begawan_cinta
Guru Semprot
- Daftar
- 27 Oct 2023
- Post
- 547
- Like diterima
- 9.309
Binor Pedagang Pasar
RUMAH yang kutempati sekarang ini terletak dekat pasar, bukan pasar yang besar, melainkan pasar yang buka pagi, tutup siang.
Kalau pasar sudah tutup, lapak jualan para pedagang dititipkan di rumah-rumah dekat pasar.
Rumahku kebagian dititipkan lapak juga dari sepasang suami istri yang berjualan ayam potong, Pak Yusman dan Bu Napsiyah, istrinya.
Penitipan lapak oleh para pedagang pasar di halaman rumah yang dekat dengan pasar, tentu saja tidak secara gratis.
Biasanya mereka membayar sekian ratus ribu perbulan tergantung besar kecilnya lapak yang mereka titipkan, apa yang mereka jual dan biasanya rumah-rumah yang dititipi lapak, kamar mandi mereka juga dipakai untuk kencing atau buang air besar, khususnya pedagang wanita.
Bu Napsiyah juga begitu. Selesai berdagang pasti ia datang ke rumahku numpang kencing dan karena pekerjaan selalu di rumah, setiap kali Bu Napsiah kencing suara air kencingnya sering kali membuat aku terangsang, karena bunyinya sangat deras, shhiiiiiiiiiiiiii..... ssshhhiiiiiiiiiiii.... shhhiiiiiiiiiiiiiii.... shhiiiiiiiiiiiiii.... sshhhiiiiiiiiiiiiii....
Apalagi ia suka jualan pakai kaos ketat dan celana legging ketat, bentuk BH-nya juga suka menjiblak di kaosnya.
Mungkin ia mengetahui tubuhnya masih sexy, pantat besar, payudara montok dan pinggangnya juga masih berlekuk, sehingga ia memakai pakaian yang ketat, tidak seperti teman-temannya yang kebanyakan memakai kerudung dan rok panjang.
Kadang kalau hari lagi baik, aku bisa melihat 2 butir puting susunya yang lumayan besar membayang di kaosnya.
Hari itu aku masuk angin. "Nanti pulang dari pasar aku kerokin." kata Bu Napsiyah.
Setelah selesai jualan, Bu Napsiyah menaruh lapak jualannya di halaman rumahku, lalu balik lagi ke pasar. Sebentar kemudian Bu Napsiyah sudah datang ke rumahku dengan sepeda motor dibonceng Pak Yusman.
"Dagangan habis, Pak?" tanyaku dari teras rumahku.
"Iya, Pak Heri..." jawab Pak Yusman.
"Mampir Pak, ngopi dulu..."
"Saya lagi ada pekerjaan di rumah, Pak Heri... biar Ibu saja yang di sini, nanti saya jemput..."
Umur Pak Yusman, paling-paling baru sekitar 45 tahun, Bu Napsiyah sekitar 40 tahun.
Bu Napsiyahpun mengerik punggungku dengan minyak dan uang koin 500-an sambil aku duduk di bangku plastik segiempat tanpa sandaran.
"Pak Heri sudah umur berapa, kok nggak nikah sih Pak, apa enak hidup sendiri?" tanya Bu Napsiyah padaku. Umurku memang sudah tidak muda lagi, sudah 40 tahun.
Mungkin dulu aku seorang workaholic (pencandu kerja) sehingga aku lupa pacaran. Apalagi saat itu duit banyak, dunia wanita seolah dalam genggaman tanganku.
"Apa Ibu ada...?" tanyaku.
"Dulu ada sih... Adek, tapi sudah nikah... taunya saya tawarin sama Pak Heri, ya... nikahnya juga sudah lumayan berumur sih..."
"Umur berapa Adek Ibu menikah...?"
"Tigalima..."
"Ibu sekarang umur berapa?" Kesempatan untuk aku bertanya umur Bu Napsiyah.
"Tigasembilan, sudah tua ya, Pak..."
"Ibu cantik, jadi tidak kelihatan tua, beda dengan Bapak, berapa taun...?"
"Lima tahun. He.. he.. bisa aja, Pak Heri... sampe bikin aku tersepona... cantik apa, Pak...?"
"Tapi Bapak masih suka gituan sama Ibu...?"
"Oh... he.. he..." jawab Bu Napsiyah tertawa malu. "Aku tidur sama anak, Pak... Bapak tidur sendiri di luar, kata Bapak supaya bangun nggak kesiangan ke pasar... lagi pula sudah bosenlah, Pak Heri... he.. he.. anak sudah empat..."
"O..."
"Sudah selesai, Pak Heri... merah... aku pijit, ya..."
RUMAH yang kutempati sekarang ini terletak dekat pasar, bukan pasar yang besar, melainkan pasar yang buka pagi, tutup siang.
Kalau pasar sudah tutup, lapak jualan para pedagang dititipkan di rumah-rumah dekat pasar.
Rumahku kebagian dititipkan lapak juga dari sepasang suami istri yang berjualan ayam potong, Pak Yusman dan Bu Napsiyah, istrinya.
Penitipan lapak oleh para pedagang pasar di halaman rumah yang dekat dengan pasar, tentu saja tidak secara gratis.
Biasanya mereka membayar sekian ratus ribu perbulan tergantung besar kecilnya lapak yang mereka titipkan, apa yang mereka jual dan biasanya rumah-rumah yang dititipi lapak, kamar mandi mereka juga dipakai untuk kencing atau buang air besar, khususnya pedagang wanita.
Bu Napsiyah juga begitu. Selesai berdagang pasti ia datang ke rumahku numpang kencing dan karena pekerjaan selalu di rumah, setiap kali Bu Napsiah kencing suara air kencingnya sering kali membuat aku terangsang, karena bunyinya sangat deras, shhiiiiiiiiiiiiii..... ssshhhiiiiiiiiiiii.... shhhiiiiiiiiiiiiiii.... shhiiiiiiiiiiiiii.... sshhhiiiiiiiiiiiiii....
Apalagi ia suka jualan pakai kaos ketat dan celana legging ketat, bentuk BH-nya juga suka menjiblak di kaosnya.
Mungkin ia mengetahui tubuhnya masih sexy, pantat besar, payudara montok dan pinggangnya juga masih berlekuk, sehingga ia memakai pakaian yang ketat, tidak seperti teman-temannya yang kebanyakan memakai kerudung dan rok panjang.
Kadang kalau hari lagi baik, aku bisa melihat 2 butir puting susunya yang lumayan besar membayang di kaosnya.
Hari itu aku masuk angin. "Nanti pulang dari pasar aku kerokin." kata Bu Napsiyah.
Setelah selesai jualan, Bu Napsiyah menaruh lapak jualannya di halaman rumahku, lalu balik lagi ke pasar. Sebentar kemudian Bu Napsiyah sudah datang ke rumahku dengan sepeda motor dibonceng Pak Yusman.
"Dagangan habis, Pak?" tanyaku dari teras rumahku.
"Iya, Pak Heri..." jawab Pak Yusman.
"Mampir Pak, ngopi dulu..."
"Saya lagi ada pekerjaan di rumah, Pak Heri... biar Ibu saja yang di sini, nanti saya jemput..."
Umur Pak Yusman, paling-paling baru sekitar 45 tahun, Bu Napsiyah sekitar 40 tahun.
Bu Napsiyahpun mengerik punggungku dengan minyak dan uang koin 500-an sambil aku duduk di bangku plastik segiempat tanpa sandaran.
"Pak Heri sudah umur berapa, kok nggak nikah sih Pak, apa enak hidup sendiri?" tanya Bu Napsiyah padaku. Umurku memang sudah tidak muda lagi, sudah 40 tahun.
Mungkin dulu aku seorang workaholic (pencandu kerja) sehingga aku lupa pacaran. Apalagi saat itu duit banyak, dunia wanita seolah dalam genggaman tanganku.
"Apa Ibu ada...?" tanyaku.
"Dulu ada sih... Adek, tapi sudah nikah... taunya saya tawarin sama Pak Heri, ya... nikahnya juga sudah lumayan berumur sih..."
"Umur berapa Adek Ibu menikah...?"
"Tigalima..."
"Ibu sekarang umur berapa?" Kesempatan untuk aku bertanya umur Bu Napsiyah.
"Tigasembilan, sudah tua ya, Pak..."
"Ibu cantik, jadi tidak kelihatan tua, beda dengan Bapak, berapa taun...?"
"Lima tahun. He.. he.. bisa aja, Pak Heri... sampe bikin aku tersepona... cantik apa, Pak...?"
"Tapi Bapak masih suka gituan sama Ibu...?"
"Oh... he.. he..." jawab Bu Napsiyah tertawa malu. "Aku tidur sama anak, Pak... Bapak tidur sendiri di luar, kata Bapak supaya bangun nggak kesiangan ke pasar... lagi pula sudah bosenlah, Pak Heri... he.. he.. anak sudah empat..."
"O..."
"Sudah selesai, Pak Heri... merah... aku pijit, ya..."