Aku baru keluar kamar setelah mendengar suara mobil Mas Heru. Rumah bersih, tiada bekas permainan cinta sama sekali. Semua seperti mimpi, tapi ketika aku menyentuh meja makan, kaki meja kendur, itu membuatku yakin adegan tadi bukan mimpi.
Di ruang tamu aku melihat Angga mencium tangan Mas Heru. Perlahan aku mencium tangannya juga.
"Ada apa Bu, kok suntuk sekali?" tanya Mas Heru, selalu paham akan perubahan di wajahku. Punggung jarinya menempel ke keningku, lalu ke leher. "Sakit?"
"Gak Pa, cuma baru bangun. Tadi ketiduran sampai lupa masak."
Mas Heru terkekeh mendengar ceritaku. Angga tersenyum tanpa memandangku. Aku malu harus berbohong seperti ini, tapi mau bagaimana lagi?
Tak ada yang istimewa di acara makan. Malamnya pun kami terlelap tidur tanpa banyak berdiskusi. Esoknya pun demikian. Di hari Minggu aku merasa lebih aman karena ada Mas Heru. Kami berjogging berdua.
Di taman kompleks kami istirahat sambil makan bubur. Melihat pasangan muda mengajari anaknya melangkah membuat hatiku kundah. Ingin sekali punya momongan. Bersama Mas Heru mengajari anak kami melangkah, membesarkannya hingga menjadi anak tampan atau cantik, pasti enak.
Mas Heru meremas telapak tanganku. Matanya berkaca-kaca. Sepertinya mampu menangkap isi hatiku. "Yang sabar. Mungkin Tuhan belum memberi momongan karena suatu alasan."
Tersenyum aku balas mengangguk, menikmati bubur ayam gurih nan mulai dingin. Mas, andai Mas tahu alasan semua ini. Apa Mas masih bisa sabar?
"Bang, satu dibungkus ya," ujar Mas Heru, lalu menepuk pahaku. "Untuk Angga."
Mendengar namanya membuatku sungkan. "Mas, sampai kapan dia di rumah?"
"Kenapa? Kamu gak suka kalau ada dia?"
"Bukan begitu. Cuma gak nyaman aja." Bukan itu alasanku, hanya takut jika tumbuh sesuatu di antara kita.
"Lima hari lagi test-nya dimulai. Kalau lulus ya ikut test ke dua, kalau gagal ya dia pulang ke Bandung. Yang sabar Bunga. Mas gak maksa kamu buat meladeninya, jika kamu gak suka bisa nganar aja, Angga mandiri kok."
Anggukanku membuat Mas Heru tertawa kecil. Perlahan aku bersandar ke pundaknya. Menonton Ibu muda menggendong anak, membuatku semakin ingin punya.
Malam ini aku ingin, tapi Mas Heru terlanjur mendengkur keras. Menggoyang badannya aku berusaha membuat dia bangun, tapi nihil. Mungkin jogging membuat dia lelah.
Perlahan aku turun ke dapur hendak mengambil minum. Langkahku terhenti di anak tangga,melihat Angga terlentang di sofa, mengocok burungnya sambil melihat rekaman di handycam. Burung panjang, berubat, basah. Seketika libidoku meninggi.
Tidak, aku sudah memutuskan untuk tidak meladeninya. Bergegas pergi ke dapur, aku membuka kulkas, minum susu dingin di sana.
"Mbak." Angga menyapa, duduk di sofa menaruh handycam ke meja. Menepuk sofa dia memintaku ke sana. "Aku ingin bicara."
Aku takut, tapi lirikan tajam mata Angga mendominasi hati juga pikiranku. Membawa dua kaleng susu aku singgah ke sana, tapi tidak di sofa panjang, ke sofa lain, jauh dari Angga. Menaruh susu ke meja aku berusaha ramah.
"Diminum, Ang."
"Mbak kenapa berubah sikap?" tanyanya. "Mbak menolak ajakan itu, Mbak menghindariku." Menggeser kamera, lalu dia membuka susu kaleng, meneguknya liar hingga beberapa bulir mengaklir membasahi kaos tak berlengannya.
"Mbak gak mau berkhianat ke Mas Heru. Terlebih sama adiknya. Mas Heru bisa hancur, Ang."
"Siapa yang berkhianat? Mbak tahu Mas Heru mandul. Aku di sini membantu Mbak dan Mas Heru. Mbak pingin anak, kan?"
Aku tertegun, mengangguk kecil tertunduk lemas. Dia tahu apa yang aku mau. Sofaku mengempis ketika dia duduk perlahan ke sebelahku.
Baju tidur satin babydolku memiliki dua tali, dan tali kanan dia geser hingga jatuh. "Mbak tahu gak, Mbak tuh bahan coli ku sejak SMA."
"Hah?"
"Mbak dulu fotomodel majalah Fashion. Menyodorkan handphone, tangannya yang lain seperti ular berusaha melingkar ke perut langsingku. "Lihat, aku masih nyimpen fotonya. Aku coli ngebayangin ngentot sama Mbak. Eh, gak tahunya Mbak nikah sama Mas Heru. Aku cemburu, Mbak."
Aku menonton foto yang silih berganti, foto masa kejayaanku dulu. Ya, dulu aku terkenal, lunya banyak job di permodeling, banyak lelaki tampan yang menginginkanku, tapi Mas Heru yang berhasil meraih cintaku. Karena dia baik.
Tanpa aku sadari, jari tengah Angga bermain di pentilku dari balik aatin, membuat semakin menonjol. Dia menyuruhku membawa handphone, sembari meloloskan tali kanan hingga lepas. Tetekku menggelantung satu, terekspose.
Aku memeram ketika Angga menjilati bagian pusat tetek. Dia jago dalam hal ini. Aku ingin melarang tapi malah memekarkan kaki, ketika tangannya mengelus pahaku. Tangan itu naik menggosok vaginaku langsung. Aku tidak memakai pakaian dalam.
Jarinya menusuk masuk ke liang segamaku. Tangannya memilin pentil. Bibirnya menghisap tetek. Aku mendongak memeram, menjatuhkan handphonenya. Tanganku yang memas memandu tangan yang meremas tetek untuk lebih keras meremas.
"Angga cukup. Mbak gak mau. Sshhh."
Tuada reaksi dari Angga.
"Mbak bilang cukup!"
Angga berhenti. Aku kecewa. Seakan menjadi Hawa yang ditendang keluar dari surga. Aku menyesal menyuruhnya stop. Membuka mata aku mendapati Angga duduk ke sofa lain.
"Kenapa stop … makasih udah mau berhenti."
Aku berdiri meralikan pakaian. Tanggung, aku ingin lagi.
Dia menarik turun celana. Batang itu menantang. "Mbak, kalau mau anak, ayo, ambil sendiri."
Aku terhenyak. Dia menantangku dengan senyum sinis. Dua tangannya mendarat ke atas sandaran sofa, kakinya mengangkang. "Ayo, naik sendiri. Pingin anak, kan?"
Aku tak pernah dihina seperti ini, tapi batang itu … dengan melihat saja membuatku gagal berkedip. Tak terkendali tanganku bergetar hendak meraih batang. Diemut dulu, laku dimasukkan, aku ingin berjoget seperti Dini. Aku ingin menjilati seluruh badan Angga.
"Ma, Mama di mana?" Suara Mas Heru membuat kesadaranku pulih.
Aku menarik tangan, tapi Angga menggapai pergelangan tanganku itu. Dia menyeringai. "Ayo, Mbak."
"Kamu gila? Mas Heru bisa tahu!"
"Biarin."
"Angga!"
Menoleh ke atas tangga, aku melihat bayangan semakin mendekat hendak turun. Rontaanku kalah dengan kekuatan Angga. Tidak, aku tidak ingin Mas Heru melihat semua ini!