Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bagian 3

Mataku terbuka. Merasa aneh, aku bangkit dari ranjang. Bukannya tadi malam aku membuntuti Bude? Lalu, kenapa aku ada di sini? Apa aku bermimpi? Bisa jadi sih, soalnya tadi kan aku tidur, lalu mendengar suara-suara aneh.

“Gun, bangun! Ayo, ikut Pakde!” terdengar suara Pakde dari luar kamar.

“Iya, Pakde,” jawabku.

Tubuhku menggeliat sejenak, setelah itu mengambil handuk untuk pergi ke belakang. Pakde sudah ada di ruang tengah menikmati secangkir kopi panas sambil menikmati rokoknya. Tampak ada singkong rebus tersaji di meja.

“Nyenyak tidurnya?” tanya Pakde.

“Eh, i-iya, Pakde,” jawabku.

“Pastinya nyenyak. Pakde dengar kamu ngorok tidurnya, seperti capek banget,” kata Pakde.

Begitukah? Apa Pakde tahu aku pergi meninggalkan rumah malam-malam membuntuti Bude? Aku berusaha mengira semua baik-baik saja agar Pakde tidak curiga. Kuberjalan menuju belakang dan melintasi dapur. Kulihat Bude sedang memasak.

Kali ini baju yang dipakainya berbeda. Pagi ini Bude memakai daster lengan pendek. Biar pun daster tersebut terlihat longgar aku bisa melihat lekuk tubuhnya dari samping. Yang membuatku menelan ludah sekali lagi adalah terlihat dia tidak memakai daleman. Tak ada tali bra, bahkan dari samping aku bisa melihat buah dadanya yang menggantung saat tubuhnya sedikit membungkuk.

Tentunya mataku tak bisa lepas dari sesuatu yang mengintip dari samping dasternya itu. Putingnya terlihat, coklat kemerahan. Kulihat juga dari bahu dan ketiaknya, tetesan-tetesan keringat, mengalir ke bawah.

“Nyenyak tidurnya, Gun?” celetuk Bude.

“I-iya, Bude,” jawabku.

“Baju kotornya ditaruh di bak saja. Nanti Bude cuci,” kata Bude.

“Eh, kalau aku bantu nyuci gimana, Bude?”

“Kamu kan harus ke sawah bantu Pakdemu,” kata Bude, “udah biar Bude saja yang nyuci.”

Sebenarnya aku penasaran, apakah tadi malam aku bermimpi atau tidak. Apa aku harus tanya ke Bude? Ah, aku coba saja.

“Bude, apa tadi malam Bude keluar rumah?” tanyaku tiba-tiba.

“Tadi malam? Bude di rumah terus, udah tidur. Kenapa? Kamu mimpi?”

“Aku tadi malam seperti melihat Bude keluar rumah trus aku ikuti sampai ke sebuah sendang,” kataku.

“Sendang? Sendang yang kamu ketahuan ngintip gadis-gadis desa lagi mandi dulu?”

“Bukan! Bukan! Sendangnya baru. Bude berjalan ke arah jalan setapak, trus naik-naik, lalu di sana ada sendang. Gede sendangnya,” jelasku.

“Ngaco kamu. Di sini mana ada sendang lain? Satu-satunya mata air ya di sedang Banyu Urip saja. Udah ah, mandi sana. Mimpi itu!” ujar Bude.

Bisa jadi sih. Tapi entah kenapa rasanya begitu nyata. Aku masih berdiri berpikir keras. Bude tampaknya sudah selesai masak, lalu mencicipi masakannya. Akhirnya aku pun segera bergegas ke kamar mandi.

Seperti biasa, di dalam kamar mandi aku memulai aktivitasku yaitu apalagi kalau bukan boker. Setelah selesai mengeluarkan isi perutku dan menyiramnya aku pun mulai mandi. Saat itulah aku melihat Bude dengan baju seperti kemarin, memakai kemben dengan bahu dan pundak mulusnya terekspos.

“Bajunya aku ambil ya, Gun,” kata Bude.

“I-iya, Bude,” sahutku.

“Mandinya gantian. Bude juga mau mandi. Gerah banget habis ngurusin dapur,” ucap Bude.

Kamar mandi yang kecil dengan pintu yang tidak terlalu tinggi ini memang agak aneh sih menurutku. Di dalamnya memang ada peralatan mandi seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, aku sendiri membawa peralatan mandi sendiri dan sudah aku taruh di kamar mandi ini sejak pertama kali datang. Namun, di dalam kamar mandi ini ada beberapa wadah kecil yang entah isinya apa. Saat kucium baunya seperti jamu. Apa ini dipakai oleh Bude?

Sebenarnya aku ingin cepat-cepat mandi, terlebih lagi kejantananku sudah bereaksi melihat mulusnya tubuh Budeku. Ah, Bude Sri. Secara tak sengaja tanganku sudah aktif untuk mengurut batangku. Bude tampak sibuk mengucek baju. Dia tak mengetahui kalau sekarang ini keponakannya sedang mengocok batang kejantanannya sambil memperhatikan tubuh mulusnya.

Pikiranku sekarang dipenuhi hal-hal jorok seperti mencumbui Budeku sendiri. Tidak apa-apakan? Toh ini hanya fantasi saja. Lagipula, kalau aku sampai ketahuan bercumbu dengan Budeku, aku bisa dirajam ama orang tuaku. Kuperhatikan lehernya, pundaknya, punggungnya yang mulus. Ah, Bude Sri, sungguh kau seperti bidadari dari kayangan. Seandainya aku bisa mencium bibirnya, menelusuri lekuk tubuhnya dan memasukkan batang penisku, pasti aku akan benar-benar merasakan nikmatnya surga dunia.

Bayanganku dan fantasiku makin menjadi dengan bertambah cepatnya kocokanku. Sengaja mataku memperhatikan tubuh budeku, terutama susunya yang bergerak-gerak saat mengucek baju. Suara kocokan kusembunyikan dengan suara keran air yang mengisi bak kamar mandi. Bude tidak begitu memperhatikanku, hingga akhirnya aku pun sudah mulai kepada puncak birahi. Kubayangkan bagaimana aku memeluk Bude sambil kedua selakangan kami bertemu. Entah kenapa fantasiku sepertinya tampak nyata, padahal itu hanya visualisasi birahiku semata. Akhirnya tembakan demi tembakan spermaku meluncur ke pintu kamar mandi. Jauh sekali tembakannya. Aku puas, coli sambil memperhatikan tubuh bude dan berfantasi dengannya.

Ku ambil napas sejenak. Jantungku berdegup kencang. Belum pernah aku coli seperti ini sebelumnya. Terlebih lagi objek fantasinya ada di dekatku. Segera aku bersihkan cairan spermaku dan aku pun mengguyur badanku semua. Pagi itu aku pun keramas.

Selesai mandi, aku seperti kemarin, hanya pakai handuk menutupi pinggangku. Bude juga sudah selesai mencuci, tinggal membilas pakaian.

“Gun, tolong jemurin bajunya, ya. Bude mau mandi dulu,” ucap Bude.

“I-iya, Bude,” kataku.

Bude mengambil handuknya, setelah itu masuk ke dalam kamar mandi. Aku segera membantu Bude untuk menjemur baju-baju tersebut. Saat menjemur baju, aku mendengar Bude bersenandung. Entah lagu apa yang beliau nyanyikan, seperti lagu Jawa, namun lebih tepatnya bahasa yang digunakan bukanlah bahasa yang pernah aku dengar sebelumnya.

Aku selesai menjemur, Bude masih mandi. Tiba-tiba muncul niat isengku. Aku menghampiri kamar mandi dan tentu saja tujuanku adalah untuk mengintipnya. Apalagi coba? Tinggi pintu kamar mandi tak seberapa sehingga saat aku mendekat di sebelah kamar mandi saja aku bisa melihat apa yang ada di dalam kamar mandi itu. Tubuhku mulai bereaksi saat melihat apa yang ada di dalam sana.

Di dalam kamar mandi terlihat Bude sedang menyabuni tubuhnya. Seperti yang sudah aku duga, tubuh Budeku benar-benar seksi dan mulus. Tidak ada cela sedikit pun. Bahkan mungkin kalau ada nyamuk yang berjalan di atas kulitnya bakalan terpeleset. Yang membuatku nggak habis pikir adalah ketiaknya yang mulus seperti ketiak para super model dan di daerah kewanitaannya tak kulihat ada bulu. Sungguh sebuah gambaran tubuh yang sempurna.

Bude membalik menghadap pintu kamar mandi dan mendapatiku yang sedang menatapnya. Sial ketahuan! Hanya gara-gara aku terlalu mengaguminya sampai aku lupa menyembunyikan diri. Awalnya kami berdua sama-sama terpaku, tetapi Bude tidak menghiraukanku.

“Sudah jemurnya?” tanya Bude.

“I-iya, Bude. Sudah,” jawabku.

“Ya sudah, tunggu Bude habis ini selesai. Kamu mau ke kamar mandi lagi?” tanya Bude.

Lucunya, aku tak beranjak dari tempatku berdiri. Malah terus-terusan melotot memperhatikan tubuh Bude yang bugil mengguyur tubuhnya membersihkan sisa-sisa sabun. Aku tak menjawab pertanyaan Bude tadi, malah sibuk meremas otongku dan mengocoknya. Memang tolol sih kataku.

Entah, kenapa kayaknya Bude sengaja berlama-lama di dalam kamar mandi. Setelah sabun, kini beliau seperti mengoleskan sesuatu ke tubuhnya, entah apa itu seperti ramuan tradisional. Ternyata itu gunanya wadah kecil tadi. Itu mungkin semacam ramuan tradisional yang digunakan bude untuk perawatan kulit saat mandi.

Bude melulurkan ramuan tersebut seluruh tubuhnya. Aku masih terus memperhatikan Bude sambil mengocok lagi. Bude sudah tidak memperhatikanku lagi. Setelah beliau melulurkan semuanya merata, aksi berikutnya adalah beliau mengambil sikat gigi. Saat Bude menggosok gigi, lagi-lagi buah dadanya itu bergoyang. Dahlah, emang ini hal yang tak bisa aku tahan lagi. Aku ngecrot untuk kedua kalinya gara-gara pemandangan ini. Tapi kali ini aku tahan spermaku dengan tangan agar tak mengotori tempat tersebut.

Segera aku bersihkan tanganku dan otongku dengan keran air. Aku berusaha mati-matian agar otongku tidak tegak lagi setelah itu. Gila, baru saja habis mandi. Masa’ aku harus mandi lagi?

Tak berapa lama kemudian Bude keluar dari kamar mandi dengan memakai kemben dan handuk menutupi pundaknya. Bau ini, ah… ini dia baunya. Bau ramuan lulur tadi ternyata yang membuat badan Bude wangi.

“Dah sana, pakai kamar mandinya,” ucap Bude, “jangan lupa disiram.”

Aku cuma nyengir aja. Apa bude tahu maksudku? Entahlah. Aku pun segera memakai kamar mandi untuk sekali lagi mandi keramas. Bisa-bisa kalau seperti ini tiap hari kantong menyanku habis hanya karena ngintip Bude mandi.

* * *​

Setelah mandi dan ganti baju, aku pun ikut Pakde naik mobil pickup miliknya. Sebenarnya Pakde punya dua mobil, satu mobil MPV dan satunya pickup yang biasa digunakan untuk pergi ke ladang. Dengan mobil pickup ini pula biasanya Pakde membawa hasil panennya. Sedangkan, untuk mobil mengangkut ke pasar Pakde lebih banyak menyewa, karena lebih murah ongkosnya daripada harus punya banyak mobil untuk mengangkut.

Di sepanjang perjalanan, Pakde bercerita tentang banyak hal. Terutama tentang desa ini tentunya. Desa ini merupakan salah satu desa yang menjadi percontohan untuk penghasil pangan. Hasil perkebunan dan sayuran menjadikan desa ini menjadi makmur. Selain tanahnya subur, sungainya juga jernih sehingga ekosistem yang ada di sekitarnya terjaga.

Beberapa orang pekerja seperti buruh tani terlihat sudah bekerja di ladang pagi itu. Pakde dengan ramah menyapa mereka. Beberapa kali mobil pickup Pakde melintasi pepohonan yang rindang. Aku jadi teringat suasana yang aku lihat tadi malam. Mirip seperti ini, tetapi tentu saja lain. Pepohonan kemarin lebih lebat dan rasa-rasanya pohonnya pun lebih asing daripada yang kulihat sekarang ini. Aku masih belum berani bercerita kepada Pakde tentang apa yang aku lihat. Namun, kalau Bude tidak mengatakan apapun, sepertinya hanya ada dua kemungkinan, Bude tidak ingin diketahui oleh siapapun atau aku hanya bermimpi.

Sampailah kami di ladang milik Pakde, ternyata jaraknya lumayan jauh. Aku sendiri tak bakalan ingat kalau harus pulang tanpa membawa kendaraan atau dituntun Pakde. Saat kami keluar di sejauh mata memandang hanya ada sawah, bukit dan rimbunan pepohonan yang terlihat dari jauh.

“Nanang!” panggil Pakde ke seseorang.

Seorang pemuda memakai capil terlihat melambaikan tangannya dari kejauhan. Setelah itu dia berlari-lari kecil menghampiri kami. Pakde tadi memanggilnya Nanang, sosok pemuda yang dulu adalah teman kecilku sewaktu main di desa ini.

“Eh, sopo iki? (eh, siapa ini)” seru Nanang.

“Nang, sik eling karo bocah iki? (Nang, masih ingat ama anak ini)” tanya Pakde ke Nanang.

“Yo sik eling tho Pak Suryo, iki Guntur kan? (Masih ingat dong Pak Suryo, ini Guntur kan)” ucap Nanang.

“Mulai hari ini ajarin dia pekerjaan di ladang. Guntur, mulai sekarang apapun yang dikerjakan Nanang, kamu ikutin ya. Ini sebagai hukumanmu,” kata Pakde sambil menepuk pundakku, “intinya di sini kerja saja yang bener, sambil interopeksi diri.”

Ya aku bisa apa coba? Memang aku ke desa ini akibat kesalahanku. Ternyata Nanang tidak sendirian. Dia menyapa seorang perempuan berkerudung. Perempuan itu terlihat cantik, kulitnya putih, nggak terlihat seperti orang kampung pada umumnya. Begitu melihatku dia bungah dan langsung berlari menghampiriku.

“Pakde Suryo, ini Guntur?” tanya perempuan itu.

“Iya, siapa lagi?” ucap Pakde.

Perempuan itu berkacak pinggang. Bajunya lusuh memakai kaos lengan panjang, sarung tangan dan tanpa memakai alas kaki. Matanya tampak tajam menatapku.

“Sik eling aku ora kowe? (Masih ingat aku nggak kamu)” tanyanya.

Nanang yang baru datang terkekeh. “Hei, Gun. Pie kabare, rek? Tambah gagah saiki (Hei, Gun. Gimana kabarnya? Tambah gagah sekarang)”

“Apik apik, iki sopo?” tanyaku sambil menunjuk perempuan ini.

“Ini Nur. Masa’ lupa?”

“Nur? Si dekil keriting itu?” aku nggak percaya. Gimana tidak dulu waktu kecil dia masih seperti bocah item rambutnya keriting sekarang lha kok kulitnya putih, mulus, cakep. Selly aja kalah cantik. Ini biasanya disebut “when puberity hits you hard”.

Tiba-tiba kakiku ditendang sampai sakit. “Sembarangan! Dasar ya, enak aja ngatain!” kata Nur.

Aku pun dikejar ama Nur yang berusaha menyakitiku. Pakde ketawa saja menyaksikanku ditimpuk gadis ini berkali-kali. Gila njir, cubitannya sakit banget.

“Ya udah, ya. Pakde tinggal mau ke pasar dulu nganter sayuran. Kalian jangan berulah!” ucap Pakde.

Entah ya, tapi ada rasa bahagia saja aku bisa berkumpul dengan teman-temanku sewaktu kecil. Memori kami sewaktu kecil pun kembali lagi. Rasanya aku bakalan betah di desa ini. Ada Bude yang bisa jadi bahan ngocokku, plus ada Nur yang cantiknya nggak ketulungan. Apa aku pedekate ama Nur aja ya? Secara kami dulu kan juga temenan masa kecil.

Namun, perhatianku tertuju kepada seseorang yang berpakaian serba hitam dengan udeng di kepalanya. Di lehernya juga tergantung kalung berbentuk seperti tasbih, berjalan di antara pematang sawah, memperhatikanku dari jauh. Pakde membungkuk ke orang tersebut sambil tangannya ditaruh di dada. Bukan saja Pakde tetapi orang-orang lain juga, Nanang dan Nur yang melihat lelaki paruh baya itu juga memberi hormat. Nur yang tadi memitingku juga melepaskanku. Hanya aku yang tidak melakukannya.

Orang itu memperhatikanku, lalu hanya mengangguk dan berlalu begitu saja. Aku bertanya-tanya siapa lelaki itu? Orang terpandangkah? Atau apa?

* * *


====== tu bi konti nyooot ======
NB: Ini masih pengenalan tokoh ya gaes, kita pelan aja dulu. Update selow. Saya sudah berikan warning ya.
Nggak nyangka tanggapannya luar biasa, baru 3 update udah seribuan yang baca. Matur nuwun panjenengan sedoyo.
Bocoran, ini genrenya misteri. Dah itu aja. Ikuti saja terus updatenya. Semoga updatenya lancar.​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd