Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bagian 4

Awalnya, aku penasaran dengan orang misterius tersebut. Sepertinya tidak ada satu pun orang yang berani untuk menatap matanya. Lalu, orang-orang juga sangat menghormatinya itu pun sambil membungkuk.

“Siapa, Pakde?” tanyaku.

“Beliau Ki Ageng. Sesepuh di desa ini. Orang-orang sering bertanya kepada beliau kalau ingin usahanya lancar. Dan memang setiap kata-kata beliau selalu menjadi kenyataan,” tutur Pakde.

Kedengarannya aneh. Apakah ini semacam orang punya kesaktian gitu? Jujur aku tidak pernah percaya dengan hal-hal yang ajaib atau seperti dukun. Aneh saja sih. Di saat orang-orang sudah sampai ke Mars, kita masih disibukkan untuk percaya kepada hal-hal ghaib.

“Ya sudah, Pakde mau ngangkut sayuran dulu. Kamu kerja gih sama Nanang. Nang, Nur, tolong jaga bocah ini jangan sampai malas-malasan!” ujar Pakde.

“Siap, Pak Suryo. Serahkan kepada kami,” kata Nanang.

Pakde pun pamit pergi naik pickup. Aku hanya menyaksikan beliau pergi dengan mobilnya meninggalkan kami. Setelah itu aku diberikan sarung tangan oleh Nanang dan mulailah aku bekerja.

Seharian aku bekerja di ladang. Pekerjaan yang tidak mudah. Aku mengairi ladang seluas itu dengan tanganku. Menyiangi ladang dari rumput dan gulma, lalu memberi pupuk. Dengan telaten Nanang dan Nur mengajariku. Ternyata mereka juga menghabiskan liburan dengan cara seperti ini. Apalagi yang dilakukan anak-anak di desa seperti ini, selain membantu kedua orang tua mereka?

Siang yang terik, kami istirahat di sebuah gubuk. Nanang dan Nur membagikan bekal mereka kepadaku. Bekalnya nasi dan sayur lodeh, lauknya tempe dan ikan asin. Kami makan bersama sambil bercerita banyak.

“Aku tak menyangka lho, kamu tambah ganteng, Gun,” puji Nanang, “iya kan, Nur?”

“Iya, maklumlah, orang kota. Pasti banyak perawatan,” ucap Nur.

“Halah, kamu juga makin cantik, Nur. Nggak nyangka…,” aku tidak meneruskan kata-kataku.

“Nggak nyangka apa? Nggak nyangka yang dulu jelek, dekil, keriting, sekarang cakep? Bilang aja aku lempar sendok, nih!” ancam Nur.

Nanang terkekeh.

“Tapi tetep aja judesnya minta ampun,” kataku melanjutkan.

Tiba-tiba Nur memukulkan sendoknya ke jidatku. Aduh, sakit!

“Nur, sakit!” gerutuku.

“Makanya jangan ngeledek!” ketusnya.

“Sudah, sudah! Kalian ini kok nggak berubah sih. Daripada musuhan, mending pacaran, kek gitu,” usul Nanang menggodaku.

“Emoh!” ucap kami berdua.

“Aku ora sudi pacaran ama galah!” ledek Nur.

“Lha daripada kowe, sik cebol,” ledekku balik.

Kali ini Nur mencubit perutku sampai sakit banget. “Aduuh, duduh… Nur, ampun! Ampun! Ampun!”

“Udah, udah, kalian ini kok macam kucing ama anjing sih? Nur, sudah, Nur. Wong kemarin kamu nanyain Guntur, sekarang malah ribut sama orangnya,” ucap Nanang.

“Lha aku kesel. Diledekin terus,” kata Nur sambil cemberut. Entah kenapa dia makin cantik kalau cemberut gitu, makin gemes aku untuk terus godain.

“Yo wis, aku njaluk sepuro, minta maaf,” kataku.

Nur memalingkan wajahnya. Ih, makin gemes lihat kelakukan dia. “Ya, aku maafin. Jangan diulang aja.”

Aku menyudahi makanku. Mumpung masih istirahat, ingin rasanya keliling desa ini. Lagipula sembari nostalgia, pasti ada tempat-tempat yang sekarang sudah berubah, kalaupun tidak berubah juga bagus. Aku masih ingat bagaimana kami dulu mandi di kali, cari belut, trus pulang-pulang baju kotor kena lumpur.

“Eh, kita jalan-jalan, yuk?! Aku udah kangen ama kampung ini,” ajakku.

Nur dan Nanang saling berpandangan, mereka tersenyum. “Ayuk aja!” kata Nanang.

Kami pun menyudahi acara makan siang dan segera pergi menjauh dari ladang. Lumayan panas sih, karena cuaca hari ini cukup terik. Namun, angin semilir membawa hawa sejuk dari dedaunan pepohonan yang rindang. Kami bertiga berjalan menyusuri bukit hingga melihat petak-petak sawah di tanah yang kondisinya miring.

“Masih inget kita sering main di sini sambil teriak?” tanya Nanang.

“Iya, sampai suara kita mantul,” jawabku. “WOOYYY!!”

Nur dan Nanang terkekeh. Mereka pun ikut-ikutan teriak. Suara mereka menggema seperti ada yang menyahuti.

“GUNTUR JELEK!” teriak Nur, lalu ada yang menggema dari kejauhan berbalas.

“NUR LEBIH JELEK!” teriakku.

“SATE KAMBING!” teriak Nanang.

“Apa sih?” aku sampai terbahak-bahak mendengar suara Nanang.

Setelah itu kami beranjak berlari meninggalkan bukit itu melewati hutan kecil. Pepohonan yang ada di tempat ini adalah pohon-pohon pinus yang getahnya disayat. Masih kuingat ini rute kemana. Ini rute ke tempat sungai yang ada air terjunnya.

Dan benar saja, tak berapa lama kemudian kami sudah sampai di tempat tersebut. Sebuah air terjun kecil yang mana air sungainya masih terlihat jernih. Tidak ada yang berubah menurutku. Kami pun berjalan menurun hingga sampai di dekat air terjun.

“Kok sepi yo?” tanyaku, “padahal dulu anak-anak kecil ramai main di sini.”

“Itu dulu, sebelum game MOBA menyerang. Anak-anak desa sekarang udah seneng main game pake HP, coba lihat aja di Balai Desa, di sana ada wifi gratis. Bocah-bocah pada demen main game mobile sekarang,” jawab Nanang.

“Iya, ya. Maklum, zaman udah berubah. Orang-orang juga hidupnya mulai mudah kalau pake ponsel. Ngomong-ngomong aku belum tahu nih nomor HP kalian,” ucapku sambil meraba celanaku. Lho? Aku nggak bawa?

“Lho, HP-ku ketinggalan kayaknya,” kataku.

“Ya udah, berapa nomornya? Nanti aku SMS,” kata Nanang sambil mencet nomornya. Nur juga memberikan nomornya.

Selepas dari sungai, kami kemudian kembali ke ladang membereskan pekerjaan kami. Pakde rupanya sedang ngopi di sebuah warung saat aku kembali ke ladang. Tampak Pakde cukup serius mengobrol, setelah itu tangannya menjabat tangan seseorang. Aku mendekati mereka.

“Deal yo! Nek menang, aku entuk 50 juta (Deal ya! Kalau menang, aku dapat 50 juta),” ucap Pakde.

“Ada apa, Pakde?” tanyaku.

“Hehehe, biasalah taruhan. Kan mau ada pilkades. Pakde korban pickup nih, buat taruhan,” jawab Pakde.

“Lho? Bukannya sayang Pakde?”

Pakde malah tertawa. “Kalau cuma pickup aja, Pakde bisa beli lagi. Emangnya pickupnya Pakde hanya satu? Yang lainnya dipake pekerja Pakde buat ngangkut hasil ladang.”

Aku mengangkat alis. “Oooh. Wah, kukira mobil pickup Pakde satu saja.”

“Hahahaha, tidak dong. Jadi, nggak usah khawatir. Di sini emang seperti ini kalau sedang taruhan,” ucap Pakde.

“Gun, main ke rumah yuk?” ajak Nanang.

“Boleh Pakde?” tanyaku.

“Boleh saja.”

“Nanti pulangnya gimana?”

“Tenang aja, aku anterin,” kata Nanang.

Ternyata sore itu orang-orang juga sudah ingin pulang ke rumah masing-masing. Di desa ini biasanya orang-orang berhenti kerja ditandai adzan salat Ashar. Memang di desa rata-rata adzan waktu ashar agak dimundurkan, menunggu orang-orang pulang dari sawah dan ladang. Aku dibonceng oleh Nanang dengan sepedanya, sedangkan Nur bersepeda di depan. Kami bersepeda sambil menenteng rantang yang digunakan untuk bekal di stang sepeda. Perjalanan dengan sepeda ini tidak mudah, tubuhku berguncang-guncang, maklum saja jalanan yang ada di desa ini bukan jalanan aspal yang mulus.

“Menurutmu gimana, Gun?” tanya Nanang.

“Apa?” tanyaku balik.

“Si Nur itu,” ucap Nanang sambil mengendikkan dagu ke depan.

Kuamati Nur dari belakang. Dia seperti gadis desa pada umumnya. Kerudungnya berkibar-kibar tertiup angin.

“Kenapa gimana?” tanyaku lagi.

“Ish, masa’ kowe nggak naksir?” kekeh Nanang.

“Ya emang cakep, sih.”

“Kenapa, Gun? Kamu udah punya cewek?”

“Entahlah.”

“Kok entahlah?”

“Ceritanya panjang. Aku dihukum ama orang tuaku gara-gara kena razia balap liar. Makanya aku dikirim ke sini buat kerja, biar mandiri,” jawabku, “mana aku pas itu boncengin cewekku pula.”

Nanang ketawa lagi. “Awakmu kok apes yo?”

“Nggapleki, aku malah diguyu,” gerutuku.

“Lha, trus gimana setelah itu?”

“Setelah itu HP-ku diblokir, nggak bisa aku hubungi. Katanya sih marahan ama aku,” terangku.

Nanang manggut-manggut. Beberapa kali kami melintasi jalanan yang tidak rata membuat tubuh kami bergetar. Nanang berusaha agar stang kemudi tidak goyah, karena kana kiri kami adalah sawah. Tidak lucu kalau sampai kami masuk ke lumpur.

“Tahu nggak, dia itu sering nanyain kamu,” ucap Nanang.

“Halah, gombal mukiyo! (omong kosong)”

“Helah dalah. Serius iki, Gun. Semenjak SMP dia belajar merawat diri, diajari Budemu tuh,” jelas Nanang.

“Sing nggennah (yang bener)?”

“Serius ketubruk sapi! Memangnya di desa ini siapa yang paling cakep? Ya Budemu. Siapa lagi? Makanya, Nur diajari Budemu caranya biar bisa secantik sekarang. Aku aja pangling. Kalau Nur nggak suka ama kamu sudah aku pacari dia,” kata Nanang.

Aku perhatikan lagi gadis yang ada di depan kami. Dia diajari Bude? Bisa jadi sih. Memang Bude terkenal sebagai wanita tercantik di desa ini. Saat pertama kali mengenal Bude pas acara pernikahannya ama Pakde saja aku sampai kaget. Darimana Pakde bisa menemukan wanita secantik Bude? Beruntung banget Pakde mendapatkan Bude.

“Aku moleh disit yo!” ucap Nur sambil melambai ke arah kami. Kami melintasi persimpangan, Nur belok ke kanan, aku dan Nanang belok ke kiri.

“Hati-hati, Nur!” seruku.

Dari kejauhan Nur hanya melambai saja sambil terus mengayuh sepedanya. Kami terus bersepeda bersama rombongan para buruh tani yang lain. Kebanyakan yang pulang dari sawah adalah para buruh tani. Mereka kebanyakan tidak punya tanah sendiri, sedangkan tanah-tanah yang ada di desa ini dimiliki oleh para saudagar atau pun tuan tanah, yaitu para petani asli. Para buruh ini mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaan mereka, bahkan terkadang pula diberi sebagian hasil panen. Sudah sangat jarang para petani mengerjakan sawah mereka sendiri, lebih banyak menyewa orang-orang seperti mereka.

Di pagi dan sore aku dapati para buruh tani bersepeda berurutan, bukan beriringan. Pemandangan yang sulit didapatkan di masa sekarang. Apalagi di kota-kota besar, yang mana orang-orang yang naik sepeda mahal menguasai jalanan. Di sini bahkan mobil pickup bisa melintas di sebelah kanan kami, karena cukupnya ruang untuk jalan.

Setelah beberapa menit bersepeda, sampailah kami di rumah Nanang. Rumahnya tak berubah. Yah… sebenarnya ada perubahan sih, tetapi aku masih ingat bangunan rumahnya dulu, sekarang ada beberapa tambahan dan sudah ditembok. Dulu rumahnya memiliki dinding terbuat dari kayu. Di pekarangan rumah Nanang ada sumur pompa, masih aku ingat bagaimana dulu ibunya mencuci baju, serta kami berdua yang mandi bersama di situ.

“Malekoom, Maaak!” seru Nanang sambil memakirkan sepedanya di depan rumah.

“Wa’alaikum salam. Wes balik le?” jawab emaknya Nanang.

Nanang mengendik agar aku ikut dengannya. Nanang meletakkan rantang yang dia bawa selama perjalanan tadi ke bale-bale. Dari dalam rumah tampak seorang perempuan paruh baya memakai daster tergopoh-gopoh keluar. Nanang segera mencium tangan wanita itu. Dia adalah emaknya Nanang. Biasa dipanggil De Sum, nama panjangnya Sumiati. Suaminya bernama Wiyoto.

“Eh, sopo iki?” tanya De Sum saat melihat aku di ruang tamu.

“Iki lho Mak. Guntur. Mosok wis lali (Ini lho, Mak. Guntur. Masak sudah lupa)” jawab Nanang.

“Ealaah. Lha kok wis gagah, tambah ganteng?” ucap De Sum. Sebagai tata krama aku mencium tangannya setelah itu De Sum menciumi pipiku. “Tambah duwur yo, le. Nanang wae tambah duwur (tambah tinggi ya, Le, Nanang saja kalah tinggi)”

“Maklum, Mak. Panganane bedo. Kene mangan telo, kono mangan pizza (Maklum, Mak. Makanannya beda. Kita makan telo, mereka makan pizza),” kelakar Nanang.

“Heh, mosok? Paling yo manange podo-podo segone. (Halah, Masa’? Paling juga makannya sama-sama pake nasi),” kata De Sum.

Kulihat ada beberapa bahan makanan seperti beras dan lain-lain di bale-bale. Sepertinya De Sum ingin masak banyak.

“Sudah makan, Gun? Makan ya? De Sum masak sayur tewel ama tempe goreng,” kata De Sum menawariku.

“Nggak usah merepoti, De. Lha wong saya cuma main aja kok. Sambil nostalgia saja,” kataku menolak halus, “tadi juga sudah makan bersama Nanang di sawah.”

“Tadi kan tadi, sekarang ya sekarang,” desak De Sum.

“Matur nuwun sanget, mboten usah repot. Tapi nek wonten unjukan mawon utawi jajanan. Hehehe (Terima kasih banyak, tidak usah repot. Tapi kalau ada minuman saja atau jajanan),” kataku.

“Tenan yo, ora maem sik?”

“Iya, De Sum.”

Akhirnya emaknya Nanang membawa kacang rebus dan teh anget. Aku dan Nanang pun akhirnya ngobrol banyak ngalor ngidul. Terkadang De Sum juga ikut nimbrung. Kami mengobrol sampai Pak Wiyoto pulang. Saat itu hari sudah menjelang maghrib. Aku pun undur diri untuk pulang dengan diantar oleh Nanang. Mereka keluarga yang baik, menyambutku dengan baik, bahkan juga menjamuku dengan baik. Aku mulai betah di desa ini. Setidaknya begitu.

* * *​

Selepas maghrib dan salat berjama’ah dengan Nanang, aku pun pulang dengan dibonceng lagi olehnya. Sekaligus numpang mandi di rumahnya. Kami tadi ngobrol banyak tentang diriku sih lebih tepatnya. Tentang kenakalanku di kota. Nanang berkali-kali memujiku, kalau aku termasuk orang yang beruntung. Enggak juga sih. Justru menurutku lebih enak kehidupan di desa, orang-orang suka bergotong royong.

“Denger ceritamu tadi, Gun. Aku jadi kepingin ke kota,” ucap Nanang.

“Lapo, Nang? Mendingan kamu bangun desamu ini. Kuliah bolehlah ke kota, tapi balik aja ke kampung halamanmu. Pakai ilmu kuliahmu buat bangun desa,” kataku.

“Duwite mbahmu,” ucap Nanang.

“Mbahku ora duwe duwit,” balasku. Kami tertawa.

Di sepanjang jalan aku bisa melihat kunang-kunang terbang di antara rerumputan dan padi. Mereka konon menurut mitos orang Jawa adalah kukunya orang mati. Tentu saja mitos itu tidak benar, sebab orang mati ya dimakan cacing dan mikororganisme di tanah, nggak mungkin kukunya bisa terbang.

“Tapi kapan-kapan aku mbok ya diajak,” kata Nanang.

“Gak masalah, nanti kalau liburan aku ajak,” ucapku membesarkan hatinya.

“Hahaha, janji yo.”

“Iyo, gampang wis.”

Nanang bersemangat mengayuh sepedanya hingga rumah Pakde sudah kelihatan. Ternyata memang di sepanjang jalan cukup gelap, hanya beberapa lampu jalanan seadanya menerangi, itu pun di tempat yang rumahnya sedikit lebih padat.

Aku berterima kasih kepada Nanang yang telah mengantarkanku. Saat aku suruh dia untuk singgah sejenak dia menolak. Aku tak bisa memaksanya. Akhirnya aku pun masuk ke dalam rumah.

“Kulonuwun!?” sapaku.

“Wah, wah, wah. Cah bagus baru dateng,” sahut Bude.

Aku tak melihat mobil pickup Pakde, apakah beliau belum pulang? Namun, tak masalah Pakde pulang atau tidak, sekarang ini yang ada di rumah adalah Budeku. Beliau memakai daster tank top dengan tapinya agak tipis. Asu, Cuk! Tubuh Bude bagian atas terlihat mulus. Pundaknya, bahunya, apalagi buah dadanya terasa sesak sekali di daster itu, rasanya ingin keluar saja. Aku menelan ludah.

Dalam waktu seper sekian detik, otak mesumku sudah dipenuhi fantasi. Bagaimana kalau aku remas buah dadanya? Bagaimana kalau aku ciumi wangi tubuh Bude?

“Heh, malah ngelamun! Udah mandi belum?” tanya Bude yang membuyarkan fantasiku.

“Oh, sudah dong. Tadi nunut mandi di rumahnya Nanang,” jawabku.

“Yo wis, ganti baju trus makan sana. Bude mau nonton sinetron,” kata Bude sambil berlalu untuk duduk di sofa menghadap televisi.

Mengikuti saran Bude aku pun pergi ke kamarku untuk ganti baju. Lagipula baju yang aku pakai seharian ini kotor. Aku menaruh baju kotor di keranjang yang memang sudah dipersiapkan untuk baju-baju kotor. Malam itu aku memakai kaos dan celana pendek. Setelah itu aku pun keluar kamar.

“Pakde kemana Bude?” tanyaku.

“Oh, Pakdemu sedang keluar sama teman-temannya. Kayaknya sedang rapat di balai desa,” jawab Bude tanpa menoleh ke arahku.

Posisiku sekarang ini sedang berdiri dekat dengan Bude, lebih tepatnya Bude memunggungiku. Sofanya yang diduduki oleh beliau sepinggangku. Melihat pakaian Bude seperti itu benar-benar membuatku tegang. Jantungku berdegup kencang dan tak perlu ditanya otongku pun bereaksi. Apakah aku akan mencoba peruntungan malam ini? Setidaknya aku ingin sekali menyentuh kulitnya, pundaknya, tapi ingat dia istri Pakde. Kegalauan di dalam hatiku sekarang sedang berperang, apakah aku harus berbuat mesum kepada Budeku atau tidak?

Brengsek. Setan yang menang.

“Bude, kalau nggak keberatan boleh nih aku pijitin?” tawarku.

Bude menoleh sedikit kepadaku. “Tumben, oke aja. Sini pijitin Bude!” ucap Bude sambil menepuk pundaknya.

Aku melangkah mendekati Bude dari belakang. Dari posisi ini aku bisa mengintip isi susunya. Sialan, besar! Bulet! Putih sampai urat-urat hijaunya kelihatan. Seolah-olah kedua gunung kembar itu seperti tersenyum kepadaku. Haruskah aku teruskan?

* * *

=============== tubi kentang ===========
:pandaketawa: :pandaketawa:

NB: Ngikuti cerita ini kudu sabar. Saya sudah beri warning di depan lho ya, ini cerita rawan macet. Ki Dalang cuma bisa nulis sedikit. Yang lupa alurnya, baca ulang saja dari awal, sudah saya kasih index tuh.
Sementara ini dulu ya, Ki Dalang mau godain para sinden dulu. :pandaketawa: :pandaketawa:
 
Terakhir diubah:
Mantap updatenya Suhu @wayangkulit
Aliran ceritanya mengalir tenang. Tidak buru2. Tapi sekalinya memanas, klo liat dari yg sudah2, bakal langsung membakar kayak ngunyah cabe satu kilo dan meledak dahsyat kayak petasan cabe satu bungkus di bakar barengan. Sssshhhhh.... duaarrrrr.... crottttt #ehhh... :genit::Peace:
Jangan kuatir Hu, buat gelaran seapik karya Suhu mah, Nubie udah pesen paket sabar plus plus plus. Bakal ditungguin updatenya dengan sabar dan penuh keikhlasan hehehe...
Kentang? Tinggal nambahin saos :kentang: tambah Maknyosss malah
Macet? Nubie mah santuyyyy Hu.... jalan tol ajah macet :pandaketawa:
Sinden? Nah yang ini... Nubie gak mau ikut2. Urusan Ki Dalang ini mah :D
Eh, Guntur mijit Bude semoga pake paket plus plus plus juga Hu :pandajahat:
Mantap Suhu :beer:
Monggo dilanjut
:mantap:
 
Mantap updatenya Suhu @wayangkulit
Aliran ceritanya mengalir tenang. Tidak buru2. Tapi sekalinya memanas, klo liat dari yg sudah2, bakal langsung membakar kayak ngunyah cabe satu kilo dan meledak dahsyat kayak petasan cabe satu bungkus di bakar barengan. Sssshhhhh.... duaarrrrr.... crottttt #ehhh... :genit::Peace:
Jangan kuatir Hu, buat gelaran seapik karya Suhu mah, Nubie udah pesen paket sabar plus plus plus. Bakal ditungguin updatenya dengan sabar dan penuh keikhlasan hehehe...
Kentang? Tinggal nambahin saos :kentang: tambah Maknyosss malah
Macet? Nubie mah santuyyyy Hu.... jalan tol ajah macet :pandaketawa:
Sinden? Nah yang ini... Nubie gak mau ikut2. Urusan Ki Dalang ini mah :D
Eh, Guntur mijit Bude semoga pake paket plus plus plus juga Hu :pandajahat:
Mantap Suhu :beer:
Monggo dilanjut
:mantap:

Paket plus-plusnya agak nanti, tapi dijamin bagian selanjutnya bikin naik turun. :pandaketawa:
Ki Dalang masih jadi kuli dulu. hehehe.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd