Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bagian 12


Berabad-abad yang lalu saat Mataram kuno berjaya….

Aku berada di dalam tubuh seseorang. Itulah yang aku ingat. Aku memakai baju yang aneh, berbeda dengan baju yang biasanya aku kenakan. Di leherku tergantung perhiasan yang menutupi dadaku, kusadari pinggangku ada pakaian yang menutupi, seperti sarung, bercorak batik dengan kain yang sangat halus. Di kedua bahuku ada sesuatu seperti gelang, lebih tepatnya aku mengenali itu sebagai kawaturih. Aku juga baru menyadari di kedua telingaku ada sesuatu yang melingkar di telinga. Perhiasan ini yang biasa disebut dengan sumping.

“Kerajaan Medang telah mengirimkan undangan kepada raja-raja daerah untuk menghadiri jamuan oleh Pangeran Rakai Pikatan,” ucap seseorang yang mendampingiku. Yang entah bagaimana aku ingat dia bernama Rah Banyak.

“Lalu, memangnya kenapa dengan persoalan itu?” tanyaku.

“Seperti yang paduka tahu, ini semua permainan untuk bisa menjatuhkan paduka dari kedudukan putra mahkota. Beliau sedang mencari dukungan,” ucap Rah Banyak. Memang dia selalu menasehatiku tentang perpolitikan di kerajaan Medang ini. Dia lebih tahu tentang hubungan antar orang satu sama lain daripada diriku.

“Semua orang tahu kalau aku putra tertua dari Ayahanda Prabu Rakai Garung,” ucapku, “aku juga mengira kakang Rakai Pikatan bukanlah orang yang culas tega untuk menyakiti saudaranya sendiri demi sebuah keinginan.”

“Paduka apa tidak tahu desas-desus yang terjadi di luar istana? Pangeran Rakai Pikatan lebih banyak dikenal bersahabat dan berbaur dengan rakyat, sedangkan tuanku pangeran lebih dikenal sebagai orang yang kurang melihat urusan rakyat.”

“Kau tahu itu tidak benar bukan?”

“Tentu saja, Yang Mulia.”

“Maka dari itu, tak perlu khawatir. Kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. Aku di dalam istana bukan berarti diam. Aku banyak belajar dari Paman Patih, Ayahanda Prabu dan juga bunda Ratu. Mereka juga tahu kecakapanku.”

“Namun, paduka kurang untuk terjun ke masyarakat. Inilah yang membuat paduka kurang mendapatkan nilai dari penduduk Medang. Padahal, sebagai seorang bangsawan dan putra mahkota, paduka akan lebih disukai oleh rakyat kalau mau berbaur seperti yang mulia Pangeran Rakai Pikatan,” ujar Rah Banyak.

Aku mendesah. Rasa-rasanya, sudah tidak bisa dipungkiri lagi kakakku Rakai Pikatan memang orang yang ingin sekali menjadi putra mahkota. Kondisi Ayahanda Prabu sedang tidak baik-baik saja. Dosis obat yang diminumnya pun makin hari makin bertambah, tetapi penyakitnya juga belum sembuh. Namun, beliau masih saja selalu menyempatkan waktunya untuk mengajariku dan juga kakakku.

“Sudahlah, Rah Banyak. Aku ingin mengunjungi Ayahanda Prabu. Beliau sedang ingin bertemu denganku,” kataku.

Aku berjalan menyusuri lorong istana. Beberapa dayang-dayang tampak sedang berkebun dan lalu-lalang ke sana-kemari. Langkahku agak terburu-buru saat akhirnya sampai ke tempat peraduan Ayahanda Prabu. Beliau tampak sedang berbaring di tempat tidurnya dengan didampingi para empu dan para pengawal. Hal ini sebenarnya tidak asing bagiku, sebab semenjak beliau sakit beliau bekerja dari tempat tidur.

Seperti biasa, aku meminta izin untuk masuk. “Ananda Rakai Dharma Tirta memohon izin untuk menemui ayahanda.”

“Ah, kamu sudah datang anakku? Masuklah!” kata Ayahanda Prabu mengizinkan.

Aku pun duduk sambil berjalan dengan wajah menunduuk dan menyatukan telapak tangan mendekat ke ayahanda prabu. Ini adalah hal yang wajib dilakukan apabila mendekat atau menemui baginda raja. Kami menganggap Raja adalah titisan para dewa, oleh karena itu menghormati mereka dengan merendahkan diri adalah salah satu kemuliaan yang disukai oleh para dewa.

Kuhentikan jalanku, setelah itu berlutut di hadapan ayahanda. Ayahanda kemudian duduk. “Bangunlah!”

Setelah itu aku pun mulai mengangkat wajahku dan mulai berani untuk berdiri. Aku menempatkan diriku duduk di samping ayahanda. Kulihat tumpukan kakawin di tempat tidur. Ayahanda memberi isyarat, kemudian para pengawal membersihkan tumpukan kayu-kayu bertinta tersebut keluar dari kamar.

“Bagaimana kondisi ayahanda, Empu Bramadi?” tanyaku kepada Empu Bramadi. Beliau adalah orang ditugaskan untuk mengobati ayahanda prabu. Ada dua pekerja yang menjadi bawahan beliau, mereka adalah murid-murid beliau yang nanti juga akan mengikuti jejaknya sebagai tabib istana.

“Hari ini paduka cukup sehat. Namun, masih belum bisa untuk bekerja seperti biasanya,” ujar Empu Bramadi.

“Empu Bramadi hanya mengada-ada, aku sehat. Ayo, kita lanjutkan pelajaran yang kemarin!” ucap ayahanda bersemangat.

“Ayahanda, kalau misalnya masih dalam kondisi kurang baik, Ananda tidak masalah untuk satu hari saja istirahat,” ucapku.

“Anakku, ketahuilah aku merasa waktuku sudah tidak banyak lagi. Kerajaan ini butuh pemimpin yang bisa mengantarkan kejayaan kerajaan ini. Kau adalah putra mahkota, maka apapun yang aku ketahui kau juga wajib mengetahuinya,” ucap ayahanda.

Aku mendesah. Ayahanda sudah tidak bisa lagi dibantah kalau seperti ini. Aku hanya bisa mengiyakan tanpa pernah membantah.

“Kenapa? Kau tak suka?” tanya ayahanda.

“Bukan begitu. Ananda tidak berani untuk membantah. Hanya saja, apa aku pantas ayahanda? Ada Pangeran Rakai Pikatan yang lebih cakap dalam memimpin daripada diri Ananda yang kurang ini. Bahkan, rakyat lebih mengenalnya daripada ananda,” ucapku.

Tangan ayahanda menggapaiku. Diremasnya pundakku. “Tidak setiap yang kamu lihat di dunia ini seperti yang kamu lihat. Setiap manusia memiliki topeng untuk menutupi wajah aslinya. Bahkan, aku sendiri juga punya topeng. Kamu lihat sendiri. Empu Bramadi mengatakan aku dalam kondisi kurang sehat, tetapi aku berusaha tetap sehat di hadapanmu agar tidak khawatir. Mereka punya alasan untuk memakai topeng, aku juga punya alasan agar kamu tidak khawatir. Orang-orang menilai dari topeng yang dipakai, tapi hanya sedikit yang bisa menilai apa yang disembunyikan dari balik topeng itu.”

Kata-kata ayahanda mencoba kucerna. “Apakah setiap manusia memiliki sisi buruk?”

“Iya, tidak setiap orang itu hitam dan putih. Jangan pernah tertipu,” ucap ayahanda.

Pelajaran pun dimulai. Ayahanda bercerita banyak, mengajarkan setiap detail apa yang dimilikinya. Hari itu aku habiskan sebagian besar berada di kamar ayahanda. Hingga akhirnya saat matahari mulai meninggi dan ayahanda terlihat letih, aku pun menyudahi belajarku.

Kulihat Bunda Permaisuri masuk ketika ayahanda tidur siang setelah minum obat. Bunda Permaisuri Dyah Suhita memasuki kamar ayahanda.

“Dharma, bagaimaan belajarmu?” tanya Bunda Permaisuri.

“Cukup baik, Ibunda,” jawabku.

“Sebaiknya tinggalkan ayahanda sejenak. Ada yang ingin Ibu sampaikan!” ajak Bunda Permaisuri memberi isyarat agar aku mengikutinya.

Tanpa bertanya-tanya lagi, aku pun segera beranjak dari kamar ayahanda mengikuti Bunda Permaisuri dengan didampingi dayang-dayang istana. Beliau adalah orang kedua yang aku hormati. Belajar dari ayahanda tentang politik dan kehikmahan, belajar dari Ibunda tata krama dan kasih sayang. Rasanya aku tidak ada lagi guru yang lebih baik selain berguru kepada mereka.

Kami berjalan santai melewati taman istana yang terletak tak jauh dari keputren. Di sana ada taman yang dibangun oleh prakarsa Ibunda. Sungai-sungai buatan dan jalanan yang dibangun dengan batu-batu alam yang dingin dan sejuk membuat siapapun yang berjalan di dalamnya terasa nyaman. Beberapa tanaman bunga yang cantik bermekaran mengundang para lebah dan kupu-kupu untuk mengisap madunya. Terlihat sebuah bangku terbuat dari batu sudah dipersiapkan dan Bunda Permaisuri duduk di sana. Dayang-dayang dan para pengawal pun menjauh saat Bunda Permaisuri memberi isyarat, pertanda ada hal penting yang ingin disampaikan olehnya dan orang lain tidak boleh mendengar.

Kembali aku berlutut di hadapan Ibunda Permaisuri, sebagaimana aku berlutut di hadapan ayahanda. Melihatku berlutut Ibunda tersenyum kepadaku, “Kau anak yang berbakti, rasanya tidak ada yang bisa mengalahkanmu dalam hal ini, bahkan dari semua pangeran dan para bangsawan Wangsa Syailendra ini tidak ada satupun yang kecakapannya melebihi dirimu.”

“Terima kasih, Bunda Permaisuri,” ucapku.

“Namun, ada satu hal yang sebenarnya ingin aku sampaikan sekarang juga,” kata Bunda Permaisuri membuatku bertanya-tanya.

“Apa itu Bunda?” tanyaku.

“Mundurlah dari putra mahkota,” jawab Bunda Permaisuri yang tentu saja membuatku terkejut.

“M-maksud Bunda?”

Aku tak habis pikir, kenapa Bunda Permaisuri menginginkan hal itu. Apa ada yang salah dengan diriku?

“Mundurlah dari putra mahkota, aku ingin kau serahkan gelar itu kepada Rakai Pikatan, adikmu,” ucap Bunda Permaisuri.

Mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku tak ingin berlarut-larut dalam seribu pertanyaan. Ada sesuatu yang sedang terjadi dan ini tidak pernah aku sadari sebelumnya.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Bunda? Permintaan macam apa ini?” tanyaku.

“Aku mengerti ayahanda prabu sangat sayang kepadamu, bahkan melebihi sayangnya kepada putra-putranya yang lain. Namun, kau tidaklah pantas untuk bisa menduduki gelar putra mahkota. Seharusnya adikmu Rakai Pikatanlah yang berhak mendapatkannya.”

Aku pun terkejut. “Bunda!”

“Dengarlah, jangan dulu kau emosi, Anakku. Kau lahir dari seorang selir, sedangkan Rakai Pikatan lahir dari rahimku, keturunan seorang bangsawan, yang jelas tentu saja lebih berhak menduduki putra mahkota. Namun, ayahandamu lebih memilih anak pertamanya, tentu saja aku tidak akan pernah menyetujui hal ini. Keluargamu juga tidak akan setuju. Rakyat sudah mengetahui siapa yang paling dekat dengan mereka, juga sudah memilih siapakah yang pantas untuk menjadi putra mahkota selanjutnya,” ucap Bunda Permaisuri.

Memang beliau bukan ibu kandungku. Ibu kandungku sudah lama meninggal, hingga akhirnya aku pun diasuh di dalam istana ini dan menjadikan Bunda Permaisuri sebagai ibu tiriku. Memang aku dan adik Rakai Pikatan selalu bersaing dalam hal apapun, tapi ini di luar prediksiku.

“Ini tidak adil, Bunda. Ayahanda telah memilihku dan Bunda tahu itu. Kenapa harus begini? Kalau Bunda mengatakan aku tidak mampu, maka aku akan buktikan aku mampu menjadi pengganti Ayahanda Prabu,” kataku.

Bunda Permaisuri tertawa. Beliau menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak cukup hanya orang yang berilmu untuk menjadi raja. Raja juga harus punya wibawa, harus memahami perpolitikan, apakah kamu mengerti tentang itu semua?”

“Ananda masih belajar, Bunda. Namun, Ananda sudah siap kapanpun negara ini membutuhkan Ananda,” jawabku.

“Sayangnya, kau tidak mengerti satu hal,” kata Bunda Permaisuri.

“Maksud, Bunda?”

“Kemarikan tanganmu,” perintah Bunda Permaisuri, “aku ingin memberikanmu sesuatu.”

Aku pun mengulurkan tanganku. Saat itulah Bunda mengeluarkan sebilah keris berlumuran darah dan ditaruhnya gagang keris itu di tanganku. Tentu saja aku terkejut, terlebih lagi Bunda Permaisuri mengarahkan ujung keris itu ke lehernya. Aku berusaha menarik dan melepaskan keris itu. Tatapan ibu tiriku ini sangat mengerikan, melotot kepadaku seolah-olah aku adalah orang yang berbahaya.

“Kang Mas Dharma!” seru seseorang.

Aku menoleh ke arah suara tersebut dan mendapati adikku Rakai Pikatan ada di sana. Dia terkejut melihat apa yang dilihatnya.

“Adik Rakai Pikatan, aku bisa jelaskan semuanya,” ucapku.

“Lepaskan ibuku! Dasar pengkhianat!” bentaknya.

Aku mencoba untuk melepaskan keris tersebut, namun yang terjadi adalah ujung keris tersebut menggores pipi Bunda Permaisuri. “Aahkk!” jeritnya. Keris itu pun jatuh ke tanah.

Aku kebingungan apa yang sedang terjadi. Dalam sekejap tiba-tiba Rakai Pikatan menendangku hingga menjauh dari Bunda Permaisuri. Tampak darah mengalir dari luka gores yang ada di pipinya. Tatapan tajam Bunda Permaisuri tentu saja mengandung unsur kemenangan. Seolah-olah dia berkata, “Mampus kau!”

“Adik, aku bisa jelaskan semua!” ucapku.

“Kau apakah ibuku? Kenapa kau tega melakukannya? Aku akan membunuhmu!” teriak adikku.

Dengan sekejap dia melompat ke arahku untuk mengantarkan tendangannya lagi. Aku segera berkelit. Dalam ilmu silat dan kanuragan tentu saja aku tidak akan kalah dengan adikku, tetapi situasi dan kondisi sedang tidak bagus. Para pengawal yang melihat pun kebingungan dengan apa yang terjadi. Dayang-dayang yang tadinya menjauh mulai mendekat untuk menolong Bunda Permaisuri.

Saat itulah tiba-tiba ada tangan yang menggeretku. Kulihat Rah Banyak yang melakukannya. “Rah Banyak?”

“Tidak ada waktu paduka, kita harus pergi!” ujarnya.

Dalam sekejap aku dan Rah Banyak pun berlari. Sementara itu di belakang ku dengar teriakan Pangeran Rakai Pikatan, “Pengawal! Tangkap Pangeran Rakai Dharma Tirta! Tangkap hidup atau mati!”

Rah Banyak dan aku berlari meninggalkan keputren, setelah itu kami pun mengambil kuda yang tertambat di halaman keputren. Kami sudah tak peduli kuda siapa itu, setelah itu untuk berapa lama aku menjadi buronan kerajaan. Setelah itu berita besar pun menyebar, Ayahanda Baginda Raja Rakai Garung telah wafat karena dibunuh oleh Rakai Dharma Tirta.

========================== Tu bi kontinu ===============

NB: Di sela-sela kesibukan, newbie izin untuk nyicil backstory.
Semoga update ini mengobati rasa kangen.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd