Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Binor Pedagang Pasar

begawan_cinta

Guru Semprot
Daftar
27 Oct 2023
Post
547
Like diterima
9.309
Bimabet
Binor Pedagang Pasar



RUMAH yang kutempati sekarang ini terletak dekat pasar, bukan pasar yang besar, melainkan pasar yang buka pagi, tutup siang.

Kalau pasar sudah tutup, lapak jualan para pedagang dititipkan di rumah-rumah dekat pasar.

Rumahku kebagian dititipkan lapak juga dari sepasang suami istri yang berjualan ayam potong, Pak Yusman dan Bu Napsiyah, istrinya.

Penitipan lapak oleh para pedagang pasar di halaman rumah yang dekat dengan pasar, tentu saja tidak secara gratis.

Biasanya mereka membayar sekian ratus ribu perbulan tergantung besar kecilnya lapak yang mereka titipkan, apa yang mereka jual dan biasanya rumah-rumah yang dititipi lapak, kamar mandi mereka juga dipakai untuk kencing atau buang air besar, khususnya pedagang wanita.

Bu Napsiyah juga begitu. Selesai berdagang pasti ia datang ke rumahku numpang kencing dan karena pekerjaan selalu di rumah, setiap kali Bu Napsiah kencing suara air kencingnya sering kali membuat aku terangsang, karena bunyinya sangat deras, shhiiiiiiiiiiiiii..... ssshhhiiiiiiiiiiii.... shhhiiiiiiiiiiiiiii.... shhiiiiiiiiiiiiii.... sshhhiiiiiiiiiiiiii....

Apalagi ia suka jualan pakai kaos ketat dan celana legging ketat, bentuk BH-nya juga suka menjiblak di kaosnya.

Mungkin ia mengetahui tubuhnya masih sexy, pantat besar, payudara montok dan pinggangnya juga masih berlekuk, sehingga ia memakai pakaian yang ketat, tidak seperti teman-temannya yang kebanyakan memakai kerudung dan rok panjang.

Kadang kalau hari lagi baik, aku bisa melihat 2 butir puting susunya yang lumayan besar membayang di kaosnya.

Hari itu aku masuk angin. "Nanti pulang dari pasar aku kerokin." kata Bu Napsiyah.

Setelah selesai jualan, Bu Napsiyah menaruh lapak jualannya di halaman rumahku, lalu balik lagi ke pasar. Sebentar kemudian Bu Napsiyah sudah datang ke rumahku dengan sepeda motor dibonceng Pak Yusman.

"Dagangan habis, Pak?" tanyaku dari teras rumahku.

"Iya, Pak Heri..." jawab Pak Yusman.

"Mampir Pak, ngopi dulu..."

"Saya lagi ada pekerjaan di rumah, Pak Heri... biar Ibu saja yang di sini, nanti saya jemput..."

Umur Pak Yusman, paling-paling baru sekitar 45 tahun, Bu Napsiyah sekitar 40 tahun.

Bu Napsiyahpun mengerik punggungku dengan minyak dan uang koin 500-an sambil aku duduk di bangku plastik segiempat tanpa sandaran.

"Pak Heri sudah umur berapa, kok nggak nikah sih Pak, apa enak hidup sendiri?" tanya Bu Napsiyah padaku. Umurku memang sudah tidak muda lagi, sudah 40 tahun.

Mungkin dulu aku seorang workaholic (pencandu kerja) sehingga aku lupa pacaran. Apalagi saat itu duit banyak, dunia wanita seolah dalam genggaman tanganku.

"Apa Ibu ada...?" tanyaku.

"Dulu ada sih... Adek, tapi sudah nikah... taunya saya tawarin sama Pak Heri, ya... nikahnya juga sudah lumayan berumur sih..."

"Umur berapa Adek Ibu menikah...?"

"Tigalima..."

"Ibu sekarang umur berapa?" Kesempatan untuk aku bertanya umur Bu Napsiyah.

"Tigasembilan, sudah tua ya, Pak..."

"Ibu cantik, jadi tidak kelihatan tua, beda dengan Bapak, berapa taun...?"

"Lima tahun. He.. he.. bisa aja, Pak Heri... sampe bikin aku tersepona... cantik apa, Pak...?"

"Tapi Bapak masih suka gituan sama Ibu...?"

"Oh... he.. he..." jawab Bu Napsiyah tertawa malu. "Aku tidur sama anak, Pak... Bapak tidur sendiri di luar, kata Bapak supaya bangun nggak kesiangan ke pasar... lagi pula sudah bosenlah, Pak Heri... he.. he.. anak sudah empat..."

"O..."

"Sudah selesai, Pak Heri... merah... aku pijit, ya..."
 
Lalu Bu Napsiyah memijit kepalaku dari dari arah belakang, tetapi bagian depan tubuhnya ia rapatkan ke punggungku, termasuk payudaranya, meskipun payudaranya sudah menggantung tapi terasa kenyal oleh punggungku saat kedua tangan Bu Napsiyah mengurut-urut dahiku.

Jantungku tak-tik-tok-tak-tik-tok bunyinya.

Tak berapa lama kemudian Bu Napsiyah pindah ke depanku. Belahan payudaranya berada berada di depan wajahku.

Ia memijit bagian belakang kepalaku dari arah depan, otomatis belahan payudaranya maju bahkan menempel di wajahku...

Segera aku memeluk pinggang Bu Napsiyah, dan menciumi belahan payudaranya.

Bu Napsiyah mendiamkan aku, sehingga akupun berani menyelusupkan tanganku ke balik celana lenggingnya dari belakang.

"Mmmmm... aku lagi datang bulan, Pak Heri..." kata Bu Napsiyah saat tanganku sampai ke belahan pantatnya dan memang terpegang olehku bantal di belahan pantatnya.

"Tapi bisa tolong saya kan, Bu..." kata-kataku seperti memohon. "...sudah sekian lama aku napsu sama Ibu... mau ya, Bu...?"

Sambil berharap-harap cemas, jantungku berdegup-degup semakin kencang. Apakah berhasil aku merayu Bu Napsiah, bini Pak Yusman?

Aku tidak tau berhasil atau tidak, Bu Napsiyah melepaskan pijitannya pergi ke kamar mandi.

Aku tidak beranjak dari dudukku. Tak berapa lama kemudian Bu Napsiyah datang menghampiriku, bukan memijit kepalaku, tetapi ia memeluk kepalaku memberikan wajahku keleluasan untuk melumat belahan payudara dan juga kedua payudaranya.

Ahh...

"Buu...uu..." desahku nikmat.

Tanganku menyelusup ke celana lenggingnya lebih dalam, bantal di belahan pantatnya sudah tidak ada.

Terus akupun menarik turun celana lengging dan celana dalamnya, sementara Bu Napsiyah melepaskan kaos dan BH-nya.

Ahh... Bu Napsiyah bertelanjang bulat di depanku.

Aku segera menariknya ke kamar. Bu Napsiyah merebahkan tubuh telanjangnya di kasurku. Yang tak kupikirkan, kini telah berada di depanku.

Bulu-bulu hitam di selangkangan Bu Napsiyah mewarnai kulit tubuh telanjangnya yang berwarna coklat sawo matang. Puting susunya besar berwarna hitam dengan lingkaran areola yang juga berwarna hitam, sungguh menambah gairahku melihat tubuh telanjang yang menghampar di depanku itu.

Ia menahan kepalaku saat aku hendak mencium bulu-bulu hitam di selangkangannya. "Jangan, Pak Heri... masukin saja kalau Pak Heri mau, saya malu kalau dilihat, sudah jelek..." kata Bu Napsiyah.

Aku tidak menyerah begitu saja. Kucium-cium pahanya... kuremas-remas payudaranya, lalu kucium bibirnya... sehingga kekakuan Bu Napsiyah mulai mengendur perlahan, bahkan selanjutnya Bu Napsiyah memberikan jariku masuk ke lubang vaginanya.

Ketika kukocok lubang vagina Bu Napsiyah dengan jari, kakinya pun bergerak-gerak. Apabila aku melirik ke arah wajahnya, aku melihat matanya terpejam rapat. Gigi atasnya menggigit bibir bawahnya. Semua itu menunjukkan bahwa nafsu sudah menguasainya.

Aku tidak mau berlama-lama lagi. Perlahan-lahan aku mengambil posisi di selangkangan Bu Napsiyah. Aku mendekatkan mukaku di celah kelaminnya.

Bu Napsiyah tidak mencegahku lagi. Ia memegang kepalaku lalu menariknya ke bawah, ke arah vaginanya.

Bau vagina Bu Napsiyah begitu menggoda. Aku menjulurkan lidahku menyentuh klitorisnya. Dan dengan lembut, aku mulai menjilat tonjolan daging kecil itu.
 
"Ahhh..." rintih Bu Napsiyah kegelian.

Tubuh telanjang bahenol Bu Napsiyah meliuk-liuk menahan geli dan kenikmatan.

"Aaahh... ahhh..." suara desahan dan erangan semakin jelas kedengaran.

Lidahku terus naik-turun menyapu biji kelentit Bu Napsiyah yang mulai tegang. Tidak cukup hanya sampai disitu, lidahku menyapu seluruh vagina Bu Napsiyah dari luar hingga ke bagian dalamnya. Semuanya disertai dengan remasan kuat pada buah dadanya.

Bu Napsiyahpun menjambak rambutku. Sebentar-bentar ditarik, sebentar-bentar dilepaskannya.

Akhirnya Bu Napsiyah menjerit meluapkan sambil tubuhnya kejang-kejang kenikmatan orgasmenya, "AAAAAAAHHHH.... NNNGGGHHHH.... AAAAAAAAHHHH......"

Lubang vaginanya ternganga seperti sebuah terowongan. Bibir vaginanya melebar tegang dan biji kelentitnya sebesar biji teratai.

Bu Napsiyah terbaring lemas dengan napas tak teratur.

"Sepertinya baru pertama kali ya...?" tanyaku.

"Iya, Pak... diapain sih Pak, kok bisa enak banget..."

"Ibu kalau aku minta jadi istriku, bersedia nggak, Bu...?" tanyaku. "Setiap hari Ibu bisa merasakan enak-enak begini, jadi nggak stress, Bu..."

"Bagaimana dengan Bapak di rumah ya, Pak...?"

Bu Napsiyah bangun berlutut di sebelahku. Ia membantu aku melepaskan celana pendekku, sehingga batang penisku terpental dan oleh Bu Napsiyah batang itu dipegangnya.

"Gagah banget, Pak Heri..." kata Bu Napsiyah memuji.

"Sekarang sudah ada Ibu, bisa Ibu keloni..." jawabku.

Tanpa disuruh atau diminta, Bu Napsiyah terus menundukan kepalanya dan menjilati batang pusakaku.

Selanjutnya, ia mengulumnya. Nikmatnya dikulum dan dihisap begitu amat sulit untuk digambarkan. Bukan hanya aku tetapi Bu Napsiyah juga benar-benar menikmati apa yang dilakukannya.

Ia mengulum dan menghisap sepuasnya.

Aku kemudian menghentikannya, lalu menarik tubuh Bu Napsiyah ke atas tubuhku.

Bu Napsiyah seperti mengetahui keinginanku, ia menaiki tubuhku. Ia mengangkangi aku yang terlentang sementara aku menyiapkan batang penisku.

Bu Napsiyah memegang batang penisku lalu menempelkan palkonku di pintu masuk vaginanya. Ia terlebih dulu menggosok-gosok helm penisku di situ sebelum ia mulai menurunkan tubuhnya.

Aku merasakan kehangatan pada kepala penisku sesaat setelah mulai memasuki liang vagina Bu Napsiyah yang sudah licin.

Perlahan-lahan namun begitu pasti, Bu Napsiah menduduki batang penisku hingga semuanya habis terbenam. Bu Napsiyah mengerang di saat ia sudah habis menduduki batang zakarku, menelannya hingga bagian pangkal. Ia diam sebentar.

Aku pun mulai meremas-remas dan mencubiti gemas puting buah dada Bu Napsiyah.

Selang beberapa saat, Bu Napsiyah mulai menaik-turunkan tubuhnya dengan agak perlahan. Aku tidak mau tinggal diam. Aku coba menekankan batang penisku ke atas. Sesekali aku hanya bertahan. Kemudian aku coba bangun dan menopangkan tubuhku dengan siku kiriku. Tangan kananku masih asyik dengan buah dada Bu Napsiyah. Mulutku segera menyambar putingnya lalu kuhisap dengan kuat.
 
Tindakan liarku agak membatasi pergerakan Bu Napsiyah. Ia mengubah pergerakannya yang semula naik-turun menjadi bergerak maju-mundur serta memutar membetoti penisku membuat kepala penisku terasa seperti dibelai dan ditarik-tarik. Amat sangat ngilu sekali rasanya tetapi nikmatnya bukan alang kepalang.

Adegan itu berlangsung beberapa saat sebelum Bu Napsiyah mencapai orgasmenya yang kedua kali.

Aku dapat merasakan kontraksi otot-otot vaginanya yang semakin kuat berkedut. Begitu juga dengan otot-otot tubuh Bu Napsiyah yang mulai terasa menegang. Bu Napsiyah semakin kuat merangkulku.

Tidak lama setelah itu, ia menekan vaginanya ke bawah dengan kuat disertai dengan rangkulan yang kuat juga. Kedua pahanya juga mengepit badanku yang berada di bawahnya.

Bu Napsiyah tiba di puncak berahinya. Aku membiarkan ia untuk menikmati orgasmenya hingga orgasmenya reda.

Perlahan-lahan, aku merebahkan tubuhnya ke atas kasur lalu aku menindih tubuhnya. Sekali lagi aku mengambil posisi di antara celah kangkangnya. Aku membuka selangkangannya lalu membenamkan mukaku di belahan vaginanya.

Mulut dan lidahku terus menyerang vagina Bu Napsiyah. Bu Napsiyah mengerang keenakan, entah bagaimana perkaranya jika diketahui oleh Pak Yusman.

Aku tidak mau berlama-lama karena aku ingin segera meneruskan permainan hangat itu. Dengan pasti, aku menggiring batang penisku ke lubang vagina Bu Napsiyah yang sudah cukup basah dan licin. Tanpa menemui hambatan, batang penisku terus meluncur masuk ke dalam liang vagina Bu Napsiyah.

Bu Napsiyah mendesah. Aku mulai bergerak mendorong-tarik penisku dalam jepitan vaginanya. Perlahan pada awalnya tetapi semakin lama semakin cepat. Setiap hentakan aku lakukan dengan tempo terjaga sehingga Bu Napsiah tidak henti-henti melenguh dan mendesah.

Sesekali ia mengerang kecil.

Oh, nikmat sekali lubang vagina wanita yang pernah melahirkan 4 orang anak ini. Tidak rugi menyetubuhinya karena tubuhnya padat dan bahenol.

Aku mengubah posisiku dari semula berlutut menjadi tiarap di atas tubuh Bu Napsiyah. Tubuhnya yang cukup montok itu segera dipeluk lenganku dengan erat sekali. Tidak cukup dengan itu, jilatan, hisapan dan ciumanku turut singgah di leher dan mulut Bu Napsiyah. Bersamaan dengan genjotan penisku pada vagina Bu Napsiyah dengan penuh nafsu.

Selang beberapa menit, aku sudah merasakan mau ejakulasi. Aku mempercepat gerakan pompaanku.

Plakk... plokkk... plakk... plokkk... disertai jeritan manja Bu Napsiyah, "Aaahhh... aahhh... aahhh..." sambil semakin kuat ia memeluk dan dengan kuat aku menghisap lidahku.

Maka itu, kami sama-sama berpacu berahi dengan hebat. Dengan satu gerakan yang kuat, aku membenamkan batang penisku jauh ke dalam liang vagina Bu Napsiyah.

Kedua kakinya diangkat dan dilingkarkan di atas pantatku seolah menahan penisku jangan mundur dari jepitan vaginanya.

Bersamaan dengan itu juga, ujung tongkat wasiatku pun memuntahkan isinya yang kental dan hangat ke rahim Bu Napsiyah.

Crroottt... crrrooott... crroott... kakinya terus mengunci tubuhku. Crroottt... crroottt... crroott...

Aku menunggu hingga batang kelelakianku selesai memuntahkan semua isinya sebelum aku merebahkan tubuhku di sebelah tubuh Bu Napsiyah. Ia tersenyum memandangku.

Jauh di dalam hatiku, aku merasa bahwa aku telah jatuh cinta pada wanita yang masih bersuami dan mempunyai anak 4 ini.

Entah bagaimana perasaan Bu Napsiyah sendiri sewaktu suaminya Pak Yusman memboncengnya dengan sepeda motor dan Bu Napsiyah memeluk Pak Yusman dari belakang.
 
Hari kedua aku sudah tidak mempunyai kesulitan menjejali palkonku ke celah vagina Bu Napsiyah.

Herannya aku dengan Pak Yusman. Pak Yusman seolah-olah mengantarkan istrinya untuk kusetubuhi, karena setelah pasar bubar, ia akan mengantarkan istrinya ke rumahku, lalu ia pulang ke rumah, setelah 1 atau 2 jam baru ia datang menjemput.

Begitu setiap hari. Lubang vagina Bu Napsiyah mulai dari sempit sampai longgar dan becek kusetubuhi setiap hari, kadang sampai 2 kali sehari. Bagaimana kalau Pak Yusman mengetahuinya?

Bu Napsiyah sudah berani menjerit, atau berteriak sewaktu ia merasa nikmat saat dinding vaginanya dibesot-besot oleh batang kerasku, dan rahimnya kena sundul palkonku.

Tubuh bahehol itu memang sungguh nikmat untuk disetubuhi, tak bosan aku menyetubuhinya, tetap nikmat saat aku menyiram cairan hangatku ke rahimnya.

Hari Jumat, waktu itu Bu Napsiyah sudah pulang ke rumahnya setelah ia masak di rumahku kami makan, Yonuz temanku menelepon aku, "Bro, lo ada pekerjaan nggak hari Sabtu...?"

"Kalo nggak ada orderan masuk ya, gak ada, Bro... mau ngapain? Kasih gua kerjaan?" tanyaku.

"Iya, kalo lo sempat. Gua mau minta tolong sama lo anter nenek gua pergi reuni..."

"HA... nenek lo reuni... sudah nenek-nenek masih reuni?!" kataku mengejek. "Reuni SD atau reuni SMP nenek lo...?"

"Nanti lo tanya aja sendiri sama nenek gua kalo sudah ketemu..." jawab Yonuz.

Sabtu pagi, aku serahkan kunci rumahku pada Bu Napsiyah. Bu Napsiyah sudah kuanggap resmi menjadi istriku karena sudah beberapa kali melakukan persetubuhan denganku.

Kebutuhan seks Bu Napsiyah terpenuhi olehku dibandingkan ia bersetubuh dengan suaminya, Pak Yusman. Maka itu Bu Napsiyah ngomong sudah bosan, tetapi denganku tidak.

Sabtu pagi aku mengambil nenek Yonuz dulu di rumahnya. Ternyata nenek Yunuz yang hampir berusia 70 tahun itu tubuhnya tidak terlalu banyak digerogoti usia.

Rambutnya masih dicat pirang. Kuku kaki dan kuku tangannya masih diwarnai merah, hijau dan hitam.

Jari tangannya ada 3 atau empat yang disemati cincin bermata merah dan bening, belum lagi leher dan pergelangan tangannya. Jika ditotal-total dengan harga emas sekarang, bisa ratusan juta menempel di tubuh nenek Yonuz yang masih kelihatan padat berisi dan payudaranya juga masih ngaceng itu.

Kemudian aku harus mengambil lagi 2 orang teman nenek Yonuz yang juga sama-sama tuanya dengan nenek Yonuz.

Satu laki-laki dan satu perempuan. Mereka bukan suami istri, tetapi di tengah jalan tol Jagorawi, aku melihat dari kaca spion si nenek tidur begitu nikmat dalam pelukan si kakek.

Sewaktu sampai di rest area Sentul aku menghentikan mobilku untuk mereka bertiga melepaskan urine yang tertahan di kantong kencing mereka selama perjalanan.

Setelah mereka bertiga selesai ke toilet, aku melanjutkan perjalanan dan siap-siap menghadapi buka-tutup jalan menuju ke Puncak karena hari ini hari Sabtu.

Ternyata mobilku bisa lancar naik sampai di depan pasar Taman Safari, terus mobilku naik ke Puncak Pas. Puncak Pas mendung dan berkabut.
 
Aku berpikir setelah menurunkan nenek Yonuz dan kedua temannya itu di villa, aku bisa langsung balik ke Jakarta seperti sopir-sopir yang lain, besok hari Minggu baru dijemput.

Ternyata nenek Yonuz menahan aku, aku tidak boleh pulang. Aku dikasih handuk, dikasih sabun untuk mandi dan aku boleh makan sepuasnya apa yang rombongan mereka makan, terdiri dari 10 orang lansia, 6 wanita, dan 4 laki-laki.

Malamnya beberapa orang dari mereka berkaraoke dengan tubuh berbalut mantel karena cuaca malam itu cukup dingin.

Mereka kelihatannya dari keluarga kaya karena bisa makan enak dan menyewa sound sistim untuk berpesta, bahkan menjurus ke pesta sex, menurut penglihatanku.

Setelah berkaraoke agak malam mereka slow dance. Saat slow dance itu mereka berpelukan berpasang-pasangan dan berciuman. Hanya nenek Yonuz dan satu orang nenek lagi yang tidak melakukan.

Maka itu nenek Yonuz tidak bisa duduk lama di tempatnya. Ia keluar dari ruangan mencari aku rupanya.

Aku yang duduk di dalam mobil segera keluar dari mobil menghampiri nenek Yonuz. Sewaktu kudekati beliau, beliau memandang aku dengan mata sayu.

Kenapa sopir yang lain boleh pulang, sedangkan aku tidak diizinkan nenek Yonuz? Bisa kuduga karena ini; supaya aku bisa memenuhi kebutuhan seksnya.

Maka itu, segera kupeluk nenek Yonuz. Aku tidak memikirkan ia sudah tua, atau melawan aku, tetapi aku membayangkan payudaranya yang masih tegang dan bagian-bagian tubuh vitalnya juga belum banyak yang keriput.

Ternyata ia mau mengimbangi lumatan bibirku pada bibirnya, malahan ia lebih bernapsu dari aku. Lidahnya merangsek masuk ke mulutku.

"Kita masuk ke kamar saja, jangan di sini..." katanya.

Aku mengikuti permintaannya. Kami masuk ke kamar sudah hampir jam 10 malam sewaktu kulihat angka jam di hapeku, dan hapeku segera ku-silent-kan supaya telepon yang masuk ke hapeku tidak mengganggu aku bercinta dengan nenek Yonuz.

Belum pernah kunikmati vagina wanita setua begini, pasti lebih kenyal, lebih tebal dan lebih legit dan rasanya juga pasti lebih gurih jika dijilat.

Nenek Yonuz masuk ke kamar mandi. Supaya tidak membawa-bawa nama Yonuz, aku sebut saja nama nenek Yonus; Oma Hana.

Oma Hana keluar dari kamar mandi berbalut handuk. Melihatnya, aku segera melepaskan kaosku.

Kupeluk Oma Hana dengan dadaku yang telanjang lalu aku merobohkannya di tempat tidur yang empuk beralaskan seprei putih dan dingin.

Aku segera melumat bibirnya dan mencopot handuk yang melilit di tubuhnya.

Sewaktu Oma Hana sudah kutelanjangi... waww...
 
Sulit untuk kudeskripsikan. Sungguh aku terpesona melihat pemandangan di hadapanku itu.

Buah dada Oma Hana tidak seperti bayanganku. Kendor menggelayut bak kelelawar bergelantungan di atas pohon.

Aku menaksir ukurannya sekitar 36. Putingnya sebesar kuku ibu jari tanganku. Bentuk yang besar itu membuat buah dada Oma Hana tidak jatuh, melainkan tetap menonjol ke atas.

Di sekitar selangkangan Oma Hana kulihat tanpa sehelai rambutpun. Bentuk bibir vaginanya juga bagus dan rapi tidak menonjol seperti bibir vagina Bu Napsiyah yang bentuknya tebal seperti 2 kue serabi ditangkupkan.

Sambil aku memperhatikan tubuh telanjang Oma Hana, Oma Hana membuka celana jeansku, akan tetapi aku melepaskan semuanya untuk Oma Hana.

Melihat penisku, Oma Hana menelan ludah. Mungkin seperti ini penis yang dicari Oma Hana. Besar, berurat dan panjang.

Lalu aku berbaring membiarkan Oma Hana memasukkan penisku ke dalam mulutnya yang hangat.

Setiap kuluman dan setiap hisapan mulut Oma Hana yang masih energik itu menimbulkan sensasi nikmat yang terasa sampai di ubun-ubun kepalaku.

Ganti aku yang mengecup buah dada Oma Hana dan menjilat lembut di sekitar pangkal kedua buah dadanya. Sekali-kali aku menghisap gunung kembar miliknya.

Tubuh Oma Hana terangkat-angkat. Suara desahan dan napas Oma Hana menderu-deru bersamaan dengan bunyi napasku sendiri yang semakin tidak teratur karena napsu.

Bukan hanya buah dada Oma Hana saja yang mendapat rangsanganku tetapi seluruh bagian tubuhnya yang sudah terbuka menjadi sasaran kecupan, jilatan dan hisapanku.

Tubuh Oma Hana meliuk-liuk saat mendapat seranganku yang bertubi-tubi pada vaginanya.

“Hisap, ohh... hisap kelentit Oma, Her... oouuhhh....” Oma Hana merintih, meminta aku melakukan seperti yang diinginkannya.

Aku menuruti kehendaknya. Kelentitnya yang keras itu mulai kujilat sekelilingnya lalu aku hisap-hisap lembut. Aku mencium aroma harum disitu.

Lubang vaginanya yang seret kumasukkan 2 jariku menekannya hingga ke rahimnya yang sudah tidak elastis karena mungkin sudah lama tidak mendapat siraman hangatnya sperma.

Aku mengulangi beberapa kali sehingga Oma Hana mendesah-desah dan mengerang. Suara erangannya membuat aku semakin bernapsu.

Mulutku terus saja mendarat di kelentit Oma Hana yang licin. Aku mengecup lembut diselangi dengan jilatan-jilatan yang bernafsu.

Dari kelentit, aku beralih ke lubang vaginanya. Lubang vagina Oma Hana sudah terbuka lebar siap menerima palkonku untuk menguaknya lebih lebar.

Sebelum kumasukkan penisku ke lubang vagina Oma Hana, Oma Hana melumuri batang penisku dengan minyak zaitun supaya lubang vaginanya yang seret ketika kukocok, dinding vaginanya tidak menjadi aus dan lecet.

Bibir kami bertaut erat saat pelan kudorong palkonku masuk ke lubang vagina nenek temanku itu.

Lidah kami saling membelit. Kulumannya menjadi hangat, saling berlarutan untuk sekian waktu.. Bibir kami terlepas hanya untuk mengambil napas dan kembali bertaut lagi.

Penisku tidak berhenti-hentinya kukocok di luang vagina Oma Hana.

Kedua kakinya membelit pantatku.

Mulut kami masih saling berkuluman. Keinginanku hanya satu saja saat itu yaitu membawa Oma Hana mencapai puncak berahinya.

Dorongan napsu yang kuat membuat aku semakin tidak sabar.

Aku semakin cepat memompa lubang vagina Oma Hana. Akhirnya, "AAAAHHHH..."

CRROOTTTT... CRROOTTT... CRROOTTT... CRROOTTT.... CRROOTT.... CRROOOTTT....

Suasana dingin di Puncak menjadi hangat.

"Nikmat Her..." kata Oma Hana. "Kamu mau jadi pacar Oma? Kamu nggak usah bekerja, nanti Oma yang menghidupi kamu asal kamu bisa memuaskan Oma setiap malam.... sanggup...?"

Selesai Oma Hana membersihkan vaginanya, kami mengulangi lagi. Sampai jam 3 pagi kami baru bisa tidur bertelanjang bulat di bawah selimut.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd