Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Tuku tape rasa melon legi......
Nunggu Bude kelon kembali....
😁😁😁😁😁😁

Ki Dalang @wayangkulit suwun updateane Kisanak.....nek sempat monggo mlipir nang RRI Banjarsari engko tak golekno Bude versi lite....πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Isuk-isuk udan gerimis
ono wedus numpak sapi
Sakjane wis mulai nulis
tapi ora ono kopi

RRI Banjarsari iku sby yo cak? Aku ndek kutho sebelah.
 
Bagian 15

Masih di zaman Mataram Kuno

Kesibukanku setiap hari akhirnya membuatku mulai bisa melupakan kedukaanku. Sudah hampir satu tahun setelah aku kehilangan Rah Banyak. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menjadi rakyat jelata. Srawung dengan para penduduk, menjadi tani, bertahan hidup seorang diri. Hingga akhirnya di suatu masa Gunung Merapi meletus.

Selama sepuluh hari abunya menutupi semuanya. Banyak yang gagal panen, tanaman-tanaman layu dan mati. Ternak-ternak juga kelaparan, karena abu beracun yang dimunculkan oleh letusan tersebut. Untunglah persediaan beras masih ada dan aku terpaksa memakan hewan-hewan ternak yang kelaparan. Setelah sepuluh hari semenjak letusan, hujan pun turun membersihkan abu. Menyisakan tanah yang kembali bersih, berharap keadaan akan kembali seperti sedia kala.

Bagi kami para petani. Kesuburan tanah adalah segalanya. Di satu sisi, betapa kami sangat bersyukur dengan abu dari Gunung Merapi. Abu itu bisa menghidupi tanaman-tanaman ketika bercampur dengan air. Tanah-tanah menjadi subur, sehingga para petani akan mendapatkan hasil yang melimpah. Itu yang kami harapkan. Sayangnya, aku melakukan kesalahan.

Pada malam hari, sesuai dengan kalender Jawa. Aku ingat kalau malam ini seharusnya, aku akan bertemu lagi dengan para dewi itu. Dewi Sri Mahasari Asih, sosok dewi yang selama ini aku idam-idamkan dan aku inginkan perjumpaannya. Aku sudah merencanakan untuk bisa Sang Dewi menemaniku. Aku memutar otak selama ini, berbulan-bulan aku mencoba untuk memahami kenapa para Dewi itu bisa kembali ke kayangan. Mereka selalu melepaskan perhiasan dan baju yang mereka kenakan. Aku ingin mencurinya, terutama yang dimiliki oleh Dewi Sri. Barangkali dengan aku mencuri baju dan perhiasan tersebut, aku bisa menghalanginya untuk terbang ke langit. Lalu, aku membujuknya agar bisa tinggal bersamaku.

Mungkin rencanaku memang jahat. Namun, coba bayangkan. Aku terusir dari istana, dari orang yang aku cintai, dari keluargaku. Kemudian, satu-satunya orang yang setia kepadaku, yang selalu menemaniku selama ini mati di hadapanku. Aku hidup sendirian dan kesepian. Satu-satunya yang selalu menemaniku dalam setiap mimpiku hanyalah Dewi yang turun dari kayangan itu. Aku telah putuskan, aku ingin bisa paling tidak mengajaknya untuk tinggal bersamaku. Aku akan bujuk dia atau mungkin aku akan memberikan penawaran. Misalnya, aku akan mengembalikan perhiasan dan bajunya, kalau dia mau hidup bersamaku.

Malam yang aku tunggu pun tiba. Coretan-coretan di kamarku makin banyak, menghitung setiap hari demi hari agar aku bertemu lagi dengan sang Dewi. Malam itu kembali seperti malam-malam yang lalu. Malam yang aku rindukan.

Kembali aku ke tempat di mana Sendang Bidadari berada. Awalnya sekawanan binatang malam mulai bernyanyi. Dari Garengpung, Jangkrik dan katak bersahut-sahutan, hingga malam pun makin larut. Sudah lama aku tunggu kehadiran para bidadari itu dari balik semak-semak. Tiba-tiba suasana di sekitar tempat itu berubah drastis.

Tak jauh dari tempatku berada tiba-tiba secara ajaib muncul bebatuan yang naik ke atas tanah, lalu perlahan-lahan semuanya membentuk seperti kolam, lengkap dengan air dan pencurannya. Beberapa saat kemudian terdengar suara tawa dari langit, lalu ketujuh bidadari itu turun. Ah, mereka tetap cantik-cantik. Terutama Dewi pujaanku. Aku makin jatuh cinta, jantungku berdegup kencang, apalagi ketika satu per satu dari mereka menanggalkan busana. Mereka bercanda di kolam tersebut, bermain dan berenang.

Saat inilah kesempatanku dan hanya sekali. Aku mengamati dimana Dewi Sri Mahasari Asih menanggalkan perhiasan dan busananya. Aku merayap di antara rerumputan, bersembunyi di antara bayang-bayang. Sebisa mungkin aku tidak menimbulkan suara, menghindari patahan-patahan ranting, menghindari apapun yang bisa menimbulkan suara walaupun sedikit. Aku memakai baju berwarna hitam saat itu, sehingga mampu menyamar di dalam kegelapan. Perlahan-lahan aku mendekat ke tempat baju dan perhiasan para Dewi. Sudah aku tandai milik Dewi Sri, hingga dalam gerakan cepat aku segera pergi setelah mendapatkannya. Yang aku lakukan? Tentu saja pergi sejauh-jauhnya dari tempat itu untuk kembali ke rumah.

Hal yang aku lakukan berikutnya adalah menyimpan perhiasan dan bajunya ke dalam sebuah kotak. Kotak itu kemudian aku kubur di ladang, yang sebelumnya sudah aku persiapkan untuk aku kuburkan di sana. Aku tandai tempat itu dengan sebuah bantu besar, agar aku ingat dimana aku menyimpan perhiasan dan bajunya. Yah, kurasa aku menang. Tinggal menunggu fajar menyingsing saja, aku akan berpura-pura kasihan dan iba melihatnya. Sementara itu aku akan berganti baju seperti para petani pada umumnya.

Fajar pun menyingsing, ayam berkokok. Aku membawa parang sebagaimana biasa aku membawanya untuk mencari kayu ataupun bahan makanan di hutan. Tak lupa aku membawa kain yang biasanya aku gunakan untuk membawa hasil buah-buahan atau bahan makanan yang aku dapat di hutan. Namun, bukan itu sekarang tujuannya. Tujuanku tentu saja ke tengah hutan dimana Dewi Sri mandi, pasti dia tidak punya baju sekarang dan butuh baju untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. Benar saja, saat mendekat ke tempat itu aku mendengar suara isak tangis.

Perlahan-lahan aku menghampirinya dan kudapati sesosok perempuan cantik, berkulit mulus tanpa sehelai benang pun sedang menutupi buah dadanya. Sesekali dia menyeka air matanya. Dalam hati aku kasihan. Ayahanda prabu selalu mengajarkanku untuk menjadi seorang ksatria, tetapi aku telah melanggarnya. Aku malah berbuat tidak senonoh terhadap seorang perempuan.

β€œS-Siapa k-kamu?” tanyaku sambil terbata-bata.

β€œAh. Pergi! Pergi kamu! Jangan lihat!” katanya sambil terkejut.

β€œSebelum itu, pakai ini Ni Sanak!” kataku sambil melempar kain tersebut ke arahnya.

Dengan sigap sang Dewi langsung menangkapnya, lalu menutupi tubuhnya. Dia lilitkan kain itu menutupi buah dadanya yang bulat hingga akhirnya paling tidak tubuhnya sudah tertutup walau seperti orang yang baru saja mandi.

β€œKamu siapa? K-kenapa kamu bisa ada di sini?” tanyanya.

β€œNamaku … Jaka Tarub. Aku biasa mencari buah-buahan, empon-empon ataupun pohon talas di hutan ini, untuk aku jadikan makanan. Memangnya siapa Ni Sanak? Kenapa sampai ada di tengah hutan ini tanpa busana?” tanyaku.

Sang Dewi menghentikan tangisnya, β€œTerima kasih sudah menolongku dan memberiku pakaian. Aku Dewi Sri Mahasari Asih, Dewi dari kayangan dan aku tidak bisa pulang, karena pakaianku hilang.”

β€œD-dewi? Dari kayangan?” aku terkejut. Aku terkejut bukan karena pura-pura, tapi benar-benar terkejut karena dia jujur kepadaku.

β€œAku tak bisa pulang tanpa perhiasanku, tanpa pakaianku. Langit akan menolakku. Apa yang harus aku lakukan?” katanya.

β€œTinggallah denganku! Rumahku terbuka untuk siapapun. Aku tinggal sendiri, aku juga punya makanan kalau kamu lapar,” ajakku, β€œsambil aku akan ikut membantu mencari barang-barangmu yang hilang.”

β€œKain ini? Bagaimana kau bisa membawa kain ini? Apakah kamu pencurinya?” tanyanya curiga.

β€œItu kain yang biasa aku gunakan untuk membungkus hasil tangkapan dan panen. Aku biasa membawanya kalau ke hutan. Ayo, ikut!?” ajakku sambil kuulurkan tanganku.

Tatapan mata Dewi Sri masih diliputi rasa curiga. Tetapi, akhirnya dia mau juga. Itulah untuk pertama kalinya tangan kami bersentuhan. Hari itu dia berhasil aku ajak untuk masuk ke rumah.

Semenjak saat itu, bertambahlah orang yang tinggal di rumahku. Aku tidak mungkin memanggilnya Dewi Sri, akhirnya kupilihkan nama untuknya. Sebagaimana aku melihatnya seperti bulan purnama, aku pun memberikannya nama Nawangwulan.

* * *​

Kehidupanku dan Nawangwulan pada awalnya canggung. Sangat canggung. Aku harus menjaga diri untuk tidak begitu intens mendekatinya. Ditemani dia di rumah pun aku sudah senang. Seminggu, dua minggu, akhirnya dia mulai keluar rumah. Dia mulai membantuku bercocok tanam di ladang. Mulai membantuku mencuci baju. Aku selalu mengatakan kepadanya, untuk tidak perlu membantuku, tetapi dia bersikeras. Katanya ini sebagai tanda terima kasih.

β€œNawangwulan, aku sudah bilang, tak perlu membantuku. Aku bisa sendiri,” kataku.

β€œSetidaknya, aku ingin berterima kasih kepadamu, Jaka. Kalau bukan karenamu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kepadaku,” katanya, β€œterlebih lagi, aku lihat kamu orangnya jujur, sama sekali tidak menyentuhku dan sangat sopan kepadaku.”

Aku pun menjaga jarak. β€œMemangnya, apa yang kamu pikirkan?”

β€œJujur, tidak sedikit aku melihat watak manusia. Mereka saling benci, saling bunuh, melukai satu sama lain. Hal itu membuatku berpikir kalau setiap manusia itu buruk dan jahat. Aku harus melihat ketulusanmu terlebih dahulu. Kukira kau adalah orang yang tulus dalam menolong orang lain,” jawabnya.

Aku jadi kasihan kepadanya. Apa aku salah karena telah membohonginya?

Akhirnya, semenjak hari itu, aku tak pernah melarangnya. Dia juga menggunakan ilmu-ilmu yang tidak biasa. Tanaman kami di ladang jadi tambah subur. Bahkan, hasil panen kami melimpah. Untuk makan, Nawangwulan selalu memasak nasi dengan sebutir nasi saja. Namun, setelah matang bisa satu periuk penuh. Banyak keajaiban-keajaiban yang terjadi selama dia tinggal bersamaku.

Setelah beberapa waktu kami tinggal bersama, aku mulai jatuh cinta kepadanya. Kepada Nawangwulan, Sang Dewi Sri. Perempuan pertama yang membuatku mengocok kemaluanku sendiri.

β€œAku ingin menikahimu, Nawangwulan,” kataku saat malam hari aku duduk bersandar di dinding kamarnya. Aku yakin saat itu dia belum tidur. β€œJujur, saat pertama kali melihatmu, aku sudah jatuh cinta. Dan, karena kita tinggal berdua saja, aku tak mau orang-orang akan bertanya-tanya tentang kita apakah sudah menjadi suami istri atau belum.”

Lama tak kudengar suara Nawangwulan dari dalam kamar. Mungkin dia masih berpikir, apa yang harus dia jawab. Namun, dengan sabar aku menunggu.

β€œApa Kakang yakin?” tanyanya.

β€œAku telah putuskan,” jawabku.

β€œBaiklah. Dengan satu syarat, seandainya nanti kita punya anak. Jangan kakang beritahu tentang siapa diriku atau aku akan pergi meninggalkan kakang. Dan sebagaimana janji kakang untuk menemukan perhiasanku, yaitu tiga caraka, bumi, tirta dan bayu, maka aku akan tetap berada di bumi. Jika aku sudah menemukannya, maka mau tak mau aku harus meninggalkan kakang,” katanya, β€œsebab, tempatku bukan di sini.”

Tentu saja, kata-katanya membuatku sedih dan juga gembira. Di lain pihak aku senang Nawangwulan akan tinggal bersamaku, tapi di sisi lain, sedih kalau sampai suatu saat nanti dia akan pergi. Ah, selama aku tidak memberitahukan dimana perhiasannya, maka semuanya akan aman-aman saja.

β€œAku berjanji. Aku juga akan memberitahukanmu siapa aku sebenarnya,” kataku.

Setelah itu, aku bercerita tentang diriku kepada Nawangwulan. Jati diriku sebagai seorang pangeran yang dibuang, konspirasi yang dilakukan oleh Bunda Permaisuri, hingga akhirnya satu-satunya orang yang setia kepadaku dibunuh di hadapanku. Setelah ceritaku tuntas, Nawangwulan pun keluar dari kamarnya.

Meskipun malam itu hanya ditemani lampu kecil yang ada di tengah ruangan. Aku masih bisa melihat kecantikannya. Kami berdua berdiri saling berhadapan, setelah itu aku beranikan diriku untuk membelai pipinya.

Seperti gerakan reflek, Nawangwulan memegang punggung tanganku dan menahan tanganku di pipinya. Ah, aku tak kuasa. Aku pun maju mendekat dan langsung menciumnya. Inilah ciuman pertamaku, ciuman yang akan mengubah hidupku untuk selamanya.

Nawangwulan malu-malu seperti orang yang tidak pernah dijamah oleh laki-laki sebelumnya. Mungkin dari situlah alasannya malam itu ciuman kami hanya sebentar, meskipun aku ingin lebih. Namun, dia menahannya. Dia ingin agar kami menikah terlebih dahulu.

Esoknya, kami langsung bertemu dengan ketua adat di desa tersebut untuk melangsungkan acara pernikahan. Acara pernikahan yang sakral tersebut berlangsung dengan lancar dihadiri oleh para tetangga, para sesepuh dan pinisepuh. Kami memotong kambing hari itu untuk pesta. Orang-orang senang, karena jarang ada pesta di desa tersebut, apalagi penduduknya juga sedikit.

Malam itu aku pun melakukan ritual bersama Nawangwulan. Sebagai seorang istri Nawangwulan boleh dibilang sangat penurut. Sebagaimana di adat kami, seorang suami ibaratnya seorang dewa bagi istri mereka. Apapun yang dikehendakinya, maka adalah suatu kewajiban yang akan dilakukan oleh sang istri.

Pintu sudah aku kunci. Tak perlu kujelaskan sekali lagi bagaimana cantiknya Nawangwulan, aku sudah mabuk kepayang oleh kencantikannya setiap hari. Bahkan, pikiran-pikiran jorokku pun sudah tak bisa aku bendung lagi, hingga akhirnya hari ini pun tiba. Dia akan patuh kepadaku sebagai suaminya, selamanya.

Malam ini kami akan tidur satu kamar, satu tempat tidur. Jantungku deg-degan tidak karuan. Lantaran untuk pertama kalinya dalam hidupku berada di dalam satu kamar dengan perempuan lain. Kami hanya duduk menyamping di atas tempat tidur tanpa berbuat apa-apa. Aku bingung juga, apa yang harus aku lakukan.

β€œKenapa Kang Mas diam saja?” tanyanya.

β€œJujur, aku bingung harus bagaimana,” jawabku.

Nawangwulan tersenyum. Senyumnya adalah senyuman paling indah yang aku lihat. Tanganku mulai berinisiatif memegang tangannya, kemudian bibirku mulai menciumi jemarinya, naik ke punggung tangannya, lengannya, bahunya, pundaknya, lehernya, lalu bibirnya. Saat itu aku digerakkan oleh insting, tak ada yang mengajariku, hanya bahasa tubuh yang menuntunku.

Kulepas satu per satu baju yang melekat di tubuhku dan tubuhnya. Kini aku bisa melihat bagaimana tubuh asli dari Nawangwulan. Mulus, tanpa ada cacat sedikit pun. Buah dadanya sebagaimana buah dada yang dulu aku lihat dan aku dambakan bertahun-tahun. Kini mulutkulah yang menuntunnya untuk menciuminya, mengisap putingnya. Ah, ini luar biasa.

β€œAh… kakang...,” desah Nawangwulan. Biar pun malam itu tak ada cahaya di dalam kamar kami, tetapi aku bisa melihat remang-remang dari cahaya rembulan yang mengintip dari lubang-lubang dinding. Satu hal yang aku bisa yakinkan tubuh Nawangwulan tak ada bulu sama sekali. Aku jamah seluruh tubuhnya, kuciumi seluruh tubuhnya seperti orang kehausan.

Kelaminku sudah tegak dan keras. Mungkin, karena aku baru pertama kali sehingga buru-buru ingin memasukkan kelaminku ke kelaminnya. Namun, saat aku tindih tubuhnya, betapa tubuhku bergetar. Baru kali ini kelaminku menyentuh belahan kemaluan perempuan. Kedua mata kami saling menatap. Bingung apa yang harus kami lakukan setelahnya, tetapi pinggulku sudah bergerak seperti menggesek-gesek. Selakangan kami menekan-nekan, kedua tanganku masuk ke bawah punggungnya, kaki Nawangwulan melebar, mengaturku agar lebih nyaman lagi.

β€œMasukkan…kakang!” bisik Nawangwulan, β€œmalam ini aku milikmu.”

Batang kerasku kucoba arahkan ke tempat di mana lubang kenikmatannya berada. Susah, bingung tak tahu tempatnya, Nawangwulan menuntunku dengan tangannya. Mengocok sedikit batangku, kemudian setelah pas berada di tempat yang semestinya, Nawangwulan memberi isyarat dengan anggukan. Pinggulku mendorong.

β€œAhhh!!” jerit kami serempak.

Aku merasa nikmat, sekaligus terkejut. Kulihat Nawangwulan menggigit bibirnya. β€œS-sakit?” tanyaku.

Nawangwulan mengangguk. β€œBiarpun aku seorang dewi, tapi tetap saja selaput daraku terasa sakit kalau pecah. Tapi teruskan kakang. Aku milikmu, lakukan apa yang harus kakang lakukan.”

Ini nikmat yang tidak terkira. Malam ini aku tuntaskan nafsuku yang terpendam bertahun-tahun. Tubuh yang dulu aku nikmati dengan mengintip, sekarang aku kuasai, aku nikmati. Aah… kelaminku seperti diremas-remas, sempit, basah dan hangat. Aku tak tahu kalau senikmat ini namanya bercinta.

Pinggulku terus memompa. Memang, aku belum berpengalaman. Kugenjot istriku hanya karena keegoisanku seperti mendapatkan mainan baru. Tak butuh lama akhirnya keluarlah calon-calon anakku ke rahimnya. Tembakan peju seorang perjaka yang hilang di malam pengantin, begitu kencang dan banyak. Aku tak tahu berapa tembakan, tidak bisa dihitung.

Yang aku heran adalah meskipun aku sudah keluar dan napasku terengah-engah, tetapi batangku masih tegang. Seolah-olah ingin lagi.

β€œAku keluar Nimas,” ucapku.

β€œEnak kakang?” tanyanya.

β€œEnak sekali. Baru kali ini aku merasakannya,” jawabku.

β€œKakang masih mau lagi?”

Aku mengangguk.

β€œLakukanlah. Puas-puaskan!” ucapnya.

Tidak ada hari tanpa kentu. Itulah yang kami lakukan sebagai pengantin baru. Selama seminggu penuh aku bercinta, bercinta dan bercinta sampai lupa waktu. Herannya, aku selalu punya tenaga untuk itu. Istriku memberiku air minum setiap lelah dan ajaibnya, aku merasa segar lagi dan bertenaga.

Pagi hari aku bangun tidur matahari baru saja menyingsing. Istriku sedang menanak nasi. Ah, keringatnya yang menetes dari pundaknya, ketiaknya, membuatku terangsang pagi itu. Kudekati Nawangwulan dari belakang, kemudian kupeluk dia. Dia sedikit terkejut.

β€œSudah bangun, kakang?” sapanya.

Bibirku menciumi lehernya, pundaknya yang terbuka. Sementara batang penisku kugesek-gesekkan ke pantatnya. Nawangwulan meraih kepalaku dengan tangannya, kemudian bibir kami saling melumat. Berkali-kali bercinta dengannya membuatku makin mahir. Lidah kami saling membelit, saling menghisap. Tanganku mulai melucuti bajunya, kembennya kuturunkan hingga kedua buah dadanya melompat keluar. Ah, buah dada itu. Bulat, putih, putingnya kemerahan dengan urat-urat hijau terlihat. Kuremasi keduanya, kugelitik putingnya. Istriku mulai mendesah.

Kutarik badannya untuk kupangku dengan aku duduk di kursi yang ada di dapur. Sarung yang aku pakai pun sudah tidak pada tempatnya, kami berdua sudah tanpa busana, memeluknya. Ah, kulit kami saling menyapa lagi. Lidahku sudah menikmati puting susunya lagi. Nawangwulan membelai kepalaku dan sesekali menciumi ubun-ubunku.

β€œTeruskan, kakang!” pintanya.

Kutatap matanya. Senyuman Nawangwulan benar-benar senyuman yang tidak bisa aku bandingkan dengan keindahan dunia ini.

β€œAku mencintaimu, Nimas,” kataku.

β€œAku juga, kakang,” katanya.

Kedua bibir kami berpagutan lagi. Dengan satu gerakan kuangkat sedikit kedua bokongnya, kutempatkan batang penisku tepat di liang surgawinya, setelah itu kuturunkan tubuh istriku. Dalam sekejap menyeruaklah batang keras itu menggesek dinding liang senggamanya. Istriku melenguh, medesah dan dia menggoyang naik turun pinggulnya dengan kesetanan.

β€œKentu enak ya, Nimas?” tanyaku.

β€œHe-eh. Kakang,” ucapnya.

Rasanya tak akan ada habisnya aku menikmati momen ini. Nawangwulan menghentak-hentakkan tubuhnya, seolah-olah dia ingin lebih dari itu. Keringat Nawangwulan berbeda dengan keringat manusia pada umumnya. Entah kenapa aku merasa keringatnya sangat manis, tidak asin. Itulah kenapa ketika dia berkeringat aku sangat menyukainya. Buah dadanya naik turun, membuatku gemas untuk bisa mencaploknya. Ah, ini gila.

Kupeluk erat tubuhnya, kemudian kuangkat. Nawangwulan kugendong hingga kami masuk lagi ke dalam kamar. Tempat aku setiap malam menggarapnya. Kini kurebahkan lagi dia di atas dipan, lalu kugenjot selakangannya. Suara-suara tumbukan bunyi dari kedua kelamin kami mengundang gairah. Kami berciuman sambil terus berusaha saling merangsang tanpa henti.

β€œKakang, aku mau pipis,” ucapnya.

β€œKita bareng, Nimas,” kataku.

Dipan tempat kami bertumbukan makin berderit. Kuhentak-hentakkan pinggulku dengan cepat. Nawangwulan menoleh kiri-kanan sambil kedua kakinya diangkat, mengingkat pinggangku. Aku pun sepertinya sudah sampai puncaknya. Tak bisa lagi aku tahan. Nawangwulan memejamkan matanya sambil menipiskan bibir. Dia sudah sampai. Aku bisa merasakan semburan demi semburan kecil di memeknya. Ah, aku juga….

Kami sampai bersamaan. Kelamin kami benar-benar basah. Batang penisku berkedut-kedut dengan hebatnya menyemburkan benih-benih cinta. Tubuhku pun lemas menindih istriku. Setelah itu aku terlelap.

* * *​

============ tubikinticrit ============
NB: Ki Dalang mager banget hari ini.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd