Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bagian 8

Anak tangga menanjak terbaring dengan tatanan bangunan yang terlihat rapi meskipun mungkin usianya sudah puluhan atau ratusan tahun. Beberapa sudut bangunan terlihat lumut dan bebatuan yang lapuk. Rerumputan dan semak belukar terlihat hanya tumbuh di tepian anak tangga, seperti memberikan jalan kepada orang-orang yang ingn masuk menuju ke tempat ini.

Perjalananku menuju puncak pun terhenti ketika aku melihat bangunan seperti tempat pemujaan. Apakah ini petilasannya? Sebab aku melihat beberapa patung-patung kecil dan satu patung besar. Patung yang besar tampak berwujud seperti seorang lelaki sedang bersila. Di telinga patung tersebut ada benda berkilau, semacam sumping yang berbentuk seperti sayap burung dan di lehernya ada kalung yang cukup indah. Apakah itu emas asli?

Di kanan kiri patung tersebut ada semacam sesajen, dupa dan sebuah payung berwarna kuning. Beberapa batu tampak ditutupi semacam kain sutra. Di sekeliling sesajen tersebut terdapat janur-janur yang dilipat-lipat membentuk beberapa macam pola dengan batangnya ditancapkan. Menurutku patung ini adalah salah satu sosok simbol yang dihormati di tempat ini.

Heran aku, kenapa orang-orang takut masuk ke tempat ini? Memang sih tempatnya sepi dan bikin bulu kuduk berdiri. Namun, aku harus tahu apa penyebabnya. Sebab, tidak mungki ada pelarangan kalau tidak ada sebab yang masuk akal.

Kuteruskan langkahku untuk menjelajahi tempat ini. Ternyata ada jalan lagi, seperti mengarah ke tempat lain. Kuikutilah jalan tersebut hingga aku sampai di suatu tempat yang lebih lapang. Di tengah rerumputan yang lebih rendah ada sebuah batu besar dan tak jauh dari tempat tersebut ada seperti sebuah pondok kecil. Di atas batu besar tersebut kulihat seseorang yang tidak asing. Ki Ageng!

Apa yang dia lakukan di tempat seperti ini? Oh, iya lupa. Dia kan juru kunci tempat ini. Rasanya aku terlalu jauh main. Mending aku cabut saja dari tempat ini. Mana suasananya bikin merinding. Belum sempat aku cabut, tiba-tiba terdengar suara, “Sugeng Rawuh, cari apa nak?”

Suara itu berasal dari Ki Ageng. Padahal orangnya jauh di depan, tetapi serasa dekat. Aku yang sudah kepergok terpaksa menampakkan diri.

“Saya cuma jalan-jalan saja, Ki. Trus nemu tempat ini,” ucapku.

Ki Ageng yang sedari tadi menutup mata, kini mulai membuka matanya. Orang tua ini sungguh aneh. Pakaiannya serba hitam, di jemarinya banyak cincin-cincin akik, di lehernya ada kalung tasbih gede berwarna coklat, dan jenggot tipis yang kini dia elus-elus. Lebih mirip dukun, sih.

Jenengmu sopo Cah Bagus? Tak delok-delok dudu uwong kene. (Namamu Siapa anak muda? Aku lihat-lihat bukan orang sini)”

Kula asmonipun Guntur. Nggih leres, kula sanes tiyang mriki (Nama saya Guntur. Benar sekali, saya bukan orang sini),” jawabku dengan krama alus.

Ki Ageng mengangguk-angguk. Sesaat kemudian berdiri, lalu melompat dari atas pohon dan mendarat di tanah. Kini orang itu berjalan menuju ke arahku. Ada perasaan takut di dalam dadaku yang mencoba kuusir. Sayangnya, orang ini seperti memiliki aura yang cukup kuat membuatku bersiaga.

“Sugeng dawuh. Maafkan saya yang sudah tua ini tidak menyambut tamu dengan baik,” kata Ki Ageng, “Sebab, sudah lama petilasan ini tidak pernah dikunjungi orang.”

Tiba-tiba nada suaranya berubah menjadi ramah. Dan anehnya pula bulu kudukku yang tadinya merinding sekarang turun, merasa sudah tidak ada ancaman lagi. Benar-benar aneh.

“Eh, t-tidak apa-apa, Ki. Saya yang salah, saya yang harusnya minta maaf, masuk tidak pake izin,” kataku.

Ki Ageng memperhatikanku dari atas kepala sampai ujung kaki. Orangnya seperti menganalisa diriku. Berikutnya, orang itu tersenyum ramah lagi kepadaku.

“Mari, saya ceritakan tentang petilasan ini,” ajak Ki Ageng.

Tidak pernah terbesit di pikiranku untuk meminta menceritakan tentang petilasan yang dimaksud, tetapi tidak ada salahnya bukan? Aku menurut saja saat Ki Ageng memberi isyarat agar mengikutiku.

Kami berjalan kembali menyusuri jalan yang aku lewati tadi hingga sampai ke situs tempat patung orang bersila. Begitu sampai di tempat tersebut Ki Ageng melipat tangannya. Dia mengamati patung yang mungkin usianya sudah ratusan tahun tersebut.

“Namanya adalah Pangeran Rakai Dharma Tirta. Seorang pangeran yang terusir dari kerajaan Medang ketika terjadi pemberontakan di masa Rakai Pikatan. Pemberontakan itu menyebabkan Rakai Dharma Tirta harus pergi dari kerajaan, karena dikejar oleh pamannya sendiri yang bernama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Di sini adalah tempat dia menyepi hingga akhirnya mukso,” tutur Ki Ageng, “beliau membangun desa ini, melindungi penduduk desa dan pengikutnya. Beliau juga rela melepaskan takhta yang seharusnya dia sebagai pewarisnya saat itu.”

Kudengarkan cerita Ki Ageng dengan seksama. Aku malah sama sekali tidak mudeng ama sejarah, tetapi cerita Ki Ageng cukup menarik untuk disimak.

“Karena jasa dari sang Pangeran, akhirnya tempat ini pun seperti sekarang. Aman, tentram tidak ada bencana. Bahkan, setiap tahun selalu panen,” ujar Ki Ageng.

“Memangnya, dulu pernah ada peristiwa yang tidak mengenakkan, Ki?” tanyaku.

“Ada. Sebenarnya, dulu ada orang yang berbuat tidak senonoh di petilasan ini, apalagi di bulan Suro. Orang itu pun mendapatkan balak yang mengerikan. Intinya bulan Suro ini cukup sakral. Sebab, di bulan ini banyak para dedemit sedang nyari tumbal. Dan pasti akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.”

“Jujur, ya Ki, saya nggak begitu percaya dengan hal-hal seperti itu,” kataku.

Ki Ageng terkekeh. “Anak muda, aku tidak akan memaksa kepercayaan orang-orang. Hanya menyampaikan saja, kalau toh nanti terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan, maka itu bukan kesalahanku. Itu karena kesalahan mereka sendiri.”

Rasanya tidak ada lagi hal yang harus aku lakukan lagi di tempat ini. “Saya pamit dulu kalau begitu, Ki. Tapi, apakah boleh kapan-kapan saya ke sini lagi?”

“Oh, tentu saja. Ki Ageng akan selalu membuka pintunya untukmu,” jawab Ki Ageng.

Aku pun kemudian undur diri, tetapi sebelum aku melangkah lebih jauh. Tiba-tiba Ki Ageng bertanya kepadaku, “Bagaimana kabar Budemu?”

Aku mengernyit. Kuhentikan langkahku, lalu berbalik menghadapnya, “Bude baik-baik saja.”

Ki Ageng hanya mengangguk-anggukkan kepala, setelah itu tubuhnya berbalik meninggalkan tempat dia tadi berdiri. “Kirimkan salamku kepadanya. Dia pasti akan mengerti maksudku.”

“Ki Ageng kenal dengan Bude? Ki? Ki!?” aku panggil-panggil Ki Ageng tidak menoleh. Dia pergi begitu saja. Ah, sudahlah, lagipula tempat ini tak seangker yang dibicarakan. Sebaiknya aku kembali pulang.

* * *​

Hari sudah lewat siang saat aku kembali ke rumah. Mobil Pakde terlihat ada di halaman, berarti beliau ada di rumah. Kuparkirkan sepeda di teras, setelah itu masuk ke dalam rumah. Ternyata di dalam rumah cukup banyak sembako dan berbagai macam bahan-bahan makanan. Apa ini yang dimaksud persiapan untuk bersih desa?

“Eh, sudah pulang, Le?” tanya Pakde.

“Nggih, Pakde,” jawabku. Jantungku berdebar-debar, takut dengan apa yang aku lakukan kepada Bude, kalau-kalau Pakde sudah mengetahui.

“Besok panen padi. Hari yang sangat melelahkan. Habis panen kita akan mengadakan acara bersih desa. Acara ini selalu kita lakukan di bulan Sela, menjelang bulan Suro. Diharapkan dengan acara bersih desa, kita juga membersihkan diri dan jiwa-jiwa dari segala keburukan. Ini sudah tradisi, maka dari itu perlu dilestarikan. Ngerti, Ngger?’

“Nggih, Pakde,” jawabku. Untunglah, ternyata bukan kejadian tadi pagi.

“Guntur, ayo makan dulu!” ucap Bude dari dapur.

Aku bergegas menuju ke dapur dan melihat Bude sedang mempersiapkan makan siang. Kulihat beliau memakai daster bermotif, dengan buah dadanya yang ingin sekali meloncat keluar. Bulir-bulir keringat menetes dari dahinya, rambutnya juga sebagian basah karena keringat tersebut. Dari rambut beliau yang dicepol aku mengerti dan paham beliau pasti gerah.

Di ruang tamu Pakde masih sibuk dengan ponselnya sambil menghitung bahan-bahan makanan yang ada di sana. Di dapur ini kulihat Bude menata sayur dan nasi di meja. Dadaku berdesir lagi. Ini bukan kesekian kali aku tertarik dengan kemolekan tubuh Budeku sendiri. Ah, aku tak tahan.

Kuberanikan diriku berdiri di belakang Bude, setelah itu tanganku melingkar di perutnya. Bude menghentikan aktivitasnya sejenak.

“Jangan, Gun,” bisik Bude, “ada Pakdemu.”

Apakah berarti kalau tidak ada Pakde boleh?

Aku mendaratkan ciumanku ke leher Bude. Kukecup lehernya, pundaknya, ah, aroma itu. Biar pun Bude berkeringat, aku tak merasakan bau apek. Wanginya seperti campuran rempah-rempah dan dedaunan yang segar.

“Bude…maaf, tapi kayaknya Guntur suka ama Bude,” bisikku.

Tangan Bude menggenggam tanganku sambil meremas. “Makanlah, ada saatnya nanti kita bicara.”

Suara Bude lembut, bukan menyuruhku, tetapi aku tak bisa menolaknya. Suara itu membuatku takluk, patuh dan pasrah. Aku seperti dituntun untuk melepaskan beliau, beranjak menuju kursi lalu duduk di sana. Kenapa aku begini?

Kulihat wajah Bude. Beliau tersenyum kepadaku sambil mengambil secentong nasi di atas sebuah piring yang sudah disiapkan untukku. Beliau juga mengambilkan sayur yang sudah beliau masakkan untukku. Ah, aku ingin seperti ini setiap hari. Apakah bisa? Perasaan apa yang sedang aku rasakan sekarang, dadaku seperti disentuh oleh kesejukan embun pagi.

“Eh, Pak Karso, sampean gadah kelopo? Kula butuh, saget kula pendhet? (Pak Karso, kamu punya kelapa? Saya butuh, bisa saya ambil),” terdengar suara Pakde di ruang tamu, “sekarang ya. Bune, saya keluar dulu ambil kelapa!”

Bude duduk di depanku. Tak beranjak. Sementara itu aku dengar langkah kaki Pakde keluar dari rumah. Pickupnya distarter, kemudian deru mesinnya mengindikasikan Pakde pergi lagi. Bude memejamkan matanya beberapa saat, setelah itu menatapku. Kini tatapannya beda.

“Kamu tadi berbuat apa kepada Nur?” tanya Bude tiba-tiba.

Aku terkejut. Entah kenapa aku seperti punya rasa bersalah. Apa yang bude tahu? Apa beliau tahu? Apa Nur cerita?

“Tidak apa-apa, Bude ingin dengar ceritamu,” desak Bude.

“Tadi Guntur mencium Nur, lalu menggrepenya. Nur sepertinya tidak suka,” kataku. Di hadapan Bude, aku seperti terhipnotis untuk bicara jujur dan itu aku ucapkan tanpa terbata-bata. Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku?

Bude menggeleng-geleng. “Gun, Gun, kamu kan katanya sudah punya pacar. Lalu kenapa kamu lakukan itu kepada Nur?”

“Entahlah, Bude. Tapi sepertinya aku suka ama Nur.”

“Kamu tadi bilang juga suka kepada Bude.”

Aku terperanjat. “Itu….”

“Bude juga sudah memberitahu jangan dekat-dekat dengan Ki Ageng. Kenapa kamu melanggar ucapan Bude?” tanya Bude kali ini dengan nada datar, tetapi mengintimidasi.

“K-Ki Ageng titip salam kepada Bude,” kataku.

Bude menarik napas dalam-dalam. Beliau mendesah panjang, kemudian beranjak dari tempat duduknya. Bude duduk di sampingku. Beliau lalu mengambil sesuap nasi dan sayur, setelah itu menyuapiku. Mulutku terbuka dan menurut saja. Tangan Bude yang satunya mengusap-usap kepalaku.

“Cah Bagus, Bude mau cerita sesuatu. Dengerin baik-baik ya,” kata Bude.

Aku mengangguk sambil mengunyah makanan yang ada di mulutku. Saat itulah tiba-tiba aku seperti ditarik ke dalam kegelapan. Mataku terbuka tetapi tak bisa melihat apa-apa. Lalu, aku menyadari satu hal kalau aku sedang berada di dalam kegelapan pikiran tanpa batas.

“Pada zaman dahulu kayangan dan bumi terhubung. Saat menjelang musim panen, Dewi kayangan pasti turun untuk memberikan berkahnya kepada manusia. Para dewi di kayangan senang bermain-main di bumi, sebab setiap sentuhan mereka akan memberikan dampak keberkahan dan rahmat. Padi melimpah, hewan ternak gemuk-gemuk, tidak ada kekeringan, hingga manusia bahagia dan bersyukur atas rahmat itu.

“Suatu ketika ada beberapa dewi dari kayangan turun ke bumi. Mereka turun untuk bersenang-senang, sekedar mandi di sebuah sumber mata air. Mata air itu disebut sebagai Sendang Widodaren. Sendang itu hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu. Suatu ketika ada seorang anak kecil yang menjelajah hutan dan secara tak sengaja melihat sendang tersebut. Anak itu melihat para dewi mandi, yang karenanyalah membuat dia terikat dengan alam para dewi.

“Tahun demi tahun berlalu. Anak kecil tadi tumbuh dewasa. Karena dia sejak awal sudah pernah melihat dan bisa masuk ke alam para dewi, maka dia tidak susah untuk bisa melakukannya lagi. Hingga kemudian, dia terpesona dengan salah satu Dewi yang ada di sendang tersebut. Namun, bagaimana caranya agar dia bisa mendapatkan Dewi itu? Dia berpikir keras, hingga ia ketahui satu hal. Para dewi itu setiap mandi selalu melepaskan tiga buah perhiasan yang melekat di badannya. Sepasang sumping dan kalung. Pemuda itu pun dengan penuh hati-hati mencurinya, sehingga akhirnya saat para dewi itu selesai mandi, satu orang dewi tidak bisa lagi kembali ke kayangan.

“Dewi yang tidak bisa pulang ini pun bersedih, sebab dia tidak bisa pulang. Sementara sang pemuda tadi berusaha untuk menyembunyikan tiga perhiasan tersebut ke suatu tempat yang hanya dia saja yang tahu. Setelah itu pemuda tadi menghampiri Sang Dewi. Tentu saja Sang Dewi ketakutan. Dia tahu niat jahat pemuda tersebut. Pemuda itu bermaksud ingin menolong Sang Dewi, tetapi Sang Dewi menolak. Sang Dewi tahu kalau pemuda itulah yang telah mencuri perhiasannya.

“Mendapatkan penolakan, pemuda itu murka, tetapi dia tidak bisa menyentuh Sang Dewi. Meskipun, tanpa perhiasan tersebut Sang Dewi masih memiliki kesaktian. Pemuda tadi pun berkata tidak akan memberikan perhiasan tersebut, hingga Dewi itu tunduk kepadanya. Akhirnya sampai sekarang, Sang Dewi tidak pernah lagi pergi ke kayangan dan para Dewi dari kayangan pun tidak pernah lagi datang ke bumi, karena tahu ada salah satu Dewi yang tidak bisa pulang akibat ditahan oleh manusia.

“Akhirnya Dewi itu tetap berharap, menunggu dan berusaha memanggil saudari-saudarinya agar bisa membantunya untuk naik ke kayangan. Sayangnya, tahun demi tahun, abad demi abad, tidak pernah lagi ada kabar. Sang Dewi bersedih, hingga ia berharap bisa menemukan tiga perhiasan atau disebutnya caraka yang hilang.” Bude bercerita seolah-olah seperti mengenang sesuatu.

Aku tak habis pikir, kenapa Bude tiba-tiba bercerita seperti itu. Tentang Dewi, tentang anak manusia yang berbuat jahat.

“Kenapa Bude menceritakan hal ini?” tanyaku.

“Bude ingin cerita saja. Barangkali orang-orang desa pernah menceritakan kamu tentang sesuatu,” jawab Bude.

“Ya, mirip-mirip, sih,” kataku.

Aku melanjutkan makanku dan ketika aku mulai melihat piringku, ternyata sudah habis. Kapan aku makannya? Apakah aku makan secara tidak sadar saat Bude tadi bercerita?

“Satu hal yang ingin Bude pesankan kalau kamu memang ingin mendekati Nur, jangan kecewakan Nur,” kata Bude dengan raut wajah yang sedikit bersedih.

Aku tak mengerti dengan sikap Bude. Kenapa Bude tiba-tiba bercerita? Tingkah laku beliau membuatku bertanya-tanya. Dan anehnya, walaupun aku sering kurang ajar kepada beliau, tetapi beliau tidak pernah marah atau menghukumku.

Lamunanku buyar saat ponselku berbunyi. Aku terkejut saat melihat nomor yang muncul di layar ponselku. Ini nomornya Selly!

* * *

========== tubi kontinu : lanjutan nanti kira-kira jam 20:00 =========

NB: Sebentar ya teman-teman, bagian 9 agak nanti.
Ki Dalang masih di jalan.​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd