Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bagian 17

Zaman sekarang

Mataku terbuka. Aku masih berada di sendang dimana aku dan Bude baru saja bersenggama. Ingatanku kembali, kepalaku seperti baru saja disiram oleh es dan air panas sekaligus. Kulihat Bude menempelkan kepalanya di atas dadaku, sama seperti dulu ketika Nawangwulan menaruhnya di atas dadaku. Wajah Nawangwulan tidak berubah, dia adalah Bude.

“Nawangwulan…Dewi… Sri Mahasari Asih?” panggilku.

Bude langsung terbangun. Aku juga bangkit. Untuk sesaat sepasang mata kami saling menatap, kemudian kami berpelukan. Aku rindu, rindu sekali. Aku yakin sang Dewi juga merindukanku.

“Kangmas…. Aku kangen...,” katanya sambil menangis.

“Oh, aku juga merindukanmu, Nimas,” kataku. Kuciumi wajahnya, bibirnya, lehernya, kedua kelopak matanya, hingga kuciumi keningnya. Setelah itu kami berpelukan lagi.

Aku tak bisa menggambarkannya bagaimana aku sangat merindukan istriku. Kini dia langsung merangkak ke atas pangkuanku, menempatkan batang penisku yang sudah mengeras lagi ke liang senggamanya. Ibarat sudah kepalang birahi, maka tak ada lagi yang bisa dicegah, tak ada lagi yang bisa ditahan. Kedua kelamin kami bersatu lagi.

“Aaaahhh!” lenguh kami.

Betapa indahnya, betapa nikmatnya. Kami berpelukan erat dan saling melumat satu sama lain. Seluruh tubuh kami seperti merindukan perjumpaan ini. Pikiran kami kosong, bahasa tubuh yang saling berbicara. Tubuh kami bergerak sendiri untuk merengguk kenikmatan, mencari posisi yang pas, menggesek yang bisa digesek, membelai apapun yang bisa dibelai, menjilati apapun yang bisa dijilat, mengendusi apapun yang bisa diendus. Bahkan, aku tak peduli lagi waktu, tak kupedulikan lagi siapa sebenarnya aku. Yang aku ingat, aku adalah Pangeran Rakai Dharma Tirta. Pangeran Medang yang terbuang, aku tak lagi ingat dengan sosok diriku bernama Guntur. Tak ada Guntur di sini, hanya seorang Jaka Tarub yang sedang bercinta dengan istrinya Nawangwulan.

Saat kami berdua orgasme, mata kami memutih, tubuh kami makin erat melekat seakan-akan tak ingin dipisahkan lagi. Bisa kurasakan detak jantung Bude berpadu dengan detak jantungku. Napas kami memburu seperti baru saja lari maraton. Nikmat sekali persetubuhan ini. Persetubuhan yang berabad-abad kami idam-idamkan, baru sekarang terealisasi.

Setelah persetubuhan hebat itu kurebahkan kepalaku di paha Bude. Kutatap wajahnya yang cantik di antara dua bukit kembarnya. Ah, indahnya pemandangan ini. Bude membelai rambutku, bisa kulihat keringatnya bekas persetubuhan kami menetes.

“Syukurlah, kakang ingat sekarang,” kata Bude Sri.

“Iya. Aku ingat siapa diriku, tapi bagaimana Nimas bisa tahu ini diriku?” tanyaku.

“Hampir setiap malam aku ke sini. Ke sendang ini, melakukan tarian pemujaan agar doaku dikabulkan. Agar langit mau menerimaku lagi. Hingga akhirnya aku pun mendapatkan jawaban dari doa-doaku. Aku berdoa agar aku dipertemukan dengan suamiku lagi, aku akan rela menanggung segala risikonya, asalkan aku bisa bersama suamiku lagi. Saat itulah sang Dewata memberikan ilham kalau Jaka Tarub akan menitis ke seseorang. Aku akan mengenalinya dari tanggal lahirnya dan juga dari keluarga mana dia berasal. Hari itu aku melihatmu lahir ke dunia. Aku bisa mengetahui itu dirimu, karena kang mas saat itu bercahaya. Berbeda dengan bayi-bayi lain yang aku lihat. Saat itulah, akhirnya aku berusaha mencari cara agar bisa dekat dengan kang mas. Hingga akhirnya aku pun menikah dengan Pakdemu,” tutur Bude Sri.

“Apakah Nimas berhubungan badan dengan Pakde?” tanyaku.

Bude Sri menggeleng. “Tidak pernah. Seumur hidup, aku jaga kesucianku, mahkotaku hanya untuk suamiku seorang. Sebagaimana janjiku kepadamu dulu, kang mas. Dan sekarang, aku sudah mendapatkanmu kembali. Aku tak butuh apapun, hanya butuh kamu, kang mas.”

Aku terharu mendengarnya. Entah cobaan apa yang menimpa istriku sampai dia mendapatkan hal ini. “Lalu, apa yang terjadi waktu itu, setelah kita bertarung dengan Luh Geni untuk merebut perhiasanmu?”

“Kang mas terbunuh olehnya. Dalam sebuah pertarungan yang sengit. Aku tak bisa menyelamatkan kang mas, tapi juga dia tak bisa menyentuhku. Frustasi, akhirnya dia mengutuk desa ini dengan bala, kekeringan dan tanah yang tandus. Namun, selama aku berada di desa ini, aku berusaha untuk memberikan kesuburan dan melindungi orang-orang baik di desa ini semampuku sampai sekarang,” terang Bude.

Aku bangkit, lalu duduk di sebelahnya. “Jadi, Luh Geni membunuhku? Lalu, setelah itu?”

“Setelah itu dia mengarang cerita tentang Jaka Tarub dan tujuh bidadari dari kayangan. Dia juga yang menyisipkan cerita tersebut ke dalam sejarah, hingga membantu meruntuhkan Mataram Kuno, setelah itu dia bergelar Ki Ageng. Dia memperistri seorang dari keturunan raja dari wangsa Syalendra bernama Nawangsih. Dengan kesaktiannya dia tak bisa dikalahkan oleh siapapun dan kemudian membantu mendirikan kesultanan Mataram.”

Aku menelan ludah. “Ki Ageng itu?”

“Iya, kang mas pernah bertemu dengannya.”

“Pantas saja, dia menaruh hormat kepadaku saat aku menemuinya, apakah dia mengetahui tentang diriku yang menitis ke Guntur?”

“Dia pasti tahu. Sebab, wajah kang mas sangat mirip dengan Jaka Tarub. Dia mengira kang mas bereinkarnasi ke tubuh ini. Selama ini dia tidak bisa melawanku, tidak pula bisa menyentuhku. Sebab, perhiasanku menolaknya. Dia mencoba banyak ilmu kanuragan, tapi tak ada satu pun yang bisa mengalahkanku. Sekarang, dia mulai mempelajari ilmu-ilmu hitam guna melawanku. Aku tak tahu sudah seberapa kuat dia, tetapi selama aku selalu mandi di sendang ini, tidak akan ada yang bisa mengalahkanku.”

Kuamati sendang yang ada di hadapanku ini. Memang ini sendang yang cukup aneh. Airnya jernih dan melimpah. Sumbernya darimana juga tidak ada yang tahu. Inilah sendang ghoib yang dikatakan oleh Nur. Sendang yang menghidupi desa ini.

“Jadi, itu salah satu alasan kenapa nimas menari-nari waktu itu di sini?” tanyaku.

“Iya, untuk mengisi kekuatanku kembali. Aku sudah lama tidak ke kayangan, tenagaku juga sudah melemah. Untuk menjaganya aku harus sering mandi di sini,” jawabnya.

“Bukannya itu berarti Luh Geni juga tahu tempat ini?” tanyaku.

Bude mengangguk. “Iya, tentu saja dia tahu. Tetapi dia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Kekuatan apapun tidak ada artinya apabila masuk ke area sendang. Sesakti apapun orang itu, kekuatannya akan hilang begitu saja. Biar pun dia menggunakan perhiasanku, tetap tidak akan bisa apa-apa ketika masuk ke sendang ini. Sendang ini adalah pemberian Yang Maha Kuasa, untuk membersihkan diri, mensucikan diri, juga untuk menyembuhkan yang sakit.”

“Tapi, kita berhubungan badan di sendang ini. Tidak apa-apakah?” tanyaku.

“Kang mas tak usah khawatir. Kita adalah suami istri. Tidak akan terjadi apa-apa. Justru saat mandi di sendang ini ingatan kang mas mulai pulih lagi. Kita sekarang sudah bersatu lagi,” ucap Bude.

Aku tersenyum gembira. Bukan saja aku mendapatkan ingatanku lagi, tetapi aku juga mendapatkan orang yang aku cintai. Yang sekarang menjadi Budeku. Tubuhnya masih terlihat seksi, mulus dan aku pun bergairah lagi.

Kurengkuh Bude, kemudian kuciumi bibirnya. Kami berpagutan panas, saling melumati bibir kami. Kuarahkan dia untuk menungging, Bude mengerti dan mempersembahkan bongkahan pantatnya yang seksi itu. Batang penisku yang sudah keras, mulai kuarahkan ke lubang memeknya yang basah. Tak usah menunggu lama, aku pun menyodoknya lagi.

“Aaahhh!” lenguh kami.

Bude meringkuk di atas lantai seperti kodok dengan kedua lututnya ditekuk, tetapi pantatnya dianikkan. Gila, seksi sekali. Batangku makin keras.

“Nimas, enak?” tanyaku.

“Puas, puaskan, kang mas. Tak usah khawatir dengan waktu, kita punya banyak waktu,” jawabnya.

Tubuhku makin bersemangat untuk terus menggenjot pantat Bude. Ah, nikmatnya. Kulihat batangku keluar masuk memeknya yang basah. Kuremas-remas pantat bahenol itu sambil sesekali kutekan dalam-dalam batangnya. Bude menjerit keenakan saat batangku mentok menusuk rahimnya. Tangannya kini kutarik, hingga tubuhnya melengkung sambil kepalanya menengok ke belakang. Kupaguti bibirnya sambil tetap kugoyang pantatnya.

Dentuman pantat dan perutku menghasilkan irama medu persenggamaan. Kami terus berpacu berusaha menuju orgasme walaupun tak ingin. Gesekan-gesekan antara kulit kelamin kami mengindikasikan segera menuju puncak, tetapi kami tak ingin segera selesai, makanya kuputar tubuh Bude, lalu kukangkangi, setelah itu kugenjot lagi.

Aku tak ingat berapa lama aku menggenjotnya, karena rasanya lama sekali bahkan aku sampai berkeringat. Yang jelas itu persetubuhan ternikmat yang pernah kurasakan hingga aku menyembur ke dalam rahimnya lagi. Napas kami ngos-ngosan, tapi kami puas. Kami tertawa, berciuman, tertawa lagi. Bude iseng meremas-remas batangku dengan memeknya, kami pun tertawa. Puas.

* * *​

Hari masih siang saat aku memutuskan untuk kembali ke tempat orang-orang melakukan bersih desa. Jujur, sekarang aku dan Bude punya ikatan yang berbeda. Terlebih lagi ingatanku dengan ingatan Guntur bercampur menjadi satu. Aku jadi bingung sekarang bagaimana dengan Nur? Tampaknya Bude sudah mengetahuinya.

Sepanjang perjalan menuju ke Balai Desa, aku merenung. Bude menepuk pundakku. “Tak usah kamu pikirkan, jalani saja.”

“Tapi, aku terlanjur mengucapkan kalau aku mencintai Nur. Aku takut menghancurkan hatinya. Apalagi, Nimas juga mencintaiku. Aku tak bisa menduakan cintaku,” kataku.

“Harus ada yang dikorbankan. Kita memang egois. Aku ingin bisa bersamamu, kang mas. Tapi di sisi lain, kang mas punya kehidupan sendiri saat ini. Tak apa-apa kalau kang mas ingin bersama Nur, tapi aku masih tetap menjadi istri kang mas, yang akan mematuhi kang mas,” kata Bude.

Aku menggaruk-garuk kepalaku. Rasanya tidak semudah itu. Pasti akan banyak konflik ke depannya.

Kami akhirnya kembali lagi bersama dengan orang-orang di Balai Desa. Namun, saat aku lihat ternyata orang-orang masih ramah tamah, belum terlihat tanda-tanda kalau kegiatan sudah selesai. Aku sedikit heran.

“Jangan bingung, perbedaan waktu di sendang dengan di sini berbeda jauh. Kita bisa menghabiskan waktu lama di sana, tetapi di sini waktu berjalan sangat lambat,” ucap Bude.

Kepalaku dengan rileks mengangguk-angguk saja. Pantas saja, dulu ketika melihat para bidadari mandi, waktu serasa lama sekali. Ternyata ada penjelasan dari ini semua. Aku tidak melihat Nur dan yang lain, apakah mereka sudah kembali? Namun, kulihat Pakde sedang berbincang-bincang dengan orang-orang dari kejauhan.

“Bagaimana Bude selama ini membuat Pakde tidak menyentuhmu?” tanyaku.

“Aku punya ilmu yang tidak dimiliki oleh manusia biasa. Dengan ajianku, Pakdemu menganggap dia menyetubuhiku. Namun, jujur ya, Gun. Semenjak kamu dekat denganku, gejolak birahiku kembali lagi. Makanya aku sengaja membiarkanku menyentuhku dan berbuat tidak senonoh. Gejolak masa mudamu biar naik, biar penasaran,” bisik Bude kepadaku.

Kutelan ludahku. Pantas saja kenapa Bude seolah-olah tidak melarangku saat aku mencabulinya. Ternyata dia sudah merencanakan ini semua.

Hari itu adalah hari yang bahagia. Aku menemukan kembali cintaku, pertama kalinya aku ngentot dengan orang yang aku cintai. Namun, meskipun begitu di dalam tubuhku ini seperti ada dua kepribadian. Yang satu Guntur, yang satunya adalah sang pangeran. Di sisi lain, aku sangat mencintai Bude, tapi di lain pihak aku juga mencintai Nur.

Acara pun berakhir setelah matahari sudah di atas kepala. Semuanya pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan bahagia. Liburanku masih beberapa hari lagi, tetapi rasanya aku tak ingin berakhir. Desa ini rasanya sudah menjadi rumah keduaku.

Hari menjelang sore saat Selly mengajakku untuk ngobrol. Kami duduk di sebuah bangku di halaman rumah. Tempat yang cukup rindang meskipun sinar matahari mengintip dari sela-sela dedaunan. Walaupun hari sudah mulai sore, tetapi sengatan panasnya masih terasa.

“Gun, aku tahu aku salah. Aku bodoh, tapi… pikirkanlah lagi. Aku tak mau kau putuskan aku begitu saja,” kata Selly, “aku tu sayang ama kamu.”

“Justru aku yang salah. Selama ini aku tidak pernah mencintaimu, Sel. Aku takut kalau aku teruskan hubungan kita, hanya akan menjadi saling menyakiti,” kataku.

Lagi-lagi Selly menangis. Aku tahu ini berat, tetapi aku harus mengucapkan hal yang jujur. Aku kemudian memeluknya, untuk memberikan dia ketenangan. Tangisnya makin keras. Aku usap-usap kepalanya.

“Semoga kamu bisa mendapatkan orang yang lebih baik dariku,” ucapku. Setelah itu kulepaskan pelukanku, lalu meninggalkannya sendirian dalam keadaan bersedih. Mau bagaimana lagi, aku harus menyudahi hubungan ini. Aku tak mau membuat orang lain terluka.

* * *​

Malam pun akhirnya datang. Tak aku lihat keberadaan Selly, bahkan bau parfumnya yang semerbak tak tercium di rumah ini. Bude tampak sedang berbincang-bincang dengan Pakde dan Dewa. Mereka asyik mengobrol sampai-sampai tak menyadari keberadaan Selly yang tidak ada.

“Selly dimana?” tanyaku.

“Di kamar mungkin. Dari tadi belum keluar,” jawab Dewa.

Aku beranjak dari tempat dudukku, kemudian mengetuk kamarnya. “Sel? Kamu di dalam?”

Tak ada jawaban. Aku ketuk berkali-kali, tetapi hasilnya nihil. Ah, mungkin dia memang ingin sendiri, apalagi setelah kejadian tadi siang. Mana ada sih perempuan yang nggak terguncang?

“Kenapa, Gun?” tanya Dewa.

“Yah, begitulah. Ngambek kayaknya,” jawabku. Kuberi isyarat kepada Dewa agar membiarkan Selly di kamarnya. Dewa hanya mengangguk saja.

Akhirnya kami pun berbincang-bincang hingga larut malam dan mengantuk. Dewa kembali ke kamarnya, Bude dan Pakde kembali ke kamarnya. Aku masih berada di ruang tamu dengan lampu dimatikan. Suasana malam itu cukup sunyi, hanya terdengar suara binatang malam.

Pikiranku mulai menerawang ke segala hal yang selama ini terjadi. Baik antara aku, budeku dan juga ingatan-ingatanku dari masa lalu. Aku bukan orang yang percaya dengan reinkarnasi, tetapi apa yang terjadi denganku sangatlah nyata. Sendang Bidadari itu telah membuatku kembali ke diriku yang asli. Badanku seperti dirasuki oleh dua kepribadian. Satu kepribadian sangat mencintai Bude, satu lagi mencintai Nur.

Dalam kesunyian itu, kulihat Bude keluar dari kamarnya. Aku sedikit terkesiap, menatap tubuhnya di antara remang-remang kegelapan. Bude memakai daster yang sangat tipis, yang mana dalam sekejap gairahku pun bangkit. Ah, kenapa istriku di masa lalu tetap saja tubuhnya bisa terawat seperti ini? Seksi, membuat gairah di dalam diriku berapi-api.

Bude langsung menghampiriku, kemudian mendudukiku. Dilingkarkan kedua tangannya ke leherku, setelah itu kami berpagutan panas. Kedua bongkah pantatnya yang bahenol kuremas-remas dan bisa kurasakan tak ada celana dalam.

“Bude, nanti semua tahu,” bisikku.

“Tak usah khawatir. Semua sedang terlelap,” ucapnya. Kedua bibir kami pun berpagutan, kedua lidah kami salling membelit.

Rasa ludah Bude manis, seperti madu. Aku tak mengerti bagaimana bisa wanita yang mungkin umurnya sudah ribuan tahun ini masih terasa manis. Kulitnya masih mulus, parasnya masih cantik dan tentu saja dia memiliki daya tarik seksual yang tinggi. Aku sendiri tak ingat bagaimana dan kapan kami sudah telanjang bulat di ruang tamu. Yang jelas, kami terus memberikan sentuhan dan ransangan, dari ciuman, beralih ke jilatan, lalu beralih lagi ke hisapan. Tak ada satu pun lekuk tubuh Bude yang luput dari serangan lidahku.

“Gun,…. Oohh!!” lenguhnya saat kuhisap daging kacang di belahan memeknya. Posisi kami saat ini Bude membuka pahanya dengan kepalaku ada di selakangan. Kujilati dan kutelusuri belahan memeknya dengan lidahku yang liar. Aku semakin kesetanan saat cairan gurihnya makin banyak yang keluar. Kedua tanganku tak henti-hentinya meremas dan memilin puting dadanya yang sudah semakin mengeras.

Bude mengejang. Dari celah sempit kewanitaannya memancar air kenikmatan. Pertanda dia orgasme. Aku cukup bahagia bisa memberikan orgasme kepadanya. Wajahku terkena semburan itu, tapi tak mengapa, aku suka. Bahkan mengetahui aku bangkit, dia juga ikut. Kami berpelukan dan Bude menjilati wajahku yang penuh dengan air pejunya. Kami berciuman lagi, lalu tanpa diaba-aba kontolku masuk dengan sendirinya ke liang kewanitaannya.

“Aakhhhh!” lenguh kami bersamaan.

Suasana malam itu kembali kurasakan kesakralannya. Mungkin karena aku telah mengetahui jati diri Bude, juga jatidiriku. Seolah-olah seperti seorang kekasih yang sudah lama tidak bertemu. Kami lepaskan rindu di malam ini tanpa takut kedengaran oleh siapapun. Bahkan, Bude juga menjerit saat hentakan demi hentakan penisku menghantam selakangannya. Hingga aku bisa merasakan Bude akan orgasme. Kuat sekali memeknya menjepit kontolku, hingga berkedut-kedut.

“Aku keluar!” bisiknya.

Aku belum merasa akan keluar. Masih kuat. Apakah aku sudah semakin mahir bercinta?

Makin kukencangkan hentakanku, hingga akhirnya Bude memelukku dengan erat. Kedua kakinya mengunci pinggangku, sehingga penisku mentok ke rahimnya. Kurasakan memeknya makin becek. Pasti sofa tempat kami beradu kelamin bakalan sangat basah dan bau. Tapi bukan saatnya memikirkan itu.

Napas kami terengah-engah. Aku masih menatap wajah Bude yang memejamkan mata, menikmati orgasmenya. Aku sibakkan rambutnya yang menutupi dahinya. Kulihat keringat bercucuran di keningnya, juga di bahunya. Keringatnya wangi.

“Bude pernah berhubungan dengan Pakde?” tanyaku.

Wanita ini membuka matanya. Dia tersenyum sambil menggelengkan kepala.

“Bagaimana bisa?” tanyaku.

“Aku tetap menjaga kesucianku untukmu, Kangmas. Pakdemu selalu aku berikan gambaran menyetubuhiku setiap malam. Dia menganggap itu nyata, padahal hanya mimpi. Jadi sampai sekarang aku tak pernah disentuh olehnya. Bahkan, melihatku telanjang pun tidak pernah. Semenjak aku mengetahui kau lahir di keluarganya, aku memutuskan untuk bisa dekat denganmu,” jawabnya.

Penisku makin mengeras, membayangkan Bude tak pernah disentuh kecuali olehku. “Bude, aku ingin punya anak darimu.”

“Kau yakin, Kang mas?” tanyanya.

“Aku yakin. Aku ingin hidup bersama Bude,” jawabku.

Bude tersenyum. “Kau suamiku dulu, sekarang dan selamanya. Lakukan saja.”

Aku makin bersemangat. Aku tarik tubuhnya, kemudian kubalik tubuh Bude. Setelah itu dengan gaya anjing kugenjot lagi pantatnya.

“Aahhh!” lenguh kami.

Kedua tangan Bude aku tarik ke belakangan, menyisakan pemandangan buah dadanya bergelantungan dengan pantat yang selalu bergetar setiap kali aku melakukan penetrasi. Penisku makin mengeras dan berkedut-kedut. Rasa ini sungguh luar biasa. Aku benar-benar berniat menghamili kekasihku. Istriku, Budeku sendiri.

“Aku keluar, Bude!” kataku. “Nimas Nawangwulan, terima benihku, jadilah ibu dari anak-anakku!”

“Keluarkan Kangmas! Kuterima benihmu.”

Kedua tubuh kami menegang. Bude menekan pantatnya ke selakanganku dan aku pun menekan penisku ke memeknya. Semburan cairan spermaku tumpah semua ke rahimnya. Aku tak tahu apakah manusia bisa membuahi dewi, tetapi aku bisa rasakan spermaku seperti disedot oleh kedutan demi kedutan memeknya.

Setelah pergumulan itu keadaan pun hening. Kedua tubuh telanjang kami kelelahan sambil masih kami berciuman dan berpelukan. Aku tak ingat pukul berapa kembali ke kamarku setelah pertempuran itu. Rasanya plong sekali setelah melakukannya.

Aku masih bertanya-tanya tentang Selly. Juga bagaimana nasib cintaku kepada Nur?

* * *

===== tu bi kontinu ====

NB: Maaf atas lamanya update, Ki Dalang sibuk beneran sampai gak bisa berkunjung ke forum ini.
Semoga ini bisa mengobati kangen terhadap Bude. Hehehehe..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd