Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bagian 11

Pagi itu semuanya sibuk. Aku buruan mandi. Tahu sendiri kenapa aku mandi. Pagi itu tentu saja, aku melihat Bude dengan sesuatu yang berbeda. Apa akibat dari mimpi tadi malam? Wajah Sang Dewi terlihat persis seperti Bude, bahkan lekuk tubuhnya juga. Namun, aku tak berpikir yang aneh-aneh, sebab namanya juga mimpi.

Selly kulihat juga baru bangun. Dia tak banyak bicara dan sibuk bermain dengan ponselnya. Dia duduk sambil mengangkat kakinya di sofa. Saat kedua mata kami beradu, dia langsung membuang mukanya. Ah, sudahlah. Lagipula, aku berbuat seperti itu juga demi kebaikan aku dan dia.

Kulihat Bude ke ruang tamu. Cukup Guntur, kau tahu kalau Budemu pagi itu memang kelihatan seksi dengan daster warna coklatnya. Namun, jangan sampai semua orang juga tahu kalau tadi malam kamu mimpi basah begituan ama Budemu sendiri. Bude duduk di sebelah Selly, lalu mengobrol. Aku tak begitu memperhatikan obrolannya, karena langsung masuk ke kamar untuk ganti baju.

Pagi itu orang-orang rumah sibuk. Ada yang sedikit berbeda pagi itu. Dibalik muka ditekuknya Selly, Bude tampak mencoba lebih dekat dengan gadis itu. Aku sih tidak masalah, selama semua aman terkendali.

Aku dan Dewa membantu Bude dan Pakde untuk mengangkut hasil bumi dan tumpeng ke atas pickup. Selly ikut membantu. Setelah semua barang-barang untuk Bersih Desa diangkut, kami pun segera berangkat bersama-sama ke Balai Desa. Kami berencana naik pickup sambil membawa barang-barang antara lain tumpeng dan makanan-makanan lainnya. Matahari sudah naik saat kami sudah selesai menaikkan barang-barang.

“Gun, aku tak akan menyerah. Yang minta putus itu kamu, aku nggak!” ucap Selly saat dia membantu Pakde dan Bude menaikkan barang-barang ke pickup. Dia langsung mendekat dan berkata seperti itu kepadaku.

Tentunya aku diam saja. Sebab, apa yang sudah aku katakan kepadanya adalah final. Aku menyukai Nur, daripada harus mempertahankan hubungan dengan sifat Selly yang seperti itu, aku tak akan sanggup.

Tak berapa lama kemudian semua sudah siap. Aku, Dewa, Pakde dan Bude sudah naik ke pickup. Dewa dan aku ada di bak belakang sambil menjaga tumpeng dan makanan-makanan yang akan digunakan untuk acara Bersih Desa. Tinggal Selly saja yang belum muncul.

“Mana Selly?” tanyaku.

“Masih di dalam tuh,” jawab Dewa sambil mengendik.

“Coba kamu periksa, Gun. Siapa tahu ada apa-apa,” ucap Pakde.

Aku turun dari pickup menuju ke dalam rumah. “Shel?” aku panggil gadis itu.

Tidak ada batang hidungnya, tetapi pintu kamarnya masih tertutup. Kuketuklah pintu kamar tersebut. “Selly? Kamu nggak ikut?”

“Nggak!” ucapnya dari dalam kamar.

“Kamu di rumah sendiri lho. Ayo ikut sama-sama ke Balai Desa!” ajakku.

“Nggak mau. Aku maunya di sini aja,” katanya merajuk.

“Selly, jangan gitu dong. Kamu masih marah?”

“Ya iyalah. Koe iku pacarku sak lawase. Aku ora gelem putus. Nek kepengen aku melu dadio pacarku disit (kamu itu pacarku selamanya. Aku tidak mau putus. Kalau ingin aku ikut jadi pacarku dulu),” ancamnya.

Makin aneh ini cewek. “Nggak bisa begitu dong. Kau tidak bisa memaksakan perasaan orang lain ke kamu. Itu bukan hal yang benar.”

“Kau juga, apa melakukan hal yang benar? Seenaknya kamu mainin hati perempuan. Trus, tiba-tiba pindah ke lain hati,” ucap Selly.

Aku sudah hilang kesabaran. “Oke, baiklah. Aku akan tinggalkan kamu sendirian di rumah. Kalau ada apa-apa hubungi aku.”

Tak ada lagi yang bisa aku lakukan kalau Selly udah dalam kondisi tantrum seperti itu. Dan aku tak mau lagi diperbudak dengan ketantrumannya. Bagi dia kalau ingin sesuatu harus saat itu juga dipenuhi. Hal yang menurutku sangat bikin siapapun kesal. Memang kesalahan terbesarku adalah nembak dia hanya gara-gara cantik. Sebelumnya Dewa sudah memperingatkanku akan kelakuan Selly, tapi namanya entah kenapa ada rasa ingin menjadi pemenang, rasa ingin menguasai sesuatu, yang mana aku menganggap Selly adalah sebuah tropi. Sekarang aku menyesalinya.

Akhirnya, begitulah. Kami semua berangkat, kecuali Selly yang masih tetap berada di rumah. Aku sudah muak dan akhirnya pergi. Dewa juga angkat bahu, seolah-olah mengatakan, “kubilang juga apa”. Bude dan Pakde duduk di kursi kemudi, sedangkan kami duduk di bak pickup. Ketika mobil pickup meninggalkan rumah, aku hanya bisa menatap rumah Bude yang mulai menghilang dari pandangan.

Di sepanjang jalan menuju ke tempat acara, kami berpapasan dengan banyak orang. Tentu saja mereka ingin juga mengikuti acara bersih desa. Aku berpapasan dengan beberapa orang anak buah Pakde. Mereka saling menyapa satu sama lain, aku ikut menyapa mereka. Tampaknya mereka menaruh pandangan mereka ke arah Bude. Seperti yang aku rasakan kalau Bude punya daya tarik luar biasa. Aku yang keponakannya sendiri saja bisa tertarik, bagaimana dengan orang lain?

Hari itu untuk pertama kalinya aku mengikuti acara Bersih Desa. Orang-orang berkumpul di Balai Desa dan cukup ramai. Aku kemudian berjumpa dengan Nur, sekaligus memperkenalkan Nur dan Nanang kepada Dewa.

“Nur cakep, pilihanmu emang sip,” bisik Dewa kepadaku, “mana anaknya polos dan lugu gitu, sikapnya juga ramah.”

Aku tersenyum saja mendengar ucapan Dewa. Tidak salah. Maka dari itulah aku naksir dia dan memberanikan diri nembak Nur. Aku rela meninggalkan Selly kalau untuk Nur, terlebih Nur juga mengerti tentang diriku.

“Selly nggak ikut?” tanya Nur yang menoleh kiri kanan mencari keberadaan perempuan itu.

“Nggak, dia ngambek aku putusin kemarin,” jawabku.

Nur terperangah, “Serius?”

Aku mengangguk.

“Nggak apa-apa? Aku cuma gadis desa lho, Gun. Kalau dibandingkan ama Mbak Selly sepertinya nggak pantas,” ucap Nur.

“Kenapa kamu ngomong gitu? Setiap orang itu punya kesempatan yang sama,” kataku, “kau tak perlu merasa minder atau rendah diri. Ini pilihanku dan juga keputusanku.”

Nur mendesah. “Tapi tetep saja, aku nggak enak.”

“Kau tak perlu merasa bersalah atas perasaan orang lain kalau kamu berada di jalan yang benar,” kataku.

Nur Cuma mengangguk tanpa mengucapkan suara. Memang apa yang terjadi biarlah terjadi. Aku sama sekali tak menyesali dengan keputusanku. Apapun yang akan terjadi di masa depan aku sudah siap. Di acara Bersih Desa, kulihat Ki Ageng sedang memimpin upacara seperti do’a. Entah apa maksudnya, aku tak begitu paham dengan acara-acara adat seperti ini. Kepala Desa kemudian memberikan sambutan. Kulihat hasil panen berada di tengah Balai Desa dan satu tumpeng besar ada di tengah. Sementara itu makanan-makanan hasil olahan para penduduk disajikan jadi satu di pinggir tumpeng besar.

Sambutan-sambutan dari Kepala Desa hingga tokoh tetua akhirnya selesai dan acara makan pun dimulai. Orang-orang tampak berebut untuk mendapatkan tumpeng tersebut. Mereka beranggapan barangsiapa mendapatkan tumpeng itu akan mendapatkan keberkahan darinya. Yah, kepercayaan orang, apa yang bisa aku lakukan?

Dari semua kegembiraan orang-orang, kuliha Bude hanya duduk menyaksikan orang-orang makan sambil tersenyum. Semua orang sibuk makan, tetapi kulihat ada yang berbeda dengan Bude. Beliau menatap lurus ke depan, ke arah Ki Ageng dan kulihat juga keduanya saling melempar pandangan. Apa yang terjadi sebenarnya?

Bude tersenyum sambil memejamkan mata. Dia menghela napas, tetapi Ki Ageng justru sebaliknya. Wajahnya tampak kecut dan mukanya menampakkan raut wajah yang tidak suka. Orang itu bergegas pergi begitu saja dan menghilang di antara keramaian.

Mataku masih tertuju ke Bude. Beliau hari ini memakai baju terbaik yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Kebaya berwarna coklat. Rambut beliau hari ini diubet, apa istilahnya untuk disanggul dengan ditusuk pakai tusuk konde? Aku lupa, ya pokoknya gitulah. Bude membuka matanya, lalu menatapku. Tangannya berisyarat agar aku mengikutinya. Anehnya, aku pun menurut dan beranjak.

Orang-orang serasa tak peduli saat aku dan Bude pergi. Bude menggandengku pergi dari Balai Desa, kemana? Aku juga tak tahu.

“Tak perlu khawatir, mereka akan baik-baik saja,” ucap Bude saat aku menoleh ke arah Balai Desa, “Bude mau ngomong sama kamu.”

* * *​

Kami berjalan menyusuri pematang sawah, lalu melewati jalanan yang sepi di pinggir sungai. Hingga akhirnya, Bude mengajakku menuju ke tempat yang aku tidak pernah ketahui sebelumnya. Ini tempat apa?

Pepohonan berjejer tak rapi dengan rerumputan dan semak-semak tumbuh subur, tetapi ada jalanan yang seperti memang dibuat untuk manusia agar bisa melewatinya. Suara kicau burung terdengar menentramkan telinga, damai dan tentram. Sinar matahari juga tak begitu menyengat, karena rimbunnya pepohonan yang ada di tempat ini.

“Gun, kamu tahu kenapa acara Bersih Desa diadakan?” tanya Bude.

“Bude, nggak apa-apa kalau kita ke sini? Bude mau mengajakku kemana?” tanyaku balik.

“Kau tak perlu khawatir, kita akan segera kembali kok. Bude ingin menceritakanmu tentan sesuatu. Jawab dulu pertanyaan Bude. Kamu tahu kenapa acara Bersih Desa diadakan?” tanya Bude lagi.

Aku mengangkat bahu. “Entahlah, Bude. Aku tak begitu tahu tentang cerita rakyat dan sejenisnya.”

“Bersih Desa diadakan sebagai wujud syukur atas rezeki yang diberikan oleh bumi. Manusia sejak zaman dulu selalu memegang teguh kepercayaan bahwa bumi juga makhluk dan rumah yang harus dijaga. Sehingga langit akan terus menurunkan rahmatnya berupa hujan dan sinar matahari. Manusia zaman dulu mengenal Dewi Sri, sebagai Dewi Kesuburan. Mereka memuja dan memberikan sesajen, sayangnya hal itu salah. Para Dewi dari khayangan tidak perlu dipuja dan tidak perlu diberi sesajen. Mereka tak butuh itu semua, yang mereka butuhkan agar manusia memelihara apa yang telah diberikan oleh langit kepada mereka. Sayangnya, tidak setiap orang mengerti.”

Aku hanya manggut-manggut mendengar tuturnya. Tak terasa kami berhenti. Bude menoleh kepadaku. Jantungku berdebar-debar saat Bude tersenyum kepadaku. Benar-benar wajah yang cantik. Beruntung Pakde mendapatkan Bude.

“Kamu ingat tempat ini?” tanya Bude.

Terkejut, aku pun segera memperhatikan sekelilingku. Di depan sana ada sebuah bangunan seperti kolam. Tunggu dulu. Ini kan? Sendang yang waktu itu! Kok tiba-tiba aku bisa ada di sini? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa ini mimpi?

“Ini kan? Bude, ini kan….?” Aku tak mampu bersuara lagi.

“Kamu tidak bermimpi, Gun. Kamu tidak pernah bermimpi ketika memergokiku mandi di sendang ini. Inilah sendang yang dicari oleh orang-orang. Sendang Bidadari,” jawab Bude.

“B-Bude, apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku.

Bude mendesah lagi. Beliau melepaskan tusuk kondenya, sehingga rambutnya tergerai. “Hari ini, adalah hari dimana aku dilahirkan sebagai seorang Dewi. Hari dimana aku mendapatkan kekuatanku. Aku sudah menunggu ratusan tahun untuk bertemu denganmu, Kang Mas Rakai Dharma Tirta.”

Aku menelan ludah. Bude yang kulihat sekarang melepaskan kancing kebayanya satu demi satu dan tak lama kemudian beliau sudah melepaskan apapun yang melekat dibajunya. Sambil membelakangiku, beliau naik ke bangunan sendang. Kakinya pun masuk, hingga tubuhnya masuk sepinggang sedangkan terlihat olehku punggungnya yang sangat mulus tanpa ada cacat sedikit pun.

“Lepas pakaianmu dan kemarilah!” perintah Bude.

Aku bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Tubuhku bergerak sendiri tanpa bisa dikendalikan. Kulepas bajuku satu per satu, setelah itu menaruhnya di sebelah Bude menaruh bajunya. Aku pun ikut Bude masuk di kolam yang sama. Kali ini kami berhadapan, mataku tak bisa lepas dari Bude. Tubuhnya sangat bagus, dan itu buah dadanya...montok.

“Bude, kita seharusnya tak begini,” kataku, “aku tahu, aku sering punya pikiran jorok ke Bude. Bahkan telah kurang ajar, tetapi ini kita salah kalau begini.”

Perempuan yang ada di hadapanku ini hanya tersenyum. “Setelah menitis ke Guntur, kamu tidak ingat aku. Kau tak tahu betapa aku merindukanmu selama ini? Saat aku melihatmu pertama kali, aku yakin itu kamu. Maka dari itulah, aku menikahi Pakdemu, agar aku bisa melihatmu lagi.”

Aku masih tak mengerti. “Maksud Bude?”

“Karena ini hari spesial, Bude akan berikan sesuatu yang spesial pula. Ini hadiah dari Budemu, dari cintamu, dari Dewi Sri.”

Ludahku tertelan. Bude mendekat dan menempelkan buah dadanya ke tubuhku. Sudah deh, aku ngaceng maksimal dan aku bisa merasakan kontolku menyentuh dan menempel di perutnya. Bude menciumku, aku pun membalasnya. Kali ini kami berpagutan. Entah deh, aku terhipnotis atau tidak. Aku yang sudah kepalang tanggung akhirnya aku putuskan, akan melepas keperjakaanku saat ini juga.

Lidah kami saling membelit memberikan sentuhan-sentuhan aneh, tapi nikmat. Kupeluk tubuh Bude, sehingga kehangatan mulai menjalar ke tubuhku. Aku pejamkan mata menikmati kecupan dan pagutan darinya. Tak lupa, tanganku mulai meremas-remas dan memilin-milin putingnya.

Tiba-tiba kepalaku seperti dihantam oleh sesuatu. Mataku terbuka. Ada sekelebat ingatan. Perhiasan-perhiasan bertumpuk. Ingatan di kepalaku tiba-tiba muncul bayangan orang-orang berpakaian aneh membawa tombak dan golok sedang mengepungku.

“Kau mulai ingat?” tanya Bude.

Kepalaku seperti disiram air, tetapi itu bukan air. Serpihan debu-debu memori seperti dijejalkan kepadaku lagi. Dahiku berkerut, memperhatikan Bude. Di dalam ingatan baruku, aku melihat gadis cantik seperti Bude. Iya, seperti beliau yang sekarang ini. Dia tersenyum kepadaku, bercanda, tertawa bersama, dan aku lihat dia terbang ke langit. “Tunggu aku di sendang ini, Kang Mas. Aku pasti akan datang kembali,” suara perempuan seperti Bude itu terngiang-ngiang di kepalaku.

“Apa itu Bude barusan?” tanyaku.

“Kau mulai mengingat lagi? Kalau begitu, sentuh Bude lebih lagi agar ingatanmu kembali,” jawab Bude.

Tubuhku tak bisa menolak. Dari dalam lubuk hatiku, aku seperti dituntun untuk bisa melakukan lebih dari ini. Lebih dari sekedar menciuminya. Aku merasakan kerinduan yang sangat mendalam kepada wanita yang ada di hadapanku ini. Kenapa bisa? Padahal kan dia ada di hadapanku?

Kudorong tubuh Bude hingga mentok ke pinggir sendang. Di antara kami sudah tak ada penghalang lagi, bahkan batang kontolku sudah bersentuhan dengan kemaluan tanpa bulu milik Bude.

“Nimas Sri?” mulutku berbicara sendiri.

“Kangmas,” ucap Bude.

Dalam hal ini aku bingung. Apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku? Namun, keinginan hatiku sudah jelas, Budeku. Apakah ini saatnya? Iya, ini saatnya.

Kepala kontolku sudah bersentuhan dengan permukaan kemaluan Bude. Terasa hangat dan basah. “Aku lakukan sekarang,” kataku.

Kulihat Bude Sri memejamkan mata, menyandarkan tangannya di pinggiran sendang. Kuremas dengan gemas kedua gunung kembarnya sambil kuusap-usap lembut putting susunya yang merah merona. Sedikit kumajukan pinggangku, entah bagaimana tiba-tiba batang kontolku masuk, sedikit demi sedikit. Lalu, dengan satu sentakan semua batangku tertelan di dalam sana.

Apakah ini mimpi? Tapi ini rasanya nyata, hangat, basah, lalu Bude menarik leherku dan kami berpagutan. Peduli amat ini mimpi atau tidak. Tubuhku dan Bude kini mengalami silatirahim kelamin. Erat, hangat dan menggigit. Bermili-mili gram dopamin mulai membasahi otakku, memberikan efek adiksi yang tak bisa diutarakan kelezatannya. Aku bakalan ketagihan kalau begini caranya.

Mata Bude terlihat sayu, mulutnya terbuka sedikit, memberikan kesempatan udara untuk keluar dari setruman-setruman kenikmatan yang saat ini sedang menjalar ke seluruh tubuhnya. Aku pun begitu, baru kali ini aku merasakannya. Merasakan jepitan kemaluan Budeku, memek yang sesungguhnya. Apa ini terlalu terburu-buru? Ah, tak apa, aku menginginkannya. Sangat menginginkannya.

“Bude….ouuhh!” lenguhku.

Masih teringat olehku saat pertama kali penisku dikhitan. Setelah sembuh, aku selalu geli saat kepala penisku disentuh. Rasanya aneh saja, karena sebelumnya ada kulupnya. Dan rasanya sekarang seperti itu lagi, tapi kali ini lebih basah, hangat dan dijepit enak. Aku tak tahan, hingga akhirnya kupeluk tubuh Bude. Kutekan buah dadanya ke dadaku. Tubuh kami benar-benar menyatu. Anehnya, aku merindukan ini. Kedua bibir kami berpagutan mesra menghantarkan kenikmatan-kenikmatan, lalu secara tidak sadar pinggulku udah bergoyang maju mundur diiringi suara kecipak air sendang.

“Bude, kok enak ya? Ahh… aduh, ahhh!” lenguhku.

Bude memejamkan matanya sambil menggigit bibir bawahnya. Tubuhnya pasrah di hadapanku. Buah dadanya bergerak naik turun seirama dengan sodokanku. Setiap hentakan membuat pinggulku ingin menghentak lagi. Dengan lembut lubang sempit itu memijat dan mengurut kontolku. Inikah rasanya bercinta? Ah, lebih enak dari coli. Kalau tahu begini, dari dulu aku ngentot. Aahh…anjing enak banget!

“Aku sudah lama menanti ini, Kang Mas,” kata Budeku.

Terdengar suara benturan kulit kami. Suara yang merdu bagi para pemuas birahi. Licin sekali di bawah sana. Aku tak tahan lagi. Seolah-olah ada energi terkumpul di ujung kontolku. Gelinya minta ampun.

“Mau keluar ya?” tanya Bude.

“I-iya, kayaknya mau keluar….ahhh, nggak tahan!” jawabku.

“Biasa kalau perjaka. Cepet keluar,” kata Bude.

“Ahh…. Bude…. Nggak tahan. Maaf, ya. Aku crot duluan…. AAAAHHHH!”

Seluruh sendi-sendi tubuhku menegang. Meledaklah penisku di dalam memek Budeku. Ini enak banget dan setelah itu aku hanya bisa melihat cahaya putih. Iya, cahaya putih. Hal terakhir yang aku ingat, hanya aku memeluk tubuh Budeku. Lemas tak berdaya.

* * *
================ tubi konticrot ==================

NB: Di sela-sela kesibukan. Ki Dalang sempatkan untuk mencicil. Next part kita flashback dulu ya, gaes.
Kita akan kuak apa yang sebenarnya terjadi. Semoga nggak ada yang missed.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd