Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
28 page belum juga ada adegan dikocokin nih😅

Hehehe, begitulah. Ini tidak seperti film-film JAV yang budenya mudah banget disuruh ngocokin.
Ki Dalang mencoba bangun cerita semasuk akal mungkin. Walaupun masih banyak kekurangan di sana-sini.
Mohon maaf kalau tidak berkenan dan tidak sesuai ekspektasi agan-agan. Saya sudah berikan warning di awal cerita.
:ampun: :ampun: :ampun:
 
Bagian 9

Sore itu aku cuekin Selly. Bukan apa-apa sih, tapi emang aku lagi nggak nafsu aja untuk dengerin ocehannya. Sampai-sampai isi chatku penuh dengan pesan dari Selly. Aku tidak menghiraukan Selly, sampai akhirnya kutinggal tidur.

Keesokan harinya, aku bangun dan kudapati inbox chat-ku penuh dengan chat dari Selly, aku males untuk scroll ke atas.

Selly: Guntur, kenapa nggak diangkat?

Selly: P

Selly: P

Selly: P

Selly: Angkat! :(

Aku merasa kasihan ama Selly, dia aku cuekin, tapi ya mau gimana lagi? Memangnya, apa yang bisa aku harapkan kalau aku menanggapinya? Mau curhat sampai mewek? Apa mau nyusul ke sini juga? Kan ya tidak mungkin.

Pagi hari, aku langsung mandi. Hari ini sangat tumben sekali aku tidak ngintipin Bude mandi, sebab Pakde sudah bersiap-siap untuk mengajakku untuk mengangkut hasil panen. Maka dari itulah beliau sudah menungguku dan aku pun buru-buru ganti baju.

Hari itu kami sibuk. Mengangkut hasil pertanian, kemudian mendampingi Pakde untuk pergi ke para tengkulak atau langsung di antarkan ke pasar. Kami berangkat saat subuh, setelah itu hasil bumi yang sudah dikirim masuk ke dalam pengepul. Di sana sebagian langsung dijual begitu saja, sebagian akan dipacking sedemikian rupa setelah dibersihkan agar tampak segar. Yang dipacking menarik biasanya akan dijual ke swalayan-swayalan.

Setelah dari mengantarkan hasil panen, kami pun pulang saat matahari sudah sangat terik, mungkin sudah lewat tengah hari. Begitu sampai rumah, ponselku berbunyi. Nomor dari Selly! Ooo ancene kampret. Arek iki yo. Ah, sudahlah. Daripada pusing aku angkat saja. Baru saja aku angkat.

“Guntur!” terdengar suara Selly di teleponku, aku sampai kaget.

“Apa?” tanyaku.

“Kamu marahan ama aku?”

“Enggak. Justru aku pikir kamu yang marahan sama aku.”

“Sudahlah, Sel. Aku itu nggak pantas buatmu. Aku sudah berbuat salah. Makanya aku sadar diri saat kamu memblokir nomorku, tak bisa aku hubungi. Aku sadar diri kalau aku sudah berbuat salah,” kataku, “dan asal kamu tahu, saat ini aku sedang dihukum ama orang tuaku. Jadi, kalau misalnya kamu ingin mengakhiri semuanya juga it’s okay. Aku terima kok.”

“Nggak mau! Aku nggak mau putus. Aku yang salah, aku yang egois. Harusnya aku yang minta maaf karena blokir kamu begitu saja. Aku tahu kamu orang yang bertanggung jawab. Biarpun kamu nakal, tapi kamu sangat peduli dengan teman-temanmu. Itulah sebabnya aku suka ama kamu, Gun. Aku nggak mau tahu, sekarang aku ke tempatmu. Sekalian liburan,” ujarnya.

“Hah? Ke tempatku? Memangnya kamu tahu?” tanyaku.

“Aku berangkat sama Dewa. Ntar sore nyampe. Kemarin aku dan Dewa ke rumah orang tuamu, tanya-tanya dan kalau pun kami ikut bantu kamu juga nggak masalah,” jawab Selly, “soalnya itu juga salahku.”

“Hei, hei! Sebentar, ngapain kamu kemari? Nggak usah. Kamu beneran sama Dewa?”

“Iya, ini dia lagi nyetir.”

Aku menepok jidatku. “Kasih handphonenya ke dia!”

Tak berapa lama kemudian terdengar suara khas Dewa. “Halo, Blay! Gimana? Gimana?”

Gimana Ndasmu! Lapo mrene? (Ngapain ke sini)” tanyaku.

“Blay, ngertilah. Ini Selly. Bagaimana aku bisa melawan kehendak Yang Mulia Ratu Sejagad Nan Cantik Jelita ini?”

“Koe ngerti kan, aku kemari untuk menjalani hukuman dari orang tua. Lha, kok malah melu mrene? Seharusnya kamu cegah dong si Selly,” kataku kesal.

“Ngerti Blay, tapi mau gimana lagi? Selly maksa. Dia sampai ngancam nyebarin aibku yang pernah nyimeng di gedung belakang sekolah. Tentu saja aku nggak mau,” ujar Dewa.

“Siapa, Gun?” tanya Bude tiba-tiba. Beliau sedang membereskan meja makan, sedangkan aku sibuk menerima telepon.

“Oh, ini Bude, temenku Dewa dan Selly mau kemari,” jawabku.

“Pokoknya, aku kepingin ama kamu beib!” ucap Selly di telepon, “aku nggak mau kehilangan kamu.”

“Nggak semudah itu Esmeralda, kamu kira bisa semudah itu dengan kamu kemari? Sudah deh, mending kalian putar balik!” ucapku.

“Ogah! Ini sudah jauh. Pokoknya kami mau ke sana, nginep sekalian di rumah Budemu,” kata Selly.

“Woy, jangan tolol, aku bilang jangan ya jangan!”

“Bodo!” setelah itu Selly menutup teleponnya.

“Sel? Sel? Arrghh!” aku kesal.

Ngapain sih Selly ama Dewa kemari? Seharusnya aku bisa mengandalkan Dewa dalam hal ini, tetapi ah, entahlah. Selly pasti akan bawa masalah di sini. Tingkah polahnya aku sudah hafal, selalu ingin menang sendiri, selalu ingin jadi pusat perhatian. Dia tidak cocok untuk tinggal ataupun membaur ama orang-orang kampung yang lebih suka gotong royong dan tenggang rasa. Selly nggak punya hal itu semua.

Pertanyaan terbesar mungkin adalah kenapa kami sampai jadian? Sebenarnya, aku suka Selly karena dia cantik dan sedikit bodoh. Gampang aku kibulin lebih tepatnya. Makanya, pedekate ama dia cukup singkat. Nggak butuh tenaga dan duit. Hubungan kami pun hambar-hambar sedap. Satu sih alasanku dulu betah ama dia, karena suka digrepe dan dia satu-satunya cewek yang sudah aku jamah tubuhnya, tapi belum sampai aku tiduri.

Bude tampak sedang menyeduhkan kopi untuk Pakde. Sementara Pakde duduk di sofa ruang tamu sambil menikmati angin dari kipas listrik yang ada di ruangan ini.

“Bude, Dewa ama Selly mau kemari,” kataku.

“Siapa mereka?” tanya Pakde.

“Teman-temanku, Pakde,” jawabku.

“Ya, silakan saja. Nggak ada yang ngelarang. Iya kan, Bune?” ucap Pakde.

“Ya sudah, kalau mereka ingin kemari ya biarin aja,” ucap Bude.

“Tapi mereka mau nginep,” kataku.

“Nginep? Di ada satu kamar kosong. Dulu milik almarhum Mbah Putrimu. Pake saja itu. Trus yang cowok sekamar aja ama kamu, kan kasurmu luas,” usul Bude.

Benar sih, kasurku luas. Sayangnya, Dewa kalau tidur itu nggak bisa diem. Pernah dulu nginep di kamarku, dia tidur sambil nendang aku sampai-sampai tubuhku jatuh dari kasur. Aku sampai ngusir dia buat tidur di bawah daripada tidur sekasur ama aku.

“Enggak deh, Bude. Kalau aku tidur sekasur ama dia. Ogah. Mending dia tidur dimana gitu,” kataku.

“Bude ada kasur lipat, kamu bisa pake itu. Dulu rumah ini pas lebaran rame, sanak saudara datang dari mana-mana. Bahkan, ruang tamu pun penuh dibuat tidur. Bude simpen kasur-kasur lipat itu, karena siapa tahu banyak yang datang lagi,” ucap Bude.

Tanganku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Bingung apa yang harus aku lakukan, aku harap tidak terjadi apa-apa kalau mereka ke sini nanti.

* * *​

Seharian para petani sibuk panen. Sawah-sawah yang menguning mulai dipanen. Ladang-ladang yang sudah saatnya panen pun mulai dipetik hasilnya. Para petani buah juga mendapatkan hasil panen yang melimpah. Mobil-mobil pickup hilir mudik untuk mengangkut hasil panen ke lumbung. Sebagian pun diangkut ke para tengkulak. Hari itu orang-orang suka bersuka cita, karena apa yang mereka tanam akan dipetik hasilnya.

Sore pun datang, Pakde juga ada di rumah. Hingga akhirnya Selly dan Dewa pun datang ke kampung ini. Dari posisi GPS yang aku berikan, mereka akhirnya sampai juga di rumah Pakde. Aku sudah berada di teras menyambut mereka saat kulihat mobil Dewa masuk ke pekarangan. Mobil SUV itu tergolong cukup mewah, Dewa diberikan hadiah oleh orang tuanya setelah menang di kejuaraan Tae Kwon Do. Orang tuanya cukup bangga dengannya. Ralat, sangat bangga.

Pintu terbuka dan aku sudah langsung bisa mengenali wajah Selly yang terlihat cemberut. Melihatku ada di teras, dia pun segera berlari kearahku. Aku berdiri dan menyambut pelukannya.

“Guntur, aku kangeeen!” ucapnya manja.Aku menoleh ke arah Dewa dan cowok itu hanya mengangkat bahunya. Dengan rakusnya Selly menciumi wajahku.

“Heh, sudah! Sudah!” cegahku.

“Nggak mau, aku maunya nyiumin kamu terus,” kata Selly.

“Ini rumah Pakde, jaga kelakuanmu. Ini bukan di kota! Kalau kamu nggak mau pergi saja dari sini!” kataku dengan nada suara tegas.

Selly akhirnya melepaskan pelukanku. Dia tampak bersedih melihatku. Kuberi isyarat agar Dewa masuk, akhirnya Dewa dan Selly pun masuk ke dalam. Pakde dan Bude segera menyambut dan berbasa-basi dengan mereka. Namun, sebelum masuk aku melihat dari luar pekarangan ada Nur. Kami saling menatap satu sama lain. Apa Nur tadi melihatku diciumi oleh Selly?

Sadar aku melihatnya, Nur buru-buru berbalik badan dan mengayuhkan sepedanya. Oke, ini sepertinya tidak bagus. Aku segera berlari mengejar perempuan itu sampai lupa kalau sebenarnya bisa aku kejar pakai sepeda.

“Nur, tunggu!” panggilku.

Nur tidak menjawab. Dia terus mengayuh sepedanya makin cepat. Aku pun berlari makin cepat hingga aku sampai menyusulnya. “Tunggu! Berhentilah!”

“Kenapa? Kenapa aku harus berhenti?” tanya Nur.

Hingga akhirnya aku tak sengaja tersandung di sebuah lubang di jalan hingga terjatuh. Suara jatuh gedebuk cukup keras membuat Nur menoleh kepadaku. Aw sakit!

“Guntur!” seru Nur, dia segera berbalik lalu menghampiriku. Nur turun dari sepedanya dan membiarkan sepedanya jatuh begitu saja. “Kamu tak apa-apa? Guntur?”

Aku sepertinya nggak apa-apa, hanya lecet-lecet di tangan dan kakiku. Perlahan-lahan aku berdiri, Nur membantuku, kulihat tatapan matanya tampak merasa khawatir. Tanpa pikir panjang aku langsung merangkulnya. Nur menyambutku.

“Kenapa kamu lari?” tanyaku.

“Itu pacarmu kan?” tanya Nur balik, “aku nggak mau mengganggu hubunganmu dengannya.”

“Tidak, Nur. Aku lebih milih kamu, aku suka ama kamu, aku cinta ama kamu,” kataku.

Kulepaskan pelukanku, kami berdua saling menatap. Nur menipiskan bibirnya. Mungkin dia enggan ingin mengungkapkan perasaannya kepadaku. Namun, kalau disuruh milih Nur dengan Selly, aku lebih milih Nur.

“Katakan kau mencintaiku!” desakku.

Gadis itu hanya mengangguk.

“Katakanlah!” desakku lagi.

“I-iya, aku mencintaimu, Guntur,” kata Nur. Setelah mendengarkan pengakuan itu, aku cium bibirnya. Nur pasrah. Dia menerima ciumanku, lumatanku, hingga kemudian memelukku. Kami berciuman di pinggir jalan, tak peduli ada orang lewat atau tidak. Untungnya saat itu tidak ada orang lewat.

Ternyata tujuan Nur pergi ke rumah adalah untuk membantu Bude. Makanya sebelum masuk halaman tadi melihatku dipeluk oleh Selly, dia langsung pergi. Dia cemburu. Nur menuntun sepedanya bersamaku kembali ke rumah. Kuceritakan sedikit tentang Selly, tentang sifat dan sikapnya, serta hubunganku dengan Selly.

“Aku ingin mengakhiri hubunganku dengan Selly, tetapi aku ingin kamu sabar dulu ya. Setidaknya untuk hari ini, percayalah kepadaku,” kataku.

“Tapi, Gun….,” gumam Nur. Dia sebenarnya bingung dan sudah pasti perasaannya bakalan campur aduk kalau nanti di rumah melihat tingkah polah Selly yang tentunya bakalan manja kepadaku.

“Hanya hari ini, bersabarlah,” kataku sambil mengusap-usap tangannya.

Kami berjalan sampai di pekarangan rumah. Nur memarkirkan sepedanya di teras, lantas kami pun masuk ke dalam rumah. Ternyata Selly dan Dewa sedang diajak ngobrol oleh Pakde dan Bude. Melihatku datang bersama Nur, Bude segera memperkenalkan Nur kepada Selly dan Dewa.

“Ini namanya Nur, dulu pas masih kecil dia temenan sama Guntur,” kata Bude.

Selly menyalami Nur, agaknya melihat saat Nur, Selly tidak suka. Dewa juga ikut berkenalan. Bude kemudian mengajak Nur ke dapur. Dia akan membantu Bude untuk persiapan Bersih Desa. Kegiatan ini sangat penting bagi desa ini, maka dari itu setiap elemen harus diikutkan. Tak terkecuali Selly dan Dewa, mereka pun akan ikut bantu-bantu apapun.

* * *​

Malam hari pun tiba. Selly berusaha keras akrab dengan Pakde dan Bude, sehingga ikut juga membantu seperti Nur. Mereka kebanyakan bergosip tentang diriku. Aku tak menggubrisnya. Dewa dan aku sedang duduk di pekarangan. Sengaja kursi yang ada di teras kami ambil buat duduk di sana. Dewa pun menikmati rokok dan sudah habis dua batang. Kami ngobrol banyak, tetapi tak begitu penting untuk diobrolkan. Hanya agar nggak terlibat dengan keribetan di dalam rumah.

“Awakmu seneng karo Nur ya?” tanya Dewa.

Aku mengangguk.

“Trus Selly gimana?”

“Itulah, aku bingung, Blay,” jawabku.

“Awas, lho. Selly itu bucin ama kamu. Takutnya nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kamu tahu sendiri watak Selly kaya’ gimana. Lagian, ngapain dulu macarin cewek seperti dia,” ucap Dewa.

Aku mendesah. “Yah, kau tahu sendiri dia emang cakep. Siapa yang nggak bakal naksir? Lagian, kita kan masih muda juga, having fun.”

“Itulah problemnya. Si Selly itu orangnya nggak bisa seperti itu,” ucap Dewa sambil mengisap rokoknya.

“Guntur, ayo makan dulu!” panggil Bude dari dalam rumah.

“Nggih, Bude,” ucapku.

Kami berdua langsung beranjak, kemudian pergi ke dalam rumah untuk makan malam. Nur pun ikut bersama kami makan malam. Makan malam itu pun berlangsung nikmat, karena kami menikmati apa yang disuguhkan. Besok, adalah acara Bersih Desa, pastinya orang-orang akan sibuk dan kami turut serta. Pakde dan Bude memberi wejangan apa-apa saja yang harus dilakukan besok. Berhubung Dewa dan Selly juga ada di sini, mereka juga sekalian ikut. Meskipun, mungkin cuma sekedar ikut-ikutan saja.

Hingga tak berasa, setelah acara ramah tamah dan makan malam, Nur pun izin pulang, karena sudah larut malam. Selly memakai kamar bekas Mbah Kung—tadi sudah dibersihkan dan dipersiapkan oleh Bude—malam ini, sedangkan Dewa sekamar denganku, tapi tidurnya terpisah dengan Dewa tidur di bawah menggunakan kasur lipat. Entah, mau sampai kapan mereka ada di kampung ini. Yang jelas, aku ingin mengakhiri hubunganku ama Selly. Maka dari itulah malam itu aku ajak Selly untuk ngobrol di tempat aku dan Dewa tadi bicara.

Masih pukul 22.00, tapi Dewa sudah molor duluan. Mungkin capek meladeni Selly yang emang manja sejak dari orok. Selly menggelayut manja di bahuku.

“Sel, aku ingin ngomong sesuatu ama kamu,” kataku.

“Ada apa? Kamu nggak suka ya aku ada di sini?” tanyanya balik.

“Aku ingin mengakhiri hubungan kita,” jawabku.

Selly terkejut. “What?”

“Iya, jujur aku suka ama Nur,” kataku, “dia alasanku untuk mengakhiri hubungan ini.”

“Guntur!” bentaknya sambil beranjak dari tempat kami duduk. Aku yakin dia akan bersikap seperti itu. Dia tidak menangis atau apa, ada raut wajah kesal pada dirinya. “Ini bukan prank kan? Aku sudah jauh-jauh ke sini hanya ingin bertemu denganmu, aku kangen ama kamu. Apa alasan kamu mengakhiri ini semua? Kurang baikkah aku pada dirimu?”

“Aku serius,” ucapku.

Selly berjalan ke kanan dan ke kiri. “Ini tidak masuk akal, kau menyudahi begitu saja?”

Aku ikut beranjak dari tempat dudukku. “Kau tak merasakah kalau aku memacari kamu itu sekedar having fun, bahkan semenjak pertama kali aku menembakmu, bukankah aku sudah bilang kita having fun saja?”

“Tapi kita sudah setahun melakukan ini dan perasaanku kepadamu makin dalam, Gun. Kau tidak bisa mengakhiri ini begitu saja,” katanya.

“Trus aku harus bagaimana? Aku tidak mencintaimu, Sel. Kau tahu itu. Kita sering jalan itu, ya karena kita butuh,” ucapku.

“Jadi, kau yang sudah nyupangi aku, nyepongin kamu itu kamu anggap butuh? Sementara diriku yang rela kamu sentuh, kamu gerayangi itu kamu anggap apa?”

“Tapi aku tetap menjaga kehormatanmu, aku tidak pernah melakukan sampai kita benar-benar bersetubuh bukan? Kita cuma petting aja!”

“Iya, tapi nggak segampang itu kamu putusin aku di sini. Jauh dari rumahku, bahkan aku berkorban sampai agar bisa melihatmu di sini! Kau sudah gila?”

“Oke, aku minta maaf. Tetap aku tak bisa meneruskan ini.”

“Apa sih kelebihan Nur dari aku? Apa kelebihan perempuan desa itu daripada aku?”

“Dia temanku dan juga sahabatku. Aku lebih mengenalnya daripada aku mengenalmu.”

“Aku juga mengenalmu, kalau kau ingin lebih tahu tentang aku, tanyakan kepadaku. Bukankah itu yang namanya menjalin suatu hubungan untuk bisa mengenal satu sama lain?”

“Tapi aku tidak menyukaimu, Sel. Tidak ada cinta. Kalau kita teruskan ini maka hubungan kita akan jadi toxic. Kamu mau aku sakiti? Dan tentu saja aku tidak mau kau sakiti. Lihatlah dirimu, kau manja, kau ingin jadi pusat perhatian, kau selalu tenggelam dalam duniamu. Terlebih lagi kau menarikku ke dalam duniamu yang sebenarnya aku tidak mau. Bahkan, aku merasa bersalah kalau kau ikut juga tenggelam ke dalam duniaku yang sebenarnya kau tidak suka.”

Selly berjongkok. Dia menutup mukanya sambil menangis. “Aku tak mau kehilangan kamu, Gun. Aku tidak mau.”

Aku ikut duduk di sebelahnya. Kutepuk-tepuk punggugnya, lalu aku rangkul dia. “Maafkan aku, tapi aku tidak bisa meneruskan ini.”

Selly mendorongku, setelah itu aku ditamparnya dengan cukup keras. “Jiyancuk!”

* * *


======= tubi kontinu =====​

NB: semoga suka dengan update kali ini.
Terima kasih atas dukungan sederek lan dulur-dulur di cerita ini. Ki Dalang ingin menyuguhkan cerita dengan cara yang lain. Meksipun, Ki Dalang juga masih perlu banyak belajar dari para suhu di sini. Mohon maaf, pangapunten, sekali lagi kalau temponya terkesan lambat, tetapi inilah yang ingin Ki Dalang bangun, pembangunan karakter. Bagi Ki Dalang, cerita erotis tanpa ditambahkan karakterisasi, akan sangat hambar sekali.
Ki Dalang akui masih newbie. Dan ini juga hasil dari meramu berbagai ilmu dari berbagai padepokan.
Terimalah persembahan Ki Dalang yang tidak sempurna ini.
 
Sekedar berpendapat, di dalam budaya jawa, orang muda atau orang rendah hati selalu merendah, jadi tidak mungkin mengatakan asmo kulo, tapi nami kulo atau nami dalem, karena klo pake asmo seakan akan meninggikan diri sendiri

Matur nuwun masukannya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd