tubuhnya hanya sebatas pundaknya, sementara kepalanya pun menjuntai ke arah lantai.

Akupun langsung bangkit dan kedua kakinya yang terlipat karena dia tadi bersimpuh, langsung aku luruskan, setelah itu aku menarik kedua kakinya, sampai kepalanya yang menjuntai tersandar dilantai.

Nafsu yang sudah menguasai diriku ini, membuatku gila dan aku sudah tidak bisa berpikir dengan jernih.

Lia yang melihatku menggila seperti ini hanya diam dengan mata yang berkaca – kaca. Tidak ada penolakan dari sikapku yang kasar ini dan dia hanya pasrah.

Aku tekuk kedua kakinya keatas. Setelah itu aku melebarkan kedua pahanya.

Krekkkk.

Daster dibagian pahanya sobek dan selangkangannya yang putih bersih, yang masih tertutup celana dalamnya, terlhat jelas didepan mataku. Aku tarik paksa celana dalamnya sampai terlepas dan vaginanya yang sangat rapat serta dihiasi bulu yang tipis, terlihat sangat menggoda sekali.

Aku langsung bersimpuh dilengkangannya, lalu aku memegang batang kemaluanku, setelah itu aku gesekan dipermukaan vaginanya.

“Hemmmmmm.” Lia mengepalkan kedua tangannya dengan kuat dan matanya juga terpejam.

Aku lalu menekan pinggulku, tapi vaginanya yang rapat itu susah sekali aku tembus. Ujung kemaluanku melesat keluar dan tidak bisa masuk kedalam vaginanya.

Cokk. Mungkin karena belum basah, vagina Lia susah dimasuki dan kelihatannya, aku harus merangsangnya terlebih dahulu.

Akupun langsung memajukan tubuhku dalam posisi membungkuk dan aku ingin melumat bibirnya yang selalu menolak ciumanku itu.

Wajah kami sekarang sudah saling menghadap dan terlihat kedua matanya berkaca – kaca. Aku tidak perduli dengan kondisinya saat ini, yang terpenting aku harus terpuaskan. Akupun langsung memajukan bibirku dengan nafas yang memburu.

Cuuppp.

Lia memalingkan wajahnya dengan cepat dan lagi lagi ciumanku hanya mendarat dipipinya. Aku mencoba mengejar bibirnya, tapi dia selalu menghindarinya.

Gerakanku yang mengejar bibirnya ini, membuat batangku beberapa kali menggesek dikemaluan Lia. Lalu tanpa kurang akal, aku langsung memegang kedua pipinya dan aku langsung menahannya dengan kuat, sampai Lia tidak bisa menoleh lagi.

Tatapan mata kami bertemu dan sekarang butiran air matanya mulai menetes. Aku dekatkan wajahku ke arah bibirnya dan,

“Kalau kamu mau ambil perawanku, silahkan ambil sekarang juga, tapi tolong jangan sentuh bagian tubuhku yang lain.” Ucap Lia dengan suara yang bergetar dan aku langsung menghentikan aksiku.

Kata – katanya itu seperti petir yang menyambar telingaku dan aku langsung mengangkat tubuhku yang menindih tubuhnya yang tak berdaya itu.

“Ka, ka, kamu masih perawan.?” Tanyaku terbata dan aku sebenarnya tidak percaya dengan ucapannya, karena dia itukan wanta panggilan. Jadi bagaimana mungkin dia masih perawan.? Terus caranya mengocok tadi dan mengoral kemaluanku minggu lalu, itu sangat lihai dan itu semakin membuktikan kalau dia adalah wanita Panggilan.

Terus kenapa dia buat pengakuan kalau dia itu masih perawan.? Apa itu hanya untuk membuatku kasihan dan aku tidak bisa menikmati tubuhnya, begitu maksudnya.?

“Aku tau kalau kamu ragu dengan ucapanku, tapi tak apa. Kalau kamu mau membuktikan, silahkan ambil sekarang dan aku mohon sekali lagi, jangan sentuh bagian tubuhku yang lain.” Ucap Lia yang masih terlentang dan mengangkang.

“Aku sadar dengan keputusanku seminggu yang lalu untuk terjun didunia seperti ini, aku pasti akan kehilangan kehormatanku dan laki – laki manapun pasti akan menganggap diriku rendah.” Ucap Lia lagi dan kata – katanya itu menusuk jantungku.

Nafsuku yang berkobar – kobar langsung turun seketika, walaupun kemaluanku masih berdiri dengan tegaknya.

“Bangun. Ganti pakaianmu.” Ucapku karena daster yang dipakainya tadi robek akibat kebrutalanku.

Akupun sudah duduk ditepi kasur dan aku berbicara barusan, tidak menoleh ke arahnya.

“Aku gak mau terlalu banyak berhutang budi sama kamu. Lakukan apa yang mau kamu lakukan sekarang, karena itu akan membuatku sedikit tenang.” Ucap Lia yang belum beranjak dari tidurnya yang terlentang dan mengangkang.

“Kamu mau pakai baju sendiri atau mau aku yang pake in.?” Tanyaku sambil menoleh ke arahnya dan tatapan mataku hanya tertuju pada matanya.

Melihatku yang sangat serius ini, Liapun langsung bangkit dan dia mencoba menutupi pahanya yang terbuka.

“Baiklah. Tapi aku mau menyelesaikan tahap akhir terapi ini, lalu aku akan berganti pakaian.” Ucap Lia yang masih kepikiran untuk melanjutkan terapi.

“Jangan gila. Dari pada kamu aku perkosa beneran.” Ucapku dengan emosi yang tertahan.

“Silahkan. Aku gak akan berontak.” Lani membalas tatapan mataku dan terlihat dia tidak main – main dengan ucapannya.

“Kenapa mau dilanjutkan.? Aku aja sudah malas dan gak mood lagi kok.” Bantahku.

“Kalau itu tidak diselesaikan, lama – lama kulit kemaluanmu bisa melepuh dan kalau semakin dibiarkan, itu akan membusuk dan kamu bisa kehilangan kemaluanmu ini.” Ucap Lia dan aku langsung tertunduk mendengar ucapannya itu.

“Cok. Terserahlah.” Ucapku lalu aku tidur terlentang, tanpa dimintanya. Aku ingin menyelesaikan semuanya dengan cepat, daripada aku harus kehilangan adikku ini.

Lia langsung turun dari kasur, setelah itu dia berjalan keluar kamar.

Cok. Apa benaran kemaluanku bisa melepuh ya.? Yang kurasakan sekarang inikan batangku gatal, bakan panas. Jadi bagaimana bisa melepuh.

Lalu tiba – tiba.

Nyut, nyut, nyut.

Kemaluan ku yang tadinya gatal, perlahan mulai terasa panas. Gatal dan panas itu tidak membuat batangku tetidur, tetapi justru semakin tegak berdiri.

Gila, gila, gila. Kalau aku tau seperti ini, lebih baik aku tidak melakukan terapi. Aku harusnya sudah bersyukur dengan ukuran kemluanku yang diatas rata – rata dan daya tahannya juga lumayan lama kok. Tapi kenapa aku bisa terpengaruh, untuk membuat kemaluanku berurat dan tahan lama.? Bajingannn.

Rasa panas serta gatal ini semakin menjadi dan membuat batangku langsung memerah.

Cok. Ini kalau tadi sempat masuk divagina Lia, apa vaginanya tidak rusak, karena batangku masih ada lumuran ramuan itu.? Wahhh. Gila juga ya. Tapi yang lebih gila lagi, ya Lia, karena dia tau resikonya, tapi dia justru tidak menolak batangku yang akan masuk kevaginanya.

Beberapa saat kemudian, Lia sudah masuk kamar lagi dan dia membawa baskom kecil yang berisi air. Baskom itu diletakkan di bawah kasur, lalu dia menuangkan ramuan lain yang berwarna putih kedalam baskom kecil itu.

Lia lalu mengambil handuk kecil, setelah itu dia mencelupkan kedalam baskom, lalu dia memerasnya.

Lia duduk ditepi kasur dan kali ini dia menghadap ke arahku. Dasternya yang sobek membuat pahanya yang putih terlihat jelas dan dia tidak mencoba untuk menutupinya.

Nyess.

Lia melilitkan handuk basah itu dikemaluanku yang tegak berdiri dan rasa dingin dari handuk itu, perlahan meredakan gatal serta panas dikemaluanku. Lia menekan pelan – pelan kemaluanku yang tertutup handuk itu, dengan kedua tangan yang saling menggenggam

Aku melihat semua prosesnya dan Lia tidak melarangku. Diapun duduk dengan cueknya, sampai paha serta vaginanya yang tidak tertutup celana dalam itu, terlihat mengintip didalam sana. Dia seperti membiarkan kedua mataku menyantap liar bagian tubuhnya dan dia tidak canggung sedikitpun

“Maaf, kalau selama melakukan terapi tadi, aku terlalu kaku.” Ucap Lia sambil menekan handuk yang melilit kemaluanku.

“Ini pertama kalinya aku melakukan terapi dan ini adalah kemaluan pertama yang aku lihat, aku sentuh dan aku kulum.” Ucap Lia lagi dan perlahan dia menoleh ke arahku. Dia mengatakannya dengan lembut dan tatapannya terlihat sangat jujur sekali.

“Kalau kamu marah dan tidak puas dengan pelayananku serta sikapku yang ketus, kamu boleh mengakhiri kesepakatan kita dan aku akan mengganti semua uang yang telah aku terima.”

“Atau lebih baik, aku saja yang mengundurkan diri. Setelah kemaluanmu ini selesai dikompres, kamu sudah bisa menggunakannya secara normal seperti biasa.” Ucap Lia dan sepertinya dia malu dengan apa yang sudah terjadi tadi.

“Banyak pertanyaan – pertanyaan yang ada dikepalaku saat ini dan aku yakin kamu pasti tau apa saja pertanyaan itu.” Aku mengucapkan itu sambil menatap matanya yang indah itu.

“Terlalu panjang jawaban dari pertanyaan – pertanyaanmu itu.” Ucap Lia dan bola matanya itu tidak berpaling sedikitpun dari mataku.

“Apa tidak cukup waktu setahun, untuk aku mendengar semua jawaban itu.?” Tanyaku dan sepertinya dia terkejut, karena aku mau melanjutkan terapi yang membangsatkan ini.

“Kita bisa menambah waktunya sebulan, dua bulan atau lebih baik kita menikah saja, jadi aku bisa melihat wajah ketusmu ini setiap hari.” Ucapku dan wajah Lia langsung merah bersemu.

“Dasar crocodile.” Ucap Lia dan diakhiri dengan senyum yang terlihat sangat ikhlas.

Suasana tegang yang sedari tadi mengelilingi kami berdua, akhirnya perlahan mulai mencair. Aku sudah tidak canggung dan Lia juga tidak seketus tadi. Tapi walaupun seperti itu, aku tidak ingin bertindak yang aneh – aneh, karena bisa saja itu akan merusak suasana.

“Jadi bagaimana.?” Tanyaku.

“Ya gak mungkin aku cerita sekarang kan. Masih ada hari esok, untuk kita saling bercerita.” Jawab Lia.

“Bukan itu. Kalau masalah itu, aku juga paham kok. Maksudku itu, bagaimana nasibnya dia.?” Tanyaku sambil menunjuk ke arah kemaluanku yang masih berdiri tegak dan tertutup handuk.

“Oh, ini sudah selesai kok.” Ucap Lia lalu dia membuka handuk yang menutupi kemaluanku dan rasa gatal serta panasnya sudah menghilang. Bekas ramuan pertama juga sudah bersih dan kemaluanku terlihat segar bugar.

“Maksudnya, sudah selesai bagaimana.?” Tanyaku dengan herannya.

“Ya sudah selesai. Kita lanjut terapinya minggu depan lagi.” Jawab Lia dengan entengnya.

“Aku tau kalau minggu depan akan lanjut lagi. Maksud aku itu, ini sudah selesai dan ditinggal gitu aja.?” Tanyaku dan kepala Lia hanya mengangguk pelan.

“Terus nasibnya bagaimana.? Dia ini sudah berdiri seperti tombak dan sekeras baja, masa ditinggal begitu aja.? Apa gak keram kalau lama – lama seperti ini.?” Tanyaku dengan keheranan.

“Kamu mau dikeluarkan pakai bagian tubuhku yang mana.? Aku siap dan aku tidak akan menolak, apapun itu..” Ucap Lia.

“Loh, katanya gak boleh dikeluarkan selama proses terapi.?” Tanyaku.

“Hanya aku yang boleh mengeluarkannya. Sekarang cepat tentukan pilihanmu, bagian tubuhku mana yang kamu ingin kan, sebelum punyamu ini keram.” Ucap Lia.

“Mulut boleh.?” Tanyaku dengan cepatnya.

“Hem. Kamu kangen ya sama kulumanku.?” Tanya Lia balik.

“Kangen dan aku iri sama dia.” Ucapku.

“Karena.?” Lia bertanya sambil menggenggam batang kemaluanku dengan lembut.

“Dia sudah merasakan bibirmu, sedangkan bibirku sendiri belum merasakan.” Jawabku sambil menoleh ke arah yang lain.

“Kamu mau.?” Tanya Lia.

“Mau, mau, mau.” Jawabku sambil menoleh ke arah Lia.

Lia lalu membungkukan tubuhnya ka arahku dan mendekatkan wajahnya ke arah wajahku. Aku memajukan bibirku dan bersiap menyambut ciuman pertama kali kami ini.

Lalu,

Cuuppp.

Lia menolehkan wajahnya lagi dan ciumanku lagi - lagi mendarat dipipinya.

“Kamu akan mendapatkannya setelah terapi kita selesai. Bukan hanya bibir, tapi semua yang kamu inginkan, akan kamu dapatkan.” Bisik Lia ditelingaku, lalu dia mengangkat wajahnya dan kembali dia memegang batangku.

“Astagaaa.” Gumamku pelan.

“Hihihi.” Lia pun hanya tertawa manja, lalu.

Sluurrpppp.

Lia menjilat kepala kemaluanku sambil menatap ke arahku dengan tatapan yang, assudahlah..

“Uuuuuhhhh, Ya’.” Desahku, lalu.

Happp.

Lia memasukan kepala kemaluanku kedalam mulutnya dan hanya sebatas leher kemaluanku.

Tangan kanannya mulai mengocok bantangku dan mulutnya mulai menghisap kepala kemaluanku.

“Aauuuhhhhhhhh.” Ucapku medesah kenikmatan dan ingin rasanya tanganku menyusup kedalam dasternya yang sobek, tapi aku takut Lia akan mengaum dengan buasnya.

Sruupppp,

Clokk, clokk, clokkk.

Lia memaju mundurkan kepalanya, dengan tangan kanan mengocok batangku dan tangan kirinya meremas kedua bijiku pelan.

“Ahhhhhh.” Desahku dan kedua kakiku terasa bergetar, karena permaianan Lia yang sangat luar biasa enak.

Sluurrpppp, sluurrpppp, sluurrpppp, sluurrpppp.

Clokk, clokk, clokkk, clokkk, clokkk.

Aku memajamkan kedua mataku dan sensasinya itu semakin terasa enak.

Dalam mulut Lia terasa lembut, hangat dan basah. Sedotannya juga terasa semakin kuat, seiring kocokannya yang semakin cepat.

“Ahhhhh. Enak ya’, enak.” Ucapku dan pinggulku sampai sedikit terangkat.

Kuluman Lia tetap bertahan sebatas leher kemaluanku dan lidahnya terasa menyapu kepala batangku didalam mulutnya.

“Auuuhhhhh.” Pinggulku kembali terturun dikasur dan Lia tidak melepaskan kepala kemaluanku walaupun hanya sebentar.

Sluurrpppp, sluurrpppp, sluurrpppp, sluurrpppp.

Clokk, clokk, clokkk, clokkk, clokkk.

“Aku gak kuat Ya’. Aku mau keluar. Ahhhhh.”

Kembali Lia menyedot kepala batangku dengan kuat dan kocokan dibatang semakin cepat, sementara remasannya dibiji berganti dengan rabaan kelima ujung jemari kirinya.

“AKU KELUARR YA’..” Aku berteriak kencang dan pinggulku kembali terangkat, ketika gumpalan air maniku sudah diujung kepala batangku, dan.

Crottt.. crot.. crot.. crot.. crot.. crot.. crot..

Semburan spermaku mengalir deras kedalam mulut Lia dan dia tidak melepaskan kulumannya. Dia terus menghisap kepala batangku sampai tetes terakhir dan dia terus mengocoknya.

“Ahhhhhhh.” Tubuhku mengejang, mengeluarkan sisa – sisa cairan kenikmatanku.

Dan setelah pejuh kenikmatanku sudah habis, Lia melepaskan kulumannya dan dia menelan semua spermaku sampai tidak tersisa.

PLOP.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu dengan cepat.

“Nikmat banget Ya’, tadi itu nikmat banget. Hu, hu, hu, hu.” Ucapku dan Lia langsung tersenyum mendengarnya, setelah itu dia mengambil handuk yang basah tadi, lalu dia membersihkan batangku dari bekas lumatannya.

“Kamu harus tanggung jawab Ya’. Kelihatannya aku kecanduan dengan kulumanmu. Hu, hu, hu.” Ucapku dan Lia tidak menanggapinya. Dia hanya melihat ke arah jam dinding, lalu melihat ke arahku.

“Lumayan, ada kemajuan.” Ucap Lia.

“Kemajuan apa.?” Tanyaku.

“Minggu lalu, gak sampai tiga menit, kamu sudah keluar. Kalau sekarang, kamu bisa bertahan sampai lima menit.” Ucap Lia sambil membersihkan selangkanganku dan seluruh bagian kemaluanku dengan handuk yang basah.

“Hiuffttt, huuuu.” Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

Lia bangun dari duduknya, lalu dia merapikan semua peralatan yang digunakannya untuk terapi.

Akupun langsung duduk ditepi kasur, setelah itu aku berdiri.

“Mau mandi.?” Tanya Lia.

“Enggak, dingin. Besok aja.” Jawabku dan aku memunguti satu persatu pakaianku.

“Terus mau kemana.?” Tanya Lia lagi.

“Tidur dikamar sebelah.” Jawabku, karena aku gak enak kalau satu kasur dengan Lia dikamar ini. Suasananya sekarang sudah membaik dan aku tidak mau membuat masalah dengannya.

“Aku tidur sendirian dikamar ini.?” Tanya Lia dan aku masih belum memakai pakaianku.

“Ya mau bagaimana lagi.?” Tanyaku balik.

“Kamu tega.?” Lia bertanya dengan wajah yang memelas.

What the fuck.

Apa – apan ini.? Lia mau mengajakku tidur bareng gitu.? Wahhh. Masa aku nolak sih.? Ya gak mungkinlah. Itu sudah menjadi harapanku dari tadi dan aku suka sekali. Hahaha.

Tapi ngomong - ngomong, aku tidak mau mengiyakan langsung. Aku mau memberikan dia syarat, karena dia yang menginginkan aku untuk tidur dikamar ini dan dia harus menurutinya.

“Iya sudah, aku temani. Tapi aku tidurnya telanjang begini aja ya.” Ucapku sambil memainkan kedua alis mataku.

“Ya terserah. Kan yang kedingan kamu sendiri.” Ucap Lia dengan cueknya.

“Tapi.” Ucapku terpotong.

“Tapi apa.?” Tanya Lia.

“Kamu juga harus telanjang bulat juga. Hehehe.” Ucapku sambil tertawa pelan dan tangan kananku menggaruk selangkanganku.

“Ogah. Dasar crocodile. Mending aku tidur sendiri. Kamu tidur dikamar sebelah aja sana.” Ucap Lia dengan wajah yang jutek.

Cuukkk. Kenapa juga permintaanku aneh – aneh begini sih.? Dengan membiarkanku telanjang saja, itu sudah sangat baik. Kenapa juga aku memintanya telanjang.? Lagi pula kalau dia telanjang, aku mau berbuat apa sama dia.? Mau setubuhi dia gitu.? Gak mungkin juga kan.? Ya bisa saja dia mengijinkan aku untuk mengambil perawannya, tapi aku tidak boleh menyentuh bagian tubuhnya yang lain. Untuk apa kalau begitu.? Kan lebih baik aku bersabar enam bulan lagi, setelah itu aku bisa menikmati seluruh tubuhnya. Dia sudah berjanji seperti itu dan kenapa juga sekarang aku memancingnya untuk telanjang.? Bajingannn.

Arrghhhh, bodoh, bodoh, bodoh.

“Sudah, keluar sana. Mau nunggu apa.?” Omel Lia.

“Iya, iya. Aku keluar.” Ucapku sambil melangkah ke arah pintu dan aku menenteng pakaianku.

“Ihhhhh. Kamu itu kok jahat banget sih.?” Ucap Lia ketika aku sudah sampai dipintu dan aku langsung menoleh ke arahnya.

“Kamu tega, biarin aku tidur sendirian.?” Tanya Lia dan wajahnya yang tadi jutek, sekarang merengek manja.

“Iya, iya. Aku temanin. Tapi aku telanjang.” Ucapku sambil berjalan ke arah kasur dan aku melempar pakaianku di sofa yang ada dikamar.

“Terus aku gimana.?” Tanya Lia.

“Terserah. Mau telanjang, mau pakai daster, mau pakai jas hujan, mau pakai gamis atau mau pakai kebaya, terserah kamu.” Ucapku dari pada aku salah berbicara lagi.

Akupun langsung merbahkan diriku dikasur, karena tubuhku sudah letih dan aku mau istirahat.

“Hihihi.” Terdengar Lia tertawa pelan, lalu dia mamatikan lampu utama kamar da menyisakan lampu remang – remang dari atas meja.

Lia lalu berjalan ke arah kasur dengan tetap memakai dasternya yang sobek. Dia lalu duduk di tepi kasur, setelah itu dia membuka beha nya, tanpa melepas dasternya.

Argghhh. Singa betina ini mancing – mancing aja kerjaanya cuukk.. Dia sekarang hanya memakai daster dan jilbab yang menempel dikepala, tanpa menggunakan dalaman sama sekali cuukk. Bajingan.

Lia lalu merebahkan tubuhnya disebelah kiriku, dengan posisi memunggungi aku. Sedangkan aku, aku terlentang melihat ke arah langit – langit kamar.

“Lingga, dingin.” Ucap Lia tanpa menoleh ke arahku.

“Mau aku peluk.?” Tanyaku.

“Tarikan selimutnya, crocodile.” Jawab Lia.

Cok, djiancok.

“Iya, iya.” Ucapku lalu aku bangun dan menarik selimut yang ada dibawah kaki kami, lalu menariknya sampai menutupi sebatas leher kami berdua.

Suasana langsung terasa hening dan ada kecanggungan lagi diantara kami.

“Hiuuufffttt, huuuu.”

Kelihatannya enak nih kalau meluk Lia.

Akupun langsung memiringkan tubuhku ke arah Lia, lalu aku menggeser, sampai tubuhku sedikit merapat ketubuhnya.

Tangan kananku aku angkat, setelah itu aku merangkul perutnya.

Tidak ada penolakan darinya dan ini sudah cukup nyaman bagiku. Wajahku menyentuh kepala belakangnya yang tertutup jilbab, sementara pinggulku tidak aku rapatkan di bokongnya.

Tik, tok, tik, tok.

Waktu terus berjalan dan kedua mataku tidak bisa terpejam.

Dan yang namanya laki – laki, tidur berduaan dengan wanita dengan posisi seperti ini, pasti membutuhkan kenyamanan yang lebih lagi.

Pinggulku aku rapatkan di bokongnya, sehingga kemaluanku yang menyentuh bokong Lia yang hanya tertutup daster tipis ini, mulai menggeliat.

Tangan kananku yang ada diperutnya mulai naik keatas dan mulai menyentuh daging kenyal yang terhalang daster tipis juga. Jempol dan telunjukku mulai mencari puttingnya, lalu setelah menemukannya, aku memainkan putting itu dengan kedua jariku itu.

Puttingnya terasa semakin mengeras dan buah dadanya juga semakin terasa kenyal.

“Crocodile. Aku sudah membiarkanmu memeluk perutku, tapi lama – lama kok kamu ngelunjak ya.?” Ucap Lia tanpa menoleh ke arahku.

“Kamu itu kok jahat banget sih Ya’? Aku menyentuhnya kan dari luar dastermu.” Protesku.

“Kalau kamu gak angkat tanganmu dari nenenku dan kamu tidak memundurkan selangkanganmu, aku langsung balik badan, terus aku tarik kemaluanmu kuat – kuat, sampai besok pagi.” Ancam Lia dan aku langsung menurunkan tanganku kembali keperut Lia dan aku juga memundurkan pinggulku dengan cepat.



#Cuukkk. Wanita satu ini memang aneh kok.
 
Malam Om dan Tante

Updet tipis - tipis ya..
Updetnya memang agak lambat, soalnya ngetiknya sambil cari inspirasi..
Semoga bisa dimaklumi dan semoga masih bisa dinikmati..

Selamat berakhir pekan..
Selamat berkumpul dengan keluarga..
Dan jangan lupa berbahagia..

Maaf kalau banyak typo..
Mohon saran dan masukan..

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan..
:beer::beer::beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd