Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bimabet
benar benar di luar prediksi, ada flash back masa kerajaan dulu. kok pas banget tempo hari saya baru mengunjungi situs pemandian kuno dan dapet sedikit cerita2 kerajaan dulu.
 
Bagian 13


Masih di masa kejayaan Mataram Kuno

Sudah berhari-hari kami berkuda hingga akhirnya kuda-kuda kami pun lelah. Medang sudah jauh beberapa hari perjalanan di belakang kami. Rasanya tubuhku pun sudah tidak mampu lagi untuk berjalan. Kami pun terpaksa melepaskan kuda-kuda kami. Meskipun sudah jauh dari istana, tapi Rah Banyak tetap menjadi pelayan setiaku. Hari itu kami pun bermalam di hutan, jauh dari keramaian dan endusan telik sandi Kerajaan Medang.

Api unggun mulai menghangatkan tubuh kami dari dinginnya malam. Baju yang aku pakai ternyata lebih hangat daripada baju kerajaan yang biasanya kupakai. Meskipun, bentuknya compang-camping seperti pengemis. Rah Banyak yang mengusulkanku untuk memakai baju ini agar tidak dicurigai oleh para prajurit.

“Kita kemana lagi?” tanyaku, “rasanya sudah tidak ada lagi tempat untukku lari. Seluruh penjuru daerah telah diawasi oleh para prajurit, aku tak punya kekuatan lagi.”

“Dari penuturan Yang Mulia Pangeran sepertinya Permaisurilah yang menginginkan ini semua. Bahkan, mungkin saja Prabu Rakai Garuh juga telah dibunuh olehnya. Saat ini, kita tak punya kekuatan apa-apa dan lebih baik mengasingkan diri jauh dari kejaran Kerajaan Medang,” ujar Rah Banyak.

Kubaringkan tubuhku di atas lembaran daun pisang yang sudah disiapkan oleh Rah Banyak. Terlalu banyak yang aku pikirkan hingga akhirnya lelah dan tidur. Meskipun tertiur, hatiku masih terjaga, pikiranku kemana-mana. Aku tak pernah menyangka kalau selama ini Bunda Permaisuri begitu ingin Rakai Pikatan menjadi putra mahkota. Dalam sekejap mengorbankan persaudaraan kami dan mengusirku dari istana.

Malam itu pun menyelimutiku. Hanya suara binatang malam yang terdengar, sementara itu Rah Banyak dengan setia menjagaku saat aku terlelap. Namun, itu tidak berlangsung lama.

Aku tiba-tiba terbangun di tengah malam dengan rembulan cukup terang di atas. Malam yang aneh menurutku, karena tiba-tiba suara binatang malam pun terdiam. Meskipun begitu, angin malam kali ini lembut membelai. Dedaunan bergesekan dan perapianku pun mulai padam. Kulihat Rah Banyak ternyata ikut tertidur, mungkin karena kelelahan, sama sepertiku.

Dalam keheningan itulah, kudengar sesuatu yang aneh. Suara gemercik air dan suara tertawa. Tubuhku beranjak dari tempatku duduk. Kupasang telingaku untuk menangkap segala bunyi yang ada. Benar sekali, tidak salah. Ini suara orang tertawa. Apa perlu aku bangunkan Rah Banyak? Ah, tidak usah. Sebaiknya aku cari sendiri sumber suara itu.

Kakiku mulai melangkah mencari asal suara tersebut. Rerumputan yang basah menyapa kakiku, sehingga membuat hawa dingin menusuk tulang. Telingaku sekarang seperti lebih peka dari biasanya, hingga akhirnya aku makin masuk ke dalam hutan untuk mencari sumber suara. Hingga aku melihat seberkas cahaya aneh di kejauhan. Perlahan-lahan aku pun mendekat.

Saat itulah aku terkejut. Aku berusaha menyembunyikan tubuhku dan bersembunyi di antara semak-semak dengan mata mengawasi apa yang aku lihat. Di tengah hutan ini ternyata ada sebuah kolam raksasa. Apa ini? Sendang? Dan aku bisa dengan jelas melihat bukan saja satu orang, tapi ada tujuh perempuan sedang mandi tanpa busana.

Mereka cantik-cantik. Kulihat kulit mereka mulus, cerah tanpa cela sedikit pun. Sudah pasti mereka bukan orang sembarangan, mana mungkin gadis desa bisa memiliki tubuh sebagus itu. Apakah mereka dari kalangan istana? Atau mungkin dari kalangan bangsawan raja-raja kecil di sekitar Kerajaan Medang?

Dari semua tujuh gadis itu, ada seseorang yang terlihat paling cantik di antara mereka. Aku bisa menilainya paling cantik, ya karena aku sudah tahu bagaimana wanita-wanita yang paling cantik baik dari kalangan bangsawan atau rakyat biasa. Tetapi, dia benar-benar paling bersinar dan sepertinya paling dihormati oleh keenam gadis lainnya. Aneh sekali, kenapa mereka mandi malam-malam seperti ini?

Jujur, saat melihat mereka, kemaluanku mengeras. Terlebih lagi yang paling cantik di antara mereka. Buah dadanya bulat sempurna. Tertawanya juga renyah. Aku tak tahu berapa lama aku mengawasi mereka dari semak-semak, hingga akhirnya suara ayam berkokok terdengar dari kejauhan.

“Mbak Yu, sudah mau pagi,” ucap salah satu di antara mereka.

“Ya sudah, ayo kembali. Masih ada dua purnama lagi. Besok kita kembali ke Sendang ini lagi,” kata gadis yang aku sukai itu.

Mereka pun berpakaian. Entah siapa mereka, tapi benar-benar aku seperti melihat bidadari. Tubuh mereka terutama kemaluan mereka terlihat tanpa bulu sama sekali. Semuanya memakai baju mereka dan gadis yang paling cantik itu memakai baju berwarna hijau. Dia mengenakan perhiasan kalung dan sumping. Mereka bangsawan. Hanya para bangsawan yang mengenakan perhiasan-perhiasan seperti itu.

“Duluan, Mbak Yu,” ucap seorang gadis yang kemudian tiba-tiba melompat ke udara.

Terkejutlah aku. Ternyata mereka bisa terbang. Satu per satu mereka terbang ke langit, setelah itu menghilang begitu saja. Sementara itu gadis berbaju hijau tersebut masih tinggal. Sesaat kemudian, dia menolehkan wajahnya ke arahku. Aku terperanjat. Apa dia tahu kehadiranku? Apa dia tahu kalau aku mengintip mereka sedari tadi?

Aku berusaha menahan napasku agar tidak ketahuan. Perlahan-lahan dia mengibaskan selendang yang ada di pinggangnya, setelah itu terbang ke langit. Sepertinya aku tidak ketahuan, mungkin dia merasakan sesuatu yang aneh, tetapi dia tidak menghiraukannya. Tempat tersebut yang tadinya terang tiba-tiba gelap gulita. Apa yang baru saja aku saksikan? Siapa mereka? Apakah mereka dewi-dewi dari kayangan?

Agar Rah Banyak tak curiga, akhirnya aku pun kembali. Kucoba untuk tidur sampai matahari terbit, tapi tetap saja tidak bisa. Akhirnya aku hanya duduk sambil menunggu langit sebelah timur berwarna jingga. Rah Banyak pun terbangun.

“Paduka sudah bangun?” tanyanya.

“Rah Banyak, di dekat sini bukannya ada kampung?” tanyaku.

“Ada, bukankah kita melewatinya kemarin?”

“Aku ingin kau jangan memanggilku lagi dengan sebutan pangeran. Aku ingin kita tinggal di sini saja. Kukira tempat ini juga sangat jauh dari kejaran para prajurit Medang,” kataku.

“Paduka mau tinggal di daerah ini?”

Aku mengangguk. “Rasanya juga, kalau kita terus berlari tidak akan ada gunanya. Hidup di daerah ini juga lebih baik sambil kita mencoba menyusun kembali rencana agar aku bisa merebut kembali takhtaku.”

“Tapi, kita sama sekali tak punya kekuatan Yang Mulia. Juga kita telah jauh dari kerajaan,” kata Rah Banyak, “kita kalah di segala-galanya.”

“Kita masih punya diri kita, Rah Banyak. Aku pun mencoba untuk bisa memahami situasi sekarang. Mungkin, sekarang ini kita belum punya apa-apa, tapi jujur hal yang pertama kali ingin aku terima adalah ikhlas kehilangan.”

Rah Banyak sepertinya merasakan kesedihan yang aku rasakan. Matanya tampak berkaca-kaca. “Maafkan hamba, Yang Mulia. Hamba tidak bisa berbuat banyak. Hamba rasanya ikut bersedih melihat apa yang terjadi dengan, Yang Mulia. Yang Mulia Pangeran masih berusia 15 tahun, tapi sudah dituduh membunuh ayahanda Prabu, kemudian terusir dari istana. Dulu pangeran biasa tidur beralaskan kasur yang empuk, sekarang beralaskan daun pisang. Sungguh tidak pantas rasanya.”

“Pantas atau tidak pantas, bukan dari apa yang kita lihat. Tetapi dari diri sendiri memaknainya, Rah Banyak. Aku sudah putuskan, kita akan tinggal di desa dekat sini,” ucapku. Tentunya aku tidak ingin memberitahu tentang apa yang aku lihat tadi malam.

“Kalau begitu, hamba akan carikan tempat untuk kita tinggal,” kata Rah Banyak.

“Rah Banyak, mulai sekarang kita ganti nama. Aku kau anggap sebagai anakmu. Pilihkan aku sebuah nama!”

Rah Banyak mengerutkan dahi sambil mengelus-elus dagunya. “Apa ya? Hamba sendiri tidak begitu pintar dalam memilih nama.”

Memang aku akui, memilih nama bukanlah hal yang gampang. Aku jadi teringat dengan tarub. Sebuah hiasan yang sering dipakai di pintu gapura, terbuat dari janur kuning dengan lipatan-lipatan rumit. Biasanya dipasang pada rumah-rumah yang sedang punya hajat. Sejak kecil aku menyukai hiasan-hiasan itu dan menganggap orang-orang yang membuatnya benar-benar terampil.

“Bagaimana kalau aku menamai diriku Jaka Tarub?” tanyaku.

“Jaka Tarub?” Rah Banyak tertegun mendengar nama itu.

“Aku selalu suka dengan tarub yang dipasang saat orang-orang punya hajat. Entah kenapa aku begitu mengagumi orang-orang yang mampu membuat hiasan apik seperti itu,” jawabku.

Rah Banyak tersenyum. “Baik Yang Mulia, mungkin nama itu cocok. Terdengar juga lebih mudah dihafal. Jaka Tarub. Dan sepertinya hamba juga sudah menyiapkan nama untuk hamba sendiri.”

“Apa itu?”

“Luh Geni,” kata Rah Banyak.

“Luh Geni. Nama yang juga mudah dihafal. Kalau begitu, mulai sekarang kau berpura-puralah sebagai ayahku. Kita akan tinggal di daerah ini,” kataku.

“Baiklah, Paduka… maksudku Jaka Tarub, ampun Yang Mulia. Hamba harus terbiasa,” kata Rah Banyak.

Mulai hari itu, kami mengubah nama dan tinggal di desa yang tak jauh dari tempat tersebut.


================== tubi konticrot ==================

NB: Nyicil dikit-dikit. Semoga bisa menikmati walaupun sedikit. :)
Selamat menikmati Ki Dalang yang mengobrak-abrik cerita Jaka Tarub. Hehehehe
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd