Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bagian 7

Sepeda telah terparkir di teras. Sore itu, setelah pulang langsung mandi dan mengisi perut. Bude tidak banyak bicara. Masih teringat kejadian tadi pagi. Nyaris saja aku menggarap Bude. Iya, nyaris. Aku tidak mengerti kenapa itu sampai terjadi. Namun, Bude juga tidak marah, bahkan tidak membahasnya. Hanya saja, aku jadi penurut sekarang. Bude ngomong apa, aku langsung melakukannya tanpa perlawanan. Hanya saja, sore ini saat makan bersama, aku mengamati Bude. Seperti biasa Pakde belum pulang sore itu, jadi hanya kami berdua di meja makan.

Sore ini Bude memakai baju daster bermotif bunga. Belahan dadanya masih kelihatan, bahkan rasanya dengan memakai baju apapun, Bude pantas-pantas saja. Satu yang bikin aku nelan ludah lagi adalah bagian ketiaknya yang cukup lebar lubangnya, sampai aku bisa melihat kalau beliau tidak memakai bra. Entah ini pancingan Bude atau bagaimana. Seharusnya Bude tahu kondisiku yang sudah lewat 17 tahun. Setelah ini aku mau ke 18 tahun. Masa’ beliau tidak sadar akan hal ini? Mustahil.

Aku sendiri bingung musti mulai pembicaraan apa, sebab dari sejak pulang kami tidak banyak bicara. Aku yang tidak banyak bicara sebenarnya. Takut kalau setiap perkataanku akan membuat kesalahan. Dasar otong nggak guna, nggak bisa ngendalikan diri. Ini Budemu! Sadar dong.

Tidak boleh dibiarkan seperti ini. Aku harus mencairkan suasana. Kalau setiap hari hanya berisi kekakuan dan kecanggungan, aku akan sengsara sendiri di tempat ini.

“B-bude, Bude masih marah?’ tanyaku.

Bude menatapku. Dia tersenyum dengan senyuman manisnya. Ah, sudah deh. Aku nyerah kalau Bude tersenyum. Bude menggeleng.

“Maafkan aku Bude. Aku sangat keterlaluan. Tak seharusnya aku melakukan itu tadi. Kalau Bude mau menghukumku aku terima,” ucapku.

Bude mendesah. “Apa ya, di usiamu sekarang ini memang sedang panas-panasnya. Orang bilang sedang lucu-lucunya.”

“Hah?”

“Bude tidak bisa menyalahkanmu, Bude hanya ingin kamu lebih mawas diri, tahu kondisi dan keadaan,” kata Bude, “katakan alasanmu melakukan itu kepada Budemu sendiri.”

“Yah… itu karena Bude menarik. Bude cantik,” ucapku jujur.

“Bude ini istri Pakdemu,” katanya.

“Aku tahu itu, Bude. Makanya aku minta maaf.”

“Bude maafin kamu. Hari ini kaya’nya tugas di ladang nggak banyak. Kamu bisa main-main sama temen-temenmu keliling desa,” ucap Bude mengalihkan topik.

Jujur, aku kagum ama Bude. Ada wanita secantik dan sebaik beliau. Aku tersenyum kepada beliau. Semakin kagum, semakin mencintai… eh, cinta? Cinta apa nafsu? Bedanya tipis.

“Oh iya, Bude. Katanya di desa ini ada urban legend ya?” celetukku.

Bude memberesi meja makan. “Urban legend iku opo? Bude ora ngerti bahasa Inggris”

“Itu lho cerita rakyat.”

“Cerita apa memangnya?”

“Kemarin temen-temen cerita kalau katanya di desa ini ada kisah sedang yang tersembunyi. Konon katanya dulu ada Dewi yang turun dari kayangan, kemudian tak bisa kembali ke kayangan. Katanya Dewi itu mandi di sendang tersembunyi itu,” jelasku singkat.

“Iya, cerita itu sepertinya sudah terkenal di desa ini,” ucap Bude, “apa yang kamu dengar?”

“Ehm… cerita itu tentang Dewi dari kayangan yang tidak bisa kembali karena butuh tiga caraka,” jawabku.

“Tiga caraka yang hilang. Ya, ya, ya, Bude pernah dengar itu. Trus, menurutmu? Apa cerita itu benar?”

Aku mengangkat bahu. “Jujur, ya Bude. Aku tidak gampang percaya pada mitos-mitos atau cerita rakyat, sebab terkadang cerita-cerita itu dibumbu-bumbui. Kecuali, memang ada bukti otentik, aku baru bisa percaya.”

Tiba-tiba kedua tangan Bude merangkulku dari belakang. Aku bisa merasakan buah dadanya menempel erat di kepalaku. Ah, bau parfum Bude memang sangat memabukkan. Ini bukan parfum biasa memang. Parfum ini perpaduan ramuan rahasia yang dia pakai saat mandi. “Tidak setiap cerita bisa dibuktikan, terkadang kita hanya perlu mempercayai. Namun, mengusik apa yang dipercayai orang lain, terkadang akan menimbulkan petaka.”

“Maksud Bude?”

Bude mencium pipiku. Aku terkejut. M-maksudnya gimana? Aku mau-mau aja sih dicium, apalagi ama Bude, tapi ini terlalu mendadak dan mengejutkan.

“Bude sayang kamu dan tidak ingin kamu terluka,” ucap Bude. Setelah itu beliau melepaskan pelukannya. Ah, padahal aku ingin lebih lama lagi.

Kepalaku menoleh ke arah Bude. Tangan Bude mengusap pipiku. Aku senang-senang aja sih diperlakukan seperti ini. Aku tangkap tangan Bude dan kutempelkan di pipiku lebih lama. Kedua mata kami saling menatap. Jujur dadaku berdesir sekarang. Aku seperti terhipnotis oleh kecantikan wajah Bude, kemolekan tubuhnya dan sikap Bude yang lembut. Entah apa aku bisa bertahan dengan perasaan ini.

“B-Bude, boleh aku mencium Bude lagi?” tanyaku ngawur.

Bude tidak menjawab. Hanya menatapku. Karena kukira tidak ada larangan, aku pun berdiri dan kami berhadapan. “Sekali saja, Bude. Setelah itu aku tidak akan melakukannya lagi.”

Lagi-lagi Bude tidak menjawab. Aku pun bingung apakah itu iya atau tidak. Sekali lagi, aku lebih suka tantangan. Kalau Bude mau menghukumku setelah ini aku pasrah, yang penting aku bisa mendapatkan ciumannya lagi. Akhirnya terjadi juga. Aku memberanikan diri mencium bibir Bude. Berbeda dengan ciuman kemarin, kali ini aku merapatkan tubuhku ke tubuh Bude. Tubuh kami menempel, terlebih lagi kedua tanganku mendekap Bude agar merapat ke tubuhku. Buah dadanya kini menekan tubuhku, beliau pun membalas pelukanku. Lidahku berusaha masuk ke mulutnya dan beliau menyambutnya, hingga kedua lidah kami bersilaturahim dan saling membelit. Cuuuukkkk!!! Enak cuuuk!!

Dari semua ciuman yang pernah aku rasakan, ini berbeda. Napas Bude harum baunya. Tidak seperti napas perempuan-perempuan yang pernah aku cium. Lidah Bude manis, ah… aku jadi ingin terus-terusan mengulum bibirnya. Ruangan dapur itu menjadi saksi bisu bagaimana aksi ciuman antara Bude dan keponakannya. Sungguh sesuatu hal yang tabu di mata masyarakat. Aku sudah tak peduli lagi, yang ada sekarang ini Bude mau aku ajak berciuman, bahkan kita french kiss sekarang.

Dalam kondisi seperti ini aku bingung. Kami cukup lama berciuman, bahkan Bude tidak melepaskanku. Setiap kali lidahku keluar dari mulutnya, ditarik lagi, bahkan saat lidah Bude menjauh, aku juga menyedotnya. Ludah kami bercampur menjadi satu, menyebabkan rasa yang sangat manis. Akhirnya kami pun menyudahi, napas memburu, tatapan mata sayu, tetapi tubuh kami masih merapat.

Aku bingung mendeskripsikan ini. Bude menyuruhku jangan melakukan lagi, tetapi tidak ada penolakan. Akhirnya, Bude melepaskan pelukannya, aku pun menjauh. Dia tersenyum lagi.

“Kalau main jangan malam-malam pulangnya,” ucap Bude.

Sekali lagi keanehan terjadi. Aku seperti terhipnotis olehnya, menurut begitu saja. Baru saja aku birahi dengan berciuman dengan beliau, sekarang rasa itu sudah tidak ada lagi. Anehnya, aku nurut begitu saja. Berbalik, meninggalkan Bude menuju teras. Mengambil sepedaku, lalu pergi. Aku masih tak tahu kenapa aku melakukan ini semua. Seolah-olah perkataan Bude tidak bisa aku lawan.

* * *​

Pagi itu aku berkeliling desa dengan mengendarai sepeda. Mengunjungi satu per satu tempat yang tidak aku kenal. Kalau pun tersesat, tidak masalah. Malah aku ingin bisa tersesat agar tahu jalan pulang. Setidaknya, setelah lama berputar-putar aku mulai menemukan jalan-jalan cepat agar bisa sampai pulang. Beberapa kali aku mengitari kampung, menemukan jalan-jalan tikus, serta menemukan berbagai macam tempat seperti hutan kecil yang tidak pernah aku sangka sebelumnya, seperti hutan bambu dan juga hutan jati. Aku bersepeda sampai ke desa-desa yang ada di sekitar desa Ringin Tawas.

Setelah berkeliling ke sana kemari, akhirnya aku memutuskan untuk mampir ke sendang Banyu Urip. Sendang ini letaknya ada di tengah desa. Bahkan, boleh dibilang biasanya jadi tempat wisata unggulan desa ini. Sebenarnya kata sendang artinya mata air. Yang mana memang ini jadi sumber mata air yang digunakan oleh warga dan disedot dengan pompa listrik untuk dialirkan ke seluruh penjuru desa. Airnya melimpah dan tidak pernah habis.

Mata airnya sebenarnya seperti kolam, kemudian oleh para penduduk dibangun dengan tembok, diberi akses masuk seperti tangga menurun. Bentuk bangunannya seperti rumah joglo dengan akses ruang bawah tanah yang terbuka. Ternyata tidak sedikit manusia yang berada di tempat tersebut. Aku bahkan mendengar tawa canda anak-anak kecil. Eh, ada sepedanya Nur. Aku bisa mengenali dari bentuknya, sepeda biru bergambar burung merak dengan merk phoenix.

Benar dugaanku, anak itu sedang duduk-duduk di pinggir sendang dengan kaki di celupkan ke dalam kolam kecil yang ada di pinggir bangunan sendang. Nur sedang bercengkerama dengan gadis-gadis desa yang lain. Saat melihatku, dia pun melambaikan tangan. Nur pamitan sebentar ke teman-temannya, kemudian disusul suara “cieee… cieee” dari teman-temannya, menandakan gadis itu sedang disoraki.

“Apaan sih?” gerutunya ke teman-temannya.

Bisa aku dengar dari kejauhan para perempuan desa itu berkata, “Eh, ganteng lho.”

Ya, aku cukup tersanjung dengan pujian mereka. Namun, aku berusaha menyembunyikannya saat Nur mulai menghampiriku.

“Dari mana?” tanya Nur.

“Cuma keliling-keliling desa saja,” jawabku, “wah, ternyata dibangun megah ya sendang ini.”

“Iya, biar nggak ada orang yang ngintip mandi,” kata Nur. Dia mengingatkanku saat masih kecil mengintip para gadis mandi di sini.

Aku tertawa. “Masih ingat aja.”

Nur ikut tertawa. “Habisnya, kamu nakal sih.”

Setelah itu ‘mak klicep’ kita terdiam. Bingung mau ngomong apa. Terlebih lagi aku tahu kalau di pikiran Nur sekarang ini adalah bayangan ciuman kita kemarin.

“Kita jalan-jalan, yuk?!” ajakku.

Nur tersenyum. “Ayuk, ajah.”

Setelah itu kami berjalan-jalan di sekitar area sendang. Ternyata di dekat tempat tersebut ada taman bunga yang diatur sedemikian rupa oleh para penduduk. Bunga-bunganya subur dan indah. Banyak kupu-kupu dan lebah mengambil sari madu dari bunga-bunga tersebut. Nur berjalan di antara bunga-bunga itu, membuatnya terkesan seperti keindahan dunia yang tak bisa aku lukiskan. Aku tak mengerti kenapa aku bisa menyukai Nur, tetapi di lain pihak, aku juga menyukai Budeku.

Namun, aku sudah cukup mengerti kalau perasaanku ke Bude lebih ke nafsu, sedangkan ke Nur ada hal yang lebih dari sekedar nafsu. Mungkin semenjak aku menciumnya kemarin ada benang-benang asmara yang terikat di antara kami. Aku merasa ingin sekali melindunginya, mengayominya, ingin menjaga dia agar tetap tersenyum. Perasaanku mengatakan, aku tak boleh membuatnya menangis lagi. Lagipula aku sudah segede ini. Lalu, bagaimana dengan Selly? Ah, dipikir nanti aja.

Aku ambil gambar Nur dengan Hpku. Nur senang-senang aja bahkan memberikan pose-pose cantiknya kepadaku. Kami jalan-jalan sambil bergandengan tangan.

“Aku seneng,” ucap Nur.

“Seneng gimana?” tanyaku.

“Gandengan gini,” jawab Nur sambil meremas tanganku.

“Kenapa memangnya?”

“Jujur ya, Gun. Aku suka kamu sudah sejak lama. Kamu yang selalu ngusili aku, selalu jahili aku, bikin aku kepikiran terus. Trus, kemarin kamu cium aku,” ucap Nur. Dia menghentikan langkahnya, lalu menundukkan wajah.

Aku berdiri di hadapannya. Kuangkat dagunya, tampak ada rasa kekhawatiran di dalam dirinya. “Aku takut kamu ninggalin aku, hubungan kita berakhir begitu saja. Aku sadar kok, aku kan gadis kampung. Cah ndeso, dibandingkan kamu anak kota. Aku takut kamu hanya mempermainkan aku saja,” ujar Nur.

“Kok kamu mikirnya gitu, Nur?”

“Kan wajar. Guntur orangnya cakep, pasti di kota banyak ceweknya, apalagi keponakannya Pakde Suryo. Rasanya nggak sebanding dengan aku yang gadis desa ini,” jelas Nur, “aku malah merasa Guntur cuma main-main sama aku.”

“Nur, aku suka kamu beneran kok. Sungguh, aku nggak bohong,” kataku.

Nur tersenyum. “Bohong juga nggak apa-apa kok, Gun. Aku tahu diri, tapi ciuman kita kemarin itu benar-benar membekas di hatiku. Itu ciuman pertamaku, ciuman pertama ama orang yang spesial di hatiku.”

“Jujur ya, Nur. Kemarin saat lihat kamu, hatiku langsung tersentuh. Kamu tambah cantik, aku makin terpikat kepadamu. Aku juga tahu kamu belajar kecantikan dari Budeku kan?”

Nur mengangguk. “Iya, Bude Sri mengajariku dandan, ngajari aku pake luluran.”

Kami lanjutkan jalannya sampai ke sungai. Aliran sungainya tak begitu deras, tapi banyak bebatuan. Kuciprati Nur dengan air sungai itu, dia membalas. Jadilah kami main-main air sampai baju kami basah. Suasana desa yang asri ini membuatku nyaman, apalagi hawanya sejuk. Lelah bermain, kami pun duduk bersebelahan di atas batu besar yang ada di tengah sungai sebagaimana layaknya orang pacaran.

Beberapa kali kucubit hidungnya Nur yang tidak begitu bangir. Dia juga membalasku dengan mencubit lenganku. Hingga akhirnya karena terbawa suasana kami berciuman lagi. Kali ini ciumannya lebih lama dari sebelumnya. Sungai ini cukup jauh dari keramaian, sehingga aku pun berani untuk sekedar ciuman biasa. Lidahku berusaha masuk ke dalam mulutnya, Nur yang tidak pernah french kiss, sedikit kaget. Dia menggenggam tanganku erat seperti takut akan jatuh. Tangan kiriku menahan punggungnya agar dia nyaman.

Untuk beberapa saat Nur mengikuti permainanku. Lidah kami bertemu, saling bermain dan mengisap satu sama lain. Bibir Nur manis sekali. Membuatku cukup ketagihan. Tangan Nur yang tadi menggenggam tanganku kini terlepas. Dia seperti terhipnotis dengan ciumanku. Lalu, tangan nakalku mulai naik meremas payudara Nur yang sekal. Tiba-tiba, Nur mendorongku. Ciuman kami pun terlepas, begitu juga tanganku yang tadi meremas payudaranya.

“Jangan ya, Gun. Aku takut kita kebablasan,” kata Nur.

“Kita kan saling mencintai, Nur. Kamu cinta aku kan?”

“I-iya, tapi aku masih belum siap kalau Gun begitu,” ucapnya sambil menundukkan wajah.

Aku salah. Mungkin aku kurang membuatnya nyaman. “Ya sudah, aku minta maaf,” ucapku. “Kita balik, yuk?!” ajakku kemudian.

Kami kembali ke sendang. Aku sendiri bingung apa yang sedang aku lakukan. Jelas sekali Nur belum pernah pacaran, tetapi setelah dia mendapatkan perlakuan spesial dari orang yang dia suka, malah takut. Aku bisa paham dengan sikapnya yang takut. Dia tidak tahu tentang kehidupanku di kota, bahkan juga keluargaku memang terlihat terpandang oleh orang-orang desa, sehingga menjaga jarak aman lebih dia lakukan. Namun, kalau misalnya segala jalan telah terbuka dan aku bisa lebih dekat lagi kepada Nur, mungkin situasi akan berubah.

Aku pamit kepada Nur. Sesaat aku genggam tangannya, dia tersenyum sambil malu-malu. Setelah itu aku pergi. Ah, sial. Aku salah gerakan. Terlalu terburu-buru. Nur tidak suka dengan orang yang agresif. Dia ingin kelembutan. Betapa bodohnya aku.

Sepanjang jalan aku berpikir tentang tindakanku dan apa yang akan aku lakukan selanjutnya, sampai tak terasa aku ternyata terlalu jauh bersepeda. Memang aku sedang mencari jalan baru dan mencoba jalan-jalan yang belum pernah aku lalui. Kuhentikan sepedaku dan melihat sekeliling. Sepi, tidak ada orang, hanya suara serangga dan tonggereng bernyanyi. Aku baru sadar kalau tempatku sekarang cukup tinggi. Apa aku sudah ada di bukit?

Tiba-tiba bulu kudukku merinding. Tempat ini terlalu lengang. Saat itulah aku baru sadar, ini bukit tempat petilasan itu. Dahiku berkerut, kulihat sekeliling tempat tersebut, kemudian kukayuh lagi sepedaku hingga aku menemukan gapura batu berlumut.

Tempat ini yang kemarin diceritakan oleh Nanang dan Nur. Tempat yang mereka takuti, bahkan saat aku ajak saja mereka benar-benar tidak mau. Aku jadi penasaran dengan tempat ini. Ada apa sebenarnya di tempat ini?

Ku parkirkan sepedaku di depan gapura, setelah itu masuk ke dalam tempat yang aku duga petilasan. Hawanya berbeda, lembab dan basah. Awalnya kumerasa biasa saja, sayangnya hal ini menuntunku ke suatu hal yang tidak baik.

* * *​

======= tubi kontinu =====

NB: Update berikutnya mungkin besok malam minggu.
 
Bimabet
Semua akan terungkap pada waktunya. Ki dalang akan suguhkan sya'ir berikut:

Kahananing ati, kangen kangen, tapi ora iso dingerteni

Sliramu siji sing tak akoni

Gending-gending asmoro ora iso diganteni

Bayu, Tirta lan Bhumi

Saksenono slira sing tak senengi

Sak iki dadi Agni

Sya'ir ini akan ada di bagian yang akan datang, entah bagian ke berapa.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd