Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
mantap ceritanya
 
Bagian 16


Masih di masa Mataram Kuno

Berbulan-bulan setelah pernikahanku dengan Nawangwulan, kami seperti sepasang suami istri yang tak terpisahkan. Kemana-mana selalu bersama, saat di ladang, saat mengantarkan hasil panen, pokoknya aku ingin melindungi Nawangwulan dari apapun.

Jujur, aku bingung. Apakah aku harus menceritakan semua yang aku lakukan, kalau akulah yang telah menyembunyikan perhiasannya?

Sampai suatu ketika, Nawangwulan mengajakku untuk ke pergi tempat sendang ajaib itu. Sendang yang tidak bsia dilihat oleh mata manusia, sekarang aku bisa melihatnya dan bisa memasuki alam yang tidak bisa dimasuki oleh orang lain. Aku sendiri heran, kenapa hanya aku yang bisa masuk ataupun melihatnya.

“Sendang ini..,” gumamku.

“Tidak ada manusia yang bisa melihatnya, hanya orang-orang tertentu,” ucap Nawangwulan.

“Benarkah?”

“Iya, seperti orang-orang yang telah mencapai tingkatan Brahma atau mereka yang memiliki keturunan darah biru. Seperti kakang, seharusnya bisa melihat sendang ini di malam hari saat bulan purnama,” jawabnya.

Nawangwulan melepas bajunya satu per satu, setelah itu masuk ke dalam sendang. Aku juga mengikutinya. Kulepaskan bajuku satu per satu, kemudian menyusulnya.

“Ke sini, kakang!” ajaknya.

Aku mengikutinya. Kami pun bermain air, saling menyiram, bercanda, kejar-kejaran, hingga akhirnya aku menangkapnya. Kami berpelukan, berciuman dan batang penisku sudah keras lagi. Ku arahkan batangku di sela-sela kemaluannya. Kedua paha Nawangwulan menjepit batangku. Kugerakkan maju mundur, sehingga seluruh batangku kini menggeseki belahan vaginanya, tetapi tidak sampai masuk. Seret rasanya, tetapi enak. Mungkin, karena air tubuh kami tertutupi air dari pinggang ke bawah sehingga sensasinya lain.

“Aku mencintaimu, istriku,” ucapku.

“Aku juga, kakang,” katanya.

Kedua bibir kami berpagutan, sementara itu istriku merangkul leherku. Dia pasrah saja saat kedua susunya kuremas-remas bergantian, sedangkan pinggulku bergerak pelan menggerus bibir vaginanya. Desahan demi desahan, membuat tubuh kami menghangat dan terangsang.

Kutarik tubuh Nawangwulan hingga ke tepi sendang. Di sini kududukkan tubuhnya, setelah itu kulebarkan kedua pahanya. Nawangwulan menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya. Dia seolah-olah menunggu apa yang akan aku lakukan. Kubelai kedua pahanya sambil kuperhatikan bentuk memeknya yang merah merekah. Ah, tak ada cela di sana. Indah, bibirnya, labia mayoranya, dan juga ujung kacangnya tampak sempurna. Perlahan-lahan kumajukan wajahku, setelah itu bibirku menyentuh bibir memeknya.

“Aahh…. Kakang…,” desahnya.

Tak kupedulikan lenguhannya. Lidahku kemudian kujulurkan merasakan manis dan gurihnya lipatan vaginanya. Rasanya aku seperti anjing yang menjilati air, begitu aktif, seperti sudah berhari-hari belum terpuaskan dahaga. .

“Kakang… ehhmm,” desahnya lagi.

Kedua tanganku pun aktif menggelitik puting susunya sambil sesekali kuremas bongkahan susu montoknya. Aku tak paham istriku begitu wangi, begitu manis. Kurasa bau kelamin akan berbeda, tetapi bau istriku sangat wangi dan cairan yang keluar dari vaginanya sangat manis. Apakah karena dia seorang dewi? Tapi bagaimana aku tahu? Aku bahkan baru pertama kali melakukan ini.

Sendang itu menjadi saksi bisu Nawangwulan menjerit keenakan saat menuju puncak. Dari liang senggama itu muncratlah air kenikmatan miliknya. Hingga dia pun lemas terkulai di pinggir sendang dengan kedua kakinya lemas mengangkang. Aku segera bangkit kutarik sedikit tubuhnya hingga kepala kontolku menemukan jalan, setelah itu kudorong masuk.

“Aahh!” lenguh kami berdua.

Kumasukkan batang penisku sampai mentok. Aku bahkan bisa merasakan kedua telurku membentur pantatnya. Setelah itu aku bergerak maju mundur menggarap ladang milik istriku. Nawangwulan memejamkan mata, merintih-rintih keenakan sambil kedua tangannya lunglai ke atas memmperlihatkan kedua ketiak mulusnya. Aku makin bersemangat menggenjot sambil menyaksikan kedua bukit kembarnya naik turun.

“Kakang…kakang…uh…aah…ehhmm..,” berkali-kali dia memanggilku, seakan-akan aku akan jauh pergi darinya.

“Aku di sini nimas,” kataku.

Matanya terbuka sedikit melihatku. Tatapannya sayu seperti tatapan orang yang sedang birahi. “Aku cinta kakang,” katanya.

“Aku lebih cinta kamu nimas. Oh….kenapa begitu nikmat persetubuhan ini?” kataku.

“Terus kakang. Puaskan!” katanya.

Rasanya aku ingin menuju ke puncak. Kuturunkan tubuhku dan kupeluk Nawangwulan. Ini terlalu nikmat. Terlalu dahsyat. Aku pun akhirnya meledak bersamaan dengan Nawangwulan. Pejuhku menyembur kuat. Kami pun lunglai di pinggir sendang. Setelah beberapa saat menyesapi orgasme, kami pun berbaring di pinggir sendang dengan Nawangwulan meletakkan kepalanya di atas dadaku.

Kubelai garis punggung Nawangwulan dengan ujung jariku. Hal itu membuatnya merasa nyaman sehingga beberapa kali menekan tubuhnya ke tubuhku.

“Nimas, apakah kamu ingin pulang ke kayangan?” tanyaku.

“Tentu saja, tempatku bukan di sini. Kalau seorang dewi turun ke bumi, pasti akan terjadi sesuatu. Selama di bumi ini, aku hanya akan mematuhimu, kakang. Sebab, sekarang aku adalah istrimu. Sudah tugas seorang istri untuk patuh kepada suaminya,” jawabnya.

“Bagaimana kalau aku bukan orang baik?”

Nawangwulan mengangkat wajahnya. Dia tersenyum kepadaku. “Kakang bukan orang jahat. Itu yang bisa aku lihat.”

“Bukan orang jahat?” tanyaku keheranan.

“Iya. Yang aku tahu kakang bukan orang jahat,” jawabnya.

“Jelaskan kepadaku alasannya!”

“Sebab, selama ini kakang baik padaku. Bahkan, kakang juga menolongku. Kalau memang ada manusia yang baik di dunia ini, maka kakang adalah orangnya,” jelasnya.

“Begitukah?”

Nawangwulan mengangguk, lalu bangkit menuju ke pinggiran sendang. Setelah itu dia memasukkan tubuhnya ke dalam air. Aku mengikutinya, sekarang kami duduk di pinggir sendang dengan kedua tubuh kami berendam di dalamnya.

“Sebenarnya, dulu ada orang yang mengintip mandi di sendang ini. Aku tahu itu, sebab aku bisa merasakannya. Beberapa kali dia melakukannya, sayangnya aku tak tahu siapa,” kata Nawangwulan.

“K-kau tahu ada orang yang mengintipmu?” tanyaku terkejut. Itu pasti aku.

Nawangwulan mengangguk. “Dia punya aura jahat dan sangat ingin sekali menguasai kami. Aku bisa merasakannya, tetapi entah kenapa setelah itu dia tidak pernah muncul lagi, hingga akhirnya aku bertemu dengan kakang.”

Jantungku berdegup kencang, sebab aku tahu itu aku. Apa aku harus jujur kepadanya? Mungkin memang saatnya aku harus jujur kepadanya. Tetapi, kalau aku jujur kepadanya, maka itu artinya dia akan pergi dari sisiku. Aku tak rela.

“Semoga orang itu tidak akan pernah berbuat jahat,” kataku.

“Semoga saja. Namun, aku curiga dia yang mencuri perhiasanku. Perhiasanku akan jadi masalah besar apabila jatuh ke tangan orang-orang jahat. Sebab, di dalamnya mengandung kekuatan dahsyat yang tidak akan pernah terkira,” kata Nawangwulan.

Aku penasaran. “Seperti apa?”

“Kekuatan yang tidak terkira. Siapapun yang menggunakannya bisa menjadi sakti mandraguna dan juga bisa hidup abadi,” kata Nawangwulan.

“Lalu, apakah dia juga bisa pergi ke kayangan sepertimu?” tanyaku.

Nawangwulan tertawa. “Tidak. Perhiasan itu adalah sebagai tanda bahwa aku diizinkan untuk masuk ke pintu kayangan. Manusia biasa tidak akan bisa masuk ke kayangan tanpa izin raja kayangan.”

“Di kayangan ada raja?”

“Sebagaimana di bumi ada raja, maka di kayangan pun ada raja. Hanya manusia terpilih yang bisa naik ke kayangan. Bahkan, mereka yang terpilih bisa menembus langit di atas kayangan. Kayangan hanyalah sebagian tingkatan dari langit. Dan, tentu saja di atas langit juga ada penduduknya.”

“Orang terpilih itu seperti apa?”

“Yang jelas, orang berhati jahat tidak akan bisa naik ke kayangan.”

“Nimas juga punya orang tua?”

Nawangwulan mengangguk. Tiba-tiba wajahnya sedih. Ah, tidak. Dia menangis.

“Aku rindu romo dan ibu. Pasti mereka mencari-cariku. Ketika aku tidak bisa kembali ke kayangan, pasti beliau melarang saudari-saudariku mencariku ke bumi, karena takut hal buruk juga akan terjadi kepada mereka,” katanya. Istriku menangis, dia lalu memelukku. Aku tak bisa apa-apa selain membelai rambutnya dan menciumi ubun-ubunnya, mencoba memberikan ketenangan, menghiburnya bahwa semua akan baik-baik saja.

* * *​

Suatu hari, aku ingin memeriksa apakah perhiasan itu masih ada di tempatnya. Tentunya aku beralasan kepada Nawangwulan untuk pergi ke ladang sebentar, sedangkan Nawangwulan berada di rumah membantuku untuk mengurusi dapur. Kupastikan di ladang tidak ada siapa-siapa. Ladangku kali ini aku tanami jagung dan beberapa tanaman seperti ketela. Di antara rerimbunan tanaman itu, agak jauh ke dalam ada sebuah batu yang kugunakan sebagai tanda. Di bawahnya adalah tempat dimana aku menyembunyikan perhiasan dan pakaian Nawangwulan.

Dengan hati-hati kugali tanah di bawah batu dengan cangkul. Sampai setelah kugali dalam, aku pun terkejut, sebab kotak yang seharusnya aku tanam di sana tidak ada. Hah? Kok bisa? Aku gali lagi dan lagi, kuperluas galiannya dan makin dalam, tetapi tetap saja kotak yang berisi perhiasan dan baju Nawangwulan sudah tidak ada. Aku yakin kalau benda itu tidak terlalu dalam kukubur, tetapi kalau bukan aku yang mengambilnya lalu siapa?

Ku urug kembali tanah bekas galianku. Berbagai pertanyaan sekarang melintas di benakku. Siapa yang mengambilnya? Lalu ada di mana benda itu? Tidak mungkin benda itu hilang begitu saja. Apakah Nawangwulan sudah mengetahuinya? Kalau sudah apakah benda itu ada padanya? Kalau memang ada padanya, dia bisa saja pergi ke kayangan.

Semua yang ada di pikiranku sekarang berkecamuk. Takut kalau-kalau Nawangwulan mengetahui semuanya, aku pun segera pulang ke rumah. Namun, saat itu tidaklah kudapati istriku. Kemana dia?

Buru-buru aku mencarinya. Kutelusuri seluruh daerah yang aku kenal, hingga kemudian sampai ke sebuah bukit yang agak tinggi. Jalannya lumayan terjal, aku panggil-panggil nama istriku, “Nawangwulan! Nawangwulan!” kuharap dia bisa mendengar suaraku.

Dan di saat itulah dari kejauhan aku melihat dua orang sedang berdiri. Salah satunya tentu saja aku mengenalnya. Dia adalah istriku, tetapi orang yang ada di hadapannya tidak kukenali. Aku hendak memanggilnya, tetapi instingku mencegahnya. Aku lebih memilih untuk mendekati mereka dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Kembalikan perhiasanku!” pinta Nawangwulan.

“Hahahahaha. Tidak semudah itu Dewi. Kau tahu syarat agar aku bisa mengembalikan perhiasan ini adalah aku ingin semua kekuatanmu, juga tubuhmu tentu saja. Tetapi, kau malah menyerahkan dirimu kepada dia. Akulah seharusnya yang mendapatkanmu! Bukan dia!”

“Suamiku orang baik, sedangkan kau lebih buruk dari binatang!”

“Kurang ajar! Hiaaat!” orang itu hendak memukul Nawangwulan, tetapi Nawangwulan tak bergerak sedikit pun, malah laki-laki itu terpental sendiri.

Kulihat di telinga lelaki itu ada sepasang sumping dan di lehernya ada kalung. Itu! Itu perhiasan milik Nawangwulan. Kenapa bisa ada di tangannya? Dan tunggu sebentar. Siapa lelaki itu? Kenapa dia bisa tahu tempatku menyembunyaikan perhiasannya?

“Kau tidak akan bisa menyentuhku. Sebab, perhiasan itu adalah pusakaku. Dia tahu siapa pemiliknya. Meskipun, kau bisa menjadi sakti dengan menggunakannya, tapi kesaktianmu tidak akan mempan kepadaku,” ucap Nawangwulan, “kembalikan!”

Aku pun muncul di tengah-tengah mereka. “Hentikan!”

“K-kakang?” kata Nawangwulan saat mengetahui aku yang datang.

“Hahahaha, akhirnya datang juga,” ucap si lelaki. Tunggu dulu. Apa aku mengenalnya?

“Siapa dia, istriku?” tanyaku.

“Dialah yang mengambil perhiasanku. Dia ingin menguasainya,” jawabnya.

“Hahahaha. Pangeran Rakai Dharma Tirta. Kurasa kau harus jujur kepada istrimu, sebenarnya yang mengambil perhiasan dan pakaian istrimu,” ucap si lelaki itu.

“Siapa kau?” tanyaku.

“Pangeran, ini aku. Kau tak mengenalinya? Jangan-jangan hanya karena aku memakai perhiasan ini, kau tak mengenaliku?” tanyanya.

Kuperhatikan wajahnya. Asing sekali, tak pernah aku lihat seumur hidupku. Wajahnya lebih gagah, lebih bersinar, bahkan mungkin termasuk lelaki yang berwibawa. Tetap saja tak ada di dalam ingatanku siapa orang ini sebenarnya. Namun, suaranya. Iya. Suaranya sangat aku kenal.

“Kau…? Tidak mungkin! Kau…!” kataku terbata-bata. Jelas sekali aku terkejut saat tahu siapa yang ada di hadapanku ini. Orang ini adalah orang yang paling setia kepadaku, Rah Banyak!

“HAHAHAHAHA! Kau sudah sadar sekarang?”

“Siapa dia, kakang?” tanya Nawangwulan yang penasaran.

“Dia… dia Rah Banyak. Tapi… tapi… aku melihatmu terpenggal,” kataku.

“Bagaimana kau yakin itu aku, wahai Jaka Tarub? Namaku sekarang bukan Rah Banyak. Namaku adalah Luh Geni, nama yang kau berikan kepadaku. Saat kau bangun waktu pertama kali bertemu dengan para bidadari mandi di sendang, sebenarnya aku mengikutimu pangeran. Aku buntuti dirimu dari kejauhan. Dan ya, aku pun tertarik kepada bidadari itu. Aku tak tahu bagaimana caranya agar bisa mendapatkan kesaktian dari para bidadari itu, sampai akhirnya aku lihat kau mencuri perhiasan dan pakaiannya. Saat itulah aku menyadari perhiasan dan pakaiannya mengandung kesaktian yang bisa mengubah hidupku!”

“Kakang? Kakang Jaka yang mengambil?” tanya Nawangwulan sambil menatapku berkaca-kaca.

“Iya, aku yang mengambilnya. Namun, aku berniat mengembalikannya kepadamu. Bukan maksudku untuk tidak mengembalikannya. Aku hidup seorang diri selama ini, terlebih setelah kepergian Rah Banyak. Akhirnya, aku mengira dengan membawamu ke rumahku, menjadikanmu seorang istri aku ada yang menemani. Tapi jujur, saat pertama kali melihatmu Dewi, aku mencintaimu. Aku jatuh cinta kepadamu dan perasaanku tulus,” kataku.

Nawangwulan seakan tak percaya dengan apa yang dia dengar. Aku pun tidak ingin Nawangwulan mengetahui semuanya dengan cara seperti ini.

“Luh Geni, kembalikan perhiasannya, atau aku akan mengambilnya dengan terpaksa!” perintahku.

“Hahahaha, Jaka Tarub. Kau bukan lagi pangeran dan aku juga bukan lagi pengikutmu. Sudah bertahun-tahun aku menjadi abdi dalem kerajaan, tetapi apa yang aku dapat? Malah terusir dari istana. Aku ingin mengambil lagi apa yang hilang dan aku pun mendapatkan ide untuk mengamatimu pangeran, mengikutimu siapa tahu ada hal yang bisa aku ambil. Akhirnya, saat bertemu para bidadari turun dari kayangan itulah aku mendapatkan ide untuk bisa mendapatkan kekuatannya. Aku ingin bisa menaklukkan Mataram dengan kekuatan itu. Dan aku bisa lepas dari abdi, seorang pesuruh istana,” ungkap Luh Geni.

Dalam sebuah gerakan, tubuhku melompat ke arah Luh Geni. Terjadilah saling melempar jurus antara aku dan Luh Geni. Aku berkelahi untuk bisa mendapatkan perhiasan milik istriku. Nawangwulan tiba-tiba juga ikut untuk bertarung. Kami berkombinasi untuk menyerang Luh Geni, tapi ilmu Luh Geni tak bisa diremehkan, sebab dengan kesaktian dari perhiasan milik Nawangwulan dia bisa menggetarkan bumi, menghembuskan angin dan mengumpulkan air yang ada di sekitar tempat tersebut untuk patuhnya. Yang terjadi kemudian aku terdesak dengan jurus aneh miliknya.

Tubuhku terpental beberapa tombak. Saat itulah Nawangwulan berusaha untuk menolongku. “Kakang! Kakang! Kau tidak apa-apa?” tanyanya.

“Aku tak apa-apa. Dia kuat sekali,” kataku, “istriku, Nimas Nawangwulan. Maafkan aku. Aku telah berbuat salah. Aku akan tebus semuanya hari ini.”

Nawangwulan menatap mataku. Matanya berkaca-kaca. “Aku tak tahu harus marah atau kasihan kepadamu, kakang. Yang aku tahu setiap perbuatan akan ada karmanya. Kakang akan mendapatkan karma dari perbuatan kakang. Dan dia juga akan mendapatkan karma dari perbuatannya.”

Nawangwulan membantuku untuk berdiri. Kugenggam tangannya. “Apapun akan aku hadapi, asalkan aku bisa bersamamu selamanya, Dewi Mahasari Asih. Kaulah cintaku sekarang dan selamanya.”

Hanya senyuman yang terlukis di bibir Nawangwulan. Senyuman tulusnya yang juga mencintaiku. Aku juga tersenyum kepadanya. Sekarang di hadapan kami ada seorang lelaki kuat yang harus ditaklukkan. Setelah itu, kami pun bertarung dengan Luh Geni, lalu ingatanku gelap.

* * *
========== tubikonticrot ======
NB: selamat menikmati malam tahun baru ya ges. Bude akan jumpa lagi tahun depan.
Selamat menikmati plot twistnya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd