III
“Hmpftttt….”
Gina begitu bersemangat membalas ciuman Andy. Bibir mereka berpagutan, saling mengisap, lidah pun tak mau ketinggalan. Saling memagut. Aku berdiri tidak jauh dari mereka yang sedang berciuman di sofa itu. Pemandangan yang dengan cepat bisa membuat gairahku bangkit. Campuran antara cemburu dan
horny. Cemburu melihat Gina begitu ganas berciuman dengan laki-laki lain, tapi sekaligus
horny melihat betapa liarnya dia.
Malam itu kami bertiga sudah ada dalam satu kamar. Kamar yang nyaman di hotel berbintang lima di Jakarta. Sesuai kesepakatan, malam itu kami akan mencoba sensasi baru dalam
threesome, double penetration seperti permintaan Gina.
Karena bukan orang baru lagi dalam kehidupan kami, Gina sudah bisa dengan santai menerima Andy. Ketika Andy masuk, dia sudah bisa langsung menyapa dan langsung cipika-cipiki. Santai, tidak seperti pertemuan pertama dulu. Gina memakai lingerie merah yang mini. Bagian atas tubuhnya tidak ditutupi bra lagi di balik lingerie itu, sementara bagian bawahnya ditutupi g-string. Seksi dan memancarkan aura binal yang elegan.
Aku duduk di sofa, Gina di sampingku bersandar di bahuku. Tanganku merangkul bahunya. Andy menarik kursi dan duduk di depan kami, sekitar dua meter. Kami mulai dengan obrolan santai, sampai kemudian mulai membahas apa yang akan kami lakukan.
“Mbak benar-benar yakin nih?” Tanya Andy pada Gina.
Gina tidak langsung menjawab, dia menatapku sambil tersenyum. Aku membalas tatapannya, “Yakin dong. Udah dibicarain lama koq sama dia,” jawabnya. Satu tangannya mengelus dadaku.
“Hahaha mantap!” Kata Andy setengah berseru. “Kalian memang pasangan luar biasa. Sangat
open minded,” lanjutnya.
Aku dan Gina saling berpandangan dan bertukar senyum. “Siapa dulu dong istrinya,” kataku.
Gina tersenyum lebar, lalu mendaratkan ciuman hangat di bibirku. Aku membalasnya hingga tahu-tahu kami sudah berciuman penuh semangat. Tanganku tidak tinggal diam, merayap ke dadanya dan meremas lembut payudaranya dari balik lingerie merah yang dia kenakan.
Andy tahu kalau ini pertanda permainan sudah akan dimulai. Dia berdiri, menggeser kursi kembali ke tempatnya lalu berlalu ke kamar mandi. Mungkin cuci-cuci dulu, pikirku. Aku dan Gina terus saja berciuman. Tenggelam dalam gulungan nafsu yang perlahan meninggi. Pertemuan bibir kami mengeluarkan suara berkecipak, lidah kami tak berhenti bertautan.
Andy keluar dari kamar mandi dan mendekati kami. Kulirik dia tinggal bercelana dalam. Ada benjolan di bagian depan celana dalamnya. Dia pasti sudah mulai
horny juga. Aku menghentikan ciumanku, wajah Gina merah padam didera birahi. Aku berdiri, membiarkan Andy mengambil tempatku. Sekarang gantian aku yang ke kamar mandi.
Sebelum masuk kamar mandi kuliat Andy mulai menjatuhkan ciuman ke leher Gina yang menegadah, membiarkan lehernya terekspos bebas. Gina mendesah, aku masuk ke kamar mandi. Aku hanya melepas kaos dan celana jinsku, membersihkan penisku dengan sabun dan lalu keluar hanya dengan celana dalam. Kulihat mereka berdua sudah semakin panas, sudah berciuman bibir. Di kesempatan pertama dulu, Gina belum nyaman berciuman bibir dengan Andy. Malam ini dia sudah berubah, dia liar dan binal.
Aku duduk di samping kiri Gina, menempatkannya berada di antara dua lelaki yang tinggal menyisakan celana dalam. Dia berhenti berciuman, duduk menghadap ke depan tapi kepalanya menghadap ke kiri, dia menatapku. Kami berciuman sejenak ketika aku mulai mengangkat lingerienya ke atas, meloloskannya dari tubuh mulusnya. Gina menurut.
Sekarang dia adalah wanita paruh baya dengan tubuh mulus yang tak tertutup kain lagi. Sepasang payudaranya menggantung bebas dengan puting yang mengeras. Aku kembali menciuminya sambil meremas lembut payudara kirinya. Andy tidak tinggal diam, bibirnya mendarat di payudara kanan Gina, mempermainkan putingnya dengan lidah dan bibir.
“Ahhhh….shhh,” Gina mendesah dan mendesis. Lidahku sekarang bermain di kuping kirinya. Tangannya meremas rambutku, satu lagi meremas rambut Andy. Dia dideras gelombang birahi yang bergulung-gulung, gelombang birahi yang hadir dari dua laki-laki setengah bugil di sampingnya. Satu menciumi kuping dan lehernya, satu lagi menciumi payudaranya. Bisa kurasakan tubuhnya bergetar menahan gelombang birahi itu.
Andy semakin liar. Dari payudara Gina, dia turun ke perut, membungkuk dan terus turun ke selangkangan dan paha dalam Gina. Aku sendiri bermain terus di lehernya, sambil sesekali berpindah ke pipi dan bibirnya. Tanganku meremas payudaranya, berpindah dari yang kanan ke kiri. Di payudara kanannya bisa kurasakan agak basah sisa jilatan Andy. Puting Gina semakin mengeras, penanda nafsunya semakin tinggi.
Sekarang Andy malah melepas g-string merah yang dipakai Gina, membuat vaginanya terekspos jelas. Lalu dia turun dari kursi, bersimpuh di depan Gina. Kulirik ke bawah, bibirnya mulai bermain di paha dalam Gina, dua tangannya membuka paha itu agar melebar. Gina semakin tidak karuan, mendesah dan mendesis tak tertahankan.
Ketika akhirnya kepala Andy berada tepat di antara dua pahanya, Gina tersentak. Sepertinya Andy memainkan lidahnya di vagina basah milik Gina. Mungkin dia menjilati klitorisnya, menggigit bibir vaginanya. Aku semakin terangsang. Kulepas dengan cepat celana dalamku, membuat penisku bebas sebebas-bebasnya.
Aku berlutut di tas sofa dengan penis yang berada tidak jauh dari wajah Gina. Matanya masih terpejam, kepalanya tengadah, tapi dia tahu kalau penisku mendekat ke wajahnya karena tangannya mengelus batang penisku.
“Hmpppfttt…” akhirnya mulutnya mengulum penisku. Memasukkannya ke dalam mulutnya, hanya setengah sebelum dia menarik kepalanya, lalu mendorongnya kembali.
“Ahhhh….” Aku mendesah, Gina selalu berhasil membuatku keenakan dengan gerakan mulut dan lidahnya di penisku. Gerakan yang semakin menggila seiring dengan perbuatan Andy di selangkangannya. Sesekali dia berhenti, menikmati kegiatan Andy, lalu melanjutkannya lagi. Bertiga kami digulung ombak birahi yang semakin meninggi.
Menit-menit berlalu dan kurasa sudah tiba saatnya untuk lanjut ke menu utama.
Aku turun dari sofa, memberi tanda pada Andy untuk berhenti. Lalu kutarik Gina agar berdiri dan mengikutiku ke ranjang. Andy juga ikut, tangannya meremas pantat Gina yang dibalas dengan senyum nakal.
Di ranjang aku tidur selonjoran, Gina memposisikan diri di atasku, duduk di selangkanganku seperti seorang yang menunggang kuda. Andy melepas celana dalamnya, dan berdiri di tepi ranjang. Gina masih sempat melirik ke penis Andy dan mengelusnya sejenak sebelum mulai menggerakkan pantatnya.
“Ohhhh yesss….ahhhh,” dia mendesah kencang, menikmati gesekan-gesekan penisku di dinding vaginanya. Akupun tak kalah kesetanan, gerakan Gina di posisi ini memang luar biasa enaknya.
Kulihat Andy sudah bersiap, memasang kondom di penisnya yang tegang lalu meraih gel yang sudah kami persiapkan. Dia ikut naik ke ranjang, memposisikan diri di belakang Gina. Mereka sempat berciuman perlahan sebelum Andy mendorong tubuh Gina agar doyong ke depan, membuat pantatnya agak terekspos.
Kulihat wajah Gina agak menegang, ini yang sudah diimpikannya selama beberapa waktu. Dua penis di dua lubangnya dalam waktu bersamaan. Sebentar lagi dia akan merasakan bagaimana rasanya. Dia doyong jauh ke depan, menjatuhkan kepalanya di samping kepalaku. Bisa kurasakan jantungnya berdegup kencang karena saat itu dadanya bersentuhan dengan dadaku.
Andy mengatur posisi, meneteskan gel di lubang anus Gina dan siap mencolok lubang itu dengan penisnya. Aku agak sedikit jengah ketika kurasakan pahaku sempat bergesekan dengan paha Andy. Tapi kucoba menepis rasa itu. Fokus! Fokus! Kataku dalam hati.
“Ackhhhh!!!” Gina menjerit tertahan, kepalanya tenggelam semakin dalam di samping wajahku.
Andy menghentikan gerakannya. Dia menatapku meminta persetujuan. Mungkin penisnya baru saja berusaha menembus liang dubur Gina, meninggalkan rasa sakit buat Gina.
“Sakit sayang?” Tanyaku.
Gina mengangguk, rambutnya berserakan di wajahku. Tapi kemudian dia bersuara, “Gak apa-apa, lanjutkan aja. Pelan-pelan,” kepalanya terangkat sedikit, menoleh ke belakang.
Sinyal positif itu diterima Andy. Dia menekan pantatnya semakin dalam, tubuh Gina menegang, sekarang kepalanya terangkat, tubuhnya agak menjauh dari tubuhku. Wajahnya meringis seperti menahan sakit. Kukecup pipinya, mencoba memberinya kekuatan.
Andy semakin mendorong pantatnya, Gina mengejang dan meringis lagi. Aku memperhatikan semua kejadian itu dengan pandangan kuatir. Kuatir Gina terlalu kesakitan. Tapi dia tidak memberi tanda untuk berhenti, jadi kupikir dia masih bisa menanggung rasa sakitnya. Kuciumi bibirnya dan dia membalas. Oke, ini tanda kalau semua baik-baik saja.
Sayangnya, semua kekuatiran itu membuat fokusku berubah. Kurasakan penisku tak lagi sekeras tadi, pelan-pelan melembek. Duh, bagaimana ini? Pikiran yang bercabang rupanya membuat birahiku agak mendingin.
Beruntung itu tidak terjadi pada Gina. Sekarang dia mulai mendesah ketika kurasa tubuhnya bergerak-gerak maju-mundur. Mungkin Andy sudah menggerakkan pantatnya maju-mundur, membuat penisnya keluar masuk lubang anus Gina.
“Ohhh yesss…ahh, enakkhh..” Gina mendesah keenakan.
“Enak sayang?” Aku ingin memastikan.
“Enak Pah…ah, goyang Pah, goyang…”
Oke, dia sudah merasakan nikmatnya dianal oleh Andy. Sekarang berarti tugasku untuk mempermainkan penisku yang agak lembek tertanam di vaginanya. Aku berusaha bergerak, mengangkat pantatku, lalu menurunkannya. Dengan posisi seperti itu terus terang aku agak kesulitan bergerak ditindih oleh Gina yang terus bergerak. Akhirnya aku diam saja, membiarkan penisku di dalam vaginanya. Aku hanya bisa memberi rangsangan pada payudaranya, mengisap putingnya yang sekarang bergantung di atas wajahku, menjilati dan meremasnya. Gerakan Gina sedikit banyaknya juga membuat penisku bergerak di dalam vaginanya.
“Ohhhh…Pahhh! Ssshhh…ahhhhh…” Dia meracau tidak jelas. Sepertinya dia benar-benar merasakan nikmat yang tak tertahankan.
Berbeda dengan Gina, aku yang susah bergerak justru merasa tanggung. Penisku tidak bisa bergerak bebas di dalam vaginanya, gesekannya kurang kerasa meski akhirnya penisku kembali mengeras. Tapi tidak sesempurna tadi. Aku mencoba menikmati pemandangan di depanku, payudara Gina dan desahannya yang tidak berhenti itu. Kulirik Andy sekarang penuh semangat mendorong pantatnya maju-mundur. Sesekali kepalanya menegadah dengan mata terpejam.
“Aduhhh!” Gina mengaduh, wajahnya kulihat meringis. Kurasa dia kesakitan, bahkan mungkin sangat kesakitan. Andy berhenti sejenak, menebak apa yang dirasakan Gina. Lalu Gina terdiam, mengatur napas hingga normal kembali. Andy mengartikan itu sebagai tanda untuk kembali meneruskan genjotannya, tapi ternyata salah.
Gina mencegahnya, “Duh, stop Ndy! Stop! Aduh, sakit,”
Andy tahu diri, dia menarik penisnya keluar dari anus Gina. Gina sempat mengejang ketika penis itu terlepas dari anusnya. Mungkin karena birahinya sudah lepas hingga sekarang dia bisa merasakan sakit di anusnya. Suasana sempat agak canggung sejenak, aku tidak tahu harus bagaimana. Di dalam vaginanya, penisku makin mengecil.
Gina berguling ke sampingku, mengatur napas sejenak sebelum berkata, “Dari depan aja Ndy,”
Oh dia mungkin merasa bersalah pada Andy dan karenanya membiarkan Andy untuk melanjutkan. Andy memang dalam keadaan tanggung, penisnya masih tegak menantang, berbeda dengan penisku yang sekarang mengecil. Wajahnya sumringah mendengar kata Gina.
Dia melepas kondom di penisnya, lalu dengan cepat menggantinya dengan kondom baru. Gina mengangkat kedua kakinya, menekuk lututnya hingga rapat ke dadanya. Andy mengambil posisi di antara dua paha Gina. Aku bergeser menciumi wajah Gina yang segera dibalas dengan ciuman di bibir oleh Gina.
“Ohhh..!” Gina mengaduh. Sekarang penis Andy sudah masuk ke dalam vaginanya, lalu bergerak keluar-masuk dengan lancarnya. Aku menciumi Gina, turun ke lehernya, turun ke payudaranya, bermain di putingnya yang tegak menantang. Gina tengadah, tubuhnya agak melengkung, mulutnya tidak berhenti mengeluarkan desahan.
Dengan cepat dia orgasme kembali. Gelombang orgasme sebelumnya nampaknya masih tersisa sehingga mudah saja dia kembali ke puncak. Andy pun hampir bersamaan meraih orgasmenya. Mereka berdua tergulung-gulung ombak orgasme, mengejang, mendesah, menggeram, lalu layu kecapaian.
Andy mencabut penisnya, sekarang giliranku. Penisku sudah tegang sedari tadi dan kurasa akupun tak butuh lama untuk sampai di puncak orgasme. Gina yang masih lemah menempatkan dua kakinya di bahuku, pantatnya agak terangkat. Penisku menerobos ke vagina yang basah dan hangat milik Gina. pelan tapi pasti. Gina masih terkulai dengan mata tertutup. Andy sudah turun dari ranjang dan sekarang duduk di sofa.
Seperti yang kuduga. Tidak butuh waktu lama sebelum aku juga mencapai orgasme. Tak sampai lima menit. Aku mengejang, tersentak beberapa kali dan kurasakan spermaku menyembur di dalam vagina Gina. Aku jatuh kelelahan di sampingnya dengan napas yang memburu. Untuk beberapa detik kurasakan sekelilingku gelap. Untung tidak lama.
IV
“Oke, ternyata
double penetration tidak seenak yang dibayangkan,” kata Gina.
“
Indeed,” sahutku.
Lalu kami bertiga tertawa bersama. Iya, kami bertiga; aku, Gina dan Andy. Selepas bercinta kami membersihkan diri lalu duduk bersama seperti di awal kedatangan Andy. Aku dan Gina di sofa, Andy di kursi. Bedanya, Gina tidak lagi ber-lingerie, tapi menutup tubuhnya dengan handuk. Aku dan Andy masih bertelanjang dada dengan tubuh yang hanya ditutupi celana dalam.
“Terus terang aku agak geli pas pahaku bergesekan dengan pahamu bro,” kata Andy sambil tertawa. Aku juga terbahak, Gina juga.
“Hahahaha. Terus terang aku juga geli bro,”
“Yaa untung cuma geli, kalau akhirnya suka gimana? Aku bisa-bisa dianggurin dong,” kata Gina sambil terbahak.
“Sialan!“ Aku mencubit pipinya. Lalu tertawa bersamaan.
“Jijay!” Andy menimpali. Dia juga tertawa.
Bertiga kami begitu santai membahas adegan tadi. Ternyata,
double penetration seperti yang diimpikan Gina tidak berjalan mulus. Aku merasa aneh ketika berada di posisi yang membuatku sulit bergerak, apalagi membayangkan ada seorang pria bugil yang berada begitu dekat dengan tubuhku, bahkan bergesekan dengan tubuhku. Gina pun merasa kurang nyaman, terlalu sakit katanya. Mungkin hanya Andy yang merasa nyaman, karena dia bebas bergerak dan bebas menikmati lubang anal Gina yang sempit.
Setidaknya untuk saat ini aku dan Gina sepakat untuk tidak lagi melakukan
double penetration. Tidak seenak yang dibayangkan ternyata, setidaknya dari pengalaman kami ini.
Kami memutuskan untuk menikmati
threesome seperti yang sebelumnya saja, tanpa harus mengisi dua lubang Gina secara bersamaan. Dan kami melakukannya sekali lagi. Satu ronde bersama Andy, dengan posisi bergantian. Andy menusuk vagina Gina, aku yang dioral. Kemudian berganti, aku yang menusuk vagina, Andy yang dioral.
Gina orgasme tiga kali, aku dan Andy masing-masing sekali.
Hari sudah berganti ketika kami mengakhiri permainan malam itu. Andy pamit meninggalkan kami. Dia masih sempat cipika-cipiki dengan Gina sebelum menghilang di balik pintu. Selepas kepergian Andy, aku memeluk Gina dengan hangat. Menciumi bibirnya dengan lembut, lalu tertawa bersama dengan keras.
Kami tertawa, menertawakan
double penetration yang tak sukses itu. Yah, setidaknya kami sudah mencoba meski hasilnya tidak seperti yang dibayangkan. Aku bahagia, dan Gina pun mengaku bahagia. Bahagia karena kami bisa menjadi tim yang solid. Mencoba sesuatu bersama-sama, tanpa penghakiman, tanpa sungkan.
Kami tidur berpelukan. Siap untuk petualangan berikutnya. Entah apa.