Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bimabet
Bagian 6

Sekali lagi ritual pagi. Setelah bangun pagi sekali, Pakde sudah terlihat ada di ruang keluarga menikmati kopinya. Beliau sekarang sibuk mengamati ponselnya. Kusapa beliau.

“Hari ini Pakde mau ke pasar, nyetok sayuran. Siang nanti Pakde baru ke ladang. Kamu nanti berangkat sendiri bisa, Le?” tanya Pakde.

“Jalan, Pakde?” tanyaku balik, “kalau ada kendaraan sih oke-oke aja.”

“Ada kalau kendaraan, sepeda. Pakde nggak punya motor,” jawab Pakde.

“Mana sepedanya?”

“Tadi malem Pakde pinjem sepeda dari temen, Pak Sarwijo. Kebetulan ada sepeda nganggur. Pakde taruh di teras depan, lihat saja!” ucap Pakde sambil menunjuk pakai dagunya.

Aku mengintip ke teras. Beneran, ternyata ada sepeda. Boleh dibilang sih sepeda tua menurutku. Sepeda ini biasa disebut sepeda Kebo atau sepeda Unta. Namun, jangan remehkan sepeda ini, walaupun usianya tua tapi tetap bisa dipakai. Aku sedikit heran, tak ada rem.

“Kok nggak ada remnya, Pakde?” tanyaku.

“Itu sepeda torpedo, kalau mau ngerem tinggal dimundurin pedalnya,” jawab Pakde.

Oh, unik sekali. Aku manggut-manggut. Mirip seperti sepeda Fixie. Ah, film apa itu yang dulu pernah aku tonton tentang seorang kurir naik sepeda. Oh iya, Premium Rush! Tapi itu kan Fixie sepeda modern, ini sepeda kuno! Sepeda prasejarah, sebutanku.

“Sepedanya tua ya, Pakde. Emangnya berapa usianya?” tanyaku.

“Ini sepeda sudah ada sejak zaman kemerdekaan. Cukup lama,” jawab Pakde.

“Buset, lebih tua dari Pakde dong,” kataku terkagum-kagum.

“Iya, jangan salah. Itu sepeda sangat bersejarah bagi Pak Sarwijo. Dulu beliau masih SD dibelikan sepeda ini, karena sangat sayang dan beliau rawat dengan baik, sepeda ini pun masih bagus,” tutur Pakde.

Ponsel Pakde terdengar pesan masuk. Beliau segera bangkit. “Ya sudah, Pakde mau ngirim sayur dulu. Bune, bapak berangkat!”

“Iya, Pak,” ucap Bude.

Bude tergopoh-gopoh dari dapur. Aku hanya bisa, Glek! Lagi-lagi, Glek! Betapa tidak menelan ludah? Bude masih memakai baju daster kemarin. Iya, daster kemarin, tanpa bra yang susunya kemana-mana. Antara malu, takut dan mupeng, itulah yang terjadi kepadaku sekarang. Pakde membiarkan istrinya memakai baju itu di hadapanku. Bude mencium tangan Pakde, lalu aku mencium tangan Pakde.

Kami hanya mengawasi Pakde keluar rumah, lalu masuk ke dalam mobil pickupnya. Setelah itu Pakde pergi. Aku dan Bude saling berpandangan.

“Bude, yang kemarin aku…,” belum sempat bibirku ngomong, jari bude langsung menghentikanku bicara.

“Sudahlah, Bude ngerti. Seperti kemarin, baju kotormu taruh di bak, biar Bude cuci,” kata Bude. Setelah itu beliau pergi meninggalkanku. Terlihat bongkahan pantat bude bergerak kiri dan kanan. Rasanya ingin sekali aku meremas bokong itu.

Seperti kemarin, pakaian kotor aku taruh bak, aku mandi. Bude setelah masak, lalu mencuci baju. Hal itu kujadikan untuk rutinitas pagi, yaitu ngocok sambil nonton susu Bude goyang-goyang. Apalagi kemarin aku sudah lihat itu puting merah kecoklatannya, uhhh mana tahaan. Yang aku heran, apa Pakde jarang menyentuh Bude? Ah, persetan. Ngocok deh, ngocok!

Setelah selesai ngocok, aku mandi keramas. Selesai itu kubantu Bude menjemur baju dengan hanya memakai handuk di pinggangku. Bude Sri benar-benar wanita yang seksi. Biar pun belum mandi tubuhnya sangat wangi. Ah, andai aku bisa memilikinya. Tapi dia Budeku, istrinya Pakdeku. Mau dirajam?

“Bude mandi dulu, Gun. Kamu segera ganti baju dan pergi ke ladang,” ucap Bude.

“Iya, Bude,” kataku.

Perempuan seksi ini masuk ke kamar mandi. Mungkin karena tinggi bude hanya sedaguku, jadi Bude tidak bisa melihat keluar kamar mandi. Kalau kemarin aku ada alasan bantu Bude bilas pakaiannya, trus sekarang apa? Masak aku terang-terangan melongok kamar mandi? Nggak, harus pakai cara lain. Aku ingin bisa melihat Bude lebih dekat.

Bude mulai mengguyur badannya. Aku berpikir keras, sampai kemudian dapatlah ide itu. Aku nekat.

“Bude, aku tiba-tiba kebelet!” kataku di luar kamar mandi.

“Waduuh… Bude lagi mandi ini. Tunggu dulu!”

“Enggak bisa Bude, ini sudah diujung,” kataku.

“Yowislah! Ayo masuk!” kata Bude.

Sebentar, kok gitu? Gitu doang? Gitu doang? Heh, apa aku bermimpi? Tidak tentu saja. Buktinya Bude membuka pintu kamar mandinya, lalu mempersilakan aku masuk. Aku pun buru-buru masuk ke dalam. Melepas ikatan handukku dan menggantungnya. Sudah deh, tak perlu ditanya lagi pemandangan apa yang aku lihat di dalam kamar mandi. Yap, tubuh mulus Bude, kini terpampang di hadapanku. Burungku pun berdiri gagah perkasa. Padahal, tadi lho sudah ngecrot.

Aku pura-pura berjongkok ke toilet yang memang ada di kamar mandi. Bude hanya geleng-geleng melihat ulahku. Beliau tutup pintu kamar mandi dan melanjutkan aktivitas mandinya, kini beliau mulai menyabuni tubuhnya. Duh, demi apa aku mendapatkan pemandangan seperti ini? Bude menyabuni tubuh mulusnya, dari buah dadanya, beliau putar-putar, lalu ke perut, pundak, pinggang, lalu ke pantatnya yang bahenol, turun ke kaki. Tak lupa beliau juga memakai sabun muka untuk menyabuni wajahnya.

Semua itu aku saksikan tanpa sensor. Aku saja heran bagaimana ketiak Bude tidak ada bulu, bahkan juga selakangannya tanpa bulu. Bude ini bukan seperti wanita dewasa pada umumnya, bahkan kecantikannya benar-benar luar dan dalam. Seperti bidadaari turun dari kayangan. Bude mengguyur tubuhnya untuk membersihkan sisa-sisa sabun yang ada di tubuhnya.

Saat Bude menaruh gayung, aku pura-pura membersihkan diri dan menyiram toilet yang padahal nggak ada apa-apa. Bude menungguku untuk selesai membersihkan diri. Setelah itu gayungnya tetap aku pegang.

“Mana gayungnya?” tanya Bude.

“Bude kayaknya aku bantu aja deh, itu punggungnya sebagian belum kena sabun tadi,” jawabku beralasan. Iya alasan mesum biar bisa membasuh punggungnya.

“Mosok seh?” tanya Bude.

“Iya, sini. Guntur bantu,” kataku menawarkan diri.

Aku mengambil sabun, setelah itu kuberi air agar berbusa. Tanganku setelahnya mengusap punggung Bude. Tak usah ditanya kabar si Joni di bawah sana, dia tegang maksimal. Malah, saat menyabuni ini aku sengaja menyentuhkannya ke pantat Bude. Bude tak menolak, membiarkanku.

“Kalau Bude mau, aku bisa bantu Bude tiap hari seperti ini,” kataku.

“Halah, yo ndak usah. Bude bisa sendiri kok.”

“Tapi ini bagian ini nggak bisa kena sabun tadi,” kataku sambil mengusap bagian punggungnya yang memang tak kena sabun.

Bude tak menjawab.

Sebenarnya, lagi-lagi yang kulakukan berikutnya adalah peruntungan semata. Beruntung aku bisa nyabuni punggung Bude pagi itu, sebab adegan berikutnya adalah aku menyabuni Bude sekali lagi, pundak, bahu, ketiak dan… buah dadanya. Dengan kurang ajarnya, aku menempelkan tubuhku ke badan Bude. Iya menempel, bersentuhan kulit dengan kulit dengan batang kelaminku tegak berdiri di antara jepitan pantatnya.

Bude memejamkan mata saat aku meremas susunya. Apa yang aku lakukan? Aku sedang berbuat mesum kepada istri Pakdeku. Tapi bodo amat. Yang jelas pagi ini adalah peristiwa penting di dalam hidupku bisa berbuat sejauh ini.

Kepala Bude bersandar ke dadaku dengan matanya terpejam. Berikutnya aku pegang wajahnya dan kami berciuman lagi, kali ini dalam keadaan berdiri, tanpa busana, posisi kontol ngaceng maksimal. Seharusnya hal-hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Namun, Bude mendorongku.

“Jangan ya, Gun,” ucap Bude lirih.

“Eh…m-maaf Bude, keterusan, maafkan Guntur,” kataku.

Seharusnya Bude memarahiku, tetapi ini lain. Bude berbalik, lalu memelukku dan itu susunya nempel ke dadaku. Waaah…rasanya luar biasa dan kontolku menekan perutnya.

“Jangan ya, Gun. Ini salah Bude. Bude tak seharusnya berbuat seperti ini,” kata Bude.

“M-maksud Bude?” tanyaku.

“Sudahlah, kapan-kapan Bude akan cerita, sekarang mending kamu bilas tubuhmu, keluar kamar mandi, pergi ke ladang!” perintah Bude sambil melepaskan pelukannya.

Anehnya, aku nurut. Ada nada ketegasan di kata-kata beliau. Nada yang tidak ingin dibantah oleh siapapun. Ada sisi lain di dalam diri Budeku yang belum aku ketahui. Boleh dibilang, kejadian di kamar mandi ini selangkah saja, aku hampir saja menyetubuhinya. Bahkan, bayangan kami bersetubuh saja sudah ada di dalam otakku.

Di kamar aku hanya memandangi burungku yang tidur lagi. Sayang sekali, aku belum lepas perjaka. Sedikit saja aku berbuat salah, aku bisa dirajam, dihapus dari KK, atau aku beruntung mendapatkan tubuh Budeku.

Aku mendesah panjang. Berganti baju, lalu mengecek ponselku. Aku terkejut melihat layar ponselku. Ternyata ada banyak panggilan masuk. Rupanya tadi malam aku memasang silent, sehingga tak terdengar. Bahkan ada pesan yang lain juga masuk. Semuanya dari Selly. Dia ternyata sudah membuka blokiranku.

Aku buka pesan dari Selly.

Selly: Gun, kamu dimana?

Selly: Gun. Bales.

Selly: Gun. Jangan ngambek dong.

Selly: Istirahat ya?

Selly: Ayang, telpon aku dong.

Selly: Aku minta maaf. Plis, tolong jangan cuekin aku. Aku minta maaf karena ngeblokir nomormu.



Anjir, banyak amat pesannya. Rata-rata menanyakan keadaanku dan minta maaf. Lha, akukan yang harusnya minta maaf. Aku hanya mendesah. Sudahlah, aku nggak perlu memikirkannya. Nanti kalau sudah balik ke kota aku baru mikirin. Aku di sini harus fokus kepada hukumanku.

* * *​

Hari ini bekerja lagi di ladang. Kali ini tugasku adalah memberikan pupuk ke ladang yang sangat luas. Meskipun memakai alat, tetapi tetap saja hanya berfungsi agar tidak membungkuk saat memakainya. Para petani ini memakai pupuk berbentuk pil yang ditanam di sekitar tanaman. Alat yang dipakai sederhana, pupuk pil tersebut diambil secukupnya, kemudian ditaruh di sebuah penampungan. Kemudian dengan tuas yang ada di pegangannya tinggal ditarik sambil ujung dari alat tersebut ditancapkan ke tanah. Ya, semudah itu. Dan aku harus berjalan mengelilingi ladang yang luasnya mungkin ada kalau 5 hektar.

Sebenarnya ini tugas si Nanang. Namun, karena Pakde yang menyuruhku untuk mengerjakan ini semua. Kulihat Nur mengamatiku dari kejauhan. Saat mendekat kepadanya, Nur yang saat itu sedang duduk menyapaku. “Mau aku bantu?”

“Tidak, makasih,” jawabku.

“Aku serius lho,” goda Nur.

“Nggak, suwer, aku bisa sendiri. Daripada ntar dimarahin Pakde,” kataku.

Nur terkekeh. “Istirahat sebentar juga nggak apa-apa. Toh baru separuh itu garapanmu.” Nur beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan di sampingku.

Aku perhatikan wajahnya. Manis coy! Tipikal gadis desa, tapi kini pake perawatan. Asli kalau Bude buka salon, mungkin bakalan laku. Ramuan apa yang bikin Nur yang dulu dekil bisa secantik ini.

“Ngomong-ngomong, kau sudah punya pacar, Gun?” tanya Nur tiba-tiba.

“Kenapa? Mau daftar?” tanyaku langsung to the point. Nur langsung mencubit pinggangku. “Aduh, kok dicubit sih?”

“Kan tanya aja, masa’ responnya gitu?” ucap Nur sewot.

“Hei, Nur Aini. Ada dua hal kenapa cewek tanya seperti itu. Pertama, karena dia naksir cowok itu. Kedua, karena disuruh orang yang suka ama cowok itu. Kan nggak mungkin kamu disuruh orang. Siapa yang nyuruh? Nanang? Ih, najis aku disukai cowok,” jawabku.

Kulihat pipi Nur memerah. Dia malu. Tiba-tiba dia menendang pantatku. “Bodo!”

“Lha? Aku nggak terima! Ini pasal penganiayaan,” protesku.

Nur menjulurkan lidahnya, lalu berlari. Aku taruh alat penanam pupuk itu, kemudian mengejar Nur. Jadilah kami kejar-kejaran di atas ladang. Nur tertawa saat aku kejar. Senang-senang aja mengejar dia dan tak terasa kami cukup jauh larinya sampai ke salah satu spot yang ada di ujung lahan. Nur tersandung, aku tangkap dia.

Di sini sebenarnya cukup klise. Tahukan ya adegan-adegan romantis macam film-film romance dan sinetron. Tubuhku ada di atas Nur dan kepala Nur aku lindungi dengan tanganku. Kedua mata kami saling menatap, napas kami juga terengah-engah. Aku sudah banyak pengalaman untuk mengambil hati cewek pada saat seperti ini, terlebih aku yakin Nur jatuh cinta kepadaku. Dari gerak-geriknya, dari sikapnya selama ini, aku yakin 100%.

Mencoba peruntungan lagi? Okelah. Aku langsung menciumnya tanpa peduli ini di tempat terbuka. Nur tidak menolak. Dia memejamkan matanya saat bibirku menyentuh bibirnya. Kecupan itu merupakan kecupan yang tidak akan dilupakan oleh Nur. Dua detik ciuman kami, jangan lama-lama, karena aku juga tidak yakin Nur suka aku cium.

Saat kulihat wajahnya lagi. Dia membuka matanya. Ada wajah bingung, tetapi lambat laun tersenyum kepadaku. Tak kusia-siakan kesempatan ini, kucium lagi dia. Kali ini kedua lengannya melingkar di leherku. Ternyata dia sangat menikmati ciuman ini. Waktu serasa berhenti saat itu. Nur dengan lugu membalas kecupanku. Dari cara dia berciuman, ini pasti yang pertama.

“Guntuur!” terdengar suara Nanang.

Segera kami sudahi adegan ciuman ini, lalu bangkit. Wajah Nur memerah. Dia pun membersihkan kotoran yang ada di bajunya, pura-pura bersikap biasa saja. Kami tersenyum satu sama lain penuh arti. Setelah itu Nur pergi meninggalkanku.

“Iya, di sini!” sahutku.

“Tak kiro nang endhi (kukira ada di mana),” kata Nanang.

“Iku lho. Nur, iseng banget,” ucapku.

“Biarin, weeekk!” katanya lagi sambil melet.

Aku pura-pura akan mengejarnya. Nur segera menjerit lalu lari. Nanang hanya geleng-geleng menyaksikan ulah kami.

“Wis Nur, ojo diganggu. Ora mari-mari iki kerjaane mengko (Sudah Nur, jangan diganggu. Nggak selesai-selesai nanti kerjaannya),” kata Nanang menasehati Nur.

Aku tahu apa yang aku lakukan ini bisa berdampak fatal kepada Nur. Terlebih lagi hubunganku dengan Selly saja masih belum jelas, mau aku lanjutin apa tidak. Bagaimana nanti kalau Nur tahu? Aku juga makin merasa bersalah saat tahu apa yang aku lakukan kepada Bude. Akhirnya, konklusi terakhir, aku ingin menikmati saja liburan di desa ini. Sebagai hukumanku, rasanya tidak apa-apa kalau aku juga bersenang-senang. Daripada suntuk.

Segera aku rampungkan pekerjaanku, hingga akhirnya waktu istirahat siang pun tiba. Aku makan siang dari bekal yang dibawain Bude. Sebelum berangkat, Bude membawakanku kotak bekal berisi nasi dan sayur tumis dengan lauk tempe dan tahu. Aku menikmati makan siang bersama kedua sahabatku.

Kami ngobrol banyak hal. Terutama tentang sekolah dan tujuan setelah lulus nanti. Nanang akan mencoba peruntungan untuk masuk perguruan tinggi. Nur, lebih ke ingin membantu orang tuanya saja, karena tidak punya biaya untuk kuliah. Yah, itu adalah jalan mereka masing-masing. Walaupun, memang Nur sangat ingin sekali melanjutkan pendidikannya.

“Sebenarnya nggak buruk kok kalau langsung kerja. Di zaman seperti ini orang yang kuliah pun belum tentu dapat pekerjaan,” kataku, “makanya aku juga ragu nanti setelah kuliah bagaimana.”

“Emangnya nanti mau ngambil jurusan apa, Gun?” tanya Nanang.

Aku nyengir. “Nggak tau. Masih belum terpikirkan.”

“Aku sih ingin mendalami pertanian, siapa tahu bisa bermanfaat buat desa ini, juga buat orang tuaku,” kata Nanang.

Kenapa Nanang ingin kuliah, karena satu hal. Dia pintar, di kelas dia ranking. Dia dapat beasiswa, makanya itu berani punya impian bisa kuliah. Biar pun orang tuanya cuma buruh tani, tetapi biaya pendidikannya bisa dibantu dengan beasiswa.

“Ngomong-ngomong, desa ini macam nggak kekurangan air atau kekeringan ya walau musim kemarau panjang,” kataku, “seingatku nggak pernah. Kalau tidak salah dulu pernah ada berita desa yang gagal panen, tapi desa ini tidak pernah ada kasus seperti itu. Bahkan, sampai-sampai desa ini mengalirkan airnya ke desa-desa sebelah agar desa yang lain ikutan bisa panen.”

Nanang manggut-manggut. “Bener juga sih, tapi itu nggak heran. Konon kabarnya sumber mata air di desa ini tetap terjaga. Itulah sebabnya desa ini bisa panen raya.”

“Oh, iya. Aku mau tanya. Emangnya ada sendang lain ya, selain sendang Banyu Urip?” tanyaku.

Nanang mengernyit. “Enggaklah.”

“Kalau secara fisik, hanya satu sendang di desa ini. Cuman, kalau menurut mitos atau legendanya, ada sendang rahasia di desa ini,” ucap Nur.

Nanang mengangguk. “Ah, iya. Tapi itu hanya mitos. Sampai sekarang kita tidak pernah tahu, tapi konon menurut cerita penduduk sekitar sendang itu hanya bisa ditemukan oleh orang-orang tertentu.”

“Siapa orang-orang itu?” tanyaku.

“Dulu menurut pituture simbah saat musim penghujan datang, bersamaan dengan itu turunlah para Dewi dari kayangan. Mereka bermain-main di suatu sendang. Sendang tersebut muncul hanya dalam keadaan tertentu saja, di antaranya setiap menjelang bulan Suro. Suatu ketika Dewi dari kayangan tersebut kehilangan tiga carakanya, sehingga dia tidak bisa kembali ke kayangan. Konon katanya juga, sendang tempat Dewi tersebut mandi adalah yang menyebabkan air di desa ini melimpah. Orang-orang pun mengira itu adalah Sedang Banyu Urip, tapi Simbah bilang bukan. Ada sendang ghoib yang mana tidak bisa mata manusia melihatnya,” tutur Nur.

Otakku langsung nyambung dengan peristiwa yang aku alami beberapa waktu lalu. Peristiwa saat aku membuntuti Bude, tapi apa itu ada hubungannya?

“Kamu tahu banyak ya Nur?” pujiku.

“Itu ceritanya Simbah. Aku nggak tahu itu bener atau tidak, tapi kan emang selama ini tidak pernah satu pun penduduk desa yang tahu keberadaan sendang ghoib itu,” kata Nur, “makanya itu dikategorikan sebagai cerita mitos saja.”

“Aku jadi penasaran. Gimana kalau kita cari?” usulku.

“Cari dimana?”

“Ya nggak tahu. Maksudku seru kan kalau kita nyari sesuatu yang ghoib,” kataku.

“Ngawur kowe. Kenek balak kapok!” ucap Nanang menakutiku.

Nur mengangguk. “Iya, jangan sembarangan mencari hal-hal yang tidak kita mengerti. Desa ini bisa kena balak bencana. Selama ini Ki Ageng bilang kita nggak boleh berbuat yang aneh-aneh, misalnya nyari keris, bertapa atau nyari pusaka. Bisa kena kutukan, paling ringan kesurupan.”

“Di desa ini kita dilarang untuk masuk ke sebuah petilasan. Petilasan itu ada di sana!” ucap Nanang sambil menunjuk ke sebuah bukit. “Di situ katanya gerbang ke alam lain. Warga desa percaya saja. Dan Ki Ageng adalah juru kunci petilasan tersebut.”

“Kenapa dilarang?”

“Di sana ada makam keramat, katanya adalah makam pendiri desa ini,” jawab Nanang, “pada zaman dahulu ada seorang pangeran dari kerajaan Mataram Kuno yang mana dia adalah putra mahkota. Namun, ada pangeran lain yang cemburu dan ingin merebut tahta. Akhirnya sang pangeran pun dikejar sampai ke tempat ini. Lalu dengan kesaktiannya, sang pangeran memagari desa ini agar tidak bisa ditemukan bersama keluarga dan pengikutnya. Sejak saat itu orang-orang yang hendak berniat buruk pasti akan celaka jika masuk ke desa ini. Begitu ceritanya.”

Aku mendengarkan cerita kedua sahabatku dengan seksama. Sepertinya cukup menarik legenda dan kisah desa ini. Bahkan, pasti masih ada misteri-misteri lain yang masih belum terungkap. Jadi penasaran untuk pergi ke petilasan itu. Ada apa di sana? Seperti apa bentuknya?

“Nang, Nur, temeni aku dong. Aku jadi penasaran ingin melihat petilasan itu,” ucapku.

“Ngawur. Wegiyah!” ucap Nur.

“Iyo, emoh aku. Kita takut ama Ki Ageng. Dia kalau ngomong sesuatu pasti kejadian. Aku nggak mau terkena batunya,” kata Nanang.

“Walah, anterin aja. Aku kepingin tahu tok. Habis itu balik,” desakku.

“Emoh,” kata Nanang.

“Aku yo wegiyah. Wistalah, ora usah neko-neko,” kata Nur.

Mereka tampaknya sangat ketakutan. Biar pun aku bujuk, mereka tetap tidak mau. Sepertinya hal itu sudah menjadi dogma bagi orang-orang di desa ini untuk tidak mengusik apapun di petilasan tersebut. Namun, rasa penasaranku mengalahkan semuanya. Aku ingin tahu dan berencana akan kesana, dengan atau tanpa sahabatku.

* * *

============== tu bi kontinu. Pelan-pelan mass.... pelan-pelaaan..... ================
NB: Makin jelas nggak clue-clue yang Ki Dalang berikan? Hehehe. Kalau sudah tahu, simpan aja ya. Sebab masih harus Ki Dalang bangun dulu plotnya.​
 
jiyoss gandhossss........ alon2 asal kelakon yo Gun. Suwun sanget om @wayangkulit jan elok tenan critane.
Hehehe, suwun.

Pakdenya jaka tarub ya 😅
Masa' iya?

Tenang dan nikmati aja ceritanya. Terlalu grusa-grusu malah nggak ada feelnya. Tapi Ki Dalang jamin, kalau sudah saatnya agan-agan akan baca berulang-ulang ceritanya. Klimaksnya tentu saja Guntur + Bude. Ki Dalang simpan rapat-rapat. Tidak elok, kalau kejutan dikasih spoiler.
 
Mantap Suhu @wayangkulit
Makin asik ajah ni Nubie nonton pagelaran lakon dr Ki Dalang. Musti nambah kopi, teh, wedang, kacang rebus lagi nie hehe...
Tp mohon maap Ki, setelah sekian chapter, Nubie gagal dapet clue yg Ki Dalang sebar. Maklum, otak ngeres Nubie cm bs dapetin satu Clue, klo Guntur udah maju selangkah lg buat dapetin Bude Sri :pandaketawa:
Eh tp ngeri juga klo Bude Sri udah ngeluarin auranya. Itu burungnya Guntur lgsg nurut, lemes tak berdaya :ugh::kacau:
Tapi klo Guntur sampe bisa naklukin Bude Sri pas lagi auranya muncul, uuwwhhhh.... :ngiler: kebayang sensasi nikmat penaklukannya Hu. Ego sbg laki2 yg bisa naklukin wanita yg kuat itu uwwhhh.... sesuatu banget. Kebayang... ntar Nubie crott nya mengalir ampe jauh Ki. Eh kok jadi Nubie. Guntur lah hahahaa...
Mohon maaf Ki Dalang. Sekali lg sekedar curahan ngeres Nubie. Baca karya Ki Dalang suka bikin fantasi mesum Nubie loncat2 kemana-mana hehe :Peace: . Palagi cut scene nya Ki Dalang mantap. Bikin tegang-tegang nanggung gimanaaaa gitu hahahaa...
Scene adegan panas, pemotongan adegan, reaksi tokohnya dan aliran ceritanya proporsional dan natural. Nubie suka Hu
Makasih updatenya Ki :beer:
Monggo ah dilanjut
 
Mantap Suhu @wayangkulit
Makin asik ajah ni Nubie nonton pagelaran lakon dr Ki Dalang. Musti nambah kopi, teh, wedang, kacang rebus lagi nie hehe...
Tp mohon maap Ki, setelah sekian chapter, Nubie gagal dapet clue yg Ki Dalang sebar. Maklum, otak ngeres Nubie cm bs dapetin satu Clue, klo Guntur udah maju selangkah lg buat dapetin Bude Sri :pandaketawa:
Eh tp ngeri juga klo Bude Sri udah ngeluarin auranya. Itu burungnya Guntur lgsg nurut, lemes tak berdaya :ugh::kacau:
Tapi klo Guntur sampe bisa naklukin Bude Sri pas lagi auranya muncul, uuwwhhhh.... :ngiler: kebayang sensasi nikmat penaklukannya Hu. Ego sbg laki2 yg bisa naklukin wanita yg kuat itu uwwhhh.... sesuatu banget. Kebayang... ntar Nubie crott nya mengalir ampe jauh Ki. Eh kok jadi Nubie. Guntur lah hahahaa...
Mohon maaf Ki Dalang. Sekali lg sekedar curahan ngeres Nubie. Baca karya Ki Dalang suka bikin fantasi mesum Nubie loncat2 kemana-mana hehe :Peace: . Palagi cut scene nya Ki Dalang mantap. Bikin tegang-tegang nanggung gimanaaaa gitu hahahaa...
Scene adegan panas, pemotongan adegan, reaksi tokohnya dan aliran ceritanya proporsional dan natural. Nubie suka Hu
Makasih updatenya Ki :beer:
Monggo ah dilanjut

Matur nuwun komentarnya. Sampean emang joss kalau komen. wkwkwk.
Ki Dalang, emang suka bikin pembaca gemes-gemes mupeng.
 
mantap ceritanya bang
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd