Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Berbagi Kehangatan Bersama Adik Ipar

Piala Bergilir 2

Aku terbangun akibat ketukan pelan di dinding kamar. Itu Amir. Syukurlah dia baru sekarang mengirim kode yang telah kami sepakati itu yang berarti belum lama dia di luar sana, gumamku. Tapi aku harus bagaimana? Suamiku masih tertidur disampingku. Aku tidak bisa bergerak apalagi turun dari tempat tidur karena suamiku rapat memelukku.

Ketika kembali terdengar ketukan itu, dengan hati-hati aku angkat tangan yang melingkar di tubuhku. Alhamdulillah, akhirnya aku terbebas dari pelukannya. Setelah menunggu sebentar, menanti respon dari suamiku, duduk aku. Dengan jari-jari tangan, aku rapikan rambut panjangku dan mengikatnya. Kutatap suamiku yang masih mendengkur. Meskipun tubuhnya mulai gemuk, suamiku terbilang tampan. Parasnya baby face. Imut-imut kata anak sekarang. Baik orangnya, ringan tangan dalam memberi bantuan, dan tidak pernah bersikap keras, apalagi kasar. Pokoknya tidak salah aku memilihnya menjadi suamiku dan aku menyayanginya. Hanya sayangnya saat ini ada orang lain yang bersaing dengan dia untuk mengisi malam-malam sepiku dan aku pun dengan sukacita menerimanya.

Agar suamiku tidak terbangun, pelan-pelan aku beranjak turun dari tempat tidur. Setelah mengenakan daster, sarung yang menggeletak di lantai aku ambil dan aku tutupkan di atas tubuh telanjang suamiku.

Kembali terdengar ketukan. Lebih keras. Untung suamiku tidak terbangun dari tidurnya. Biasanya, kalau aku sendiri di kamar tidur, setiap Amir mengetuk dinding kamar tidurku, aku akan balas mengetuk kembali dinding kamar tidurku. Tapi kini ada suamiku di sini.

"E-hem!!"Sengaja aku berdehem agar Amir tahu aku mendengar ketukan darinya.

Tapi,"Jam berapa sekarang?"

Terkejut sangat aku. Kutolehkan kepala ke belakang dan suamiku sudah duduk di tempat tidur. Syukur alhamdulillah aku belum menemui Amir. Suamiku pasti akan mencariku kalau aku tidak berada di kamar tidur. Tidak dapat aku bayangkan bagaimana kejadiannya bila suamiku menemukan aku bersama lelaki lain di tengah malam buta, melihat aku, istrinya, berada dalam pelukan lelaki lain.

Kuarahkan mata ke jam dinding, lalu,"Jam satu."

"Aku ke warung dulu."Suamiku duduk di sisi tempat tidur. Dikenakannya kaosnya.

"Tadi mau dibangunkan, tapi nyenyak sekali Akang tidurnya,"ucapku basa-basi.

Suamiku turun dari tempat tidur. Setelah menyarungkan selangkangannya yang telanjang, suamiku mengambil aku dalam pelukannya. Dengan nakal suamiku meremas pantatku. Lalu berciuman kami. Lama dan hangat ciuman kami. Meskipun pikiranku telah beralih kepada Amir, tapi aku harus tetap hangat melayani suamiku.

Suamiku melepaskan bibirku, melepaskan pelukannya. Dia tatap aku lembut, lalu,"Makasih."

Ah, itulah keistimewaan suamiku. Sejak kali pertama dia renggut keperawananku pada malam pertama kami, dia selalu mengucapkan terima kasih setiap selesai menggauli aku. Suamiku tidak romantis, tapi aku terkadang berfikir apakah para lelaki lain juga mengucapkan terima kasih kepada pasangannya setiap selesai berhubungan intim? Soalnya Amir tidak pernah melakukan itu.

Kuikuti suamiku yang berjalan keluar dari kamar tidur kami. Ruang tengah temaram. Suamiku membuka pintu depan. Lantas melangkah dia menjauhi aku. Kembali ke warung.

Sehilangnya bayangan suamiku dari pandangan, cepat kututup pintu luar dan secepatnya pula aku kembali ke kamar tidur. Aku takut Amir marah sebab terlalu lama aku mengabaikan dia. Terlalu lama dia berada di luar sana. Pasti sudah kedinginan dia. Pasti sudah tak terhitung lagi nyamuk mati akibat menghisap darahnya.

Keluar aku dari kamar tidur. Setelah menyalakan lampu ruang belakang, aku melangkah ke dapur untuk membuka pintu. Belum sampai langkahku tiba di ambang pintu, pintu telah membuka. Amir, sang kekasih, pujaan hatiku, berdiri. Melangkah masuk dia. Mendekati aku. Setiba dia didepanku, kupeluk dia. Gemetar tubuhnya. Kedinginan dia. Maka aku eratkan pelukanku agar hangatnya tubuhku menjalar ke tubuhnya.

Mendongak aku untuk mendapati wajahnya yang menjulang."Lama, ya, menunggunya?"

"Yang kedua harus mengalah, Ceu,"jawabnya sambil mengelus rambutku.

Tertawa aku. Kueratkan kembali pelukanku. Lega karena Amir tidak marah karena aku lebih memprioritaskan suamiku.

"Jangan di sini,"ucapku karena ditariknya dasterku meninggi.

"Sudah tidak tahan lagi, Ceu."

Hihihi... tertawa aku. Lalu, aku rangkul pinggangnya. Melangkah kami menuju kamar tidurku.

"Busyet! Berantakan sekali kasurnya,"komentarnya.

Tersenyum malu aku. Aku sendiri baru menyadari betapa berantakannya tempat tidurku. Seprai yang semrawut, bantal-bantal yang bergeletak tidak beraturan, serta beha dan celana dalam yang terlantar begitu saja di lantai kayu.

"Kayaknya Eceu menikmati sekali permainan Akang, ya?"Ada nada cemburu di suaranya.

"Kok tahu? Mengintip, ya?"Dengan nada bercanda, aku bertanya.

"Ya iyalah,"jawabnya.

Kutatap dia."Mengintip lewat mana?"

"Tadi, ketika mau mengetuk dinding kamar, aku mendengar suara-suara mencurigakan dari dalam kamar tidur Eceu,"ceritanya."Karena penasaran, aku masuk ke kolong rumah karena aku ingat ada lubang tempat buang sampah di lantai kamar."

Karena tempat tinggal kami berada di daerah aliran Sungai Musi, rumah-rumahnya berupa rumah panggung dan terbangun dari kayu sebagai antisipasi pasang surut air sungai Musi. Apabila air sungai Musi tidak naik, kolong rumah kami menjadi kering dan akan menjadi arena permainan anak-anak. Dari sanalah Amir sepertinya mengintip aku saat disetubuhi suamiku.

"Melalui lubang tadi, aku mengintip ke dalam,"sambungnya,"Di dalam kamar, aku lihat Eceu yang menungging sedang disodok-sodok dari arah belakang. Rupanya suara desahan Eceu yang aku dengar tadi."

"Ceritanya Amir cemburu nih?"tanyaku sambil mengelus dadanya.

"Siapa sih yang tidak cemburu melihat orang yang dikasihinya sedang ditunggangi orang lain, meskipun itu suaminya sendiri, Sayang."Amir mencubit pelan hidungku."Lelaki mana yang tidak panas hatinya melihat orang yang dikasihinya pasrah saja ditindih oleh lelaki lain. Pakai acara desah-mendesah segala."

Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum. Lalu aku tarik kaosnya meninggi. Amir membantu aku untuk melepaskan kaos yang dipakainya. Jemariku mengelus perutnya dan memainkan puting susunya. Menggeliat dia. Rambut panjangku yang jatuh di punggungku dia elus-elus ketika aku jilati dadanya, ketika bibirku mencumbui puting susunya.

Jam dari ruang tengah berdentang. Aku lepaskan pelukanku. Mundur aku satu langkah, lalu mendongak untuk mendapati wajahnya. Tersenyum dia dan aku pun tersenyum. Kemudian dibuatnya daster yang aku kenakan melorot. Tubuh telanjangku menjadi santapan mata liar itu.

"Banyak sekali cupangannya,"ucap Amir dengan pandangan mengarah ke kedua payudara milikku.

Astaga, aku pun tidak menyadari kalau lereng gunung milikku terdapat tanda-tanda merah, hasil karya suamiku ketika kami bersetubuh tadi. Kututupi kedua payudara dengan telapak tangan.

"Berarti malam ini aku boleh mencupang Eceu, dong?"Dengan jarinya, dia sentuh tanda-tanda merah yang ada di payudaraku.

Kucubit pinggang Amir dan malu-malu aku tersenyum. Memang selama ini aku selalu mewanti-wanti Amir untuk tidak meninggalkan jejak di tubuhku demi tetap terjaganya kerahasiaan hubungan kami.

"Kalau aku menambah lima cupangan lagi, suami Eceu pasti tidak tahu,"genit dia berucap dan aku semakin tersipu.

"Coba lihat lehernya, Ceu."Amir mengambil daguku dan dia palingkan kepalaku memiring."Tuh, kan ada juga cupangan di leher Eceu."

Spontan aku tarik kepalaku dari tangannya. Menjauh aku.

"Jangan-jangan di memek Eceu ada juga cupangnya?"Dengan wajah curiga, dia menatap aku.

"Hei,"teriakku sembari menutupi selangkangan ketika Amir merunduk.

Hahaha! Pecah tawanya. Aku cubit pinggangnya hingga menjerit dia.

"Jangan keras-keras. Nanti ada yang dengar,"ucapku sambil menatap dia yang mengusap-usap pinggang yang tadi tercubit.

"Sakit, ya?"Aku usap-usap pinggangnya."Maaf, ya. Kekencangan aku mencubitnya."

"Kalau Eceu yang mencubit, tidak sakit, kok,"ucapnya kemudian,"Tadi cuma terkejut saja."

Tertawa aku. Aku peluk dia. Kubiarkan dua payudaraku menempel erat di dadanya. Dia elus punggungku, dia remas belahan pantatku, dan diciuminya rambutku.

"Kita naik tempat tidur,"ucap Amir setelah melepaskan pelukannya.

Naik aku ke atas tempat tidur. Kurapikan bantal-bantal yang berserak, kupasang kembali seprai menutupi kasur, dan, plok! Dari arah belakang pantatku ada yang menepuk. Aku menoleh dan kutemui Amir sudah bersimpuh dibelakangku. Sudah telanjang dia.

Aku lanjutkan merapikan tempat tidur. Kini dua belahan pantatku yang telanjang dia usap gemas. Geli ketika bibir Amir menempel di pantatku. Dia cium, dia jilat, dan dia usel-uselkan bibirnya.

"Hah!"Menjerit tertahan aku ketika pantatku dia gigit.

Lalu, didorongnya aku rebah ke samping. Terlentang aku. Dia lipat kedua kakiku. Dia kuakkan lebar kedua pahaku, lalu didatanginya selangkanganku. Menjengit aku karena bibirnya menyedot lubang kemaluanku. Pun lidahnya menjilatinya dan terkadang menusukkannya ke lubang kemaluanku. Tidak lupa dikutilinya kelentit yang bersembunyi dibelahan memanjang itu, membuat aku kepanasan.

Tapi Amir meninggalkan kemaluanku. Kutatap dia yang bersimpuh di antara dua kakiku yang masih mengangkang lebar. Wajahnya buram.

Dengan tangan menggenggam kontolnya, dia keluar dari apitan dua kakiku. Bergeser dia dan beranjak menaiki aku. Batang daging itu berayun-ayun di atas wajahku. Tapi kali ini sedikit berbeda dalam pandanganku. Batang daging itu terlihat mengerucut dan kecil. Maka aku ambil batang daging itu. Lembut daging itu dalam genggamanku. Meskipun tetap hangat, tapi tidak terasa kegagahannya.

"Ah!"desahku karena bibir Amir menimpa lubang kemaluanku. Terus disedot-sedotnya lubang kemaluanku itu. Sesekali lidahnya masuk menyelusup ke dalamnya atau memainkan bibir kemaluan.

Ketika aku menikmati kemaluanku dinikmati oleh Amir, kontol Amir yang berada dalam genggaman, aku remas-remas. Ingin aku tertawa, tapi aku tahan karena batang daging itu tetap loyo meskipun telah aku kulum, aku sedot-sedot dalam banyak gaya.

Akhirnya cumbuan Amir di kemaluanku terhenti. Dia tinggalkan kemaluanku. Masih loyo kontolnya saat tertarik lepas dari dalam mulutku. Turun dia dari atas tubuhku. Duduk bersila dia disampingku yang masih berbaring. Wajahnya tetap muram.

Dalam diam, aku menelungkup, menghadapkan badan ke arahnya. Tanganku jatuh di pahanya, mengelusinya. Ketika dia memberikan senyumnya, merayap aku mendekati dia. Aku letakkan kepalaku di pahanya dan dia belai rambutku.

Didepan mataku, batang daging itu masih mengerucut, tetap lemah terkulai. Kasihan sekali kekasihku malam ini. Galau sudah pasti karena gagal menunjukkan keperkasaannya. Pernah aku dengar jika kontol seorang lelaki tidak setiap saat perkasa. Ada saatnya, ketika hendak berhubungan seks dengan pasangannya, senjata seorang lelaki tidak bisa bangun. Tidak seperti seorang perempuan yang selalu mampu melayani pasangannya meskipun dia tidak siap melakukannya. Dan malam ini sepertinya Amir mengalaminya. Meskipun dia sudah berusaha membangunkan burungnya, meskipun aku pun membantunya, tapi sampai saat ini masih gagal.

Maka, dalam diam, jemari tanganku menggelitiki pahanya dan dia membiarkannya. Karena dia biarkan tanganku yang meraih pinggangnya, maka aku cium sekilas paha itu. Kegelian dia saat aku cium lagi pahanya, kali ini lebih lama dan lebih dalam. Sembari itu, jemari tanganku merayap menggapai batang daging itu. Hangat tetapi tetap lembek. Tidak pula ada perubahan ketika aku remas.

Bergeser aku mendekati selangkangannya. Kudorong berbaring dia, lalu kudatangi kontolnya. Kecil dan pendek daging itu, tapi tetap aku lahap. Kusedot dan kukulum, kumajumundurkan mulutku untuk menelan kontol itu dan Amir mendesah nikmat.

Terus aku oral kemaluannya, tapi akhirnya dia dorong kepalaku menjauh, hingga terlepas kontolnya dari mulutku. Amir beranjak turun dari kasur, meninggalkan aku yang masih terbaring di tempat tidur.

"Bikinkan aku kopi,"ucapnya setelah menyarungi selangkangannya dengan sarung suamiku.

Bangkit aku. Aku pun turun menyusul dia yang sudah melangkah keluar kamar. Setelah mengenakan daster dan menggelung rambut panjangku, aku menyusul keluar kamar. Kudapati dia yang duduk di kursi meja makan. Masih muram wajahnya.

"Amir 'kan tidak suka kopi?"tanyaku setelah berada disampingnya.

"Aku mau kopi buatan Eceu malam ini,"yakinnya.

Tapi, sebelum aku beranjak untuk membuat kopi, dia raih tanganku, memaksa aku diam menatap dia. Sambil tetap memegang tanganku, dia dorong kursi yang didudukinya ke belakang, lalu diambilnya aku dan didudukkannya aku dipangkuannya.

"Katanya mau buat kopi?"protesku.

Dia letakkan jari telunjuknya ke mulutnya, menyuruh aku diam."Aku mau cerita."

Maka aku pun diam. Sambil menatap dia, menunggu dia mulai bercerita, aku lingkarkan tangan kananku ke lehernya, merapatkan payudaraku menempel di lengannya. Aku mainkan dagunya yang tanpa bulu itu.

"Aku pasti kena karma, Ceu,"dia mulai bercerita.

"Karma dari mana?"Kupandang dia heran.

Dicubitnya pelan hidungku, lalu,"Gara-gara mengintip Eceu sedang disetubuhi Akang tadi."

Tersenyum aku. Kuelus pipinya."Asalkan Amir yang mengintipnya, saya tidak keberatan. Saya ikhlas kok."

Dia pandang aku. Tersenyum dia dan diciumnya pada pipiku."Gara-gara mendengar desahan Eceu, aku jadi terangsang. Apalagi ketika melihat Eceu yang sepertinya menikmati saat disodok-sodok, makin mengeras burungku."

Tersipu aku dan kucubit dadanya. Dia rangkul aku. Diciumnya rambutku.

"Terus lanjutannya bagaimana?"tanyaku penasaran.

"Kolorku jadi sempit. Sakit sekali. Jadi aku keluarkan burungku dari kolor. Lega."

Hihihi... Tertawa aku.

"Karena terus menonton Eceu yang dientoti terus, burungku makin liar, Ceu. Bingung aku jadinya."

"Terus?"

"Biar tidak terbang, burungku itu aku pegang. Eh, burungnya tambah liar. Berontak dia dalam genggamanku. Jadi, sambil terus menonton Eceu yang terus mendesah-desah, aku pegang kuat-kuat burungku. Eh, tak lama kemudian ada yang keluar dari mulut burungku, Ceu."

"Amir mengocoknya, ya?"

Amir mengangguk.

"Sampai keluar maninya?"

Kembali dia mengangguk.

"Iiih..."Sungguh jijik aku membayangkannya. Apakah semua lelaki tidak bisa menahan konaknya? Apakah semua lelaki harus beronani untuk melampiaskan hasratnya?

"Tapi kini sudah bersih, Ceu. Sudah cuci tangan. Harum."Dia sodorkan tangannya ke wajahku yang spontan bergerak mundur.

"Sudah, ah. Saya mau bikin kopi."Turun aku dari pangkuannya.

Baru beberapa langkah menjauh, Amir memanggilku,"Ceu, tunggu!"

Berhenti aku dan berbalik untuk menghadap ke arahnya. Kutatap dia.

"Bajunya dibuka.'Ada senyum di wajah itu.

"Apa?"Tidak faham aku.

"Eceu buka baju,"ulangnya lebih tegas.

"Saya mau bikin kopi, bukan mau mandi,"balasku.

"Eceu mau menyenangkan aku malam ini?"tanyanya pelan.

Kupaksakan diri ini tersenyum. Mengalah aku. Kalau untuk menyenangkan sang kekasih, apa pun akan aku lakukan.

"Di sini?"tanyaku ragu-ragu.

Mengangguk dia. Tersenyum dia. Dia tegakkan badannya yang duduk di kursi itu.

Meskipun di tengah malam dan berada di dalam rumahku sendiri, ada rasa ragu saat aku mulai menurunkan dasterku. Bergairah mata itu saat tubuhku menjadi telanjang. Meskipun hanya ada kami berdua di ruang belakang rumahku, meskipun sudah sering aku bertelanjang didepannya, rasa malu menyergap aku. Spontan aku tutupi payudaraku, begitu pula dengan selangkanganku. Kualihkan pandangan ke pintu kamar yang membuka, takut ada mata lain yang ikut menikmati tubuh telanjangku.

"Tangannya di lepas, Ceu,"perintahnya pelan.

Maka aku turunkan kedua tanganku. Di bawah terangnya cahaya lampu neon, aku biarkan tubuh telanjangku dia nikmati. Perlahan aku mulai menggoyang-goyangkan badan. Mulai menari aku. Penuh birahi Amir menikmati tarianku. Dia yang masih terduduk di kursi, menurunkan kain sarungnya. Tangannya menggenggam kontolnya. Dia mulai mengocok-ocok batang bulat panjang itu dan aku mulai mengangkat kedua tanganku. Di ruang belakang rumahku, tanpa iringan musik, aku bergerak bak penari jaipong, tarian sensual ala masyarakat Sunda.

"Sudah, ah."Aku menghentikan tarianku."Kapan bikin kopinya kalau menari terus."

Hehehe... Tertawa dia. Tangannya masih memainkan kontolnya.

Kutuju dapur. Setelah menyalakan kompor minyak tanah, aku ambil teko. Kuisi teko tadi dengan air dan menaruhnya di atas kompor. Selagi menunggu air masak, kuambil cangkir dari rak piring dan meletakkannya di dekat kompor. Kubuka lemari makan dan kuambil dua buah stoples. Kutaruh stoples-stoples tadi disamping cangkir. Dari kedua stoples, aku isikan kopi dua sendok dan satu sendok gula putih ke dalam cangkir. Sekarang tinggal menunggu air menjadi masak.

Dari ventilasi dapur, angin malam menghempas kencang, menerpa tubuh telanjangku. Dingin. Maka mendekat aku ke kompor. Kuulurkan tangan agar dapat merasakan kehangatannya.

"Hei!"Sedikit keras aku berteriak. Terkejut karena ada yang memelukku. Amir sialan, rutukku dalam hati.

Dari arah belakangku, Amir mengeratkan pelukannya. Hangat tubuhnya mulai menyebar di tubuhku. Saat aku biarkan dia ciumi aku, dapat aku rasakan ada benda keras menempel di pantatku. Sudah bangun rupanya kontol Amir. Semoga sudah kembali perkasa benda itu, gumamku dalam hati.

Kehangatan itu pudar ketika Amir melepaskan pelukannya. Dipegangnya pundakku dan dia dorong aku menyandar di dinding dapur. Dengan penuh kebanggaan Amir mengacungkan kontolnya yang kembali memanjang, sedikit berbelok ke kiri. Diam aku menonton kepala kontol itu menempel di perutku, membiarkan dia gesek-gesekkan kontolnya.

"Burungku sudah bisa bangun, Ceu,"ucapnya senang dan aku hanya tersenyum menanggapinya. Ikut senang.

Dia ambil paha kiriku dan mengangkatnya. Ketika tubuhku oleng, segera dua tanganku mencengkeram pinggangnya.

"Aduh, sakit,"teriakku tertahan karena dengan kasar Amir menusukkan kontolnya ke lubang kemaluanku."Pelan-pelan."

Amir menahan tusukan kontolnya. Lalu,"Maaf, Ceu. Aku takut burungnya letoy lagi."

Maka, di ruang dapur yang sempit itu, di antara peralatan masak yang bergelantungan, dengan bersandar di dinding dapur, aku pejamkan mata untuk menikmati rasa sakit yang menerpa kemaluanku akibat tusukan kontol lelaki itu. Tapi, syukur alhamdulillah, mungkin karena kemaluanku mulai terolesi cairan, rasa sakit itu mulai menghilang. Tusukan Amir di lubang kemaluanku menjadi lancar dan birahi mulai menguasaiku.

Suara nyaring terdengar dari teko yang aku taruh di atas kompor sebagai tanda air mulai masak.

"Airnya masak, Amir,"ucapku disela kenikmatan yang aku rasakan.

""Biarkan saja,"jawabnya sambil tetap memajumundurkan kontolnya di lubang kemaluan.

"Nanti ada yang mendengar,"ucapku lagi.

Dengan kaki kiriku yang tetap terangkat meninggi, dengan kontolnya yang masih menancap dalam lubang kemaluanku, Amir mendekap aku, menarik aku dari dinding. Melangkah tergagap kami untuk kemudian dia mematikan api kompor. Setelah itu, dia lanjutkan menggagahiku."Ah..ah..ah.."

"Awas kena tekonya,"ingatku kemudian di sela gerak tubuh kami yang menyatu berirama, penuh birahi.

Dibawanya aku menjauhi kompor. Kembali disandarkannya aku. Kembali dia maju mundurkan kontolnya yang memaksa aku mendesah-desah. Beringas sekali dia menggagahi aku dan aku menikmatinya."Ah-uh-ah .."

"Aku mau keluar,"samar aku dengar suara Amir di telingaku. Berbarengan dengan itu, kontol Amir tambah cepat menusuki lubang kemaluanku. Kuat tangannya memegangi paha kiriku dan aku pun kuat-kuat melingkarkan tanganku di lehernya.

Heg! Amir menusukkan dalam-dalam kontolnya dan kemudian membiarkannya berada di dalam kemaluanku. Dapat kurasakan batang bulat panjang itu berdenyut-denyut dan akhirnya ada air hangat memercik di dalamnya.

Begitu percikan-percikan air hangat itu berhenti, Amir menyadarkan dirinya ke tubuhku yang bersandar lemah di dinding dapur. Terlepas kaki kiriku dari pegangannya tangannya. Terlepas pula kontol itu dari lubang kemaluanku. Dapat aku rasakan detak jantungnya di pipiku. Beberapa titik keringat jatuh di kulitku.

Terjatuh Amir di lantai dapur dan aku pun menyusul. Duduk kami di antara sempitnya perabotan memasak, melupakan aroma minyak tanah yang menyengat hidung, tapi aku bahagia. Senang saja melihat tampang Amir yang sumringah.

"Eceu puaskan?tanyanya bersemangat."Aku masih jantan, kan?"

Dan aku mengangguk. Meskipun hanya sebentar dia menggarap aku malam ini dan hanya dengan satu gaya, tapi aku senang karena mampu membuat dia bahagia. Biarlah aku mengalah malam ini. Semoga saja dia mengajak aku pergi siang nanti, harapku, agar birahi ini tertuntaskan.

"Jadi bikin kopinya?"tanyaku memecah keheningan kami.

"Eceu 'kan tahu aku tidak suka kopi?"dia balik bertanya.

"Bukannya Amir minta kopi tadi?"kesal sekali aku dibuatnya.

Hahaha... Tertawa dia. Lepas. Suaranya menggema di ruangan kecil ini, tapi aku biarkan. Aku yakin tidak ada yang mendengarnya.

Setelah tawanya mereda, bangkit dia. Berjalan dia meninggalkan aku. Maka aku pun berdiri dan menyusulnya.

"Aku pulang dulu,"ucapnya setelah aku berada didekatnya."Tolong ambilkan pakaianku."

"Amir mau kemana?"Kutatap dia curiga.

"Pulang."

"Amir mau pulang ke Juju, ya?"cemburu menyerang aku."Amir mau membuktikan kejantanan Amir dengan Juju, ya?"

"Tidak. Bukan itu,"tergagap dia.

"Silakan Amir pulang, silakan,"ketus sekali suaraku.

Menggeleng dia.

"Mau aku ambilkan pakaiannya?"cecarku penuh emosi. Cemburu ini penyebabnya.

"Maafkan aku, Ceu,"ucapnya lirih.

Menghindar aku ketika Amir hendak menyentuhku. Sengaja aku duduk di lantai. Kusembunyikan wajahku diantara dua dengkulku yang meninggi, menangis aku. Aku menangis bukan karena marah. Aku menangis karena ada sesal dan malu di hati ini. Malu karena aku umbar cemburuku. Menyesal karena kenapa aku harus marah karena Juju adalah istrinya yang tentu saja lebih berhak memilikinya dibanding aku. Di sisi lain, Amir pun berhak untuk kembali ke istrinya. Apalah artinya aku ini di matanya?

Dari belakang Amir berjongkok dan kemudian memelukku. Sebagai permintaan maaf dariku, kusandarkan kepalaku di lengannya. Memahami rasa marahku sudah reda, Amir mencium rambutku dan dia eratkan pelukannya.
Lantas dibawanya aku rebah. Berbaring kami dengan Amir memelukku dari belakang.

"Eceu coba mikir,"Amir berbisik di telingaku."Malam ini aku butuh waktu hampir setengah jam untuk membangunkan kembali burungku, berapa lama lagi yang aku butuhkan agar burungku kembali bangun?"

Kusembunyikan senyumku. Benar juga ucapannya. Tadi saja lama aku berusaha membangunkan kontolnya, dengan berbagai cara, tapi selalu gagal.

"Ceu,"bisik Amir memanggil aku.

"Ya?"Menoleh aku ke belakang.

"Burungku bangun, Ceu."

"Ha?"
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd