Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Badai dari Timur by Musicboy

musicboy

Semprot Kecil
Daftar
8 Aug 2011
Post
59
Like diterima
461
Bimabet
Badai dari Timur
by Musicboy

Prelude

Kamu pasti punya satu titik dalam hidup yang metubah segalanya. Jalanmu menjadi jelas, dan kamu tahu apa yang harus kamu kejar. Ini cerita mengenai Hari H ku. Hari yang merubah hidupku, dan hari-hari yang mengantarku ke sana.

Makassar, Senin, tanggalnya lupa, pertengahan Agustus 2000.

Hari H -30 menit

'Kemana woii?'

Suara cempreng terdengar meninggi mengalahkan dengung percakapan anak-anak SMA yang siang itu nongkrong paksa alias bolos di depan gedung serbaguna yang bersebelahan dengan sekolahku.

Aku menoleh melihat kelompok kecil yang berjarak paling dekat denganku. Delapan anak dalam kelompok itu berjongkok atau duduk bersila di tanah dengan sebuah gelas aluminium bekas canteen di tengah.

Sebelah kanan pemilik suara tadi, seonggok botol berlapis kantung plastik hitam ditaruh rapat ke badannya, terlindungi dari pandangan orang. Cukup efektif sebetulnya. Sayangnya, mata bisa ditipu tapi hudung tidak.

Aroma alkohol murahan yang manis membuatku tak urung teraenyum lebar menyaksikan ulah bajingan-bajingan tengik sekolahku. Aku baru saja hendak melangkah ke arah mereka sambil menanggapi dengan ledekan, tapi batang penggaris besi yang mencuat dari tas si cempreng membuatku malah mengerutkan alis.

Si cempreng alias Adhi - pake 'h' biar keren katanya - sudah jelas bukan siswa teladan. Malah sebenarnya, 8 orang yang duduk bergerombol itu tidak satupun yang bakal masuk nominasi siswa yang berprestasi dalam hal belajar. Jangankan belajar, buku saja mereka jarang bawa ke sekolah. Jadi pemandangan Adhi membawa penggaris besi ke sekolah hanya bisa berarti satu hal.

Dan aku menghela nafas membayangkan hal itu. Dan dengan mantap kaki yang sudah hendak melangkah kuturunkan lagi, memilih untuk sebaliknya, berdiri diam menyilangkan tangan di dada.

'Pulang' jawabku pelan menatap kakiku yang menyepak batu kecil di tanah, menantikan ledekan yang pasti menyusul jawabanku.

Dan sorak tawa yang kunanti menggema, keluar dari moncong delapan monyet yang tertawa tergelak berguling di tanah.

Baru setelah tawa itu reda, aku yang tengsin hanya bisa menatap dengan cengiran sambil menggaruk rambut berombakku yang tidak ada gatalnya sama sekali.

'Udaah, sini duduk dulu.' Jaka yang akhirnya menyambung sambil duduk di tanah memegang perutnya.

'Mau bantu mamanya di rumah kali' kali ini si Yus menimpali sambil mengangkat gelas aluminium yang terisi setengah

'Emang punya rumah dia?' Kali ini cerocos Hasri kembali menyulut tawa yang lain.

'Anak Kartika katanya mau menyerang, Lang' Kata Adhi setelah tawanya juga reda. 'Ikut, kan?' Sambungnya bertanya.

'Ndak bisa Di, ada urusan dikit.' Jawabku kalem sambil menarik bungkus filter di kantung dan berjalan mendekati mereka. Sambil berjongkok Aku merogoh kantung Yudi, mencari korek di sana. Hanya menemukan uang sepuluh ribuan, saya beralih ke kantung Ale, si Ambon yang terbukti cerdas, dan menyodorkan korek gasnya sebelum saya merogoh kantungnya yang pasti juga berisi uang.

'Ah, serius lah! Kartika ini Lang. Ada si Bram Loh!' Adhi masih penasaran dan mencoba menggugah semangatku dengan menyebut kata kunci yang biasanya memang berhasil menyulutku.

BRAHMANTYA SULISTIA!

Nama itu memang sudah 2 tahun ini malang melintang bersinggungan dengan hidupku. Sainganku di kejuaraan silat sejak dua tahun lalu, dan kejuaraan cinta sejak setahun terakhir.

Perseteruan kami di dunia bela diri memang membuat kami sering membwa arena silat ke mana saja. Pinggir jalan, belakang gedung kosong di dekat alun-alun, atau dimana saja. Biasanya dengan kedok tawuran.

Tapi kali ini saya tidak tergoda. Sambil berdiri mengantungi sepuluh ribuan Yudi dan korek gas Ale diikuti wajah melongo dua monyet itu.

Ya. Kali ini saya tidak perduli. Persetan silat. Persetan tawuran. Persetan cinta. Temaman-temanku masih setengah mabuk, tapi aku sudah teler kelas berat. Aku tengah dimabuk cinta. terombang-ambing di tengah lautan asmara yang membuatku muntah saking mabuknya.

'Ndak urus Lah. Lain kali saja' jawabku asal membalikkan badan dan melangkah.

'Lang! Tunggu' Suara cempreng Adi kembali meninggi mencoba menarik perhatianku. Dan berhasil, saya berbalik menatap wajahnya yang... kuatir? Aku sudah menantikan raut kecewa, atau marah, atau meledek. Tapi bukan raut kuatir.

'Bareng saja deh' katanya bangkit mengangkat ranselnya dan menjajari langkahku. Diikuti koor fals dari 7 orang yang tersisa dengan 4 nada dasar yang beda oktaf.

'Tumben' kataku singkat padi Adhi yang sudah menjejer langkahku.

'Lang! Tunggu' kali ini suara Yudi dan Ale membuatku kembali berbalik.

'Uangkuu!' 'Korekkuuu!' teriak mereka bersamaan.

Dengan cengiran aku dan Adhi berbalik dan seperti dikomando berlari kencang sebelum dua monyet itu sempat mengejar.

-------

Alun-alun cukup ramai saat Aku turun dari boncengan RGR Adhi dan beranjak menaiki trotoar menunggu angkot. Adhi mendekatiku setelah memarkirkan motornya.

'Jadi?' Tanyaku

'Apanya? Jawabnya singkat menyalakan filternya.

'Ya tumben. Biasanya kau kan paling senang dapat kesempatan dule dengan Bram? Aku ndak ada kan?' tanyaku menatapnya dengan alis terangkat.

'Feelingku ndak enak Lang' jawabnya menatapku.

Kalau orang lain yang bilang begitu sudah kuludahi mukanya. Emang homo...

Tapi yang berkata ini Adhi. Kawanku sejak SMP. Kami memang tumbuh bersama. Belajar silat bersama, nakal bersama. Hari pertama saya pindah ke kota ini, dialah yang pertama kali menjabat tanganku. Tapi bukan itu yang membuatku kuatir.

Di dunia silat ada dua macam ilmu yang dipelajari. Yang fisik dan yang bathin. Kami berdua sudah mempelajarinya. Hanya saja Aku lebih berbakat di sisi fisik sementara Adhi lebih berbakat di bathinnya. Tinjuku memang sekeras batu, tapi ilmu batin Adhi juga setajam pisau. Firasat dan premonisi menjadi salah satu kelebihan orang yang belajar ilmu kebatinan. Dan kali ini dia kuatir tentangku.

Tapi perasaan itu hilang segera saat sebuah angkot warna biru berjalan mendekatiku dan berhenti 100 meter dariku menjemput penumpang lain yang menunggu di sana.

'Duluan Di' jawabku singkat sambil berdiri menenteng ranselku.

'Loh, kok angkot biru?' Suara Adhi terdengar di belakangku membuatku menyimpulkan senyum.

'Waaah, Dewi yaaa' teriaknya diikuti tawa lepas. Aku hhanya meringis sambil menolehkan wajah. Akhirnya dia mulai paham.

'Pantas Bram lewat' lanjutnya.

Aku hanya tertawa kecil menanggapinya. Karena Adhi sudah hampir benar.

Dewi Permata Saputra. Yah, gadis itu memang menjadi sumber perseteruanku dengan Bram setahun terakhir. Dewi yang anak jenderal polisi memang sangat cocok dengan Bram yang anak Jendral TNI. Tapi seperti dalam silat, aku bukan lawan yang mudah kalah. Kami bersaing ketat dalam memperebutkan Dewi. Bram mungkin menang dengan segala fasilitasnya, tapi terbukti Dewi masih gamang menerima cintanya. Sayangnya Dewi juga masih gamang menerima cintaku yang setengah-setengah.

Perasaan wanita memang sukit dikelabui, dan Dewi tahu bahwa saya mengejarnya sebagian adalah karena Aku senang berseteru dengan Bram. Sebagian lagi adalah karena tubuhnya yang seksi. Dadanya yang membusung gagah perkasa sangat menggodaku untuk meremasnya saat kami berpelukan di bioskop. Bibirnya yang basah saat kami berciuman dan gelinjang kecil tubuhnya saat tanganku meraba perutnya yang ramping saat kupeluk dari belakang.

Dewi bukan anak kemarin sore yang dengan mudah jatuh dalam perangkapku atau Bram. Dan kami sama-sama tahu bahwa cinta kami hanya cinta monyet.

Karena itulah kukatakan Adhi hanya benar setengah. Aku memang ingin ke rumah Dewi. Tapi bukan Dewi yang kukejar.

Jika Dewi adalah putri raja, aku mengincar Sang Ratu.

Sang Ratu yang memiliki mata sayu menghiasi wajah tirusnya. Dengan bibir basahnya yang mengundang. Ratu itu bernama Estianti Edy Saputra. Ratu yang melahirkan putrinya yang bernama Dewi Permata Saputra.

Dan seperti membaca pikiranku, Adhi terbatuk di belakangku tersedak oleh asap rokoknya sendiri.

'Lang, bentar. Kita bukan bicara soal mamanya Dewi kan?' Tanyanya sambil menarik bahuku memaksaku berbalik menatap wajahnya yang terbeliak pucat.

Aku hanya bisa meringis tengsin, membenarkan perkiraannya.

'Gila kau Lang! Kau tahu siapa suaminya kan?' Sambung Adhi agaj berbisik dengan wajah... takut?

Baru kali ini saya melihat raut takut pada wajah Adhi. Belum adaa perkelaian yang bisa memunculkan raut ini di wajahnya sebelumnya.

'Gila! Gilaa!' Sambungya sambil berbalik meninju angin.

Ya. Gila. Kata itu mau tidak mau membuatku meringis.

------

H-7

'Gila kamu!' Sosok Lelaki tambun berteriak dan memandang setengah tidak percaya pemandangan di depannya

Malam itu jalan poros yang menghubungkan Kabupaten Barru dan Soppeng terlihat lengang. Hanya sinar lampu dari dua mobil yang saling berhadapan yang membelah gelapnya malam.

Sesosok tubuh tertelungkup dalam posisi tidak natural dengan kaki kanan tertekuk rata ke kanan. Dalam gelapnya malam Aku berdiri dalam kuda-kuda penuh menanti serangan dari musuh lainku.

Desau parang terasa empuk di telingaku membuatku menaikkan kaki kiri sambil meloncat menerkam penyerangku menyarangkan lutut kanan ke dadanya dan mengikuti ayunan tubuhnya yang jatuh dan menekan dadanya dengan seluruh berat badanku dalam posisi berlutut dengan kaki kiri menjejak tanah. Derak ringan menandakan ringkih tulang dada yang retak, mengirimkan darah keluar bersama udara yang dipaksa keluar. Bertumpu pada kaki kiriku, kuangkat badanku sambil menjambak rambut gondrong lawanku, sebelum sekali lagi dengan hentakan keras lutut kananku mengmghimpit dadanya di titik yang sama diikuti kepalanya yang kubenturkan ke aspal kasar jalan. Selesai sudah.

Tubuh penyerangku lunglai saat saya berdiri dan berlari ke arah suara di belakang mobil dimana ku tahu Adhi sedang kerepota menghadapi dua orang lainnya.

Tapi tak banyak bantuan yang harus kuberikan. Adhi sendiri sedang menyelesaikan pertarungan dengan upper cut ke dagu musuhnya, sementara musug yang satu lagi berlutut di tanah memegang kakinya yang terlihat patah.

Aku baru bereaksi saat musuh Adhi yang terlutut di tanah meraih sesuatu ke dalam jaketnya.

Seperti pemain bola, kakiku mengayun penuh menghantam dagunya. Suara gigi beradu dan rahang lepas membuat Adhi tersadar dan berbalik, menyaksikan tubuh musuhnya tadi melayang bebas beberapa senti sebelum ditarik gravitasi ambruk ke aspal. Tangannnya melepaskan pisau yang diambil dari dalam jaket sebelun lunglai tak bergerak.

Kami saling menatap dalam waspada penuh saat gemuruh suara mesin mobil terdengar dari arah puncak memecah konsentrasi kami.

'Hei. Cepat kabur!' Teriakan lelaki dari arah depan mobil menyadarkan kami, membuat Adhi cepat meraih motornya yang terparkir si pinggir jalan dan menstarternya.

'Cari Pos Polisi terdekat! Kasih mereka ini!' Lelaki tambun itu menyerahkan secarik kartu nama sebelum berlari ke mobilnya dan dengan lincah memindahkan posisi mobilnya sebelum berlalu kencang meninggalkan debu di hadapan kami.

Kami sempat melongo sejenak sebelum Adhi menggeber RGRnya menuruni jalan poros sebelum kemudian berbelok memasuki jalan kampung mencari jalan pintas ke arah ibukota kabupaten.

----

H-6

Kami masih duduk di Polres Kab. Maros memegang gelas kopi di pagi yang mendung itu, saat seorang bintara muda keluar menyapa kami.

'Tajenni di. Menujuni Bapak Kapolda' katanya dalam bahasa bugis kental, meminta kami menunggu karena 'Bapak Kapolda' sedang OTW.

Ke sini? Untuk Apa?

'De' muiseengi iga mubantu ri wenni e?' Tanyanya padaku apakah saya tahu siapa yang kami bantu semalam.

Pertanyaan jelas tergambar di wajahku membuat Bintara itu tertawa dan melemparkan kartu nama yang tadi subuh kuberikan.

Sederet nama membuatku ternganga.

EDY SAPUTRA, SH, MM
KEPALA KEPOLISIAN DAERAH
SULAWESI SELATAN

Logo Kepolisian RI dengan 1 buah bintang dibawahnya menegaskan keabsahan pemilik kartu nama ini.

Kami menolong Kapolda semalam?

Kami menolong Ayah Dewi??

Dan bagaikan menjawab keraguanku. Mobil Nissan Terrano yang semalam memyemprotkan debu ke wajahku memasuki area parkir Polres dikawal 1 mobil Patwal Polda dan 1 mobil Provost.

Setelah terparkir rapih, sesosok tubuh tambun turun dari pintu belakang Terrano tersebut. Masih dalam balutan baju semalam, wajahnya terlihat lelah namun waspada.

Namun bukan wajah itu yang menohokku tepat di hati, melainkan wajah penumpang berikut yang turun.

Turun dalam balutan rok span berwarna hitam sepanjang lutut dan T-shirt berleher rendah yang pas membalut badan rampingnya, seorang wanita berumur 40-an turun mengikuti si tambun. Berhenti sejenak untuk mengikat rambut panjangnya yang bergelombang, wanita itu kemudian tergopoh mengikuti langkah si Tambun yang menatapnya tidak sabaran.

Diikuti pengawalan polisi berseragam keduanya berjalan mendekati kami sambil tersenyum.

'Kamu pasti Elang' katanya sambil menjabat tanganku.

'Dan kamu Supri ya' lanjutnya menyalami Adhi, membuatku tersenyum mendengarkan namanya disebutkan.

'Panggil saja Adhi Om' jawab pemilik nama Supriyadi daeng Sangkala yang tidak pernah mau ketahuan nama aslinya karena kurang keren, katanya, sambil tersenyum kecut.

'Terimakasih atas bantuan kalian semalam' kata sang jenderal setelah duduk dihadapan kami.

'Kopi satu' katanya pada Bintara yang berdiri tegap di sebelahnya, membuat Bintara itu kabur setelah menjawab 'siap' dalam posisi tegak lurus.

Setelah kopi hadir, cerita berlanjut.

Semalam mereka sedang dalam perjalanan kembali dari daerah Bone ketika mobil mereka dihadang. Kami cuma kebetulan berada di tempat dan waktu yang sama ketika itu.

'Kalian berdua hebat-hebat. Kalau mau masuk polisi, hubungi saya.' kata Pak kapolda pada kami berdua diisambut cengiran kami. Entah kalau nilai kami bisa memadai untuk lokos tes.

'Siapa mereka Pak?' Tanyaku.

'Masih sementara dalam pengejaran. Ketika anggota tiba, mereka sudah kabur.' Jawab Pak kapolda sambil menyeruput kopi. Kami hanya bisa manggut-manggut.

'Oya, kalian satu sekolah dengan Dewi kan?' Kali ini istri sang Jenderal yang bertanya.

'Iya Bu. Cuma saya beda kelas. Kalau Supri sekelas Bu' jawabku sambil nyengir.

'Ooh, Supri sekelas Yah' jawab istri sang Jenderal menatap kami.

'Panggil saja Adhi Bu' jawab 'Supri' sambil menatapku dengan tatapan pembunuhnya. Aku tertawa mmenanggapinya. Pak Jenderal dan istrinya akhirnya juga paham kelakarku dan ikut tertawa. 'Supri' hanya tertunduk lemas.

'Ya sudah, saya panggil Adhi asal kalian juga mau memanggil kami Om dan Tante. Deal?' Tanya istri Pak Jendral pada kami.

'Deal!' Supri yang menyahut cepat setengah berteriak. Membuat tawa kami pecah lagi.

Pak Jenderal berdehem mendiamkan tawa kami, kemudian mengangsurkan amplop pada kami.

'Apa ini Om?' Tanyaku bingung.

'Ucapan terimakasih kami' jawabnya tersenyum.

Aku agak terperangah sejenak sebelum refkeks mendorong kembali amplop itu diikuti tatapan mata Adhi menatapku heran.

'Tidak usah Pak' kataku pelan. Dalam sedetik wibawanya hancur dimataku

'Loh jangan malu. Ambil saja. Kalau kurang bilang!' Katanya kali ini sedikit pongah.

'Lain kali saja Pak. Kami permisi dulu.' jawabku singkat tidak mau memperpanjang kemudian berdiri ingin pamit.

'Heh, kamu inu nggak sopan. Saya belum selesai bicara!' Pak jenderal agak membentak.

'Pak, sudahlah. Anaknya beda' kali ini istri sang Jenderal mencoba menengahi.

'Ah, perempuan diam saja! Ini juga gara-gara kamu kita sampai kejadian semalam! Saya kan sudah bilang kita dikawal saja!' Sang Jendral kini membentak istrinya. Yang dibentak hanya bisa diam.

'Kalian ambil itu. Kalau kurang, bilang!' Sang Jenderal berkata tegas.

Tidak ingin memperpanjang masalah, terutama jika masalahnya akhirnya beralih ke sang istri yang kini terdiam, dengan rahang mengunci, amplop itu kuambil dan kubuka melihat seikat uang merah di dalamnya.

'Kurang Pak.' Jawabku singkat bermain api, membuat Adhi tersedak nafasnya disampingku

'Oke. Ma, ambil di mobil!' Katanya pada sang istri yang menatapku dengan mata penuh ketakutan. Jelas tidak ada orang yang pernah membantah suaminya apalagi menantang.

'Cepat!' Bentak sang jendral membuat istrinya tergopoh-gopoh kembali ke mobil diikuti pengawalnya meninggalkan kami bertiga di meja. Aku dan jenderal saling bertatap, Adhi terlihat tegang di kursinya.

'Kamu punya nyali. Saya akui itu' kata Sang Jenderal tersenyum sinis padaku.

'Saya juga tahu menghargai orang yang pantas dihargai Pak' jawabanku membuat Adhi menggenggam punggung kursiku keras. Sedikit lebih keras lagi mungkin kayunya patah.

Kami masih saling menatap beberapa saat sebelum sang jenderal akhirnya tersenyum. Kali ini terlihat pemahaman di wajahnya. Barulah ketika istrinya kembali dengan amplop baru di tangan sang jenderal akhirnya berkata.

'Cari saya setelah kamu selesai sekolah. Kamu bakal jadi polisi yang baik.' Katanya tenang sambil mengambil amplop di meja dan memberikannya kepada istrinya.

'Terimakasih atas bantuan kalian' katanya menutup percakapan sebelum berdiri dan berjalab meninggalkan kami ke dalam kantor Polisi.

Diam menghantui sebelum istri sang jenderal yang membuka percakapan lagi

'Maafkan Om ya. Om marah sama tante kemarin. Seharusnya kami jalan dengan pengawalan. Tapi tante tidak mau' katanya tersenyum manis.

'Yang bertugas melindungi istri itu, suami Bu. Bukan pengawal!' Jawabku masih menyimpan kesal.

'Ya kondisinya Beda Lang. Dan jangan panggil saya Ibu. Panggil saja Tante. Tante Esti
' suaranya yang merdu membuatku menghela nafas dan meruntuhkan sisa kemarahan yang ada. Dan senyum akhirnya mengembang saat saya berbalik menatap wajah ayunya dan menganggukkan kepala.

'Begini saja. Bagaimana kalau kalian ke rumah nanti. Tante masakkan makanan yang enak sebagai tanda terimakasih.' istri sang jendral melanjutkan.

'Tante bisa masak?' Tanyaku berkelakar. Disambut tawa kami.

'Ya bisa lah. Jago malah.' Katanya sedikit sombong.

Namun bayangan sang jenderal membuatku jengah. Kalau di luar kandang saja pongahnya seperti ini, bagaimana di dalam kandangnya.

Seperti bisa membaca pikiranku, istri sang Jenderal tersenyum dan memegang tanganku.

'Tenang, Bapak bakal dinas mulai sebentar malam. Kalian tidak usah takut bakal ribut sama Bapak' jawabnya

'Saya tidak takut...' tapi kalimatku dipotong

'Tante tahu. Yang jelas kalian bisa makan dengan tenang.' Sambungnya cepat membetulkan. Dia tahu membaca perasaan, satu poin untuk dia. Dan apapun yabg tersisa dari keangkuhanku roboh sudah saat itu.

'Siap Tante' jawabku.

'Hus, satu polisi saja sudah buat tante pusing. Jangan begitu ah.' Katanya berkelakar membuat kami tersenyum.

'Oya Tante, si Elang kan sedang PDKT sama Dewi' Adhi akhirnya melihat kesempatan membalas ledekanku sejak tadi dan disambar dengan manis membuatku salah tingkah.

'Tante tahu kok.' Jawaban Tante Dewi membuatku makin salah tingkah dan menambah keras tawa Adhi.

'Tapi Elang katanya nakal sih. Tante larang deh' katanya kemudian membuat Adhi makin terpingkal. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

'Besok malam ada waktu?' Tanyanya kemudian. Kami mengangguk senang.

'Oke. Deal' katanya.

'Tenang, Dewi boleh ikut kok Lang' katanya dengan mata jenaka membuat Adhi tertawa lagi.

'Kita Jalan' suara tegas menghentikan tawa Adhi. Sang jenderal berjalan keluar diiringi pengawal dan Kapolres. Setelah salutasi selesai, sang jenderal berjalan menatapku, mengangguk kemudian memberi kode istrinya dengan goyangan kepala dan berjalan menuju Terranonya.

Sang Istri tersenyum dan melambai kecil pada kami sebelum berjalan mengikuti sang Jenderal.

Aku meringis. Sang Jenderal tahu cara menjadi pimpinan. Tapi tidak menjadi suami.

----

H-5 malam hari. Kediaman pribadi Kapolda Sulsel

Makan malam terasa menyenangkan jika dikelilingi oleh sahabat. Dan tuan rumah kami tahu cara memperlakukan tamu, menghilangkan canggungku duduk berhadapan dengan cinta monyetku.

Kami semua tertawa menikmati malam itu. Makanan yang tersaji benar-benar lezat. Sebanding dengan penampilan ibu dan anak yang duduk serasi di hadapanku dan Adhi.

Setelah makan malam Aku, Adhi dan Dewi duduk di depn televisi layar jumbonya dan duduk ngobrol dengan santai.

Jam yang berdentang menunjukkan pukul sembilan, membuat kami tahu diri dan berusaha pamit.

'Wi, kami pamit dulu Ya. Salam untuk Ayah Ibumu.' kataku pada Dewi. Yang kupamiti mengangguk sambil tersenyum manis.

'Terimakasih ya karena sudah membantu Ayah Ibuku' jawabnya sambil mengantar kami ke arah pintu depan.

Sesampai pintu depan, saya menatap Adhi yang paham dan berjalan lebih dulu ke arah motornya diparkir meninggalkanku berdua dengan Dewi.

'Wi, makasih untuk...' belum sempat kuakhiri ucapan terimakasihku untuk makan malam yang nikmat, Dewi sudah lebih dulu maju berjingkat dan merapatkan bibirnya ke bibirku.

Ciuman kami panjang dan basah, bergantian menggigiti bibir lawannya, dengan lidah yang saling menjelajah dan menjajah. Dadanya rapat menghimpit dadaku memudahkan tanganku memeluk pinggang rampingnya mengelus ke arah patatnya yang terbalut celana jeans pendek.

Ciumanku di bibirnya kuakhiri dengan jilatan di pipi menurun ke lehernya. Tanganku kini menjelajah masuk ke dalam karet dalaman Dewi yang terasa tipis membuatnya melenguh dan berusaha menghindar dengan bersandar ke dinding menjepit tanganku menghentikan gerakanku.

Tak mau kalah, ciumanku kembali ke bibirnya, berharap bisa mengebsurkan tekanannya di tanganku, dan berhasil. Tanganku kini bebas dan beralih ke the next best thing, Dada ranumnya yang membusung.

Tanganku merambat naik dari bawah kaus tank top Dewi yang panjangnya hanya sepusar merayap masuk dari celah atas bra Hitamnya yang modelnya memang hanya menutupi setengah daging payudaranya yang montok. pinggulku kutekan ke arah kemaluannya, memastikan Dewi bisa merasakan kerasnya penisku di bawah. Lenguhan Dewi mengkonfirmasi usahaku sukses.

Perlahan ciumanku beralih ke leher sebelum terus turun ke arah dadanya, setelah terlebih dahulu tangan kiriku mengeluarkan payudara kirinya dari pembungkusnya.

Dewi terlihhat kaget tetapi sebelum bisa bertindak apa-apa mulutku sudah bermain di ujung runcing payudaranya, menjilat dan menghisapi putingnya yang sedari tadi sudah tegang dipermainkan tanganku.

Permainanku terbukti cukup ampuh menaikkan gairah Dewi membuat tangannya meraba penisku yang sudah tegang dari luar celana membuatku tersentak sejenak.

Kekagetanku dimanfaatkan dengan baik oleh dewi untuk mendorongku menjauh dan menatapku dengan pandangan menggoda. sambil menggigit bibir bawahnya, perlahan dia maju sambil kedua tanganny bekerja membuka rets celanaku dan menurunkan celana dalam yang membungkus penisku.

Setelah berusaha sejenak, penisku sudah berada di genggamannya fan dikocok lembut. Matanya masih menatapku tajam ketika perlahan dia bergerak turun berjongkok di depanku.

Tatapannya tidak lepas dari mataku ketika lidahnya mulai bekerja menjilati kepala penisku. Jilatannya mengirim sinyal listrik ke seluruh badanku membuatku harus berpegang pada kepalanya.

Lalu perlahan mulutnya membuka ketika...

'EHEM' suara dehem itu singkat, tegas tetapi mematikan.

Seketika itu aku berbalik memandang pemilik dehem itu.

Kepala penisku masih di dalam mulut Dewi yang kini melotot memandang pemandangan di belakangku.

Tante Esti berdiri dalam senyum dikulum melipat tangannya. Disebelahnya Adhi berdiri dengan wajah pucat tidak tahu harus berkata apa. Kiamat....

BERSAMBUNG...
 
Hai Suhu-suhu. Saya pengen posting cerita. Mudah-mudahan menarik. Kalo banyak yang suka saya lanjut ya. Komen dan kritiknya ditunggu. cheers.
 
Baru nih....
Semoga ceritanya se BADAI judul nya
Lancrotkeun hu
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Bimabet
Bagus ini dari penulisannya udah enak banget..


Lanjut lahhh..
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd