Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG AZUMATH: WORLD OF MAGIC

Status
Please reply by conversation.
CHAPTER 5


Siapa yang tidak akan terpikat dengan wanita-wanita cantik yang telanjang di ruangan pribadi seperti ini. Kelemahanku adalah tak bisa dan tak mampu menahan gejolak birahi. Dihadapkan dengan bayangan kenikmatan dunia, langsung saja birahiku meronta-ronta. Rasa kagum, suka, dan hasrat bergelora, melahirkan pikiran tak berbatas. Di sana mereka tertawa yang renyah nan jenaka, tubuh molek yang menggiurkan, kulit yang halus putih bak pualam. Seluruhnya menggoda rangsangan, semakin membuat pikiran sehatku perlahan tertutup oleh tebalnya kabut nafsu birahi.

“Ayo kakang ... Bergabunglah dengan mereka ...” Suara lembut Jayanti menyapa gendang telingaku. Suaranya seperti hipnotis. Itu rendah dan mempesona. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.

Kubiarkan kakiku melangkah mendekati wanita-wanita cantik nan seksi yang berkumpul di atas permadani. Melihat kumpulan wanita cantik yang menggoda iman, aku benar-benar tak bisa menolak pesona mereka di hadapanku itu, seakan mereka adalah magnet yang terus menarik diriku masuk ke dalam dunia mereka. Aku benar-benar tenggelam dalam pesona mereka, perlahan aku mendekat menghapus jarak antara diriku dan para wanita cantik itu. Mendekat secara perlahan seiring mataku yang tak bosan menatap keindahan sosok mereka yang mempesona.

"Hentikan! Keluarlah dari tempat ini…" Tiba-tiba kudengar sebuah bisikan di telingaku. Tiada mampu kutelaah hanya dengan sebatas nalar semata. Bisikan itu bagai alarm yang membangunkanku dari alam mimpi. Seperti saat ini, menyadarkanku dari apa yang baru saja ingin aku lakukan.

“Pet ... Petteri ...” Gumamku yang baru tersadar dengan kesejatianku.

“Kau harus bisa menolak. Jangan biarkan nafsumu berkehendak. Ingat! Istri dan anak-anakmu menunggu di bumi. Segera selesaikan misimu dan secepatnya kembali ke bumi.” Terdengar ucapan Petteri lagi sangat jelas di telingaku.

“Ba..baiklah ... Terima kasih Pet ... Terima kasih ...” Gumamku lagi dengan rasa terkejut. Setelahnya, aku merasa senang karena Petteri tidak benar-benar melepaskanku begitu saja. Aku yakin Petteri akan terus mengawasiku.

Aku masih berdiri sambil menatap para wanita cantik nan seksi di hadapanku. Setelah memberikan senyum pada mereka, aku langsung membalikan badan dan berjalan mendekati Jayanti yang masih berada di tempatnya semula. Kulihat wajah Jayanti menekuk sempurna sampai kedua alisnya bertaut. Ada rasa takjub keheranan luar biasa di raut wajahnya. Tak lama aku sudah berdiri di depan Jayanti hanya beberapa senti jaraknya.

“Aku masih punya pekerjaan yang harus aku selesaikan. Setelah pekerjaanku selesai, aku akan menemui kalian.” Kataku yang sukses membuat mata Jayanti membola.

“Tapi ...” Ucapannya aku sambar.

“Aku akan keluar sekarang.” Kataku sambil tersenyum padanya.

“Kakang ...” Jayanti memegangi lenganku. “Kenapa kakang meninggalkan kami? Apakah kami tidak menarik untuk kakang?” Dahi wanita cantik berbulu mata lentik itu berkerut-kerut sambil menatap wajahku dengan mimik heran.

“Bukan begitu ... tetapi aku takut terlena berada di sini bersama kalian ... Kalian sangat menarik dan pasti aku akan kerasan di sini selamanya dengan kalian. Tetapi aku mempunyai tanggung jawab yang harus aku selesaikan. Aku takut tanggung jawabku akan terbengkalai.” Jawabku dengan senyum yang dibuat agar tidak menimbulkan kekecewaan. Lalu ekspresi wajah Jayanti menunjukkan bahwa ia sedang berpikir.

“Kakang ... Baru kali ada laki-laki yang menolak kami. Tentu aku terkejut, tetapi aku sangat kagum pada kakang. Aku sangat terhormat jika suatu saat nanti aku bisa melayani kakang.” Katanya.

“Aku sangat tersanjung ... Terima kasih ...” Ucapku sembari menganguk kecil kepala.

Lantas aku meninggalkan Jayanti yang tetap berdiri di tempatnya. Aku keluar ruangan dan berniat kembali menemui Ratu Treysca. Aku berjalan melewati koridor di tengah taman, menginjak batu bata biru, merasakan bau harum bunga-bunga di hidung. Taman ini begitu cantik dan indah. Bunga-bunga bermekaran, tanaman hijau yang beragam bentuk dan ukuran daunnya, angin yang cukup kencang membuat bunga-bunga dan daun-daun bergoyang serta mengeluarkan wangi bunga. Namun kekagumanku akan taman ini harus terhenti saat mataku menemukan pemandangan yang tidak pernah kuduga sama sekali.

Mataku membulat sempurna tatkala menemukan Ana berpelukan mesra dengan seorang pria. Dari jarak sekitar 10 meter aku sangat jelas bisa melihat mereka kini berciuman mesra. Tangan si pria memegang pinggul Ana, sementara tangan Ana melingkar di leher si pria. Ciuman mereka begitu tulus seolah tengah menyalurkan kasih sayang satu sama lain. Seketika hatiku cukup bergetar. Kalimat ‘apa yang terjadi?’ meniti di bibir berulang kali. Aku disuguhkan sesuatu yang cukup mengejutkan untuk kali ini.

Satu tangan si pria menekan tengkuk Ana agar ciuman mereka semakin dalam, sementara satu tangan si pria yang lain mulai bergerilya di balik pakaian yang Ana kenakan. Sakin asiknya mereka memadu kasih, mereka tidak menyadari kalau aku mendekati mereka. Aku tidak peduli lagi apa yang mereka laukan, yang aku inginkan adalah kebenaran, yang selama ini Ana tutupi dariku. Kini aku hanya berjarak dua langkah saja, tetapi mereka belum juga menyadari kehadiranku.

“Ehem ...!!!” Aku berdehem keras. Aku angkat wajahku, menatap keduanya dengan dingin. Tampak sekali mereka terkejut sambil tergesa-gesa melepas ciuman mereka.

“Mas ...!!!” Ana memekik dengan wajah pucat.

“Apa yang sedang terjadi Ana? Apa yang kau sembunyikan?” Tanyaku dengan suara bergetar menahan amarah.

“Biar saya jelaskan, Tuan Azka.” Sang pria tampil ke muka.

“Ya ... Sebaiknya begitu. Aku hanya ingin kejelasan.” Kataku sambil menatap tajam wajahnya.

“Aku dan Ana sudah sejak dulu saling mencintai. Setelah aku mengetahui Anggabaya menceraikan Ana, saya berniat menikahinya.” Ungkap si pria yang membuatku melongo. “Kami baru saja sepakat kalau kami akan menikah minggu depan.” Lanjutnya yang membuatku tambah bengong.

“Maafkan aku mas ...” Terdengar suara Ana yang sangat pelan.

Aku benar-benar dibuat terkejut bukan kepalang. Aku yang baru saja merasakan cinta tiba-tiba harus menelan kenyataan pahit ini. Aku mengalihkan pandangan pada Ana yang sedang menunduk. Wanita itu telah membuat hatiku beraneka rasa. Namun tak satu pun rasa yang membahagiakan. Aku berulang kali mengatur napas, menetralkan gejolak amarahku. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Aku takut tidak bisa mengontrol kemarahanku.

Aku melangkah cepat tanpa lagi memperdulikan Ana yang memanggil-manggil namaku. Aku harus menutup semua kisahku dengan Ana saat ini juga. Aku tidak ingin masalah remeh temeh ini mengganggu misiku. Aku terus berjalan cepat hingga akhirnya sampai di ruangan Ratu Treysca. Aku melihat Ratu Treysca sedang berdiskusi sangat serius dengan tiga pria gagah perkasa yang salah satu diantaranya adalah Panglima Tertinggi kerajaan.

“Kenapa Tuan Azka kembali ke sini?” Tanya Ratu Treysca keheranan.

“Maaf Yang Mulia Ratu ... Saya ingin pamit saja. Saya harus mulai dengan pekerjaan saya.” Jawabku langsung pada intinya.

“Loh kenapa? Kenapa dengan para dayangku?” Ratu Treysca bertanya kembali tenang tetapi nadanya sarat dengan keterkejutan.

“Tidak apa-apa Yang Mulia Ratu. Saya hanya takut terlena berada di tengah-tengah mereka. Saya pikir lebih baik menyelesaikan dulu tugas saya baru bersenang-senang.” Jawabku sambil mengulum senyum.

“Wah! Tuan Azka memang luar biasa. Saya tak percaya Tuan Azka bisa keluar dari keputren dengan langkah masih normal seperti ini ... Ha ha ha ...” Sang Panglima tertawa terbahak-bahak.

“Yang sudah-sudah, banyak yang tidak ingin pulang ... Ha ha ha ...” Sambut pria lain yang juga ikut terbahak-bahak.

"Ini yang pertama kalinya mereka gagal menahan orang penting.” Ujar Ratu Treysca sembari tersenyum.

“Kalau tidak ada keperluan penting, mungkin saya juga akan terjebak di sana ...” Kataku masih dengan senyum simpulku.

“Kalau memang Tuan Azka tidak bisa ditahan lagi, aku tidak bisa memaksa. Silahkan! Aku persilahkan Tuan Azka menyelesaikan pekerjaannya dulu. Tetapi, aku akan selalu menunggu Tuan Azka. Aku mohon pertimbangkan tawaramku.” Jelas Ratu Treysca bersahaja.

“Terima kasih Yang Mulia Ratu ... Saya permisi ...” Kataku lalu menjura hormat dan langsung dibalas dengan juraan dari Ratu Treysca.

Aku keluar dari ruang pertemuan sang ratu. Aku meminta penjaga untuk menjemput Daru yang aku sendiri tidak tahu anak itu sekarang berada. Aku menunggu di halaman istana bersama dua kusir sewaanku. Tak berselang lama, Daru juga Puspa datang. Puspa berlari-lari menghampiriku sambil berteriak-teriak. Aku lantas menggendongnya ketika anak lucu ini sampai padaku.

“Bapak mau pergi kemana? Bapak tinggal saja di sini sama Puspa.” Ucap Puspa dengan dialek lucunya.

“Tidak Puspa. Bapak harus kembali ke rumah. Pekerjaan bapak kan di sana. Sekarang, Puspa sudah pulang ke rumah Puspa sendiri. Puspa harus tinggal di sini sama ibu. Nanti kalau Puspa sudah besar, jaga ibu baik-baik ya ...” Kataku penuh kasih sayang.

“Hiks ... Bapak jangan pulang ... Hiks ... Bapak tinggal di sini sama Puspa ...” Puspa mulai merengek nangis. Ah, kenapa juga sekarang aku jadi sentimentil begini?

“Tidak Puspa ... Rumah bapak kan bukan di sini ...” Belum sempat aku melanjutkan ucapan, aku melihat Ana datang. “Itu ibumu. Kembalilah sama ibumu.” Kataku sambil meletakkan Puspa di tanah.

Puspa malah memeluk pahaku, “Bapak ... Bapak jangan pergi ... Hiks hiks hiks ... Kak Daru, bilang sama bapak kalau kak Daru suka tinggal di sini ...” Kata Puspa sangat menyedihkan.

“Biarkan bapakmu pergi, sayang ...” Ucap Ana sembari meraih badan Puspa. Namun anak itu tidak ingin bergeming dari pahaku. Malah pelukannya semakin erat saja.

Aku angkat lagi anak itu dalam gendonganku, “Bapak pulang dulu ... Nanti bapak akan ke sini lagi nengok Puspa. Jangan menangis terus. Anak bapak gak boleh cengeng.”

“Tapi bapak janji ke sini lagi ya?” Pinta Puspa.

“Iya ... Bapak pasti ke sini lagi ...” Kataku.

“Sini ibu gendong ... Biarkan bapakmu pulang ...” Ucap Ana sambil mengambil Puspa dari gendonganku.

“Pokoknya bapak harus ke sini lagi ... Hiks hiks hiks ...” Tangis Puspa malah semakin keras. Aku tersenyum lalu menyuruh naik Daru ke dalam kereta kuda.

“Mas ...” Ana menahan tanganku. Aku yang tidak ingin melihat wajahnya lagi langsung menarik tanganku hingga genggaman tangan Ana terlepas. Kemudian aku naik ke dalam kereta kuda. “Mas ... Maafkan aku ...” Ucap Ana lagi agak berteriak.

Aku yang sudah tidak peduli menyuruh kedua kusirku untuk melajukan kudanya. Akhirnya kereta kudaku meninggalkan halaman istana. Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan pada Ana. Namun aku sudah keburu kecewa. Ketidak-terbukaannya yang membuatku kecewa. Akhirnya aku harus berusaha untuk menerima daripada terlalu memikirkan kekecewaanku, karena dalam hidup pasti ada kecewanya. Kecewa boleh saja, tetapi aku pikir tidak baik berlama-lama. Selain buang-buang waktu, dia tidak akan merubah apa-apa. Kini aku belajar untuk mengikhlaskan sesuatu yang memang bukan untukku. Menjadi sabar dan ikhlas itu adalah harus, meskipun berat untuk dilakukan.

.....
.....
.....

Malam ini langit tampak kelam, gelap berselimut awan. Bintang-bintang pun bersembunyi, entah di mana. Selama tiga hari tiga malam aku dalam perjalanan, dan kini perjalanan pun berakhir. Aku dan Daru masuk ke dalam rumah yang telah beberapa hari ini kami tinggalkan. Aku langsung membersihkan diri di pancuran lalu mengganti pakaian. Setelah itu aku mengajak Daru yang juga baru selesai mandi ke kedai Pak Pandi untuk makan.

“Pak ... Kenapa kita tidak makan di rumah saja?” Tanya Daru yang sedang berjalan di sebelahku.

“Bapak ingin bicara dengan Pak Pandi. Bapak ada perlu.” Jawabku sembari mengusap kepalanya.

Daru tidak bertanya lagi dan kami berjalan ke kedai Pak Pandi tanpa pembicaraan. Akhirnya kami sampai di kedai yang selalu buka sampai tengah malam. Pak Pandi menyambutku dengan sangat ramah dan mempersilahkan aku duduk di dekat meja kasir. Aku baru tahu kalau Pak Pandi mempunyai seorang pegawai. Seorang pemuda yang sangat cekatan melayani para pelanggan. Aku pun segera memesan makanan dan minuman pada sang pelayan itu.

“Tuan tabib ... Saya mendengar kabar kalau pemilik rumah yang tuan tabib tempati akan kembali.” Kata Pak Pandi dari kursi di belakang meja kasirnya.

“Oh ya ... Kapan?” Tanyaku.

“Menurut kabar sekitar satu mingguan lagi.” Jawab Pak Pandi.

“Hhhmm ... Mungkin waktu yang pas untuk saya pergi berkelana lagi.” Kataku.

“Oh tuan tabib ... Tuan tabib mau kemana?” Ucapan Pak Pandi terdengar panik.

“Saya adalah seorang pengelana. Saya akan berkelana lagi.” Kataku sembari menoleh ke arah Daru yang sedang memandangku khawatir. Tak lama aku berbicara pada anak angkatku, “Daru ... Kamu boleh memilih ... Tetap tinggal di sini bersama Pak Pandi atau ikut dengan bapak berkelana.”

“Aku ikut dengan bapak!” Serunya sambil berdiri dan langsung saja wajahnya berseri-seri.

“Baiklah ...” Kataku lalu mengarahkan wajahku lagi kepada Pak Pandi. “Pak ... Saya ingin membeli kuda bapak dan tenda terpal untuk Daru.” Kataku kepada pria paruh baya yang menatapku sendu.

“Tuan tabib sangat dibutuhkan di sini. Kalau tuan tabib pergi, penduduk di kota ini akan sangat kehilangan.” Ujar Pak Pandi sedih.

“Jika saja saya tidak mempunyai urusan, saya pasti akan tinggal di sini. Saya merasa kerasan di kota ini. Tetapi urusan saya sangat penting dan tidak bisa saya tinggalkan.” Kataku memberi alasan.

“Ya, saya hanya berharap tuan tabib tidak pergi. Tapi, saya tidak punya hak untuk melarang tuan tabib pergi. Untuk kuda dan tenda, saya akan berikan kepada tuan tabib secara cuma-cuma sebagai balas jasa tuan tabib kepada penduduk kota.” Ungkap Pak Pandi dengan senyum getirnya.

“Tidak Pak Pandi ... Saya akan membayar kuda dan tendanya. Jangan menolak! Saya tidak ingin mempunyai hutang budi pada siapa pun.” Kataku sambil mengambil dua koin emas dari saku celana lalu memberikannya pada Pak Pandi secara paksa.

“I..ini ... Terlalu banyak ...” Mata Pak Pandi melotot pada dua koin emas pemberianku.

“Simpan saja buat Pak Pandi.” Kataku.

“Ta..tapi ... i..ini ...” Pak Pandi masih tak percaya.

“Saya lah yang banyak menyusahkan Pak Pandi. Mudah-mudahan pemberian saya itu seharga dengan bantuan bapak yang telah bapak berikan kepada saya.” Ungkapku sembari tersenyum.

“Sa..saya tidak merasa mem..berikan bantuan apa-apa kepada tuan tabib.” Ujar Pak Pandi yang kini menatapku dalam.

“Bapak tidak sadar ... Kebanyakan pasien yang datang pada saya adalah dari informasi yang bapak berikan pada mereka. Tanpa informasi yang bapak berikan, saya bukanlah apa-apa.” Jelasku.

“Tapi, saya hanya membantu orang yang memerlukan pertolongan.” Sahut Pak Pandi.

“Dan bapak juga membantu saya untuk menghasilkan koin itu.” Sambungku.

Pak Pandi pun tersenyum lalu berkata, “Terima kasih atas kebaikan tuan tabib. Saya menjadi lebih merasa kehilangan tuan tabib. Masalah kuda dan tenda, besok pagi akan saya siapkan.”

“Terima kasih kembali ...” Jawabku.

Aku dan Daru yang ditemani Pak Pandi si pemilik kedai segera menyantap makanan yang dihidangkan. Obrolan pun berlangsung sekitar perjalanan kehidupan di kota ini. Setelah berakhirnya peperangan, kini Kota Graheim mulai menggeliat lagi. Para warga mulai berdatangan sehingga kota semakin hidup. Saat sedang asik makan dan ngobrol, tiba-tiba seorang pemuda tampan berpenampilan pendekar masuk dengan terburu-buru ke dalam kedai.

“Siapa yang tahu rumah tabib? Kami membutuhkan tabib!” Teriaknya lantang dengan wajah super panik.

“Aku tabibnya ...” Sahutku sambil berdiri.

Si pemuda tamban lari keluar kedai, tak lama terdengar teriakannya, “Hei! Tabibnya ada di sini! Bawa Kak Cipta ke sini!”

Aku berjalan menuju pintu kedai. Kulihat terdapat empat orang sedang berlarian menuju ke kedai. Salah seorang dari mereka memanggul seseorang di bahunya. Aku memberinya jalan dan seorang pemuda dengan wajah dan kulitnya yang menghitam langsung diletakkan di meja panjang.

“Mana tabibnya?” Tanya orang yang memanggul dan meletakkan temannya yang terluka.

“Saya ...” Kataku di belakangnya.

Pemuda itu lantas membalikkan badan dengan wajah paniknya, “Lekas tabib ... Tolong kakakku ...!” Dia meminta dengan suara bergetar.

Aku mendekati korban yang tergeletak di meja panjang. Seperti biasa sesuai SOP, aku mengeluarkan sihir pendeteksian. Hanya beberapa detik aku sudah bisa mendeteksi luka yang diderita si korban. Tak berlama-lama aku merapal mantera ‘Kuolema’, mantera penghancur sihir kutukan. Selesai membaca mantera keluarlah asap hitam dari tubuh si korban. Asap hitam itu berkumpul di atas membentuk sebuah bola sebesar bola volley. Setelahnya, aku arahkan asap hitam itu keluar kedai.

“Tolong hancurkan bola asap itu.” Pintaku pada salah seorang dari mereka.

Hanya beberapa helaan napas, asap hitam tersebut disambar oleh bola api. Terdengar ledakan yang keras sebagai tanda bahwa sihir kutukan telah dihancurkan. Aku pun kembali ke dalam kedai lalu memberikan energi sihir murni kepada si korban.

Sambil memberikan energi sihir murni aku pun bertanya, “Bagaimana ceritanya dia sampai terluka oleh sihir kutukan?”

“Apa??? Sihir kutukan???” Mereka bersuara hampir serempak.

“Ya ... Saudara kalian terkena serangan sihir kutukan. Bagaimana dan kenapa sampai terkena sihir kutukan?” Tanyaku lagi.

“Kami baru pulang dari kota kerajaan. Tadi sore tiba-tiba kami disergap dua orang tak dikenal. Mereka juga memakai topeng. Kami bertarung dan ya kami kalah. Kami berlima melarikan diri sementara kakakku ini terus menghadang si penyerang sampai terluka seperti ini. Sebenarnya kami tak benar-benar melarikan diri, kami hanya bersembunyi. Ketika dua orang bertopeng itu pergi, kami langsung membawa kakak kami ke sini.” Papar si pemuda.

“Apakah benar kakak kami terkena serangan sihir hitam?” Tanya pemuda yang lebih muda.

“Ya ...” Jawabku singkat.

“Tapi ... Bukankah sihir hitam tidak ada obatnya?” Tanya si pemuda itu lagi.

Aku hanya tersenyum karena enggan menjawab pertanyaan itu. Aku pun kemudian kembali ke mejaku. Ternyata nafsu makanku menghilang. Saat sedang menyeruput kopi, aku melihat si korban mulai bangkit. Dia langsung mengambil posisi semedi. Riuh rendah keluar dari mulut para pemuda itu. Terdengar mereka sangat kegirangan. Tak lama, salah satu pemuda menghampiriku lalu duduk di kursi tepat di depanku.

“Tuan tabib ... Maaf ... Kami tidak bisa membayar, karena kami juga kehabisan bekal.” Katanya.

“Kalau begitu ... Kalian belum makan ...” Kataku. Si pemuda tersenyum sayu sambil menggelengkan kepala. “Sekarang kalian makanlah ... Biar aku yang bayar.” Lanjutku.

“Oh ... Tidak usah tuan tabib ... Kami yang seharusnya membayar ... Tidak perlu ... Terima kasih ...” Katanya malu-malu.

“Tidak apa-apa ... Kalian perlu makan dan beristirahatlah dulu di sini. Besok kalian bisa melanjutkan perjalanan.” Kataku.

“Kak ... Aku lapar ...” Tiba-tiba pemuda paling muda bersuara.

“Kamu ini!!! Malu-maluin saja!!!” Hardik pemuda yang duduk di depanku.

“Pak Pandi ... Tolong siapkan makanan untuk mereka, dan biarkan mereka beristirahat di sini.” Kataku sambil memberi Pak Pandi beberapa koin perak padanya.

“Oh ... Ini tidak perlu tuan tabib ...” Pak Pandi berusaha menolak pemberianku lagi.

“Tak apa-apa Pak Pandi.” Kataku. “Ayo Daru! Kita pulang.” Ajakku pada Daru.

Aku dan Daru lantas keluar dari kedai dengan diantar ucapan terima kasih yang tak henti-hentinya dari semua pemuda yang kelaparan itu. Daru mengatakan kalau aku sangat baik karena mau menolong semua orang yang kesusahan, karena itulah anak itu memutuskan untuk ikut bersamaku. Daru khawatir tidak akan menemukan lagi orang sepertiku. Dan aku mengatakan padanya bahwa ketika seseorang menolong orang lain sebenarnya orang itu sedang menolong dirinya sendri. Aku menekankan pada anak angkatku kalau kebaikan akan dibalas dengan kebaikan lagi, yang bisa jadi lebih baik dari kebaikan yang pernah orang itu berikan. Setelah mengatakan itu, tiba-tiba Daru memeluk lenganku. Ini adalah kali pertama Daru bermanja-manja denganku. Entahlah, aku jadi terharu.

Sesampainya di rumah, aku tidak lantas tidur. Aku memilih bermeditasi untuk memulihkan stamina dan ketenangan hati. Bukan tanpa alasan, bermeditasi memang membuat hidupku lebih baik. Kegiatan yang sederhana ini memberikan aku kesempatan untuk lebih memahami diriku sendiri. Mulai dari memahami apa yang aku khawatirkan, melakukan intropeksi diri hingga menjernihkan isi kepalaku dari segala kelelahan. Dengan memberikan kesempatan pikiran dan emosi untuk rehat sejenak, aku bisa menjalani hari dengan lebih tenang. Bahkan, aku juga bisa mempertajam intuisi yang membimbingku dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Entah sudah berapa lama aku bermeditasi, tiba-tiba aku mendengar suara kaki berlari di halaman rumah. Beberapa detik kemudian pintu rumah digedor-gedor sambil terdengar suara memanggil-manggil gelarku. Aku sampai loncat dari kursi dan berlari ke pintu.

“Tuan tabib ... Tolong ... Dua orang bertopeng itu datang ke kedai ...” Ucap pemuda di depanku sambil ngos-ngosan. Pemuda ini adalah pemuda termuda yang di kedai jujur mengatakan kelaparan.

“Kamu tinggal di sini ... Masuk ke dalam dan kunci ...” Kataku lalu mengubah dulu warna energi sihirku.

Si pemuda masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Aku pun melesat pergi menuju kedai. Tak sampai dua menit, aku sudah berada di halaman kedai. Dua pemuda sedang berjibaku melawan dua orang bertopeng. Terlihat tiga pemuda yang lain sudah bergeletakkan di tanah. Tak perlu berpikir lagi, aku segera melesat ke tengah pertempuran. Tangan si topeng yang diselubungi sinar hitam hampir saja mengenai dada salah satu pemuda itu berhasil aku tahan.

DESH ...!

Asap hitam merebak dari benturan tanganku dengan tangan si topeng. Dentumannya lumayan kuat. Asap hitam itu menghilang dua detik kemudian. Orang bertopeng langsung mengarahkan tinjunya yang terlapisi sinar hitam ke wajahku, tetapi aku langsung menghindar ke samping. Orang bertopeng tidak menyerah, dia langsung mengayunkan kakinya untuk menghantam pinggangku dan berhasil.

DUAKK ...!

Aku terjatuh ke samping. Namun tentu itu tidak menyurutkan niatku mengalahkannya, aku langsung melesat dan menghantam orang bertopeng itu dengan tangan kosong.

DUAKK ...!

Orang bertopeng itu langsung menyilangkan tangannya untuk bertahan. Tetapi tetap saja tinjuku membuatnya terdorong mundur. Tiba-tiba di tangan orang bertopeng itu mulai muncul lingkaran sihir dan tercipta bola sihir berwarna hitam. Dia langsung melemparkan tekniknya itu ke arahku. Aku langsung membentuk pertahanan dengan petirku tetapi terlambat. Bola sihir berwarna hitam itu menghantam tubuhku sebelum aku sempat membentuk perisai.

BLAAAARR ...!

Asap hitam menelimutiku yang terkena teknik sihir hitam orang bertopeng. Perlahan asap menghilang dan aku masih tetap berdiri dengan telunjuk mengarah pada orang bertopeng itu. Sedikit ada keraguan yang menghantui pikiranku. Apakah orang ini layak mati? Aku tidak ingin ras manusia banyak mati di tanganku. Akhirnya bola petir berukuran kecil melesat juga ke arahnya. Mungkin karena aku terlalu banyak berpikir, orang bertopeng itu sudah siap dengan perisainya.

BLAAAARR ...!

Bola petirku menghantam perisai sihir yang dibuat manusia bertopeng. Aku melihat sihir perisainya mengabur. Tak mau berpikir lama lagi, aku luncurkan lagi bola petir dari ujung telunjukku. Ledakan kedua terjadi dan kini sihir perisainya sirna. Asap hitam menyelimuti tubuh si manusia bertopeng. Namun tiba-tiba, mataku melihat kelebatan secepat kilat yang entah datangnya dari mana. Seekor kelelawar besar menyambar kedua orang bertopeng itu dan membawa mereka terbang ke udara dengan sangat cepat. Aku hanya terpana menyaksikan kelelawar itu menjauh.

“Tuan tabib ... Ini ... Terluka ...” Kata salah satu pemuda.

Aku yang tersadar langsung mengobati ketiga pemuda yang tergeletak di tanah. Setelah selesai mengobati mereka, ketiganya dibawa ke dalam kedai. Aku kembali keluar kedai. Aku masih penasaran dengan kelelawar barusan. Aku menatap langit yang gelap berharap si kelelawar datang.

“Tuan tabib ... Tadi itu apa?” Tanya Pak Pandi yang baru berani keluar dari kedainya.

“Entahlah ... Saya juga penasaran ...” Jawabku dengan masih menatap langit.

“Tuan tabib ... Terima kasih lagi ...” Ucap salah satu pemuda di belakangku.

“Ya, sama-sama ... Sebaiknya kalian menginap di rumahku ...” Kataku. “Sebaiknya kedai Pak Pandi ditutup dulu. Saya khawatir mereka kembali.” Kataku pada si pemilik kedai.

“Baik ...” Sahut Pak Pandi sembari masuk ke dalam kedainya.

Aku melihat kelima pemuda sudah bersiap-siap mengikutiku. Lantas aku pun mengajak kelimanya ke rumahku. Kini rumahku menjadi ramai sampai-sampai Daru pun terbangun dan ikut bergabung ngobrol. Tentu saja ngobrol tidak asik bila tidak ditemani kopi. Kami semua duduk melingkar di atas tikar, berbincang-bincang sambil menikmati kopi yang sudah setengah panas. Satu persatu mereka mulai memperkenalkan diri, mereka semua bersaudara dan aku baru sadar kalau ada dua pasang kembar. Pemuda tertua bernama Cipta, diikuti si kembar pertama yang bernama Candra dan Catra. Pasangan kembar kedua bernama Janggala dan Janitra. Pemuda terakhir yang paling bungsu bernama Pranadipa. Mereka semua bersaudara.

“Bapak pemilik kedai memberitahuku jalan menuju ke sini.” Ucap Pranadipa.

“Ceritakan padaku, jangan ditutup-tutupi. Kenapa kalian dikejar-kejar manusia bertopeng itu?” Tanyaku pada semua kakak beradik ini.

Mendadak semuanya membisu, tak ada yang berbicara sepatah kata pun. Kepala mereka semua menunduk, seakan mereka tengah berusaha menekuni pikiran mereka masing-masing. Melihat keadaan seperti ini aku menjadi sangat yakin kalau pemuda-pemuda ini menyimpan sesuatu yang berat untuk dikatakan. Aku diam menunggu jawaban dari mereka. Semuanya lama terdiam hingga akhirnya Cipta membuang nafasnya keras. Wajah Cipta menengok dan matanya menatapku dalam.

“Kami membawa Perintokalu milik mereka.” Akhirnya Cipta berterus terang.

Perintokalu? Apa itu Perintokalu?” Tanyaku ingin tahu.

Perintokalu adalah semacam jimat untuk membuat monster sihir sihir atau magical beast.” Jawab Cipta yang membuatku terhenyak.

“Apakah kalian bisa menggunakannya?” Tanyaku sangat penasaran.

“Pertama kita harus mempunyai piaraan yang nurut dan mengerti pada kita. Setelah itu, ada ritual mengumpulkan energi sihir yang nantinya energi sihir itu dimasukan ke dalam tubuh peliharaan kita. Semakin besar energi sihir yang dimasukkan, semakin kuat magical beast yang akan dihasilkan. Kami sudah mempelajari ritual dan mantera-manteranya. Rencana kami, setelah sampai di rumah, kami akan membuat magical beast yang bisa melindungi kami.” Papar Cipta lumayan detail.

Aku berpikir sejenak, lalu berkata, “Jimat yang sangat berbahaya jika jatuh lagi ke tangan mereka. Lebih baik jimat itu kita hancurkan saja.”

“Jangan! Jangan tuan tabib! Bangsa Demon dan antek-anteknya sudah mengembangkan jimat sihir ini sejak lama. Aku sangat yakin, sekarang mereka sedang membuat banyak magical beast untuk menyerang kita. Maksud kami, kami akan membuat magical beast tandingan.” Kata Cipta dan lagi-lagi aku harus terkejut hebat.

“Dari mana kalian tahu kalau bangsa Demon sedang membuat magical beast?” Tanyaku lagi dan lagi.

“Kami tak sengaja menemukan buku penelitian mereka di Gurun Retana. Di sana dituliskan tujuan mereka membuat ribuan magical beast untuk memerangi bangsa Naga. Tetapi rupa-rupanya tujuan itu belum bisa terlaksana karena mereka membutuhkan banyak energi sihir. Aku takut bangsa Demon telah menciptakan satu magical beast yang sangat kuat untuk menghancurkan bangsa manusia.” Ungkap Cipta sangat masuk akal.

“Baiklah ... Kalau begitu simpan lah. Tapi, aku harap kalian aman dan selamat sampai kalian bisa menciptakan magical beast yang kalian impikan.” Kataku.

“Tuan tabib ... Karena tuan tabib sudah mengetahui Perintokalu dan tuan tabib bisa melindungi kami. Bagaimana kalau tuan tabib menjadi bagian dari kami. Kita semua akan menciptakan magical beast terkuat yang bisa melindungi bangsa manusia.” Pinta Cipta bersungguh-sungguh.

“Aku tidak yakin. Tidakkah kalian berpikir, Jika bangsa Demon dan antek-anteknya akan terus memburu kalian untuk bisa mendapatkan jimat mereka kembali. Jangan-jangan nyawa kita akan dicabut mereka sebelum magical beast yang kalian cita-citakan terwujud. Saranku, lebih baik hancurkan jimat itu daripada meneruskan ambisi kalian. Lagi pula, kita juga akan kesusahan membuat magical beast jika harus mengumpulkan energi sihir yang banyak. Siapa yang rela memberikan energi sihir secara sukarela?” Aku menjelaskan pendapatku.

“Kita bisa mengerahkan warga kota untuk menyumbangkan sedikit energi sihir mereka.” Tiba-tiba si kembar Candra bersuara.

“Apakah kamu yakin? Apakah kamu tidak mengantisipasi kalian akan disangka orang gila?” Tanyaku dan mereka terdiam mungkin sedang merenungkan ucapanku. Tak lama aku meneruskan kata-kataku lagi, “Kalau mau ... Berikan Perintokalu itu pada raja kalian. Biar mereka yang menentukan, bagaimana menggunakan Perintokalu itu. Menurutku itu akan lebih aman daripada nyawa kalian terus dibayangi bahaya.”

“Benar kak ... Apa yang dikatakan tuan tabib itu benar. Dengan titah raja, kita bisa membuat magical beast yang sangat kuat.” Ujar si kembar Janitra.

“Aku kok merasa ragu ...” Cipta akhirnya berkata. “Raja-raja manusia masih memikirkan untuk menaklukan raja-raja manusia yang lain. Mereka masih berpikiran untuk memperluas wilayah kekuasaan. Bangsa manusia belum bisa seperti bangsa Demon yang memiliki rasa persatuan yang kuat. Raja-raja manusia memiliki ego yang besar, buktinya saat Kerajaan Duvador berperang dengan bangsa Elf yang dibantu bangsa Demon, kerajaan-kerajaan besar tidak mau membantu.” Jelas Cipta.

“Kalau begitu, hancurkan saja.” Kata si bungsu, Pranadipa.

“Kalau dihancurkan sayang. Satu Perintokalu hanya bisa membuat satu magical beast. Mungkin lebih baik Perintokalu ini digunakan untuk membuat magical beast walaupun dengan kekuatan rendah.” Ucap Cipta.

“Hhhmm ... Jadi Perintokalu hanya bisa dipakai sekali? Setelah membuat magical beast, Perintokalu sudah tidak terpakai lagi?” Tanyaku semakin menjadi menarik pembicaraan tentang Perintokalu ini.

“Benar ... Setelah Perintokalu berhasil membuat magical beast, dia akan hancur secara otomatis.” Jawab Cipta lalu menghabiskan kopinya.

Aku pun bangkit lalu berjalan ke kamar. Langsung saja aku membuka lemari dan mengambil tas gendongku. Dari dalam tas gendong, aku mengambil satu batu Ruby pemberian Petteri. Setelahnya, aku keluar kamar dan duduk di tempatku semula.

“Aku akan membuat penawaran.” Kataku dan Cipta pun langsung bengong.

“Penawaran? Penawaran bagaimana?” Tanya Cipta kebingungan.

Aku meletakkan batu Ruby di atas meja, “Bagaimana kalau Perintokalu milikmu ditukar dengan batu Ruby milikku?”

“Wow! Batu Ruby yang indah ... Pasti sangat mahal harganya ...!” Seru si bungsu, Pranadipa.

Sementara Cipta menatapku curiga, dan bertanya, “Tuan tabib mau apakan Perintokalu itu?”

“Aku akan membuat magical beast untuk membantuku berkelana. Niatku adalah membuat magical beast yang bisa terbang mengarungi samudra.” Aku utarakan niatku.

“Oh ...” Gumam Cipta sambil berpikir. Aku rasa dia sedang menimbang-nimbang tawaranku.

“Kak ... Berikan saja Perintokalu itu pada tuan tabib ... Lagi pula, kita tidak akan lagi dikejar-kejar oleh manusia bertopeng itu lagi. Perintokalu akan lebih aman dipegang oleh tuan tabib.” Ungkap si kembar Janitra coba membujuk kakanya.

Cipta pun memandangku dan berkata, “Baiklah ... Saya terima tawaran tuan tabib.”

Cipta menyuruh adik bungsunya untuk mengeluarkan Perintokalu dari dalam tas yang ia selalu selendangkan di tubuhnya. Pranadipa pun meletakan sebuah botol kecil berisi cairan berwarna hitam pekat lalu mengeluarkan juga sebuah buku lumayan tipis dan menyimpannya di samping botol berisi cairan hitam tersebut.

“Itu adalah Perintokalu dan buku cara pembuatan magical beast. Saya percaya tuan tabib akan menciptakan magical beast yang hebat.” Ujar Cipta.

Akhirnya kami melakukan transaksi, aku mengambil Perintokalu dengan bukunya, sementara Cipta mengambil batu Ruby. Akhirnya kami ngobrol panjang lebar. Benar-benar seru. Kami yang sebelumnya tak pernah kenal, kini begitu dekat satu sama lain. Sampai tak terasa malam semakin larut, kami pun memutuskan untuk beristirahat. Para pemuda tidur beralaskan tikar di ruang depan. Daru tidur di kamarnya sementara aku beristirahat di kamarku sendiri.

...
...
...


Pagi menyingsing fajar, suasana masih berkabut dingin samar-samar dalam kegelapan. Keenam pemuda bersaudara itu memacu kuda mereka yang baru saja aku belikan untuk mereka. Aku harap mereka semua selamat sampai di tujuan. Sebenarnya mereka menggunakan kereta kuda. Namun kereta kuda mereka dihancurkan oleh dua manusia bertopeng yang mengejar-ngejar mereka. Dengan menunggangi kuda, satu orang satu kuda, aku yakin dua manusia bertopeng itu akan sulit mengejar keenam pemuda tersebut.

Giliran aku dan Daru yang meninggalkan kedai Pak Pandi. Beberapa warga mengantar kepergianku. Semuanya berharap suatu waktu nanti aku kembali ke kota ini. Aku menunggangi Si Black dengan laju sedang, diikuti Daru di belakangku. Menurut surat yang ditulis Petteri, tujuanku adalha sebuah pulau yang bernama Kobba Klintar, sebuah pulau kosong yang dihuni magical beast yang berbentuk kalajengking besar. Letak pulau ini, ada di bagian timur benua, kebetulan tidak terlalu jauh dengan lokasiku sekarang. Dengan berkuda santai seperti ini, aku bisa mencapai kota pelabuhan sekitar dua hari. Dari kota pelabuhan, aku akan berlayar yang diperkirakan hanya akan memakan waktu seharian. Begitu yang ditulis Petteri dalam suratnya.

Aku bersyukur karena perjalananku sangat lancar. Tadinya aku mengira akan ada yang menghadang karena aku membawa Perintokalu. Saat hari menjelang malam, aku sampai di sebuah kota yang cukup ramai. Kota ini masih di bawah kekuasaan kerajaan Tinberg yang dipimpin oleh Ratu Treysca. Aku menginap di salah satu penginapan yang tidak terlalu mahal namun nyaman. Selepas mandi dan makan, aku juga Daru memutuskan untuk jalan-jalan. Kebetulan sekali, dekat penginapanku sedang ada pasar malam.

“Pak ... Bukannya itu kepiting yang suka ada di swah?” Tanya Daru sambil menunjuk kepiting besar yang dijual oleh seorang nenek tua. Kalau di bumi aku menyebutnya rajungan.

“Itu bukan kepiting sawah. Tapi kepiting laut.” Jawabku sekenanya karena aku sendiri kurang mengenal rajungan dan tidak pernah memakannya.

“Kenapa dijual ya pak?” Tanya Daru terheran-heran.

“Ya untuk dimakan.” Jawabku sambil tersenyum.

“Aku ingin mencobanya pak ...” Ujar Daru sambil menarik tanganku ke penjual rajungan.

“Mau beli kepitingan, nak?” Tanya si nenek penjual sumringah.

“Bapak mau?” Tanya Daru bukannya menjawab pertanyaan si nenek.

“Tidak ...” Jawabku.

“Nek ... Gimana cara makannya?” Tanya Daru bersemangat.

Lantas si nenek penjual mengajarkan Daru memakan kepiting besar itu. Aku memperhatikan sejenak, namun perhatianku teralihkan pada buku-buku yang dijajar rapi di samping penjual kepiting besar. Aku berjalan mendekati jajaran buku-buku itu dan melihat-lihatnya.

“Cari buku apa ya pak?” Tanya seorang pria paruh baya yang entah dari mana datangnya, tahu-tahu sudah berada di depanku yang terhalang oleh jualannya.

“Saya mencari buku sihir elemen api pak.” Jawabku. Entah kenapa aku teringat dengan pelajaran sihir untuk Daru.

“Oh, ini ...” Sahut si penjual sambil mengambil sebuah buku bersampul merah. Dan ternyata benar, buku di tanganku adalah teknik dasar sihir elemen api.

“Berapa harganya pak?” Tanyaku.

“Dua koin perak.” Jawab si penjual dan langsung saja aku memberinya dua keping koin perak.

“Ada lagi yang ingin bapak pelajari?” Tanya si penjual sambil tersenyum. Aku tahu kalau dia menyangka aku yang akan belajar teknik sihir dasar dan tentunya sangat aneh orang seusiaku mempelajari sihir teknik dasar.

“Oh ... Ini buat anak saya ...” Aku coba meluruskan pikirannya.

“Oh, maaf ... Saya kira untuk bapak ...” Ujar si penjual sambil mengambil dua buah buku dan memberikannya padaku.

“Untuk anak bapak, sebaiknya belajar sihir ini juga. Buku berwarna biru adalah teknik sihir membuat lemari sihir. Gunanya untuk menyimpan barang-barang bawaan saat sedang berpergian jadi lebih praktis dan lebih aman. Buku yang berwarna kuning adalah ilmu bergerak cepat untuk penyihir elemen api.” Jelas si penjual. Aku menilik kedua buku dan aku merasa tertarik dengan buku lemari sihir.

“Berapa kedua buku ini pak?” Tanyaku.

“Saya kasih lima keping koin perak.” Jawabnya.

Tanpa menawar aku segera memberinya lima keping koin perak. Aku ngobrol-ngobrol sejenak dengan si penjual tentang buku-buku yang dijualnya. Tak ada satu pun buku tentang ilmu sihir elemen petir karena menurut si penjual sihir elemen petir sangat tidak popular dan tidak diminati untuk dikuasai. Selain sulit mempelajarinya, penyihir yang menggunakan teknik sihir elemen petir sangat mudah kehabisan energi sihir saat bertarung. Setelah puas berbincang-bincang, aku mengajak Daru melanjutkan jalan-jalan.

“Gimana? Enak gak kepitingnya?” Tanyaku.

“Enak sekali pak. Aku sampai habis lima.” Jawab Daru.

“Itu bukannya enak, tapi lapar.” Kataku sambil terkekeh ringan.

Daru pun tertawa terbahak-bahak, anak itu bahkan mengatakan kalau dia masih lapar. Daru memang anak yang energik, dia tak pernah diam mendatangi stand-stand pedagang walau hanya sekedar untuk melihat-lihat saja. Aku dan daru terus berjalan menyusuri lokasi masar malam, sampai akhirnya ada sesuatu yang menarik perhatianku. Seorang pria tampan berperawakan tinggi besar sedang berbelanja di sebuah stand. Bagaimana aku tidak tertarik padanya, karena yang aku lihat adalah Anggabaya, orang yang kutaklukan pada duel di kota raja. Segera aku menghampiri orang itu lalu menyapanya.

“Tuan Anggabaya.” Sapaku setelah agak dekat. Anggabaya menoleh dan wajahnya menampakkan keterkejutan, tetapi sekejap kemudian wajah Anggabaya tampak sangat ramah.

“Tuan Azka ... Sedang apa tuan di sini?” Tanyanya sambil mengulurkan tangannya. Aku sambut dia dan kami berjabat tangan erat. Jujur, aku senang dengan keadaan ini. Anggabaya tidak menunjukkan sikap permusuhan.

“Saya sedang jalan-jalan dengan anak saya.” Jawabku sambil melirik Daru yang sedang berdiri di sampingku.

“Oh ... Ini anak tuan Azka?” Ujar Anggabaya sambil melepaskan jabatan tangannya lalu mengusap-usap kepala Daru.

“Tuan Anggabaya sedang jalan-jalan juga di sini?” Tanyaku.

“Hhhmm ...” Anggabaya menghela napas cukup keras sambil tersenyum. “Saya pindah ke sini dari kota kerajaan.” Jawabnya kemudian.

“Loh ... Kenapa?” Tanyaku cukup terkejut.

“Saya sengaja menghindari mantan istri saya ... Tuan Azka, saya minta maaf atas tindakan saya tempo hari. Saya pikir Tuan Azka lah teman selingkuh Ana. Ternyata sekarang saya tahu kalau anak panglima tertinggi lah selingkuhannya. Sekali lagi saya minta maaf.” Ucap Anggabaya sembari menjura hormat.

“Saya juga minta maaf karena telah berlaku kasar pada tuan. Sesunguhnya saya juga tidak tahu apa-apa tentang Ana. Saya hanya menolongnya saat dia hampir mati kelaparan.” Kataku sedikit menutupi kebenaran.

“Ana juga bilang begitu pada saya. Jadi kebenarannya adalah Ana tidak pernah mencintai saya. Memang pernikahan kami karena perjodohan Yang Mulia Ratu Treysca. Orang-orang kepercayaan Yang Mulia Ratu Treysca hampir semuanya dijodohkan, termasuk saya. Sebelum Ana menikah dengan saya, Ana sudah mempunyai kekasih, yaitu tadi anak panglima tertinggi. Selama masa pernikahan, saya merasa Ana selingkuh. Saya tidak terima dengan sikap Ana seperti itu. Akhirnya saya sering marah-marah dan kejadian terakhir sebelum Ana minggat, saya memang memukulinya.” Papar Anggabaya yang membuat aku sedikit mengetahui latar belakang wanita itu.

“Sekarang saya mengerti.” Kataku sambil tersenyum miris.

“Ya, dan ternyata Ana mengakui kalau Puspa adalah anak hasil hubungan gelapnya dengan kekasihnya.” Ucapan Anggabaya begitu menyayat hati.

Aku langsung memegang pundaknya, “Hidup ini terlalu singkat untuk dilalui dengan penyesalan. Kita tidak harus menangisi apa yang sudah terjadi. Bukankah lebih baik melupakan daripada mengingat dan menyesali?” Kataku coba menghiburnya.

“Benar ... Oleh karena itu saya meminta kepada Yang Mulia Ratu untuk pindah kesini. Saya ingin melupakannya dan membangun hidup baru yang mudah-mudahan lebih baik.” Kata Anggabaya sambil tersenyum.

“Baiklah kalau begitu ... Saya akan melanjutkan jalan-jalan saya.” Kataku.

“Baik Tuan Azka ... Kalau ada waktu mampirlah ke tempat saya. Saya ada gedung pemerintahan kota. Rumah saya ada di belakangnya.” Jawab Anggabaya.

“Lain kali saya akan mengunjungi tuan.” Kataku sambil bersalaman.

“Saya tunggu Tuan Azka si penyihir petir.” Sahut Anggabaya setengah bercanda.

Aku dan Daru lantas melanjutkan jalan-jalan di pasar malam. Setelah Daru merasa puas, akhirnya aku kembali ke penginapan. Daru langsung merebahkan diri di atas kasur, sementara aku mulai membaca buku sihir untuk membuat lemari sihir. Tentu sihir ini sangat berguna untuk menyimpan barang-barang penting dan tentunya menjadi sangat aman. Ternyata apa yang sedang aku pelajari adalah sihir yang bernama ‘Magia dimensiune-spatiala’.

Aku kemudian membuka halaman pertama buku tenrang Magia dimensiune-spatiala, dan mulai membacanya secara seksama. Tak lama, aku membuka halaman kedua, halaman ketiga, halaman keempat, dan terakhir halaman kelima, hingga buku lima halaman itu selesai dibaca dalam jangka waktu yang lumayan singkat. Aku coba membacanya sekali lagi hingga konsep sihir Magia dimensiune-spatiala itu sudah berada di dalam otakku.

“Sekarang akan aku coba.” Kataku bermonolog.

Aku memejamkan mata dan perlahan membuka telapak tangan. Perlahan sebuah lingkaran sihir berwarna putih bersih tanpa noda tercipta di atas tanganku. Lingkaran itu perlahan masuk ke dalam tubuhku dan bersinar terang. Perlahan cahaya meredup, dan memperlihatkan sebuah lingkaran sihir di punggung tangan kanan. Aku membuka mata lalu secara perlahan aku mengalihkan pandangan ke arah punggung tangan kananku dan terlihatlah sebuah lingkaran sihir berwarna hitam di sana. Aku tersenyum tipis, perlahan aku mengangkat tangan dan berkonsentrasi...

[Spatiala]

Perlahan di depanku terbuka sebuah lingkaran berwarna biru muda sebesar bola basket. Aku tersenyum melihat hal itu sebelum melirik ke arah buku di atas kasur. Aku mengambil buku itu dan mencoba memasukannya ke dalam lingkaran tersebut. Setelah selesai, aku menghilangkan lingkaran itu. Aku pun tersenyum tipis lalu perlahan aku menyampingkan tanganku dan seketika lingkaran yang sama seperti sebelumnya muncul dan mengeluarkan buku yang tadi aku masukan. Aku mempelebar senyuman dan mengambil buku yang aku masukkan tadi. Setelahnya, lingkaran biru muda itu mengecil dan menghilang.

Aku mempelajari sihir itu dengan mudah karena aku memahami konsep dasar dari formula sihirnya. Magia dimensiune-spatiala ini hanya memerlukan prinsip ruang saja. Ya, aku bisa mempelajari formula sihir ini karena aku memahami konsep temanya. Bukankah hal itu wajar? Orang lain juga akan belajar secepatku jika mereka memahani konsep formula sihir mereka. Memang seorang penyihir harus memahami konsep tema dari sebuah formula sihir sebelum si penyihir menguasainya. Hal itulah yang selalu ditekankan Petteri padaku saat aku mulai mempelajari sihir.

Aku langsung menyimpan barang-barangku di lemari sihir yang baru saja aku ciptakan. Ternyata dimensi yang kuciptakan sangat luas, mungkin aku bisa menyimpan barang-barangku sebanyak-banyanya. Ajaibnya, apa yang aku inginkan langsung tergenggam di tangan. Aku sangat senang mempunyai sihir semacam ini, tampak seperti mainan anak-anak namun manfaatnya sangat luar biasa.

Akhirnya aku ikut merebahkan badan di sisi Daru yang sudah terlelap tidur. Sejenak aku menghayalkan istri dan anak-anakku di bumi. Rasa rindu menjalari anganku. Terbayang wajah istriku dan wajah anak-anakku. Lantas aku tersenyum dan memejamkan mata. Akhirnya, aku pun tertidur seraya memegang buku yang baru saja kubaca.
Bersambung

Chapter 6 di halaman 46 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
Sing Penting Coment sik.....
Ngopi sik hu ...
Bro @Aswasada ....keep up
•⌣»̶·̵̭̌✽̤̈🐡 Terima Kasih 🐡✽̤̈·̵̭̌«̶⌣•
Lama tidak ngopi bareng brother ... Maaf lagi agak sibuk ...
Makasih updatenya suhu @Aswasada
Sama-sama hu ...
Suwun updatenya, moga lancar selalu
Sama-sama hu ... Terimakasih atas doa dan dukungannya ...
comen sik
suwun hu upnya


salamsehatsuksesnlancarjayaselalu
Ngopi sik hu ...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd