Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bagian 14


Masih di masa lalu di zaman Mataram Kuno

Kisah berlanjut. Hari-hariku berada di desa ini kujalani sebagai rakyat jelata. Dengan belajar bercocok tanam kepada penduduk setempat Luh Geni (sebelumnya Rah Banyak) benar-benar mendedikasikan kehidupannya untuk masyarakat. Selama berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, kami terus menyamar. Ketika bersama orang-orang aku menganggap Luh Geni sebagai ayahku, tetapi di saat tidak ada orang dia menganggapku sebagai tuannya.

Masih teringat di dalam otakku tentang peristiwa saat aku lihat para bidadari mandi di sendang misterius itu. Kusebut misterius, karena saat aku pergi ke tempat itu lagi tidak aku temui sendang tersebut. Apakah sendang itu hanya akan muncul jika mereka mandi saja? Rasa penasaranku pun membuatku selalu pergi ke tempat itu saat malam hari. Berbulan-bulan aku berkunjung, tetapi tanpa hasil. Hingga suatu ketika lebih tepatnya di suatu malam dengan bulan purnama menghiasi langit, aku pergi ke tempat sendang itu berada.

Malam itu aku beruntung. Suasananya sama persis seperti saat aku mengetahui para bidadari mandi. Binatang malam enggan bersuara, hanya angin saja yang mengirimkan suara gesekan dedaunan. Suasana malam seperti inilah yang aku ingat. Kulihat Luh Geni sudah tertidur, karena kecapekan setelah bekerja seharian di ladang. Kupaksa tubuhku untuk beringsut keluar rumah. Di luar tampak langit terlihat cerah dengan rembulan terang berwarna keperakan.

Tak ingin ketinggalan momen, aku punn segera pergi meninggalkan rumah menuju ke tempat sendang misterius. Sengaja aku tidak membawa obor, sebab kalau sampai ketahuan orang desa mungkin bakalan geger. Aku juga tak mau kalau-kalau para dewi itu sampai mengetahui keberadaanku. Letaknya tak begitu jauh, dengan berjalan kaki aku bisa sampai ke tempat sendang tersebut.

Kakiku gemetar, bukan karena dingin, bukan juga karena takut akan malam, melainkan takut ketahuan. Akhirnya terlihatlah cahaya itu dari kejauhan. Cahaya dari dalam hutan, temaram, terang seterang matahari di siang hari. Anehnya, hanya tempat itu yang terang, sekelilingnya gelap. Seolah-olah cahaya hanya dipesan di tempat tersebut.

Terdengar suara ceria, tawa-tawa renyah para bidadari. Kembali aku menelan ludah saat melihat mereka dari kejauhan. Ah, tubuh mereka mulus sekali, sekilas diriku membayangkan bisa menyentuh mereka. Pikiran-pikiran kotorku pun bermunculan yang membuat batang kemaluanku mengeras. Mataku tertuju ke sosok gadis yang paling cantik di antara mereka. Dia yang sering dipanggil dengan sebutan “Mbak Yu”.

Ayam berkokok, tak pernah aku sangka kalau ternyata telah lama juga aku menonton mereka mandi. Mereka pun memakai perhiasan mereka yang sebelumnya ditanggalkan tak jauh dari tempat mereka berada. Satu per satu dari mereka terbang ke langit, hingga tinggal seorang saja yang tertinggal. Lagi-lagi dia mengamati sekeliling. Setelah dia memakai pakaian dan perhiasannya, dalam sekejap dia pun terbang ke langit. Tempat itu pun gelap lagi.

Kenapa mereka datang lagi setelah berbulan-bulan tidak pernah muncul? Apakah ada waktu khusus hingga mereka harus turun lagi ke sendang ini? Seperti biasa, sendang tempat mereka mandi pun lenyap begitu saja. Tidak berbekas.

Pagi datang, matahari mulai menyingsing. Luh Geni sudah bersiap untuk pergi ke ladang, aku juga demikian.

“Luh Geni, aku ingin bertanya. Memangnya hari ini hari apa?” tanyaku.

Luh Geni berpikir sejenak. “Hari Pahing bukan?”

“Maksudku, apakah hari ini ada peringatan khusus atau apa gitu?”

Luh Geni mengangguk. “Hari ini sudah memasuki bulan Suro. Hari ini waktunya para petani panen dan mengirim hasil panennya ke kerajaan.”

Bulan Suro. Tentu saja. Apalagi alasan yang paling benar selain para dewi itu turun saat bulan ini? Tapi, apakah mereka akan datang lagi nanti malam? Pertanyaan ini lagi-lagi muncul di benakku.

“Memangnya ada apa?” tanya Luh Geni.

“Tidak ada apa-apa,” jawabku, “tak usah dipikirkan.”

Sesaat kemudian kami pun berjalan untuk menuju ke ladang yang tak jauh dari rumah. Kami juga berpapasan dengan para penduduk. Di antara mereka ada bajingan yang mengemudikan cikar sambil membawa hasil panen. Pasti akan dijual ke kota. Tidak ada penduduk yang punya kereta kuda, sebab mereka bukan orang yang boleh dibilang kaya.

Hari itu berjalan seperti biasanya. Setelah seharian sibuk di ladang, aku pun istirahat. Malam harinya, kembali lagi aku menuju ke tempat sendang itu berada. Selama tiga malam berturut-turut aku menyaksikan para bidadari itu mandi. Dan siangnya ketika aku kembali ke tempat tersebut sendangnya sudah tidak ada lagi. Dan, pada hari keempat. Para bidadari itu tidak lagi turun.

Aku tak mengerti. Apakah pada hari-hari tertentu saja mereka akan turun dan mandi?

Akhirnya sekali lagi aku mempelajarinya. Berbulan-bulan kemudian mereka turun lagi dan ini tepat setahun setelah terakhir kali aku melihat mereka. Ternyata semua kembali ke saat sebelum bulan Suro. Tidak peduli bulan purnama atau tidak, mereka pasti turun. Sayangnya, aku masih tidak berani berbuat banyak selain memperhatikan mereka dari jauh, dari balik kegelapan semak-semak, ditenami hawa dingin yang menusuk.

Saat itu kemaluanku benar-benar mengeras dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mengalami yang namanya keluar pejuh. Entah kenapa waktu itu aku mengocok kemaluanku sendiri lalu mengeluarkan isinya. Hal itu membuatku serasa melayang dan tubuhku lemas. Semua gara-gara aku menyaksikan para bidadari telanjang itu sampai aku seperti ini.

Tiga malam kuulangi lagi sebelum mereka pergi ke langit. Dan aku sudah mendapatkan siapa saja nama-nama mereka. Dewi yang aku sukai, yang paling dihormati di antara mereka bernama Sri Mahasari Asih. Memang sikapnya sangat aku sukai. Dari caranya bertutur kata, dari sikapnya dan juga memperlakukan saudara-saudaranya. Sangat berbeda dari bangsawan pada umumnya. Mau bagaimana lagi dia seorang Dewi dari kayangan, jelas sangat berbeda dengan para manusia yang tinggal di bumi.

Setelah itu berbulan-bulan kemudian aku kembali menunggu saat-saat para dewi itu kembali datang. Rasanya sangat lama. Aku habiskan waktu setahun itu untuk bekerja di ladang, sambil mengamati apakah para prajurit kerajaan Medang masih mengejarku.

Rumor pun tersebar, kalau Pangeran Rakai Dharma Tirta telah meninggal. Rumor lain berkata kalau aku telah pergi ke negeri seberang. Aku cukup bersyukur, tapi juga sekaligus bersedih, sebab aku tak lagi bisa kembali ke istana. Aku tidak punya kekuatan atau pun teman yang bisa aku andalkan selain Rah Banyak yang sampai sekarang masih setia kepadaku.

“Sepertinya, pangeran lebih suka tinggal di desa ini,” celetuk Luh Geni saat kami baru saja selesai menyiangi ladang.

“Aku mulai berpikir ingin menghabiskan waktuku di desa ini. Jauh dari keramaian, jauh dari istana,” kataku sambil mengibas-ibaskan capil ke tubuhku karena berkeringat.

“Maafkan, hamba Yang mulia. Hamba tidak bisa berbuat banyak. Selain terus setia mengurus paduka. Hamba juga tidak punya kekuatan untuk bisa merebut takhta yang sekarang dipegang oleh Rakai Pikatan, saudara paduka.”

“Aku tak mempermasalahkannya. Selama adikku bisa menjadi raja yang baik, maka aku rela melepaskannya. Ayahku pernah berkata tingkatan manusia tertinggi dalam hidupnya adalah mampu merelakan apa yang paling dicintainya. Aku mencintai keluargaku, tetapi aku telah kehilangan semuanya. Aku pun tidak butuh lagi kepada kedudukan dan harta. Bagiku tinggal di desa ini sudah cukup,” ujarku, “toh, sekarang aku bisa menikmati hidup.”

Sebenarnya aku mengerti maksud dari Luh Geni. Dia ingin bisa melakukan sesuatu untukku. Sudah bertahun-tahun Rah Banyak menjadi pembantu ayahanda prabu, hingga dia juga yang menghiburku saat ibuku tiada.

Luh Geni mendesah. “Waktu benar-benar cepat berlalu. Pangeran sekarang bisa berpikir lebih dewasa.”

Mendengar kata-katanya aku tersenyum. “Masa’ aku harus jadi anak kecil terus?”

“Ah, iya. Pangeran sudah tujuh belas tahun ya?”

Baru sadar, ternyata aku sudah tujuh belas tahun. Aku ingat pertama kali aku keluar dari istana usiaku masih 14 tahun. Tak kusangka aku sudah tiga tahun tinggal di desa ini dan setiap tahunnya menanti untuk bisa melihat bidadari itu turun lagi.

“Menurutmu, apakah orang-orang kerajaan akan mengenaliku jika aku masuk ke istana lagi?” tanyaku.

Luh Geni memperhatikanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Pangeran sekarang lebih dewasa, badan lebih kekar dan rambut lebih panjang. Bahkan sekarang muncul kumis tipis. Hamba kira, orang-orang tidak akan begitu mengenali pangeran kalau tidak memperhatikan langsung.”

“Tapi, gambarku sudah disebar kemana-mana. Kalau misalnya mereka mengenaliku pun aku tidak akan terkejut,” kataku.

“Paduka mau mencoba untuk masuk ke istana?”

Aku menggeleng. Berpikir ketahuan saja aku merinding. “Tidak. Aku tidak begitu ingin. Hanya bertanya-tanya saja apakah orang-orang masih mengenaliku atau tidak.”

“Kalau orang-orang dalam istana, bisa jadi masih mengenali, tapi untuk para penduduk atau di kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Medang tidak akan banyak yang tahu,” kata Luh Geni.

“Sebenarnya, kalau misalnya bisa ada kesempatan bertemu. Aku ingin bertemu dengan Rakai Pikatan. Aku ingin menjelaskan semuanya kepada adikku kalau aku tidak membunuh ayahanda prabu. Tapi, ah sudahlah. Semua sudah berlalu, toh sekarang pun kerajaan Medang baik-baik saja dan rakyat lebih menyayangi raja mereka kali ini,” ucapku.

Sebenarnya ada tersirat rasa simpati dari raut wajah Luh Geni, tetapi aku tidak begitu menghiraukannya. Dan itulah kesalahanku. Seharusnya aku lebih paham perasaan Luh Geni sebagai bawahan dan pengawalku. Orangnya sangat setia dan rela melakukan apa saja untukku.

Besoknya aku tak mendapati keberadaan Luh Geni. Awalnya, aku mengira dia sudah berada di ladang. Namun, saat aku pergi ke ladang, tidak ada seorang pun. Kemana perginya? Aku masih berpikiran baik, mungkin dia sedang ada urusan.

Akhirnya malam pun tiba, tetapi tidak ada tanda-tanda Luh Geni pulang. Kebodohanku adalah menganggap semua baik-baik saja. Bahkan tidak pernah sedetik pun untuk memeriksa tempat tidur Luh Geni. Hingga kemudian aku memeriksa tempat tidurnya. Ternyata di sana ada gulungan daun lontar. Bagaimana aku bisa melewatkan ini? Aku tidak memeriksa tempat tidurnya tadi pagi.

Kuambil daun lontar itu. Kunyalakan lampu minyak di ruang tengah. Ternyata Rah Banyak alias Luh Geni meninggalkanku pesan.

“Paduka Yang Mulia Pangeran. Maafkan hamba, karena kurangnya hamba dalam menjaga Yang Mulia Pangeran, mengakibatkan Yang Mulia harus difitnah dan terusir dari istana. Hamba akan pergi ke istana untuk membalaskan dendam. Hamba juga akan mencari dukungan untuk Yang Mulia agar bisa merebut kekuasaan. Maafkan hamba.

Rah Banyak”


Betapa terkejutnya aku setelah membaca pesan dari Rah Banyak. Aku pun segera mengejar Rah Banyak. Entah sudah sampai mana dia sekarang, terlebih lagi mungkin sudah sehari perjalanan. Apa dia tidak berpikir kalau akan terjadi sesuatu kepadanya?

Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera menyusulnya. Tidak. Jangan. Jangan sampai terjadi sesuatu kepadanya. Selama ini Rah Banyak yang selalu menemaniku. Kalau sampai terjadi sesuatu kepadanya maka aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi.

Butuh waktu berhari-hari perjalanan hingga aku akhirnya sampai di Medang. Aku harus menghindari jalan-jalan yang dilewati oleh para prajurit Medang, agar aku tidak ketahuan. Terlebih aku menjadi buronan. Aku menyamar menjadi rakyat jelata dengan pakaian compang-camping dan rambut acak-acakan seperti pengemis. Bahkan, aku berhari-hari tidak mandi agar orang-orang tidak mencurigaiku.

Sesampainya di gerbang pintu istana, kulihat orang-orang begitu ramai berkumpul. Apa yang sebenarnya terjadi?

Karena penasaran, akhirnya aku bertanya kepada salah satu penduduk. “Ada apa ya?” tanyaku.

“Oh, itu. Akan ada hukuman mati kepada salah satu pemberontak,” jawab penduduk tersebut.

Perasaanku sudah tidak enak. Pikiranku berkecamuk. Saat itulah aku melihat seseorang diseret dan di arah ke tengah lapangan. Orang-orang meneriakinya “Bunuh! Bunuh! Bunuh!” Aku tidak bisa melihat siapa yang sedang diseret tersebut, aku berdesak-desakan maju untuk bisa melihatnya.

Seorang petugas istana tampak sedang berdiri di atas podium dengan membacakan daun lontar. Seketika semua orang diam. Aku tahu siapa dia. Dia adalah Adipati Saka Galung. Salah satu petugas istana, juga seorang prajurit yang disegani di Medang.

“Pengumuman! Kita telah menangkap salah satu pemberontak kerajaan Medang. Dia adalah pengikut setia dari Pangeran Dharma Tirta yang telah berkonspirasi membunuh Raja Prabu Rakai Garung. Dengan ini Paduka Raja Rakai Pikatan menjatuhkan hukuman mati kepada Rah Banyak dengan hukuman pancung!” kata Adipati Saka Galung.

Saat itu rasanya aku seperti dihempaskan ke dalam kegelapan bumi. Langit serasa runtuh, begitu aku mendengar pengumuman itu. Tubuhku mematung, diam membisu. Tak bisa berkata apa-apa lagi. Kulihat sang Adipati mengambil pedang tajamnya, didudukan Rah Banyak hingga berlutut, hingga kemudian dalam sekali tebas kepala Rah Banyak sudah berpisah dari tubuhnya dengan darah mengucur deras ke udara.

Tak ada satu pun raut wajah sedih yang terpancar dari penduduk Medang. Mereka semua bergembira, bersorak, seolah-olah telah mendapatkan kemenangan. Kini, satu-satunya orang yang peduli kepadaku, setia kepadaku telah pergi untuk selamanya. Dengan lesu, aku pun beranjak pergi. Tak ada harapan lagi aku di Medang. Medang sudah tidak menerimaku lagi. Biarlah aku pergi, asalkan negeri ini damai tanpa pertumpahan darah. Biarlah aku yang berkorban untuk itu. Sebagaimana yang diajarkan oleh Ayahanda Prabu, “Tidak setiap perdamaian itu harus dibuat dengan pertumpahan darah, terkadang dengan mengalah bisa mendamaikan pertikaian, dan mencegah pertumpahan darah yang tidak berarti. Kehidupan rakyat lebih utama daripada sekedar menuntaskan keinginan hati.”

Tidak ada tempatku lagi untuk kembali selain ke desa itu. Sepanjang perjalanan aku menangis. Setiap malam aku menangis meratapi nasibku. Ayahanda Prabu, Rah Banyak. Apa aku harus membalas perbuatan Bunda Permaisuri? Namun, tidak. Dendam hanya akan memperpanjang masalah, lagipula aku tidak akan bisa melakukannya.

Kini aku hidup di desa itu sebatang kara. Mengurusi ladangku, menjual hasil panen ke para tengkulak, begitu terus setiap hari. Bulan demi bulan berlalu. Aku merasa kesepian. Tidak ada yang menemaniku, hingga akhirnya di dalam pikiranku terbesit sesuatu yang akan mengubah hidupku.

* * *
=========== tubikonticrut =======
NB: Nyicil dikit lagi
 
Terakhir diubah:
Index nya ndak disisipin link, musti ngetik manual
Ki Dalang masih mending sih, ada juga penulis yang bahkan nggak ngasih index sama sekali.
Tapi kayaknya poro sederek tidak butuh index. Tidak banyak yang protes juga.

Oh iya, sesekali Ki Dalang yang pertamax.

:pandaketawa:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd