Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG BULAN JINGGA

BAGIAN 3
LEMBARAN PERJALANAN HIDUPKU



Beberapa tahun lalu (Tahun pertama aku kuliah.)

Awali hari dengan senyuman, karena setiap hari itu membawa kesempatan baru dalam kehidupan. Melangkahlah dan temukan jalan yang akan membawamu meraih impian. Kata – kata yang aku tulis dan aku tempelkan dibagian atas cermin yang ada dikamarku. Sengaja aku tempelkan itu dicermin, agar setiap pagi ketika aku selesai mandi, kata – kata itu yang selau terbaca dan akan menjadi motivasi untuk diriku sendiri.

Jomblo seperti aku ini siapa yang akan memotivasi, kalau bukan diri sendiri.

Cissttt, cissttt, cissttt, cisssttt.

Suara parfum yang aku semprotkan dibagian tubuhku dan aku bersiap untuk berangkat kuliah. Ini adalah hari pertama aku kuliah dan sangat bersemangat sekali.

Oh iya, aku kuliah dikampus teknik kuru Kota Pendidikan dan aku mengambil jurusan teknik sipil. Pekerjaan Ayahku sebagai kepala dinas pekerjaan umum, membuatku terinspirasi untuk mengambil jurusan ini. Ayahku dinasnya di ujung paling timur negara kayangan ini dan beliau sekarang bersama Ibuku disana.

Aku anak tunggal, tapi aku tidak ingin dimanjakan oleh kedua orang tuaku. Aku tidak ingin fasilitas yang berlebihan, walaupun sebenarnya orang tuaku bisa saja memberikannya.

Aku tinggal di rumah milik orang tuaku, yang dibeli pada saat Ayahku dinas diKota Pendidikan ini waktu aku SMP. Kedua orang tuaku berasal dari kabupaten yang tidak jauh dari ibu kota propinsi dan aku juga lahir disana.

Mulai dari sebelum sekolah sampai SMP, aku ikut perpindah – pindah kota sesuai dengan posisi penempatan Ayahku. Tapi semenjak SMA, aku tidak ikut kedua orang tuaku lagi dan aku lebih betah tinggal di Kota Pendidikan.

Aku sendirian tinggal dirumah ini dan aku sudah terbiasa hidup mandiri. Lingkungan tempat aku tinggal juga asyik, jadi aku tidak pernah merasa kesepian.

TOK, TOK, TOK.

Terdengar suara ketukan pintu rumahku.

“NGGA, LINGGA.” Terdengar teriakan Darel dari luar rumahku, lalu dia mengetuk pintu rumahku lagi dengan keras.

TOK, TOK, TOK.

Akupun langsung keluar kamar, lalu aku membuka pintu rumahku.

“Kenapasih pakai acara teriak – teriak.?” Omelku dan Darel hanya tersenyum dengan wajah yang tidak merasa bersalah. Dia sudah berpakaian rapi dan dia juga memakai tas punggung.

“Gak usah marah – marah. Kamu pasti belum sarapan kan.?” Darel bertanya balik sambil berjalan masuk kedalam rumahku, lalu dia duduk disofa dengan cueknya.

“Kenapa.? Kamu bawain aku sarapan.?” Giliran aku yang bertanya balik.

“Nih.” Ucapnya sambil mengeluarkan sebungkus rokok, lalu menyodorkannya kepadaku.

“Sarapan apa itu.? Sarapan kok asap.” Ucapku sambil melangkah ke arah kamarku untuk mengambil tasku.

“Enak Cok.” Ucap Darel dan aku tidak menghiraukannya.

“Kamu mau berangkat kuliahkan.?” Tanya Darel.

“Iya. Kenapa memangnya.?” Tanyaku sambil berjalan ke arahnya, lalu aku duduk di hadapannya.

“Ikut dong. Mobilku kemarin sore masuk bengkel.” Ucap Darel.

“Kok bisa.? Itukan mobil baru.?” Tanyaku.

“Mana aku tau.” Ucapnya lalu dia membakar rokoknya.

“Aku naik sepeda motor loh, gak apa – apa kan.?” Tanyaku dan aku malas kekampus menggunakan mobil peninggalan Ayahku.

“Iya gak apa – apa. Nanti baliknya aku langsung ke dealer aja, aku mau ambil mobil baru lagi.” Jawab Darel lalu dia menghisap rokoknya.

“Enaknya hidupmu cok. Mobil rusak langsung beli mobil baru lagi.” Ucapku sambil menggelengkan kepala pelan.

“Ya siapa lagi yang habisin duit orang tua, kalau bukan anaknya. Hehehe.” Sahut Darel dengan santainya.

“Assuuuu.” Makiku dan dia hanya tertawa.

Darel ini tinggal tidak jauh dari rumahku. Dia tinggal dikosan milik orang tuanya dan kedua orang tuanya ada di Ibukota Kayangan. Kosannya ada 10 kamar dan kosannya sangat bebas. Penghuninya cowo dan cewe, dan lingkungan sekitar kami tidak mempermasalahkannya.

“Nanti ke dealer sama aku lagi.?” Tanyaku.

“Gak usah, aku naik ojol aja.” Jawab Darel.

“Ya udah, kalau gitu kita berangkat sekarang.” Ucapku kepada Darel lalu aku berdiri.

“Oke.” Jawab Darel sambil berdiri, lalu dia mengambil bungkusan rokoknya diatas meja.

“Kamu beneran gak ngerokok.?” Tanya Darel sambil menyodorkan rokoknya lagi kepadaku.

“Apasih enaknya rokok.?” Tanyaku balik.

“Selain buat pikiran tenang, rokok itu buat kita kelihatan laki banget.” Jawab Darel dan dia tetap menyodorkan rokoknya kepadaku.

“Jadi kalau ada cewe yang ngerokok, kelihatan laki juga gitu.?” Tanyaku.

“Gak gitu konsepnya cok. Susah bicara sama anak cupu kayak kamu ini.” Ucap Darel sambil mengantongi bungkusan rokoknya, lalu dia berjalan duluan keluar rumah.

“Ampun suhu. Ampuni si cupu ini.” Ucapku yang berjalan dibelakangnya.

“Eleh, cupu – cupu bangsat kamu itu. Ayo sudah jalan, terlambat nanti kita.” Ucap Darel ketika aku menutup pintu rumah.

“Sabar cok. Emangnya aku lagi ngapain.? Coli.?” Ucapku dengan jengkelnya, lalu aku berjalan ke arah motorku.

“Coli aja dipikiranmu. Cari cewe sana, biar gak coli aja terus.” Ucap Darel ketika aku naik motor dan dia juga langsung naik dibelakangku.

“Cok. Siapa suruh kamu naik.?” Tanyaku dan aku belum menyalakan mesin sepeda motor beat matic ku.

“Bajingan. Kok nggateli koen cok.?” (Bajingan. Kok menjengkelkan kamu cok.?) Gerutu Darel dan dia belum turun dari motorku.

“Turun cok. Nanti kalau sudah tutup pagar, baru kamu naik lagi.” Ucapku.

“Siap Ndoro.” (Siap Juragan) Jawab Darel dengan nada jengkel, lalu dia turun dari motorku.

Aku lalu menyalakan mesin motorku, setelah itu aku menjalankannya keluar pagar. Darel menutup pagar, setelah itu dia naik sepeda motorku.

“Ke kampus kuru ya bang. Sesuai titik.” Ucap Darel sambil menepuk pundakku.

“Hehe. Boleh ku totok mulutmu gak.? Biar gak nyerocos aja.” Ucapku lalu aku menjalankan sepeda motorku.

“Otakmu aja yang ku totok, biar gak ngelantur kalau mikir.” Ucap Darel dan ketika aku akan melewati pos kamling, ada Pak RT yang lagi asyik dengan sebatang rokok dan secangkir kopi.

“Halo Pak Rete. Sendirian aja.” Ucap Darel sambil melambaikan tangannya dan akupun berhenti sejenak, tepat didepan Pak RT duduk. (Rete=RT)

“Eh, ada pemuda – pemuda yang tidak diharapkan bangsa.” Ucap Pak RT dengan santainya, lalu dia menghisap rokoknya.

“Hahaha.” Aku dan Darelpun hanya tertawa mendengar ucapan Pak RT yang membuat gatal telinga ini.

Pak RT ku ini orangnya sangat asyik dan dia sangat senang berkumpul dengan pemuda – pemuda di lingkungan kami. Walaupun usianya tidak muda lagi, tapi beliau bisa menyesuaikan diri.

“Jangan ketawa aja, bayar uang iuran warga. Sudah tiga bulan nunggak loh.” Ucap Pak RT.

“Saya bayar terus kok Pak.” Jawabku.

“Bukan kamu, korek kuping dibelakangmu itu loh.” Ucap Pak RT sambil menunjuk ke Darel.

“Gattel. Korek kuping jare.” (Menjengkelkan. Korek kuping bilangnya.) Gerutu Darel dan aku langsung menoleh kebelakang.

“Hahahaha.” Akupun tertawa, melihat kepala Darel yang plontos karena mengikuti orientasi minggu kemarin.

“Jangan ketawa kamu cok. Kamu juga gundul.” Ucap Darel kepadaku dan akupun langsung tersadar, sambil memegang kepala pelontosku.

“Hahahaha.” Giliran Pak RT yang tertawa sambil melihat kepala kami berdua bergantian.

“Saya jalan dulu ya Pak, nanti terlambat.” Ucapku dan aku ingin mengakhiri obrolan ini, karena kalau diterusin, bisa - bisa kami akan lanjut nongkrong dan tidak jadi kekampus.

“Iya. Hati – hati ya Ngga.” Ucap Pak RT.

“Saya pamit juga Pak.” Ucap Darel.

“Iya. Jangan lupa bayar iuran warga.” Ucap Pak RT, mengingatkan Darel.

“Kerumah aja Pak, sekalian cuci mata.” Jawab Darel sambil memainkan kedua alisnya matanya dan memang penghuni kosannya yang cewe itu cantik – cantik. Ada lima orang cewe tinggal disana dan semuanya seksi – seksi.

“Eleh, kalau cuman lihat, mending aku lihat istriku. Jadi kalau kepengen, bisa langsung di cicipi.” Ucap Pak RT lalu dia mengambil cangkir kopi yang ada didekatnya, setelah itu dia menyeruputnya.

Srruuuppp.

“Darel juga bisa dicicipi kok Pak.” Sahutku.

“Uhuk, uhuk.” Pak RT tersedak kopi yang mulai masuk ketenggorokannya.

“Kurang ajar.” Ucap Pak RT dan Darel dengan kompaknya.

“Hahahaha. Pamit Pak Rete.” Aku tertawa, lalu aku menarik gas motorku agak cepat.

Brumm.

“Cok. Emang aku laki – laki apa’an, sampai Pak Rete bisa cicipi aku.?” Ucap Darel mengomel.

“Hahaha.” Aku hanya tertawa saja, mendengar celotehannya ini.

“Assuuu.” Maki Darel dan aku terus memacu sepeda motorku.

Jarak kampus dan rumahku tidak terlalu jauh, hanya 15 menit saja waktu tempuhnya.

Jalan yang kami lewati pun terasa sangat sejuk, karena wilayah ini di dekat kawasan pegunungan. Hawa dingin khas Kota Pendidikan juga sangat terasa, apalagi ini dibulan kedatangan mahasiswa baru. Kota ini terasa semakin nyaman dan aku semakin betah tinggal disini.

“Waktu orientasi kemarin, sudah ada cewe yang kamu incar ga Ngga.?” Tanya Darel ketika kami sudah hampir dekat kampus.

“Gak ada. Cewe dijurusanku sedikit.” Jawabku.

“Makanya, harusnya kamu ambil jurusan sama kayak aku. Cewenya berlimpah.” Ucap Darel dan kami sudah memasuki gerbang kampus.

Terlihat ribuan orang berlalu lalang di area kampus dan sepeda motor inipun aku arahkan ketempat parkiran.

“Memangnya kita disini mau kuliah apa mau cari cewe.?” Tanyaku.

“Ya dua – dua lah. Kuliah dapat, wanita juga dapat.” Jawab Darel dan parkiran sepeda motor ini terlihat penuh.

“Parkir dimana kita ini Rel.?” Tanyaku sambil menoleh ke arah sekeliling dan aku tidak menyahuti ucapan Darel tadi.

“Penuh banget parkirannya Ngga. Untung aku tadi gak mawa mobil.” Jawab Darel.

“Eh, disana ada kosong satu.” Ucapku sambil menunjuk ke arah pojokan parkiran.

Akupun langsung mengarahkan sepeda motorku ke arah barisan parkiran yang kosong itu. Karena jalan yang aku lewati ini sempit, akupun memelankan kecepatan sepeda motorku dan Darel juga turun, agar aku lebih mudah mengimbangi pergerakan sepeda motorku yang sangat lambat.

Pada saat aku sudah didekat parkiran yang kosong itu, puluhan orang berbaju hitam dari arah samping gedung datang dan duduk didekat tempat yang akan aku pakai untuk parkir.

Wajah mereka sangar – sangar dan tatapan mata mereka juga tidak bersahabat. Aku sempat menghentikan motorku dan ragu untuk parkir disitu. Tapi karena tidak ada ruang kosong lagi untuk parkir, mau tidak mau aku pun mengarahkan sepeda motorku ke arah mereka.

Mesin sepeda motor aku matikan dan dengan posisi tetap duduk diatas sepeda motor serta menggunakan kedua kaki yang menapak dijalan, aku mendorong pelan sepeda motorku.

“Permisi Bang.” Ucapku sambil menunduk dan aku tidak menatap wajah mereka.

Tidak ada sahutan dari mereka dan itu membuat suasana terasa tegang disekitarku. Kalau sempat salah satu dari mereka membentakku, aku tidak akan menyahutinya dan lebih baik aku mengunci mulutku yang kadang tidak bisa diatur ini.

Beberapa saat kemudian, aku parkirkan sepeda motorku dan dihadapanku ada tiga orang berbaju hitam yang berdiri. Aku sempat mengangkat wajahku sedikit sampai pandanganku sebatas dada orang itu. Black House, tulisan berwarna putih menyala terang, terlihat didada mereka.

“Permisi Bang.” Ucapku sekali lagi dan tetap tidak ada sahutan dari mereka. Beberapa orang disebelah kananku mengobrol dengan suara yang pelan.

Karena ucapanku tidak ada yang merespon, akupun langsung memarkirkan sepeda motorku, lalu aku pergi meninggalkan tempat itu tanpa ada gangguan dari mereka.

Hiuuffttt, huuuuuu.

Aku menarik nafasku dan mengeluarkannya perlahan. Hatiku terasa sangat lega dan aku seperti baru saja melewati segerombolan anjing jalanan yang melihatku dan siap menerkamku.

“Mereka itu anak – anak Black House.” Ucap Darel ketika aku sudah sampai didekatnya berdiri.

“Memangnya kenapa.?” Tanyaku dan kami berdua berjalan, berlawanan arah dengan anak – anak Black House itu.

“Kata teman – temanku, mereka itu penguasa kampus kuru ini.” Jawab Darel.

“Oooo.” Ucapku sambil mengangguk pelan.

“Jangan cari gara – gara sama mereka atau kita gak akan kuliah dikampus ini.” Ucap Darel dan sekarang kami melewati lorong gedung kuliah yang sangat ramai sekali.

“Siapa juga mau cari gara – gara sama mereka.” Sahutku dan aku memang tidak suka mencari keributan. Lebih baik aku menghindar, kalau perlu tidak usah mengenal mereka.

“Mba Lani.” Tiba – tiba Darel memanggil seorang wanita yang berjalan di arah sebelah kananku.

“Hai Darel.” Sahut wanita itu dan aku langsung melihat ke arah wanita itu.

Seorang wanita cantik dengan wajah oriental khas negeri panda, berjalan ke arah kami. Wanita itu berkulit putih, rambut panjang hitam yang terurai dan senyum tipis yang mengambang dibibir mungilnya, membuatku terpaku menatap ayu wajahnya.

Cara berjalannya seperti seorang bidadari yang gemulai dan dia tampak anggun sekali. Bidadari yang baru turun dari langit itu, seperti sedang berjalan ke arah pangeran pujaannya.

Huuu. Dia cantik, sumpah cantik.

“Ruangan kuliahmu dimana Rel.?” Tanya wanita itu dan langsung mengejutkanku dari lamunan. Dia melirik ke arahku sebentar dan aku langsung mengalihkan pandanganku, ke arah lapangan didepanku.

“Disana.” Jawab Darel dan tangan kirinya yang menunjuk itu sempat menyerempet hidungku lalu tertahan tepat didepan wajahku.

“Woi, woi. Manusia ini.” Ucapku sambil mendorong tangan kiri Darel dengan tangan kananku.

“Hihihi.” Wanita dihadapanku inipun langsung tertawa pelan dan suaranya sangat merdu sekali.

“Oh, kirain gantungan kaleng krupuk.” Ucap Darel lalu dia tersenyum meledek kepadaku.

“Kurang ajar. Untung kamu tetanggaku. Kalau enggak, sudah kusentil ginjalmu.” Ucapku.

“Hahah.” Darel tertawa lalu dia melihat ke arah wanita itu.

“Oh iya Mba, kenalin ini temanku.” Ucap Darel memperkenalkan aku kepada wanita itu.

Akupun terkejut lalu melihat ke arah Darel sejenak, setelah itu aku melihat ke arah wanita cantik itu.

“Hai. Namaku Lani, Mei Lani.” Ucap wanita itu sambil menjulurkan tangan kanannya ke arahku.


Mei Lani

“Eh iya. Namaku Lingga. Lingga Kukuh Nugraha.” Ucapku dan aku langsung menggapai tangan kanannya.

Tap.

Kulit tangan yang lembut yang aku genggam ini mengalirkan getaran yang membuat dadaku bergemuruh dengan hebatnya. Aku sering bertemu dengan wanita cantik, bahkan ada yang lebih cantik dari Lani. Tapi tidak pernah sekalipun ada seorang wanita yang membuat dadaku bergemuruh seperti saat ini. Dua mantanku yang terdahulupun, tidak mampu membuat dadaku bergejolak.

Bukannya aku membandingkan atau bukannya aku tidak sayang kepada mereka waktu itu, tapi jujur memang seperti itu yang aku rasakan saat ini. Getaran ini bukan hanya membuat gemuruh dihatiku, tapi lama kelamaan juga merobohkan kekakuan dan menghancurkan tembok kesombonganku tentang cinta.

Aku yang awalnya tidak ingin mengenal cinta ketika kuliah dan aku berjanji untuk tidak membuka hatiku setelah dua kali gagal dalam percintaan, detik ini juga tumbang dan hatiku bertekuk lutut dihadapan seorang wanita yang bernama Lani, Mei Lani.

Entah kenapa bisa aku seperti ini, padahal diawal aku ingin focus dengan kuliah dan tidak ingin diganggu oleh yang namanya cinta. Tapi aku seperti menjilat ludahku sendiri dan termakan oleh janji yang aku buat sendiri.

Puncak gemuruh yang sudah memporak – porandakan hatiku ini, perlahan mulai mendapatkan ketenangan dan serpihan - serpihan hatiku mulai tertata, ketika mataku menatap mata Lani.

Bola mata Lani itu seperti memberikan aku kesejukan dan kedamaian. Hatikupun sekarang sudah berbentuk cinta yang sempurna dan dan cinta itu hanya untuk Lani, Mei Lani.

“Mba Lani ini panitia pendamping kelompokku, waktu orientasi kemarin Ngga.” Ucap Darel dan aku tidak menghiraukannya. Mata dan pikiranku seolah terhipnotis oleh wanita cantik yang ada dihadapanku ini dan kedua tangan kamipun masih saling menggennggam.

“Ngga.” Panggil Darel kepadaku.

“Woi cok.” Teriak Darel ditelingaku dan aku masih terhipnotis oleh tatapan mata Lani.

“Ehem.” Ucap Lani pelan dan justru suara yang pelan itu yang mengejutkanku.

“Maaf Mba, maaf.” Ucapku sambil melepaskan jabatan tanganku ini dan Lani hanya menjawabnya dengan senyuman kecilnya

“Gak bisa lihat cewe cantik dikit kamu itu Ngga.” Ucap Darel kepadaku lalu melihat ke arah Lani.

“Ya berarti aku masih normal Rel. Kalau aku lihat kamu, terus aku terpukau, nah itu, boleh kamu heran. Kecuali kamu suka aku loh ya, lain lagi ceritanya itu.” Ucapku untuk mengalihkan pikiranku yang terfokus pada Lani

“Hihihi” Lani tertawa dan dia terlihat makin cantik saja.

“Wah. Rusak mulutmu Ngga. Kita ke ruang kelas aja Mba, nanti otakmu bisa dicuci sama sibangsat ini.” Ucap Darel sambil melihat ke arahku lagi, lalu dia berjalan ke arah Lani.

“Ayuk. Bay Lingga.” Ucap Lani lalu mereka berdua pergi meninggalkan aku dan aku tidak menyahut ucapan Lani. Aku terlalu focus dengan wajahnya, sampai lambaian tangannya hanya kubalas dengan tatapan.

Duh. Kok bisa aku kelihatan tolol seperti ini sih.? Kenapa aku tidak bisa menjaga mata dan juga hatiku.? Apa sebegitu hebatnya tatapan mata dan sentuhan tangan Lani, sampai bisa mengalihkan duniaku.? Apakah ini yang dinamakan benar – benar jatuh cinta.? Tak perlu kata, tapi hanya lewat tatapan mata. Arrghhh. Gila.

Lalu dengan perasaan yang tak menentu dan pikiran sedkit kacau, akupun melangkah ke arah gedung kuliahku yang berlawanan arah dengan gedung kuliah Darel. Aku tidak menghiraukan hiruk pikuknya suasana kampus yang sangat ramai ini, karena dipikiranku hanya ada Lani yang sedang tersenyum dengan manisnya.

Hiuufftttt, huuuuu.

Dan tidak terasa, akhirnya aku sampai digedung kuliah teknik sipil. Ruang kelas belajarnya ada dilantai tingkat dua dan sekarang aku berjalan menyusuri anak tangga.

“Lingga.” Panggil seorang wanita ketika aku sudah sampai dilantai dua.

Aku lalu menoleh ke arah samping kiri dan yang memanggilku adalah Athifa Ardillah Nasha atau Thifa.

Thifa ini teman satu kelompokku waktu orientasi penerimaan mahasiswa baru kemarin dan kebetulan kami juga satu kelas dijurusan teknik sipil. Dia anak yang supel, cantik dan sangat murah senyum. Senyumnya dipagi hari inipun mampu mengalihkan sejenak pikiranku dari Lani.

Athifa Ardillah Nasha

“Cieee. Yang sudah jadi mahasiswa. Pagi betul datangnya Neng.” Ucapku sambil berjalan ke arahnya yang sedang duduk dikursi depan ruangan kelas kami. Dia duduk bersama beberapa wanita dan disekitarnya banyak sekali laki – laki seangkatan kami yang berdiri. (Neng = Eneng, panggilan sayang untuk anak gadis)

“Bukannya Thifa yang kepagian, tapi Bapaknya aja yang datang terlalu mepet.” Ucapnya dan nada suaranya itu ada manja – manjanya. Cara bicaranya memang seperti itu kepadaku, semenjak kami berkenalan pertama kali.

“Bapak.? Emangnya aku setua itu ya.?” Tanyaku.

“Gak tua – tua banget sih. Cuman kayak Om - om aja. Hihihi.” Jawabnya lalu dia tertawa sambil menutupi mulutnya dengan jari – jarinya yang lentik. Gadis berkaca mata serta bertutup kepala ini semakin terlihat cantik dan ingin sekali aku memencet hidungnya yang mungil itu.

“Selesai kuliah ada acara ga.?” Tanyaku dengan suara yang pelan sambil mendekatkan wajahku kewajah Thifa dan itu langsung membuatnya terkejut. Kepalanya dimundurkan sedikit kebelakang dan kedua alisnya mengerut, tanda kalau dia mulai kebingungan.

“Memangnya kenapa.?” Tanya Thifa balik dan suaranya terdengar sedikit bergetar. Perlahan wajahnya yang terlihat bingung, mulai terlihat grogi. Pipinya yang putih itu pun perlahan mulai kemerahan.

“Temanin Om jalan yuk.” Ucapku sambil memainkan kedua alis mataku.

“Iiihhhhh, jahat. Thifa gak mau temanan sama Lingga lagi.” Ucapnya yang tiba – tiba meraju. Thifa lalu memalingkan wajahnya dan kedua tangannya di lipatkan didada.

“Dihhhh, Eneng. Tadi katanya kayak Om om. Giliran di ajak jalan kok malah marah.?” Tanyaku sambil menggeser tubuhku, untuk melihat wajah Thifa yang merajuk.

“Gimana gak marah, kalau diajak jalan sama Om om.? Emang Thifa cewe apa’an.?” Tanya Thifa dan dia masih meraju.

“Kalau aku yang ajak jalan bagaimana.?” Tanyaku sambil tersenyum dan tetap menggodanya.

“Lingga atau Om om yang ajak.?” Tanya Thifa.

“Maunya.?” Tanyaku lagi.

“Hihihi.” Thifa lalu tertawa dan suara tawanya itu sangat merdu sekali.

Cok. Kok cepat banget sih berubah mood cewe ini.?

“He. Kalian berdua ini kalau ngobrol gak lihat situasi sekeliling.” Ucap temanku yang bernama Anto. Sebenanya nama asli Anto ini adalah Bimo Saputra. Tapi entah kenapa waktu berkenalan pada saat orientasi kemarin, dia memperkenalkan diri dengan nama Anto. Dia berasal dari kabupaten sebelah dan postur tubuhnya itu tidak terlalu besar tapi berotot.

“Mungkin dikiranya mereka berdua aja yang manusia.” Sahut temanku yang lain lagi dan dia bernama Togok. Dia bernama asli Iwan kurniawan dan tubuhnya itu tinggi besar.

“Jangan cerwet, entar kalian berdua gak boleh naik kapal loh ya.” Ucapku kepada kedua teman baruku ini.

“Maksudnya.?” Tanya mereka berdua bersamaan.

“Kalau kalian tidak naik kekapal, spesies macam kalian berdua ini pasti akan punah tersapu gelombang dasyat.” Jawabku dengan entengnya.

“Cok. Kita berdua dianggap binatang beneran cok.” Ucap Anto kepada Togok.

“Gak apa – apa. Temannya binatang pasti juga binatang. Gimana tang.?” Ucap Togok kepada Anto, lalu bertanya kepadaku.

“Hahaha.” Akupun hanya tertawa melihat ekspresi Anto maupun Togok.

“Sudah – sudah ah. Bahas apa sih kalian ini.” Ucap Thifa dan dia berdiri dari duduknya.

“Perhatian teman – teman.” Ucap Dharma yang baru saja naik kelantai dua dan dia datang bersama seorang teman kami yang wanita.

“Ada pengumuman apa Dhar.?” Tanyaku dan semua teman – teman sekelas mulai merapat ke arah kami.

“Dosen kita yang ngajar jam ini lagi keluar kota. Tapi untuk mata kuliah selanjutnya, dosennya ada." Jawab Dharma.

“Yaaaaa.” Sahut teman – temanku yang wanita dengan nada yang kecewa.

“Asyikkk.” Teriak yang laki – laki.

“Ayo ngopi yo.” Ucap Anto.

“Iya, sekalian sarapan. Aku lapar.” Sahut Togok.

“Badan aja besar, tapi takut lapar.” Ucap Anto.

“Matamu.” Maki Togok.

“Sudah – sudah, kita ke kantin aja yok. Kamu ikut kan Neng.?” Ucapku.Kepada Togok dan Anto, lalu aku bertanya kepada Thifa.

“Ayuu.” Jawab Thifa.

“Ehhh, sabar – sabar.” Tahan Dharma ketika teman – teman akan bubar.

“Lapo maneh cok.? Aku luwe iki. Tak pangan loh koen.” (Kenapa lagi cok.? Aku lapar ini. Kumakan nanti kamu.) Ucap Togok yang mulai menggunakan Bahasa pulau ini.

“Kata Pak dosen yang gak hadir, kita disuruh pemilihan ketua kelas dulu.” Jawab Dharma.

“Gak usah pemilihan wes. Awakmu ae seng dadi ketua kelas. Setuju gak rek.?” (Gak usah pemilihan sudah. Kamu aja yang jadi ketua kelas. Setuju gak bro.?) Ucap Togok kepada Dharma, lalu dia bertanya kepada teman – teman yang ada dibelakang kami.

“SETUJU.!!!” Teriak kami semua.

“Loh, kok.?” Ucap Dharma yang kebingungan.

“Loh loh ae awakmu iku. Ayo bubar, bubar.” (Loh loh aja kamu itu. Ayo bubar – bubar.) Ucap Anto dan kami semua langsung berjalan ke arah tangga turun.

“Loh, terus ini bagaimana.?” Tanya Dharma tapi teman – teman tidak ada yang menghiaraukan. Kami semua meninggalkan Dharma bersama teman wanita kami yang satu lagi.

“Hihihi. Kalian itu jahat. Masa gak nunggu persetujuan Dharma dulu.?” Ucap Thifa.

“Gak apa – apa lah. Dari pada diantara kita yang dipilih jadi ketua, kan repot urusannya.” Jawabku dan aku memang tidak terlalu suka untuk jadi pengurus kelas ataupun mengikuti organisasi apapun. Selain karena ada tanggung jawab yang diemban, aku itu gak suka sesuatu yang buat aku ribet. Urus diri sendiri aja masih kesusahan, apalagi ditambah urus teman – teman, bisa gila aku.

“Betul.” Sahut Anto dan Togok dengan kompaknya.

“Ya tapi siapa tau ada teman – teman lain yang mau jadi ketua.” Ucap Thifa.

“Gak ada. Buktinya tadi mereka semua setuju.” Ucap Togok.

“Togok nanya nya sambil melotot sih. Siapa juga yang berani bantah.” Ucap Thifa.

“Aku gak melotot Thif, pengaruh lapar aja tadi itu.” Ucap Togok membela diri.

“Dia ini jangankan lapar, kenyang aja mukanya nakutin. Iiiiiiiii” Sahut Anto sambil bergidik.

“Mulutmu To, mulutmu.” Ucap Togok.

“To ganjel To, gantel To.” Ucapku dengan semangatnya dan dengan nada suara seperti mengiringi penyanyi dangdut diatas panggung.

“Cok.” Maki Anto ke aku.

“Hahahaha, Hihihihi.” Togok dan Thifa pun langsung tertawa.

Kami berempat sekarang sudah berada diluar gedung sipil dan mengarah kekantin. Kami terus bercanda dan didekat kantin sana, ada enam anggota Black House dan satu orang wanita yang membuatku kembali terpaku.

Wanita itu adalah Lani dan dia terlihat santai saja diantara laki – laki berwajah sangar itu. Tidak terlihat Darel diantara mereka dan kami berempat harus melewati mereka bertujuh, untuk kekantin.

Canda dan tawa kamipun langsung lenyap, ketika keenam laki – laki itu melihat tajam ke arah kami. Kami terus berjalan dan jarak kami sudah mulai dekat.

“Cok. Kenapa mereka melihat kita kayak maling gitu.” Ucap Anto pelan dan sepertinya dia tidak terima dengan tatapan anak – anak Black House.

“Kita hajar yok.” Sahut Togok.

“Jangan macam – macam. Mereka itu premannya kammpus ini.” Ucapku dan aku tidak focus lagi ke Lani, karena teman – temanku ini terlihat sangat serius untuk ribut dengan anak – anak Black House.

“Gak perduli.” Jawab Togok singkat.

“Jangan Gok , jangan To. Jangan cari gara – gara ya.” Ucap Thifa yang mencoba menenangkan Togok dan Anto, tepat didekat anak – anak Black House itu berkumpul.

Aku melihat ke arah Lani sebjenak dan dia juga melihat ke arahku. Akupun langsung mengalihkan pandanganku, karena aku tidak ingin bermasalah dengan anak – anak Black House.

Keenam anak – anak Black House yang berdiri dipinggir lorong, langsung menengah dan mereka menghalangi jalan kami.

“Kenapa kamu lihatnya begitu.?” Tanya Salah satu anggota Black House dengan nada yang meninggi.

“Enggak Bang, saya cuman mau lewat.” Jawabku dan kami berempat langsung menghentikan langkah kami.

“Bukan kamu. Tapi yang badannya besar.” Ucap orang itu sambil menunjuk ke arah Togok.

“Kenapa memangnya.? Mata – mataku sendiri kok.” Sahut Togok dan nada bicaranya seperti menantang. Tidak sedikitpun aku lihat ketakutan dimata Togok begitu juga Anto yang menatap anak – anak Black House.

“Anjing. Kalian cari ribut ya.?” Ucap orang yang bersuara pertama tadi dan teman – temannya siap untuk menyerang kami.

Togok dan Anto juga bersiap menyerang, tapi ditahan oleh Thifa.

“Sudah – sudah. Kenapa sih gitu aja mau berkelahi.” Ucap Lani yang langsung berdiri diantara kami dan anak – anak Black House.

“Untung ada Lani. Kalau enggak, sudah kubantai kalian semua.” Ucap Anggota Black House lainnya.

Togok dan Anto terlihat sangat emosi, dan Thifa pun terus menahan mereka berdua.

“Sudahlah, kita pergi aja ya.” Ucap Lani sambil melirik ke arahku sejenak, lalu melihat ke arah anak – anak Black House lagi.

“Ayolah.” Jawab orang pertama tadi, lalu mereka berjalan ke arah kami.

Lani dan empat orang anak Black House berjalan tanpa memprovokasi, tapi dua orang yang paling belakang sengaja menyenggol pundak Togok dan Anto dengan cukup keras.

Kedua temanku itu langsung bereaksi, tapi Thifa langsung menghalanginya dengan merentangkan kedua tangannya.

“Apa.?” Tantang anak Black House sambil mengepalkan kedua tangannya.

“Bisa pergi sekarang juga gak.?” Ucap Lani entah kepada kami atau kepada dua anak Black House yang ingin menyerang kami.

“Tunggu tanggal mainnya.” Ucap salah satu dari mereka, sambil menunjuk kedua temanku bergantian.

“Gak usah nunggu – nunggu kami. Lihat aja balasan kami nanti.” Ucap Togok dan anak – anak Black House hanya tersenyum sinis, lalu mereka pergi ke arah belakang gedung.

Mereka sepertinya sangat patuh dan tidak berani membantah perintah Lani. Kalau seandainya tidak ada Lani, keributan ini pasti akan pecah dan pasti tidak ada yang berani untuk melerainya.

“Djiancok.” Maki Anto dengan emosinya.

“Sudah, gak usah diladeni. Pasti kalian lapar ya.?” Ucap Thifa dan terlihat dia mencoba untuk terus menenangkan kedua temanku yang sedang emosi ini.

Togok dan Anto memang sangat emeosi sekali. Mereka berdua terlihat tidak takut, berhadapan dengan yang katanya preman penguasa kampus kuru ini. Padahal kedua temanku ini sangat pendiam ketika orientasi kemarin. Mereka tidak pernah membuat ulah atau melawan pantia yang sering membentak bahkan sesekali memukul kami.

Kelihatannya Anto dan juga Togok memiliki riwayat yang cukup menyeramkan, jadi mereka tidak gentar menghadapi para begundal itu. Tapi itu sangat berbanding terbalik dengan diriku, yang sangat tidak suka dengan keributan.

“Kita kekantin yuk.” Ucap Thifa ketika perkataannya tadi tidak dijawab oleh Togok dan juga Anto.

Kedua temanku tetap tidak menyahut ucapan Thifa dan mereka hanya melihat ke arah anak – anak Black House yang mulai menghilang dibelakang gedung sana.

“Jadi kalian tetap mau berkelahi dengan mereka ya.? Ya sudah kalau gitu, kita kekantin yuk Ngga.” Ucap Thifa mengajakku.

Aku yang hanya diam dari tadi pun langsung terkejut dan aku langsung mengangguk pelan.

Thifa berjalan ke arah kantin dan aku langsung mengikutinya, lalu berjalan disebelah kanannya.

“Cok. Tak mangan disek, ben kuat lek ngantemi uwong.” (Cok. Aku makan dulu, biar kuat kalau mukulin orang.) Ucap Togo yang ikut berjalan dibelakangku.

“Iyo su. Ditinggal ngopi disek, ben rodo enak lek gelut.” (Iya njing. Ditinggal ngopi dulu, biar enak kalau berkelahi.) Sahut Anto lalu dia juga menyusul kami.

Kami berempatpun masuk kedalam kantin, setelah itu memesan pesanan kami masing – masing.

Kami berempat mendapatkan tempat duduk diluar kantin, karena didalam sangat penuh sekali. Suasana kantin tidak kalah ramai dibandingkan dengan gedung kuliah. Tapi bedanya, kalau digedung kuliah didominasi mahasiswa baru, dikantin ini justru didominasi oleh mahasiswa yang sudah senior.

Kamipun mulai menyantap hidangan kami masing – masing dan tidak ada lagi candaan seperti tadi. Togok dan Anto masih terlihat emosi, walaupun mereka menyembunyikan dariku dan juga Thifa. Aku dan Thifa duduk bersebelahan, sementara Togok dan Anto duduk diseberang kami.

“Kalian gak benar – benar mau melawan anak – anak Black House kan.?” Tanya Thifa ketika kami sudah selesai sarapan.

“Enggak lah Thif. Kita ini apa, mau melawan mereka yang banyak itu.” Jawab Anto lalu dia membakar rokoknya.

Dari cara membakar rokok dan juga tatapannya, Anto terlihat berbohong kepada kami. Dia masih dendam dan marah dengan para anggota Black House tadi.

“Iya Thif. Kita ini hanya kucing rumahan diantara pulahan anjing – anjing liar penguasa jalanan.” Sahut Togok dan dia juga membakar rokoknya. Sama seperti Anto, Togok juga berbohong dan itu terlihat jelas dari wajahnya.

“Beneran.?” Tanya Thifa yang coba menyelediki kedua temanku. Thifa menyedot es teh pesanannya, sambil melirik kedua temanku bergantian.

“Hehehe.” Anto hanya tertawa pelan dan tatapan matanya semakin terlihat emosi.

“Duh. Ada yang salah sama sambelnya.” Ucap Togok sambil mengelus perutnya dan memang dia tadi mengambil sambel sangat banyak.

“Kamu tadi itu makan nasi atau makan sambel.?” Tanyaku.

“Hiuuffttt, ahhhh. Dua – duanya lah.” Jawab Togok yang kepedasan, lalu dia berdiri.

“Aku kekamar mandi dulu ya.” Pamit Togok dan dia langsung pergi ke arah gedung didepan sana.

“Anto gak pamit juga.?” Tanya Thifa dan kelihatannya dia curiga, dengan sikap Togok yang pergi kegedung didepan sana. Padahal kalau beneran dia mau kekamar mandi, disamping kantin ini jelas terlihat ada tulisan toilet.

“Aku gak sakit perut kok.” Jawab Anto dan dia terlihat gelisah.

Kring, kring, kring.

HP Anto berbunyi dan dia langsung melirik ke arahku serta Thifa, lalu dia mengangkat telponnya.

“Halo cok.”

“…”

“Oh iya, kunci kosannya aku yang bawa.” Jawab Anto sambil berdiri.

“…”

“Aku antar kunci kamar dulu ketemanku ya.” Ucap Anto kepada kami, lalu dia pergi sambil melanjutkan obrolannya di HP.

“Kenapa sih mereka itu gak jujur aja kalau mau berkelahi.?” Tanya Thifa dan dia sudah tidak bisa mencegah kedua temanku itu untuk pergi. Aku dan Thifa mungkin satu pemikiran, kalau kedua teman kami itu akan berkelahi dengan anak – anak Black House.

“Laki – laki itu jarang sekali mau menceritakan apa yang ada dipikirannya. Apalagi kalau sudah menyangkut harga diri, dada mereka akan bergejolak dan akan menyelesaikannya tanpa perlu berkoar - koar.” Jawabku.

“Terus kenapa kamu gak ikut berkelahi dengan mereka.?” Tanya Thifa lagi.

“Aku bukan type orang yang sumbu pendek.” Jawabku singkat dan pandanganku lurus kedepan.

Lalu tiba – tiba, bayangan Lani mulai hadir lagi dipikiranku. Wanita cantik itu seperti menyimpan suatu mistery yang terpendam dan itu bukan tentang perasaanku yang terbalas oleh cintanya.

Aku sedang tidak membicarakan tentang masalah cinta, tapi sisi lain yang begitu mistery dari seorang Lani. Selain memiliki wajah yang cantik, dia seperti memiliki pengaruh yang sangat besar, sampai anggota Black House yang katanya preman, patuh dan tunduk mendengar setiap ucapannya.

Mereka tidak ada yang menghajar kami, padahal bisa saja mereka melakukan itu, dengan ‘kuasanya’ dikampus ini. Tapi hanya dengan ucapan yang lembut, mereka semua seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.

Aku jadi semakin penasaran dengan sosok seorang wanita yang bernama Lani dan rasa inipun semakin menjadi kepadanya.

“Karena ada sosok mba cantik bersama mereka ya.?” Tanya Thifa yang mengejutkanku dari lamunan. Akupun langsung menoleh ke arah Thifa dan dia sedang menatap lurus kedepan, sambil menyedot es tehnya pelan.

Dari caranya memasukan sedotan kedalam bibirnya yang mungil, Thifa sepertinya sedang memancingku dan aku merasa ada sedikit kecemburuan dibalik pertanyaannya itu.

“Mba cantik.?” Tanyaku seolah – olah tidak mengerti maksud pertanyaan Thifa dan aku tetap memandang wajah sampingnya ini.

“Mba Lani, Mei Lani.” Ucap Thifa sambil menoleh ke arahku sejenak, lalu dia mengalihkan pandangannya ke arah depan lagi. Pandangan mata yang sesaat, tapi memiliki arti yang sangat mendalam.

“Ohh. Enggak juga.” Jawabku dan aku juga memalingkan wajahku ke arah depan lagi.

“Ternyata benar apa yang Lingga ucapkan, kalau laki – laki itu jarang sekali mau menceritakan apa yang ada dipikirannya. Hihihi.” Ucap Thifa dan diakhiri dengan tawa, tapi tawanya tidak renyah seperti tadi. Tawanya itu ada rasa – rasa cemburu dan juga rasa sayang.

Cuukkkk. Apa iya Thifa suka sama aku.? Suka karena apa.? Aku tidak terlalu terkenal seperti beberapa temanku waktu orientasi. Wajahku tidak terlalu ganteng, aku bukan perayu handal, aku tidak suka menebar pesona, prestasi tidak punya dan masalah pelajaran aku juga biasa walaupun belum ada perkuliahan. Tidak ada yang terlalu menonjol dari diriku dan tidak ada yang perlu dibanggakan dari aku. Terus Thifa menilai aku dari mana ya.? Satu – satunya yang menonjol dari aku ya ukuran kemaluanku yang besar, panjang, dan tahan lama. Tapi masa iya dia tau ukuran kemaluanku.? Tau dari mana dia.? Argghhh cok. Kok makin ngelantur ya pikiranku.? Asuuu.

“Kita ke gedung kuliah yuk.” Ajakku ke Thifa dan aku tidak menjawab ucapan Thifa tadi.

“Togok dan Anto bagaimana.?” Tanya Thifa dan sepertinya dia paham kalau aku malas membahas masalah perasaanku.

“Mereka sudah besar. Mereka tau jalan ke arah gedung kuliah.” Jawabku sambil berdiri.

Aku berkata seperti itu, bukan berarti aku tidak perduli dengan teman – temanku. Aku khawatir dengan mereka, tapi aku tidak bisa berbuat apa – apa dengan keputusan yang mereka ambil. Kalau itu masalah bukan karena perkelahian, mungkin aku bisa memberi sedikit solusi. Tapi karena masalah perkelahian, ya aku bisa berbuat apa.?

“Oke deh.” Ucap Thifa sambil berdiri perlahan dan



#Cuukkk. Black House, wanita mistery, cinta, perasaan, amarah, kesabaran, persahabatan, mungkin juga kekecewaan, air mata, darah, kehilangan dan pengkhianatan, menyambutku didalam lembaran baruku dikampus kuru. Lembaran yang mungkin saja sangat panjang, tapi bisa saja singkat atau bahkan terhenti ditengah jalan. Semua tergantung bagaimana Sang Penulis Kehidupan diatas sana, karena aku hanya makhluk biasa yang sedang melakukan perjalanan.
 
Terakhir diubah:
Selamat siang Om dan Tante.
Updet tipis - tipis ya.
Mohon saran dan masukannya.

Selamat menikmati akhir pekan dan selamat berkumpul dengan yang terkasih.

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan. :beer: :beer: :beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd