Bagian Lima
AWAL BARU
satu
Setelah seharian penuh menjadi patung bisu di sudut rumah Imel; mengenakan tuxedo hitam dan sepatu pantofel milik alrmahum Sebastian Chang, menyaksikan orang-orang dengan wajah-wajah tak terduga berdatangan menyampaikan duka cita yang mendalam; akhirnya Arman mendapat izin dari Imelda untuk pulang.
"Enin nanti khawatir kalau aku tidak pulang." Kata Arman sambil membelai rambut Imel yang lembut.
"Aku enggak mau kamu pergi."
"Sebentar saja. Ngasih uang belanja buat Enin... uangnya mungkin sudah habis."
"Kamu harus balik lagi ke sini."
"I ya, besok aku ke sini."
"Gak mau besok. Aku engga bisa melewatkan malam ini sendirian, Man."
"Aku secepatnya balik lagi ke sini."
"Janji ya?"
"I ya."
Tiba di rumahnya sendiri yang sederhana, Arman duduk menelonjor di kursi panjang. Enin menawarinya kopi tubruk ketika tiba-tiba Dase datang dan menyelonong masuk ke dalam rumah. Dia duduk di kursi pendek dan sikap bersahabatnya tampak dibuat-buat.
"Nongkrong ke depan, yuk, Man."
"Aduh, Se, aku cape sekali. Mungkin aku akan langsung tidur."
"Nin, Dase juga mau kopi." Kata Dase ketika Enin membawakan secangkir kopi buat Arman. "Dapat berapa hari ini?"
"Hari ini sepi, Se." Jawab Arman.
"Berapa? Coba lihat?"
"Nih, cuma 70 ribu."
"Aku minta goceng ya?"
"Ambilah."
Dase mencomot uang 5 ribuan dan memasukkannya ke dalam saku bajunya, lalu dia mencomot sebatang rokok yang kemasannya tergeletak di meja. Rokok itu tinggal 1 batang lagi, tapi kelihatannya Dase tidak peduli. Dia kemudian menceritakan berbagai hal yang tidak penting serta sebuah lelucon yang tak lucu... beberapa menit kemudian Dase pun tahu kalau Arman sudah ngorok di kursi.
Dase menatap Arman dengan tatapan dengki.
Dia menenggak kopi yang disediakan untuk Arman, kemudian pergi ke luar. Di luar dia berdiri sejenak di depan moge matic 250cc itu dan menatapnya dengan jahat. Dia kemudian berjongkok dan mengeluarkan cutter dari saku celananya.
"Cukup satu sayatan, mudah-mudahan kamu tabrakan dan mampus." Katanya dalam hati dengan tatapan penuh iri dan kebencian.
Srettt!
Sayatan itu tidak terlihat... tapi apabila ban belakang itu berputar cepat... hanya Tuhan yang tahu, kapan dan di mana ban tubeless itu bisa mendadak robek... atau bahkan mungkin meledak. Bisa saja ketika Arman tengah berada dalam kecepatan 80 km/jam di tengah jalan raya yang ramai oleh lalu lalang kendaraan...
Dase meninggalkan rumah Arman sambil bersiul-siul. Tapi dia tidak tahu jika Arman tersenyum pedih dari balik gorden jendela. Dia mengintip semua yang dilakukan Dase dengan tatapan mengembang oleh air mata.
"Mengapa? Mengapa kamu berbuat seperti itu? Apa salah aku?" Bisik Arman. Hatinya merasa terpukul dan sedih.
dua
Setelah minta izin kepada Enin, Arman ke luar rumah dengan hati-hati. Dia melalui gang belakang yang sempit dan agak memutar sehingga tidak perlu melewati gang utama di mana biasanya teman-temannya nongkrong.
Malam sudah jatuh dan Arman berharap dia bisa menemukan bengkel tambal ban yang masih buka. Ternyata ada.
"Wah, koq bisa robek seperti ini ya Bang?" Tanya Tukang Tambal Ban. "Ini harus diganti, tapi kami stoknya enggak punya... paling besok."
"Tapi kalau saya pake bisa bahaya enggak bang?"
"Sangat bahaya. Ini enggak bisa diprediksi apakah robek atau meledak... simpan aja motornya di sini, Bang. Besok siang diambil."
"Baiklah."
"Pake uang muka, bang, 400 ribu aja."
"Baik, cari kualitas yang terbaik ya bang." Kata Arman.
"Siap."
tiga
Arman naik angkot dan turun di ujung jalan. Dia harus berjalan kurang lebih 700 meter untuk mencapai rumah Imel. Perasaannya gamang dan pilu mengingat apa yang dilakukan Dase terhadapnya. Saat melangkah, matanya yang awas menemukan dua orang polisi berjalan berlawan arah dengannya.
"Rupanya si reserse itu..." Pikir Arman. Dia lalu berbelok ke arah kios rokok yang kebetulan ada di situ dan membeli sebungkus rokok beserta koreknya. Kedua polisi itu rupanya ke kios itu juga untuk membeli rokok dan dua kaleng minuman ringan.
Arman pura-pura tidak peduli.
"Ngapainnya juga komandan nyuruh kita ngawasin rumah itu..." Kata salah seorang yang bertubuh lebih pendek.
"Bodo amat." Kata si tinggi besar. "Kita ngerokok dulu di sini sebentar... istirahat sejenak."
Arman berlalu meninggalkan ke dua polisi itu, kali ini dengan langkah yang lebih hati-hati. Dia bahkan melihat ada beberapa orang yang mencurigakan berlalu lalang di depan rumah itu.
"Hm, aku tak bisa langsung masuk lewat pintu depan..." Pikir Arman. Dia mengeluarkan telponnya dan memanggil Imel.
"Koq lama sih." Begitu diangkat itulah kalimat yang pertama kali didengar Arman.
"Mel... kalau enggak salah, halaman belakangmu ada pintu yang ke gang ya..."
"I ya, emang ada. Biasa dipake sama Yati kalau ke warung di belakang."
"Aku masuk lewat situ ya... aneh, Mel, di depan banyak polisi..."
"Masa sih?"
"Papamu orang penting bukan, Mel?"
"Bukan. Papaku orang biasa saja... bukan siapa-siapa. Ya udah, lewat belakang aja... eh, tapi motormu gimana?"
"Aku jalan kaki."
"Oh."
"Tadi bannya bocor lagi, sekarang di bengkel."
"Masa? Kan ban tubeless?"
"Udah deh... nanti aku cerita."
"Kamu bantu aku beres-beres dokumen ya."
"Dokumen?"
"Ah udah deh... cepet kamu lewat belakang aja."
Empat
Imelda masih mengenakan gaun hitamnya ketika memuka pintu belakang itu.
"Aku tadi udah makan sama cream soup... kamu udah makan belum?"
"Lupa." Kata Arman. "Hari ini cuma makan lontong kari tadi pagi..."
"Makan dulu ya."
"I ya. Kenapa sih kamu baik banget sama aku?" Tanya Arman.
"Kan kamu pacar aku."
"Oh i ya, lupa. Koq kamu mau sih jadi pacar aku?"
"Ya mau, soalnya kamu ganteng dan baik."
Mereka masuk ke dalam rumah dan menuju ruang makan.
"Sopnya masih anget..." Kata Imel.
"Makasih."
"Tadi liatin kamu berdiri di situ seharian pake tuxedo... seneng deh." Imel tertawa. "Kamu kelihatan seperti orang linglung...tapi ganteng... banyak loh yang nanyain kamu itu siapa..."
"Aku tentu saja orang." Kata Arman tertawa. "Jujur aja seharian tadi aku bingung... banyak orang yang enggak aku kenal... ada yang aneh... ada yang menarik... tapi kayaknya lebih enak semalaman begadang ngeliatin kamu pingsan... pengen deh..."
"Pengen apa hayo?"
"Pengen meluk biar kamu merasa nyaman."
"Aku juga pengen meluk kamu..." Kata Imel. "Tapi kamu mandi dulu... biar seger."
"Ini enggak apa-apa soup sama rotinya aku habisin?" Kata Arman sambil sendoknya tak berhenti bolak-balik masuk ke dalam mulutnya.
"Ga papa... habisin aja... besok beli lagi." Kata Imelda sambil memandangi Arman dengan tatapan lembut. "Aku senang kamu bisa menemaniku di sini."
"Aku juga. Selanjutnya rencana kamu apa?"
"Aku belum tahu, yang jelas aku harus menyantuni dulu keluarganya Pak Hendra... Asep sama Tina bekerja dengan sangat baik, mereka yang ngurusin pemakaman Papa dan segala hal tetek bengek lain...aku berhutang banyak... Arman... berjanjilah... kamu... kamu tidak akan meninggalkanku."
Setengah mangkuk sup itu sudah bersih dalam beberapa menit demikian juga dengan 12 potong roti tawarnya.
"Berjanjilah." Kata Imelda dengan nada gemetar. Dia menunggu.
Arman menatap Imelda dengan tatapan aneh. Selama beberapa detik Arman terdiam.
"Aku masih ada Enin... aku berjanji takkan meninggalkannya..." Arman berkata dengan nada yang sangat serius. "Aku juga tidak akan pernah meninggalkanmu."
"Sungguh?"
"Aku bersungguh-sungguh. Aku tidak akan meninggalkanmu kecuali..."
"Kecuali apa?"
"Kecuali ketika aku kerja atau ke kamar mandi... Mel... perutku mules... aku enggak terbiasa makan sup sama roti." Berkata begitu Arman berlari meninggalkan Imelda yang setengah bengong.
Lima
Selesai mandi dan berganti pakaian, Arman sedikit kebingungan mencari Imel. Padahal rumah itu tidak begitu luas. Dia mengintip ke teras melalui jendela, ke dapur dan ke halaman belakang... tidak ada. Arman memberanikan diri membuka kamar Imel, ternyata tidak ada juga. Akhirnya dengan ragu-ragu, Arman membuka kamar Papanya Imel... kosong.
Ada semacam perasaan kosong yang hampa yang menenggelamkan hati dan perasaan Arman ketika mengetahui Imel tidak ada. Rumah itu menjadi sangat asing dan dia ketakutan pada rasa sepi yang menganga. Sejenak Arman dicekam oleh kesendiriannya yang pilu... masa kecil yang rapuh, masa remaja yang gelisah... sel penjara... malam-malam yang panjang, dingin, lapar, takut...
Arman terduduk di ruang tengah dengan tubuh gemetar ketika sebuah pintu di ujung ruang tengah itu terbuka... Arman baru tahu kalau di situ ada sebuah kamar lain.
"Arman sini, bantuin." Imelda berdiri di ambang pintu dengan mengenakan piyama warna pink yang halus. Sedikit tersentak Arman pun menoleh.
"Kirain di mana." Kata Arman, dia berdiri dan mendekati Imelda yang tampak sangat cantik. Sambil mendekat dia terus menatap Imel dengan lekat.
"Kamu ngapain sih liatin aku kayak gitu... malu tau."
"Maafkan jika aku salah lihat... kamu ini siapa? Bidadari yang nyamar jadi pacarku ya? Hayo ngaku..."
Imelda tersenyum jengah. Dia melihat Arman sangat gagah walau hanya mengenakan kaos putih polos dan celana pendek Papanya yang sudah sangat lama sekali tak terpakai. Dan Imelda sama sekali tak melawan ketika Arman memeluknya dan mencium bibirnya. Bahkan merasa nyaman. Sangat nyaman. Alih-alih melawan, dia malah membalasnya... dengan lebih ganas. Ketika mulut Arman melahap lehernya dan kedua pasang jari jemari Arman meremas buah pantatnya.... Imelda mengerang. Benda yang menonjol dari balik celananya itu menyentuh perutnya dari balik kain piyama...
"Arrmannn... jangan... kita harus kerja dulu..." Imelda berkata dengan nafas tersengal. Sulit sekali baginya untuk melepaskan diri dari gelora yang meledak-ledak yang berasal dari dalam kewanitaannya yang sangat dahaga.
"Kamu engga suka?"
"Bukan... kita beresin dokumen papa dulu... nanti diterusin... besok akan datang notaris..."
"Tapi pipi kamu merah... aku jadi gemes."
"Arman... nanti..." Kata Imel. "Kita kerja dulu... akhh...Arrrmanhhh... kamu..."
Imelda tak sanggup melawan sergapan bibir-bibir Arman yang memamah lehernya dengan sangat lahap. Lututnya gemetar oleh sentuhan bibir-bibir itu sehingga Imel tak sanggup berdiri. Dia terkulai menyandar ke dinding, kepalanya mendongak ke langit-langit dengan mata terpejam. Bibirnya terkatup menahan rasa yang bangkit jauh dari lubuk hati. Kedua tangannya tak memiliki tenaga untuk mendorong dada pemuda itu untuk menjauh.
"Mmmmgghhhh..." Imel mengeluh. Dia mengharapkan tangan pemuda itu segera menggerayangi tubuhnya... menyentuh semua bagian-bagiannya yang sensitif... menelanjanginya... membawanya ke kamar dan...
Namun pemuda itu malah menghentikan semua yang dilakukannya dengan sangat mendadak.
"Nah, cukup. Yuk, kita kerja." Kata Arman.
Imelda melotot melihat Arman yang menyeringai nakal.
"Kamu jahat..." Bisik Imel dengan suara gemetar.
"Nanti diterusin." Bisik Arman.
"Awas kalau bohong."
(Bersambung)