Pengorbanan Ibu
Pagi itu, aku sedang sibu memasak makanan di warung. Jam baru menunjukkan pukul 9. Warung belum sepenuhnya buka karena memang tidak ada pembeli pada jam segini karena orang-orang sedang sibuk-sibuknya bekerja di ladang. Biasanya warung akan buka jam 10 setelah sebelumnya dari jam 8 aku akan memasak makanan untuk dijual.
Semenjak kematian suamiku, aku dituntut untuk mengambil peran ganda tak cuma memberikan kasih sayang sebagai seorang ibu melainkan juga bekerja keras mencari nafsah layaknya ayah. Karena pembagian peran itu, aku sempat merasakan kalau waktu yang kucurahkan untuk bersama anak-anakku berkurang sehingga mungkin mereka tidak begitu menyayangi ibunya.
Aku cukup menyesal dengan keadaan itu terutama dengan Haris. Entah kenapa aku tidak terlalu nyaman berada bersamanya. Mungkin karena dia adalah satu satunya laki-laki di rumah sehingga aku tidak terlalu akrab dengannya. Hal itu berbeda dengan Syifa dan Intan. Tanpa sadar, aku mulai menjauhi putraku sendiri.
Aku tentu menyesal dengan keadaan itu. Namun apaboleh buat. Haris sepertinya juga tidak terlalu menerima kebaradaanku lagi sebagai ibunya. Namun itu semua berubah ketika akhirnya aku menjadi budaknya.
Awalnya aku malu ketika harus memuaskan nafsu anakku sendiri. Ibu mana yang tidak malu jika harus disuruh untuk terus telanjang, menjadi tempat penampungan sperma dan air kencing milik putranya, dan bahkan menerima siksaan dari anaknya sendiri. Itu adalah hal yang amoral dan bertentangan dengan aturan manapun.
Namun seiring waktu, aku merasakan perasaan aneh yang tumbuh dari dalam diriku. Perasaan nikmat yang membuatku terus terangsang setiap kali aku disiksa atau dipermalukan. Akhirnya, aku memutuskan kalau ini adalah bentuk pengabdian baruku. Menjadi budak yang akan memuaskan semua hasrat dari tuan baruku yang tak lain adalah anakku sendiri. Dengan begitu, setidaknya dia dapat mencintaiku lagi dan aku bisa menebus semua kesalahanku. Aku juga berhasil menjerumuskan kedua anakku yang lain menjadi budak dari Tuan Haris sehingga bersama-sama kami terikat sebuah ikatan baru yang melampui ikatan keluarga yaitu ikatan budak dan tuan.
"Loh, masih belum selesai gorenngnya, bu ?"tanya sebuah suara dari pintu dapur. Aku menoleh dan mendapati Bu Lail menjulurkan kepalanya melihatku. AKupun tersenyum sebagai jawaban.
"Iya nih. Tapi sebentar lagi juga paling selesai."
"Kalau udah, bisa temenin saya ngobrol gak ?"
"Eh, emangnya kenapa ?"tanyaku keheranan.
"Ada hal penting yang ingin saya sampaikan,"jawab Bu Lail dengan suara pelan. Aku ingin bertanya lebih jauh tapi aku memutuskan bungkam dan mengangguk saja.
"Baik. Nanti saya temani ibu."jawabku mengiyakan.
Butuh setengah jam kemudina hingga semuanya siap. Setelah memastikan kalau makanan yang dijual sudah cukup, aku akhirnya menemui Bu Lail di rumahnya tanpa lupa mengunci warung terlebih dahulu.
Rumah Bu Lail terletak tepat di samping warung. Rumah itu cukup besar dengan tiang-tiang kokoh dan pintu-pintu besar. Perabot yang ada di sana juga terkesan mewah. Hal itu tak mengherankan mengingat suami Bu Lail yaitu Pak Iskandar adalah salah seorang yang paling kaya di desa kami. Hal itu juga yang membuat Bu Lail biasanya memakai perhiasan paling mewah dan baju paling mahal.
Bu Lail ketika kuhampiri sedang menggunakan jilbab lebar seperut dan gamis berwarna hitam berbahan dasar sutra dengan bordiran emas di beberapa bagiannya. Ada juga sebuah bros berbentuk bunga dari perak yang menjepit salah satu sisi jilbabnya sehingga menambah kesan anggun dari Bu Lail yang memang harus kuakui cukup cantik.
"Ada apa sebenarnya yang ingin dibicarakan sama ibu ?"Tanyaku sopan pada Bu Lail yang sejak tadi kulihat agak murung.
"Saya sedang ada masalah nih sama anak saya, Ilyas. Mungkin ibu bisa bantu saya."
Aku termangu mendnegar kata-kata Bu Lail. Aku kenal Ilyas sebagai anak yang baik dan juga rajin. Dia saat ini sekelas dengan Intan di sekolah yang sama. Di sana dia dikenal sebagai murid yang pintar bahkan beberapa kali memang lomba olimpiade di luar. Itu tidak mengherankan sebab dengna uang yang dimiliki Pak Iskandar, dia dapat menggaji banyak guru hebat untuk memberikan pelajaran privat padanya.
"Memang kenapa dengan Ilyas ?"
"Kayaknya di stress banget sekarang."
"Stress ?"
"Iya. Dia seperti gak enakan kalau makan. Dia juga jadi lebih pendiam dan seperti menghindari kami. Bahkan dia hampir tidak pernah menyapa. Makanya saya ingin bicarakna ini dengan Bu Nur. Bu Nur kan lebih senior dalam mengurus anak, mungkin ibu bisa bantu saya cari jalan keluar."
"Gimana pendapat ayahnya ?"
"Ayahnya sih kayaknya abai gitu aja."Bu Lail menghela nafas panjang sambil menunduk."Saya jadi bingung."
"Ibu gak coba ngomong sama Ilyas ?"
"Sudah tapi, dia kayaknya gak mau ngobrol dengan saya."
Aku mengangguk pelan. Sepertinya aku mulai bisa menebak alasan dari sikap dan kondisi Ilyas."Apa ibu sering memarahinya ?"
"Biasanya ayahnya yang marah apalagi kalau nilainya di sekolah jelek. Saya juga kadang ngomel tapi gak separah ayahnya."
"Begitu ya, sepertinya alasan kenapa Ilyas seperti itu karena tekanan yang ibu dan suami ibu berikan."
"Tekanan ?"
"Bu, Ilyas itu masih remaja. Kondisi emosinya masih labil. Harusnya di usia itu Ilyas dapat bermain dengan bebas. Tapi ibu dan suami malah terus menekannya dengan belajar dan malah memarahinya jika dia berbuat kesalahan. Tentu saja dia merasa tertekan sekali."
"Kalau dia tertekan, kenapa dia tidak bilang saja."ujar Bu Lail sedikit menunjukkan rasa penyesalannya.
"Ibu dan ayahnya sendiri yang tidak mau dekat dengannya. Apa ibu ingat, sebelumnya, berapa kali ibu ngobrol dengan Ilyas."
Bu Lail mengingat sejenak. Terlihat raut penyesalan dari wajahnya."Itu sedikit sekali."
"Maka wajar kalau Ilyas menjadi seperti ini. Anak seharusnya memiliki waktu dekat dengan orang tuanya tapi alih-alih memberikannya, ibu malah menuntutnya untuk terus belajar. Tapi dengan sifat Ilyas yang patuh, dia memilih untuk diam dan tidak melawan. Akibarnya ya, dia jadi seperti ini."
"Lalu, apa yang harus saya lakukan ?"tanya Bu Lail penuh harap.
"Ibu harus bisa memanjakannya dan memberikan segenap cinta padanya."
"Tapi bagaimana ?"
"Ilyas adalah laki-laki,"gumamku sedikit mengambang."Tentu ibu tahu apa kenikmatan yang diinginkan setiap laki-laki."
"Itu biadab namanya !"seru Bu Lail gusar."Apa-apaan ibu ini."
"Mana yang lebih biadab. Melanggar ketentuan moral demi kebahagiaan sang anak atau terus menekannya seperti mesin."
Bu Lail terdiam mendengar kata-kataku. Dia seperti tersadar dengan semua kesalahannya yang akhirnya memunculkan rasa penyesalan yang terlihat di matanya. Perlahan semua kemarahannya sirna digantikan dengan rasa sesal.
"Tapi, apa harus sejauh itu ?"
"Justru ibu harus lebih berkorban. Ibu harus menjadi budak yang melayani anak ibu sebagai wujud dari cinta ibu. Ibu harus rela mendapatkan siksaan dan penghinaan dari anak ibu. Hanya dengan cara itu anak ibu akan bahagia."
"Tapi menjadi budak...."
"Bu,"potongku sambil menatap Bu Lail meyakinkan."Saya juga punya masalah yang sama. Kemudian saya memutuskan untuk menjadi budak yang melayani anak saya dan itu berhasil. Kami menjadi semakin dekat daripada sebelumnya. Semua masalah di masa lalu terlupakan seketika. Hal itu tak lain dilakukan demi kebahagiaan anak kita meski itu berarti mengorbankan kehormatan kita. Bukankah sudah seharusnya seorang ibu berkorban untuk anaknya."
Bu Lail masih terdiam namun kata-kataku sepertinya berhasil meresap ke alam bawah sadarnya. Perlahan semua pemahaman, ketakutan, rasa malu, luntur digantikan sebuah cinta tulus yang akna diwujudkan dengan statusnya sebagai budak yang akan melayani anaknya.
"Ajarkan saya menjadi budak yang baik."
Sore itu Ilyas pulang dengan langkah gontai. Tas yang ada dipunggungnya serasa lebih berat seiring dengan langkahnya menuju rumah. Bayangan akan pelajaran privat yang harus dia jalani dengan sungguh-sungguh membuat momen pulang ke rumah yang harusnya dinantikan malah memberatkannya. Setidaknya di sekolah dia masih punya teman yang sama-sama belajar. Sementara jika mengikuti pelajaran privat, dia harus menelan semua materi bulat-bulat tanpa ada tempat untuk berbagi.
Namun apa boleh buat. Dia tidak bisa menolak begitu saja perintah orang tuanya. Terlebih saat ini dia sudah menduduki bangku kelas 12. Sebentar lagi dia akan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Orangtuanya begitu mengharapkan dia dapat masuk di salah satu kampur negri favorit. Dan tentu saja itu semua hanya bisa dicapai dengan rangkaian belajar tanpa henti.
Memang dia bisa merasakan kalau kecerdasannya makin meningkat. Begitu juga dengan nilai pelajarannya di sekolah. Semuanya meningkat seiring jam belajar gila yang dia lakukan. Karena itulah dia sering mendapatkan pujian dari guru-guru. Namun meski kehidupannya serasa begitu indah dengan pujian yang dia terima, Ilyas sebenarnya merasa frustasi.
Dia kesal harus menghabiskan waktunya di depan guru privat sementara teman-temannya asyik bermain dengan orang sebayanya. Dia jengkel harus menghabiskan waktu membaca tumpukan buku sementara teman-temannya dapat menghabiskan waktu bermain game. Dia juga marah harus diomeli tiap hari oleh orang tuanya karena kelalaian atau kesalahan dalam mengerjakan soal sementara orang tua teman-temannya dapat menerima nilai anaknya berapapun jumlahnya.
Tapi Ilyas tak dapat melakukan apa-apa. Dia hanya bisa mengangguk patuh mendengarkan semua perintah orang tuanya tanpa pernah mendapatkan kesempatan untuk meminta. Dia tidak ingin menjadi anak yang durhaka dengan menyalahi perintah orang tuanya. Entahlah sampai kapan keadaan ini akan terus berlangsung.
Setelah perjalanan yang melelahkan, akhirnya Ilyas sampai di depan rumahnya yang agak sepi sebab memang rumahnya di bangun agak jauh dari rumah penduduk lainnya. Namun betapa terkejutnya Ilyas ketika membuka pintunya dia mendapatiku berdiri menyambutnya.
"Halo Ilyas, sudah pulang sekolah ya ?"sambutku ramah.
"Bu Nur, kok di sini ?"tanya Ilyas tak mengerti."Di mana ibu ?"
"Ibumu sudah menitipkan hadiah padamu."
"Hadiah ?"tanya Ilyas tak mengerti. Jarang-jarang dia mendapatkan hadiah apalagi ini bukan hari ulang tahunnya.
"Benar. Hadiah karena selama ini kamu sudah menjadi anak yang patuh sekaligus permohonan maaf karena selama ini ibumu selalu memaksamu."
"Memang apa hadiahnya ?"
"Itu."Aku menunjuk sebuah karung goni yang diikat dengan tali rafia berwarna merah yang diletakan di sudut ruangan.
"Ini apa ?"
"Coba saja buka. Kau pasti suka."
Dengan agak ragu Ilyas membuka ikatan karung itu dan seketika dia tersentak mundur melihat apa yang ada di dalamnya. Matanya seolah tak percaya melihat pemandangan di depannya.
Di dalamnya, Bu Lail yang telanjang diikat pahanya hingga menyatu dengan betis dalam posisi mengakang sehingga memeknya yang ditumbuhi sedikit jembut terlihat jelas. Tangannya di satukan di belakang kepala sehingga ketiaknya yang bersih dapat terekspos dengan jelas. Tubuhnya diikat dengan jejalin tali yang membuat tokednya yang besar mencuat tegak karena ikatan tali disekitarnya. Mulut Bu Lail tersumpal dengan celana dalamnya sehingga dengan liur yang menetes karena mulut yang terlalu lama terbuka.
"I...i..ni..apa ?"tanya Ilyas masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Ah, ini adalah mainan yang akan menemanimu selama belajar,"jelasku sambil menepuk kepala Bu Lail."Gimana, bagus bukan ?"
"Kenapa ibu begini ?"tanya Ilyas tak mempedulikan penjelasanku.
"Ibumu sudah salah karena selama ini terus mengekangmu. Karena itu dia ingin menebus semuanya dengan mempesembahkan tubuhnya untuk melayanimu."
"Tapi...apa-apaan ini ?"
"Yah, biarkan ibumu sendiri saja kali ya yang menjelaskan."Aku mengambil cd yang menyumpal mulut Bu Lail dan seketika Bu Lail terbatuk karena rahangnya senantiasa terbuka.
"Ilyas, ibu selama ini salah karena terus memaksamu. Ibu selama ini terus menuntutmu menjadi orang yang pintar tapi tak pernah memberiumu kasih sayang sebagaimana kasih sayang yang seorang ibu pada anaknya. Karena itulah ibu saat ini akan menyerahkan seluruh jiwa dan raga ibu untuk melayanimu sebagai budak. "
"Tapi bu, ini bejad sekali. Ibu gak punya malu apa ?"
"Kalau dem itu ibu bisa melayanimu, ibu rela, nak."Bu Lail tersenyum lebar penuh kasih sayang.
"Ilyas,"panggilku,"apa kamu mau menyianyiakan pengorbanan ibumu ?"
Ilyas berdiri dalam bimbang. Dia tahu kalau ini semua adalah salah. Melanggar moral dan bertentangan dengan ajaran yang dianutnya. Namun menyaksikan ibunya yang memohon, Ilyas akhirnya luluh.
"Baiklah, jika itu bisa membahagiakan ibu,"ujar Ilyas.
Ilyas beranjak mendekati ibunya. Terlihat kilatan penuh nafsu yang terpantul dimatanya. Dengan kasar Ilyas mencengkram kepala ibunya dan memaksa ibunya untuk berlutut mencium kakinya.
"Ibu suka kan ?"tanya Ilyas sudah mengganti gaya bicaranya yang sebelumnya sopan santun menjadi merendahkan.
"Iya nak. Ibu suka. Rendahkan ibu lagi."
"Jangan panggil nak lagi. Aku bukan anakmu. Aku tuan yang harus kamu layani."
"Iya Tuan Ilyas."jawab Bu Lail menunduk."Maafkan budak ini karena tak mengenali tuannya."
"Enak saja minta maaf. Kamu harus dihukum."
Ilyas beranjak pergi kebelakang dan mengambil beberapa jepit jemuran berukuran besar serta peralatan belajarnya. Dengan kasar Ilyas menjepit mulai dari puting, toked, klirotis, ketiak, hingga telinga bersamaan dengan kertas note kecil berwarna-warni berisi ringkasan materi dan rumus. Terlihat sekali Bu Lail sangat kesakitan ketika bagian sensitifnya dijepit dengan jepitan jemuran. Namun demi kepuasan sang anak, Bu Lail hanya bisa merintih pelan sebab dia tak ingin suaranya menganggu si anak.
Ilyas kemudian memasukan satu persatu alat tulisnya ke dalam memek ibunya hingga penuh. Bu Lail berusaha mati-matian menjaga tubuhnya untuk tetap diam agar alat tulis itu tidak terjatuh. Meskipun demikian dia harus menahan diri dari rangasangan yang muncul akibat memeknya yang dimasuki benda asing.
"Biasanya kontolku suka pegel kalau lagi belajar. Tapi untung sekarang aku punya alat pemijat kontol."ujar Ilyas yang membawa sebuah bangku dan buku. Dia membuka celananya sehingga kontolnya dapat terlihat jelas. Secara reflek Bu Lail langsung memasukan kontol anaknya ke dalam mulutnya sambil memaju mundurkan kepalanya agar kontol anaknya bisa mendapatkan kenikmatan.
"Bener-bener mantep."cercau Ilyas di tengah belajarnya."Coba aku punya alat kayak gini setiap belajar."
Aku tertawa melihat keadaan Bu Lail. Dia yang sebelumnya merupakan wanita kaya yang dihormati, sekarang berubah menjadi alat pemuas anaknya yang siap disiksa demi memberikan kenikmatan pada anaknya.
Perangkap Untuk Ustazah
"Bagaimana hasil kerjamu, Nur ?"tanya Tuanku, Haris. Aku yang sedang berlutut di depannya dan dengan nikmat mengulum kontol miliknya. Suasana rumah sedang sepi sebab Syifa dan Intan sedang ke kota untuk bekerja memperdagangkan tubuh mereka.
"Sesuai dengan arahan, saya sudah berhasil membuat 2 orang yaitu Bu Riska dan Bu Lail menjadi budak bagi keluarga mereka. "
"Begitu ya,"Tuan Haris manggut-manggut mendengar laporanku. "Aku sudah berbicara dengan Tuk Siamang, dia memberiku perintah agar Bu Jannah langsung menjadi budakku."
"Tapi bagaimana caranya ?"
"Itu dia. Jannah punya perisai agama yang kuat. Gendhing Abira Abilasa saat ini mungkin tidak akan bisa menembusnya. Kita butuh strategi baru untuk menaklukkan ustazah satu ini."
"Apakah Tuan sudah punya rencana ?"tanyaku penuh harap. Sebab aku tidak tahu lagi bagaimana cara menaklukkan Bu Jannah tanpa menggunakan Gendhing Abira Abilasa.
"Tenang saja. Aku udah punya cara yang hebat."Tuan Haris tersenyum licik sambil memandang tubuhku."Dan aku butuh bantuanmu untuk melaksanakannya."
Hujan deras mengguyur Desa Permai sore hari itu. Suasana desa yang biasanya ramai karena orang-orang yang beranjak kembali dari ladang mereka sekarang begtu lengang karena orang-orang lebih memilih untuk berteduh daripada harus menerobos lebatnya hujan.
Namun itu tak berlaku buatku. Dengan sebuah payung aku berjalan cepat menembus derasnya hujan. Langkahku cepat melewati jalan-jalan yang becek dan licin dan tidak mempedulikan juga gamisku beranjak kotor. Tujuanku hanya satu. Mencapai rumah Bu Jannah.
Setelah perjelanan yang bisa dibilang cukup melelahkan itu, aku akhirnya tiba di rumah Bu Jannah. Rumah itu terkesan sederhana namun sejuk oleh beberapa pohon yang di tanam di halaman. Rumah itu punya teras yang luas serta beberapa meja dan kursi tamu untuk menjamu orang yang sering datang ke rumah untuk meminta nasihat dari suami Bu Jannah yang merupakan seorang kyai kondang.
"Assalamualaikum,"seruku berusaha mengalahkan suara derasnya hujan.
"Wa'alaikum salam."Tak selang lama sejak aku salam, Bu Jannah telah keluar dengan gamis polos berwarna merah dan jilbab senada. Wajahnya yang teduh terlihat cantik meski usianya berkepala empat. Karismanya yang merupakan seorang dengan pengetahuan agama yang tinggi semakin menambah kesan kecantikan yang terpancar dari dirinya.
"Bu, ada hal penting yang harus saya sampaikan."Sejenak aku menjeda kalimatku dan memasang wajah ragu."Ini tentang anak ibu, Jamilah."
Mendengar nama anaknya disebut, sontak saja Bu Jannah membelalak terkejut,"kenapa dengan Jamilah ?"tanyanya. Rasa cemas terlihat sekali tak terhankan dari wajahnya yang biasanya tenang.
"Dia kecalakaan, bu."
"Apa ? Kecelakaan ?"tanya Bu Jannah berusaha mempercayai pendengarannya.
"Iya bu. Dia kepeleset pas lagi jalan pulang."
"Terus, sekarang dia ada di mana ?"
"Kebetulan anak saya temuin dia. Sekarang dia ada di rumah saya."
"Kalau begitu biar saya langsung kesana,"cetus Bu Jannah dengan wajah khawatir.
"Suami ibu gimana ?"
"Gampanglah ngurusnya."jawab Bu Jannah yang beranjak mengambil payung dan mengunci rumah."Sekarang sebaiknya saya ke rumah ibu dulu."
"Baik bu."
Akhirnya kami berdua berjalan beriringan menyusuri jalanan desa yang becek kembali ke rumahku. Terlihat sekali Bu Jannah yang begitu khawatir dengan keselamatan putrinya hingga langkahnya menjadi begitu cepat tanpa mempedulikan kalau air hujan sudah begitu membasahi ujung jubahnya.
Akhirnya kami sampai ke rumahku. Segera saja kubuka pintu rumah dan tanpa bisa kucegah, Bu Jannah sudah menghambur masuk dengan pandangan celingukan.
"Dimana Jamilah ?"tanya Bu Jannah cemas.
"Tenanglah bu. Jamilah baik-baik saja. Mending ibu sekarang duduk dulu."
"Mana Jamilah ?"Tanya Bu Jannah lagi kali ini lebih mendesak.
"Dia sekarang sedang istirahat di kamar."
Menanggapi jawabanku, Bu Jannah langsung saja hendak menerobos masuk lebih dalam ke rumahku. Namun aku segara memalanginya dengan tubuhku serta memberinya senyuman.
"Minggir, bu."ketus Bu Jannah kasar."Saya pengen ketemu Jamilah."
"Gak usah buru-buru,"tukasku pelan."Lihat, baju ibu basah. Kenapa gak dibuka dulu."
"Maksud ibu apa ?"tanya BU Jannah dengan pandangan mengancam.
"Sebaiknya Anda melakukannya, Ustazah,"ujar Tuan Haris dari belakangku.
"Kalian kenapa sih ?"Tanya Bu Jannah tak mampu mengatur emosinya."Mana Jamilah !"
"ibu sabar dululah,"
"Kamu jangan main-main ya !"seru Bu Jannah makin tak terkendali."Mana anak saya !
"Okelah kalau ibu maksa. Ayo ikut."ajak Tuan Haris ke dalam dan membuka kamarnya dan sontak saja Bu Jannah seolah tak mampu bergerak atau bahkan berbicara melihat pemandangan di depannya.
Jamilah dengan kondisi telanjang menyisahkan kerudung putih seragam sekolahnya sedang terikat dengan kaki mengakang memperlihatkan semua memeknya yang ditumbuhi sedikit bulu. Kedua lengannya terikat kuat ke belakang sementara paha dan kakinya juga terikat sehingga dia hanya bisa terus begitu dalam posisi mengakang. Kepalanya ditupupi sehelai kain yang membuatnya tak dapat melihat sedangkan mulutnya tersumpal rapat oleh lakban.
"Apa-"Bu Jannah serasa tak percaya memandang kondisi putrinya.
"Gimana, bu. Bagus gak karya saya ?"Tanya Tuan Haris sinis.
"Bajingan !"umpat Bu Jannah yang langsung saja menampar Tuan Haris sampai terjengkang. Aku sontak ingin mendekat tapi tangan Tuan Haris keburu terangkat mencegah langkahku.
"Ibu tenang dulu..."
"Diam. Apa yang sudah kau lakukan pada jamilah !"
"Waduh, sepertinya bakalan susah kalau jelasin sama orang yang ngamuk. Kalau gitu..."Dengan sebuah isyarat mata Tuan Haris memberi titah. Segera saju aku menyergap Bu Jannah dari belakang dan menelikung tangannya ke belakang punggung dan mengaitkannya dengan tanganku.
"Apa-apaan ini bu Nur ?"tanya Bu jannah marah.
"Ini belum seberapa bu."Tuan Haris menepukkan tangannya dan muncullah 3 sosok yaitu Bu Salma, Bu Riska, dan Bu Lail. Ketiganya punya penampilan yang sama yaitu telanjang menyisahkan jilbab lebar yang tersampir ke belakang sehingga bentuk tubuhnya yang indah dapat terlihat jelas. Mereka bertiga datang dengan kondisi merangkak seperti anjing. Dengan santainya Tuan Haris duduk di atas punggung Bu Salma dan menatap Bu Jannah yang kini tak berdaya dalam telingkunganku.
"Apa yang kalian lakukan dasar najis !"umpat Bu Jannah marah. Hilang sudah sosoknya yang berpembawaan tenang. Semua digantikan oleh sosok pemarah usai melihat kebejatan di depan matanya.
"Mereka cuma melayani sebagaimana seharusnya mereka melayani. Sebagai budak."
"Itu benar Bu Jannah,"jawab Bu Riska."Bu Nur sudah menunjukkan pada saya bagaimana seharusnya saya berbakti pada ayah saya. Maka sebagai balas budi, saya juga akan melayani tuan dari Bu Nus."
"Saya juga. Saya sudah belajar bagaimana menjadi ibu yang baik. Karena itulah saya mengabdi pada Tuan dari Bu Nur, yaitu Tuan Haris."
"Kalian semua udah kelewatan. Ini gak bermoral."
"Sudahlah, kita sekarang bukan ingin bahas moral. Saya cuma ingin memberi penawaran, ibu ingin supaya anak ibu selamat kan ?"tanya Tuan Haris sinis.
"Tentu saja !"
"Kalau begitu, saya punya permainan. Kalau ibu bisa menyelesaikan permainan dengan mengalahkan budak-budak saya, maka ibu dan anak ibu akan saya lepaskan. Tapi kalau ibu kalah, maka Jamilah akan saya perkosa."
"Enak saja. Lebih baik saya teriak sekarang. Kalian pasti akan mati dikeroyok warga."
"Coba saja bu. Budak saya pasti akan segera membekap ibu."
Bu Jannah mulai berpikir sejenak. Itu benar. Dia akan langsung diringkus sebelum sempat berteriak. Dia tak akan punya kesempatan menang melawan lima orang sekaligus.
"Baiklah, apa permaiannnya ?"
"Gitu dong. Nah sebelum itu, mending ibu telanjang deh. Tapi jilbab disampirin ke belakang aja. Muslimah harus berhijab kan."
"Apa-apaan kamu ! Jangan kurang ajar !"
"Lebih baik ibu nurut deh. Jika tidak,"sekilas Tuan Haris menoleh pada Jamilah dan kembali menatap Bu jannah."foto-foto anak ibu akan tersebar dengan cepat. Saya yakin bakalan banyak yang pengen melihatnya."
Bu Jannah bimbang sejenak. Dia sekilas melihat Jamilah dengan rasa tak tega. Dilema segera melanda hatinya. Tentu saja dia tak akan mau merendahkan dirinya dengan membuka bajunya. Namun demi sang anak, dia harus melakukannya.
Dengan tangan bergetar, Bu Jannah membuka gamisnya yang memiliki kancing di depan hingga gamisnya lolos ke bawah. Memperlihatkan tubuhnya yang meski sudah berumur namun tetap terlihat indah dibungkus bh berwarna ungu dan cd senada
"Ayo bu, buka semuanya."
Dengan muka masam Bu Jannah meraih kaitan bh nya di belakang kemudian dengan cepat tokednya yang besar segera ditupi dengan lengan yang melingkar. Dengan cara yang sama Bu Jannah juga meloloskan celana dalamnya.
"Jangan disembunyiin dong, kita kan pengen liat tubuh ibu."perintah Tuan Haris. Akhirnya dengan gerakan patah-patah Bu Jannah membuka tangannya dan meletakannya di samping. Pandangannya menunduk kebawah menahan malu yang membakar.
"Ok waktunya lomba. Nur, bawa barangnya ke sini."Aku segera beranjak ke kamar dan kembali dengan beberapa jepit jemuran dan untaian benang. Bu Salma, Bu Riska, dan Bu Lail serempak berdiri mengambil posisi di sebrang Bu Jannah. Aku menjepit toked kanan Bu Salma, toked kiri Bu Lail, dan memek Bu Riska
Usai menjepit ketiganya, aku kemudian beralih ke Bu Jannah. Kujepit kedua putingnya sekaligus kloritisnya. Terlihat sekali kalau Bu Jannah sangat kesekitan karena bagian paling sensitifnya dijepit dengan keras oleh jepit jemuran. Namun rasa cinta yang besar terhadap anaknya membuatnya hanya bisa diam sambil meringis. Setelah itu, kuikatkan benang ke masing jepit jemuran Bu Jannah dan kusambungkan masing masing benang ke jepitan di Bu Salma, Bu Riski, dan Bu Lail. Setelah persiapan selesai, aku juga ikut membuka bajuku dan menyisahkan jilbabku kemudian merangkak dan menyediakan tubuhku menjadi kursi untuk Tuan Haris.
"Baik, aturannya sederhana. Kalian berempat akan memainkan tarik benang tapi gak boleh pake tangan. Kalau misalnya Bu Jannah bisa ngelepas 2 jepit jemuran aja, ibu menang. Tapi kalau sampai jepitan di ibu lepas 2, maka ibu akan kalah dan Jamilah bakalan kuperkosa."
Bu Jannah hanya bisa mengangguk pasrah mendengar aturan main yang Tuan Haris berikan. Dia sebenarnya sangat malu untuk melakukannya apalagi jika harus membayangkan rasa sakit dijepit jemuran itu. Namun demi anaknya Bu Jannah harus melakukannya.
"Bersiap, mulai !"seru Tuan Haris memberi aba-aba. Serentak mereka berdua mulai berjalan mundur sambil meringis menahan sakit dari jepitan jemuran di bagian sensisitf mereka.
Bu Riska dengan semangat dan mengabaikan rasa sakit dan tancap gas langsung mundur kebelakang hingga jepitan yang ada di klirotis Bu Jannah terlepas disambut jeri kesakitan darinya.
Tak mau kalah, Bu Jannah berusaha balik melawan dengan memundurkan tubuhnya dengan meringis sakit. Bahkan matanya mulai menitikkan air mata menahan sakit. Namun perjuangan itu berbuah hasil. Jepitan di toked kanan Bu Salma terlepas.
Namun Bu Jannah yang sudah kehabisan tenaga akhirnya harus menyerah. Dia tak kuat menahan sakit yang ada diputing kirinya akibat tarikan keras diputingnya hingga jepitan itu akhirnya terlepas diiringi jeritan sakit Bu Jannah yang juga tersungkur jatuh.
"Yah, jadi sudah jelas siapa pemenangnya sekarang."ujar Tuan Haris beranjak berdiri."Dan sekarang waktunya mencicipi memek anakmu."
"Tolong jangan."reflek Bu Jannah mencegah dengan memeluk kaki Tuan Haris."Tolong jangan perkosa anak saya."
"Boleh aja asalakan ibu bersedia jadi budakku."
"Baiklah asalakan jangan perkosa anak saya."
"Kalau begitu, ibu bersumpah akan melayaniku dan akan menuruti semua perintahku."
Dengan bersimpuh pasrah, Bu Jannah akhirnya mengucapkan sumpah itu."Saya Jannah dengan ini menyatakan kalau saya akan menjadi budak dari Tuan Haris dan akan melayaninya serta mematuhi semua keinginannya."
"Bagus. Kalau begitu sesuai perjanjian, akan kubebaskan anakmu."Tuan Haris memberi isyarat padaku. Aku dengan bergegas bangkit dari posisiku kemudian melangkah ke arah Jamilah dan melepaskan ikatan sekaligus juga penutup mata dan mulut. Jamilah terlihat begitu kelelahan dan kebas karena diikat dalam waktu yang lama.
"Jamilah..."panggil Bu Jannah lirih. Dia senang melihat anaknya terbebas meski itu berarti dia harus merelakan tubuhnya.
Namun Jamilah tidak menghampiri Bu Jannah. Dia justru mengambil posisi merangkak dan mengarah pada Tuan Haris. Kemudian dengan takzim Jamilah mencium kaki Tuan Haris tanda hormat dan berujar,"saya sudah melakukan perintah Anda, Tuan."
"Apa-apaan ini ?"tanya Bu Jannah seakan tak percaya dengan pemandangan di depannya.
"Seperti yang ibu lihat, saya sudah menepati janji dengan melepaskannya dan tidak akan memperkosanya. Tapi sayangnya sekarang dia sudah menjadi budak saya dan akan selalu haus kenikmatan yang diberikan kontol saya."jawab Tuan Haris sambil tertawa panjang mengabaikan Bu Jannah yang hanya bisa terpana.
"Dasar bajingan !"seru Bu Jannah murka namun tubuhnya serasa dipaku ke bumi.
"Ibu gak akan bisa melawan lagi. Ibu sudah bersumpah dan sepenuhnya akan menjadi budakku dan akan terus terikat selamanya."tawa Tuan Haris panjang sebab akhirnya dia berhasil menanamkan Gendhing Abira Abilasa tepat ketika sumpah telah diucapkan oleh Bu Jannah. Dengan begitu, Bu Jannah telah sepenuhnya tunduk menjadi budak Tuan Haris tanpa bisa melawan perintahnya.
"Dasar kamu ya,"geram Bu Jannah.
"Ibu gak perlu khawatir."Dengan langkah pelan Tuan Haris menghampiri Bu Jannah dan mengelus pelan wajahnya."Ibu akan segera menikmati ini."
Majlis Baru
Bu Jannah tak berdaya dengan posisi terbaring di atas lantai. Kedua tangan dan kakinya terkekang oleh tali keempat sudut yang membuat posisinya menjadi seperti x. Bu Jannah tak mengenakan pakaian sehelaipun selain jilbab lebar yang tersampir ke belakang. Dengan keringat yang terus membanjiri tubuhya, Bu Jannah menanti hal apa yang akan dia alami.
Aku dengan posisi merangkak seperti anjing dengan kalung yang melingkar indah di leherku. Rambutku kali ini dibiarkan terlihat dan diikat sanggul ke belakang. Sementara seutas rantai terhubung dari kalungku ke tangan dari Tuan Haris yang menatap mesum Bu Jannah yang tak berdaya.
"Nah Bu Jannah, sekarang, sesuai janji saya, saya akan memberi kenikmatan yang tidak akan pernah ibu rasakan."
"Bajingan kamu !"bentak Bu Jannah dengan wajah kesal.
"Saya tahu ibu sebenarnya kesepian. Suami ibu gak pernah hadir untuk memberikan kenikmatan yang sebenarnya adalah kebutuhan dasar ibu. Ibu harusnya berterima kasih pada saya karena saya mau dengan sukarela memuaskan nafsu ibu. Yang ibu perlu lakukan hanyalah menyerahkan segenap jiwa dan raga untuk melayani saya."
"Gak akan !" bentak Bu Jannah lagi."Ini biadab ! "Bu Jannah sekilas menoleh padaku."Nur, kamu ini apa-apaan. Ini melanggar aturan agama dan moral. Kenapa kau malah menuruti nafsumu dan menjadi budak anakmu !"
"Saya tidak sekedar menuruti nafsu, Bu. Saya melakukannya juga demi pembuktian cinta kepada anak saya,"jawabku sambil bermanja di kaki Tuan Haris.
"Itu benar. Dan saya akan membawa ibu pada kenikmatan yang sudah Nur rasakan."Tuan Haris tersenyum sinis sambil menyentuh sejenak puting Bu Jannah."Tapi sebelum itu, untuk pembuka, silahkan nikmati layanan dari anjing kesayanganku."
Seperti mendapat aba-aba, aku dengan semangat langsung menerjang Bu Jannah yang sudah terbaring tak berdaya. Pertama kutindihi tubuhnya kemudian kutekankan tanganku ke lengan Bu Jannah hingga dia menjerit kesakitan. Saat itulah, aku mengambil kesempatan dengan mendaratkan ciuman ke mulut Bu Jannah.
Bu Jannah megap-megap tak mampu bernafas karena mulutnya dibekap olehku. Lidahku masuk ke dalam mulutnya dan membuat Bu Jannah makin tak terkendali. Dia berusaha memalingkan wajah namun tekanan diwajahnya membuat kepalanya tertahan.
Usai bermain, aku melepaskan ciumanku hingga Bu Jannah terengah-engah mengambil nafas. Belum juga Bu Jannah memulihkan tenaganya, aku sudah mendaratkan serangan maut dengan menjilati klirotisnya hingga tubuh Bu Jannah menggeliat bagai cacing kepanasan.
"Hentikan ! "raung Bu Jannah berusaha melawan gejolak nafsu hasil rangsanganku.
"Jangan dilawan, Bu. Nikmati saja."gumam Tuan Haris.
"Enggak...."Dengan tertaih Bu Jannah berusaha mengembalikan akal sehatnya seiring dengan nafsu yang beranjak mengambil alih tubuhnya.
"Lepaskan semuanya bu dan raih kenikmatan itu. Ibu gak seharusnya menderita. Ibu selama ini sudah menahan terlalu lama nafsu ibu yang membara."ujarku di tengah permainan lidahku.
"Berhenti...."
"Udah, nikmati aja bu. Ibu selama ini selalu terbelenggu dengan aturan. Sekarang saatnya ibu lepaskan semuanya dan lampiaskan nafsu yang ibu pendam selama ini."
Aku berpindah ke memek Bu Jannah. Kali ini permainan lidahku lebih lembut menjilati klirotis Bu Jannah hingga dia mengejang menahan kenikmatan terlarang yang harusnya tak dia rasakan terutama yang dihasilkan oleh sesama perempuan. Namun biar bagaimanapun, dia tidak dapat membohongi tubuhnya yang begitu menikmati permainanku.
Hingga akhirnya, tubuh Bu Jannah mengkhianati akal sehatnya. Aku yang sudah bermain lebih dalam dengan hisapan di garis memeknya membuatnya dia mengejang hebat sebelum akhirnya cairan kenikmatan terpancar keluar tanpa bisa dia tahan lagi. Pertanda kalau dirinya sudah jatuh kalah di hadapan nafsunya sendiri.
"Ahhhh ! Nikmat banget !"cercau Bu Jannah ditengah gejolak kenikmatan yang kuberikan.
"Sekarang gantian dong, ibu yang yang jilatin saya."
Bu Jannah dengan sukarela mengangguk. Aku segera berjongkok di atas mukanya seakan wajah Bu Jannah adalah toilet jongkok buatku. Lidah Bu Jannah terjulur menjilati celah di pantatku. Meski pertama kali, harus kuakui kalau Bu Jannah sangat mahir dalam memainkan lidahnya hingga membuatku dengan cepat mengejan menahan nikmat yang bergejolak.
Tuan Haris sendiri tersenyum melihat betapa jatuhnya Bu Jannah dalam nafsunya sendiri. Mulutnya yang senantiasa melantunkan kalimat suci dan penuh petuah kini digunakan untuk menjilati lubang kotoran dari wanita murahan sepertiku. Dia sudah menjual statusnya sebagai ustazah dan memilih untuk menuruti nafsunya dengan menjadi budak.
"Gimana ? Enakkan ?"tanya Tuan Haris saat aku sudah menggelinjang kenikmatan dan menembakkan cairan kenikmatan yang membasahi tubuh dan wajah Bu Jannah. Bu Jannah yang seharusnya jijik kini akhirnya luluh dan mengangguk pelan menyetujui Tuan Haris.
"Ini baru pembukanya aja. Siapkan dirimu akan hidangan utama.
Sore itu tak biasanya diadakan majlis pengajian. Pengajian yang seharusnya diadakan seminggu lagi kini tiba-tiba saja Bu Jannah memberikan pengumuman kalau akan ada pengajian spesial dan akan diadakan di rumahku. Hari itu juga aku sudah menyiapkan banyak hidangan istimewa dibantu oleh Bu Salma, Bu Lail, dan juga Bu Riska. Tentu saja kami semua memasak tanpa mengenakan sehelai pakaianpun dan terselip timun di memek kami. Membuat setiap gerakan kaki akan menimbulkan gesekan dengan kelembutan timun serta rasa mengganjal yang memicu rangsangan tersendiri.
Hidangan yang disajikan tentu saja sudah diberikan ramuan khusus seperti dulu. Namun kali ini porsinya diperbanyak. Kami bahkan sama-sama mengencingi mangkuk berisi adonan untuk menggantikan garam yang digunakan dalam adonan. Sesekali aku dan ketiga budak itu bercanda sambil mencolekkan adonan yang sudah bercampur dengan air kencing kami. Barulah sebelum adonan itu siap dimasukan dalam oven, Tuan Haris membacakan mantra Gendhing Abira Abilasa yang sudah menguat seiring makin banyak budak yang telah jatuh di bawah pengaruhnya. Bahkan BU Jannah yang bisa dibilang cukup alim saja sampai jatuh bertekuk lutut oleh kekuatan mantra itu.
Hingga semua hidangan yang disajikan mulai dari kue, gorengan, hingga minuman semuanya mendapatkan perlakuan sama. Mendapatkan ramuan khusus hasil campuran sperma dan air kencing serta dibacakan mantra oleh Tuan Haris sehingga bisa dijamin siapapun yang memakannya akan langsung kehilangan akal sehatnya dan akan bertekuk lutut menjadi budak dari Tuan Haris.
Akhirnya para jemaah pengajian dari Bu Jannah satu persatu hadir. Semuanya kalau ditotal menjadi 12 orang termasuk aku dan ketiga budak lainnya. Ruang tamu rumahku sudah dibersihkan dari kursi dan meja dan digantikan dengan hamparan karpet serta aneka ragam hidangan yang menggugah selera.
"Bu, sebenarnya kenapa hari ini tiba-tiba kita kajian ?"tanya salah seorang ibu-ibu pada Bu Jannah.
"Oh, itu karena saya akan menyampaikan hal yang penting. Namun sebelum itu kita makan hidangan dari Bu Nur dulu."Dengan ramah Bu Jannah mempersilahkan. Ibu-ibu yang ada kemudian mulai menyantap hidangan yang ada meski dengan tetap menyisahkan perasaan yang mengganjal.
Obrolan ramah terdengar dari majlis itu. Bu Jannah dengan nikmat menikmati kue di depannya meski dia tahu kalau adonannya sudah bercampur dengan kencingku. Hidungnya bahkan berusaha menghirup sisa bau dari kencingku. Sepertinya sejak dia menjilati memekku dia jadi tergila-gila pada aromanya.
"Mmmm, kuenya enak banget bu. Resep baru ya ?"tanya seorang ibu-ibu.
"Iya. Ini resep spesial yang baru aja saya pelajari. Bahan yang dipake juga spesial."
"Emangnya apa ?"
"Kencing sama sperma."
"Ih, ibu kalau bercanda jangan jorok dong. Kita lagi makan nih."Aku hanya tertawa kecil mendengar tanggapannya.
Beberapa menit kemudian, aku mulai melihat efek dari makanan tersebut. Nafsu mereka tiba-tiba saja terpantik memancing fantasi di kepala mereka terhadap hal-hal yang berhubungan dengan seksual. Suhu tubuh mereka juga beranjak meningkat yang berimbang dengan desahan yang dikeluarkan serta butiran keringat yang tak tertahankan.
"Baik ibu-ibu sekalian, sekarang saya ingin memberikan pengumuman,"ujar BU Jannah menarik perhatian. Sontak saja semua pandangan teralih padanya dengan rasa penasaran.
"Hari-hari ini, saya sudah mendapatkan pencerahan yang luar biasa. Saya akhirnya tahu tujuan saya diciptakan sebagai wanita. Bu Nur sudah menjadi orang yang mengajarkan pada saya bagaimana seharusnya posisi wanita dan saya sangat senang dengan posisi tersebut. Maka dari itu, saya ingin ibu-ibu sekalian juga mendapatkan kenikmatan dari posisi tersebut."
Aku tersenyum menatap Bu Jannah. Sepertinya pelatihan yang diberikan oleh Tuan Haris berhasil mengubah pemikiran Bu Jannah yang sebelumnya sangat kukuh memegang ajaran agama menjadi wanita yang haus akan kontol.
"Tugas kita sebagai wanita adalah sebagai pemuas nafsu laki-laki yang besar. Itulah kenapa tubuh kita diciptakan dengan indah dan kita memiliki cinta yang besar. Sebab pada hakikatnya kodrat kita adalah melayani nafsu laki-laki. Maka sudah seyogyanya kita menyerahkan segenap jiwa raga kita dan melepas status manusia yang melekat beserta aturan moral dan agama yang hanya mengekang kita dan menjadi budak pemuas para lelaki."
"Tunggu dulu ! ibu ini ngomong apa !"
"Saya berbicara yang sejujurnya. Tidakkah ibu ingin agar para lelaki bahagia. Maka dari sebaiknya kita buang semua ego yang selama ini telah membuat kita melupakan kodrat kita sebagai pemuas nafsu lelaki."
""Ibu ini apa-apaan. Ibu ini ustazah loh. Harusnya ibu tahu kalau ini melanggar aturan agama."
"Bukankah tuhan ingin hambanya bahagia ? Maka jika dengan menjadi budak kita bisa meraih kebahagiaan, kenapa tidak. Ingat, saya ini lebih berilmu dari ibu-ibu sekalian. Sebaiknya ibu patuh saja dan saya jamin ibu akan mendapatkan kebahagiaan."tegas Bu Jannah. Beberapa ibu-ibu mulai mengangguk. Sepertinya Gendhing Abira Abilasa mulai bereaksi mengaburkan akal sehat mereka dan menggantinya dengan nafsu birahi dan hasrat memuasakan laki-laki.
"Biar saya contohkan bagaimana menjadi budak yang baik."Bu Jannah tanpa malu lagi langsung melepaskan gamisnya dan memperlihatkan tubuh polosnya yang sudah tidak ditutup apa-apa.
"Ibu kenapa telanjang . Ibu gak malu!"jerit seorang jamaah terkejut.
"Buat apa malu. Untuk menghambakan diri memuaskan hasrat lelaki sekaligus memenuhi kenikmatan kita, kita harus melepaskan segala rasa malu, ego, moral, dan aturan sebab hal itulah yang selama ini menghambat kita merengkuh kenikmatan. Ayo Bu Nur, Lail, Riska, dan Bu Salma, silahkan juga lepaskan baju kalian. Mari kita sambut tuan kita yang mulia.
Serempak kami berempat membuka gamis kami dan menyampirkan jilbab ke belakang hingga tubuh kami yang mulus tanpa penghalang itu dapat terlihat dengan jelas. Tak selang lama, tiba-tiba dari ruang dalam, keluar Tuan Haris yang masih lengkap mengenakan baju namun bagian bawahnya tidak memakai penutup lagi sehingga kontolnya yang besar terlihat mengacung gagah.
Ibu-ibu terlihat terkejut melihat Tuan Haris datang dengan kondisi seperti itu namun tidak untuk budaknya. Kami berlima sontak berebut untuk bisa mencium kaki dari Tuan Haris seolah berkah terdapat di sana. Tentu saja kami melakukan itu dengan posisi merangkak seperti anjing.
Usai prosesi penciuman, kami mengambil posisi. Bu Salma menjadikan punggungnya sebagai tempat Tuan Haris duduk sedangkan Bu Lail dan Bu Riska terus menjilati kaki dari Tuan Haris. Aku sendiri mengambil posisi di belakang Tuan Haris dan meletakan kepala Tuan Haris di belahan tokedku agar Tuan Haris dapat bersandar. Sedangkan Bu Jannah, dia menungging di depan Tuan Haris dan menyediakan pantatnya untuk disodok oleh kontol Tuan Haris.
"Ibu-ibu bisa lihat...ahhh..."ujar Bu Jannah di tengah sodokan nikmat di bokongnya."Betapa bahagianya kami ketika kami melepaskan diri dari segala ego, malu, kehormatan, aturan, moral, dan lainnya. Kami dapat sepenuhnya menuntaskan nafsu kami dan juga dapat membantu tuan kami melampiaskan nafsunya. Jadi buat apa terus mempertahankan hal yang hanya mengekang kita...ahhhh."
Tuan Haris menyodok lebih keras lagi pantat Bu Jannah yang menungging di depannya dengan sesekali menampar pantatnya yang sekal. Beberapa ibu-ibu bukannya risih malah terangsang bahkan satu dua tanpa sadar mulai memainkan toked mereka.
"Jadi bagaimana ibu-ibu. Apa ibu-ibu bersedia menjadi budak dan mendapatkan kenikmatan seperti kami."
Beberapa ibu-ibu saling pandang. Mereka yang terpengaruh oleh makanan yang mereka sebelumnya santap ingin sekali menuntaskan nafsu mereka yang bergejolak. Namun rasa takut dan ragu masing menguasai mereka.
"Ibu-ibu gak perlu takut. Lihatlah saya. Saya walaupun merupakan orang yang berpengetahuan agama yang luas, tapi lebih memilih hal ini sebab hanya dengan cara inilah saya dapat meraih kebahagiaan yang saya dambakan selama ini. Saya tahu ibu-ibu juga punya hasrat yang sama. Ibu harus melepaskannya dan membuang semua yang mengekang ibu."
"Baiklah kalau begitu. Kami, kami semua juga ingin menjadi budak dan mendapatkan kenikmatan seperti ibu."jawab salah satu jemaah diikuti anggukan yang lain.
"Kalau begitu ibu-ibu semua silahkan tanggalkan semua pakaiaan yang selama ini menutupi tubuh ibu yang harusnya dinikmati orang banyak. Tapi sisahkan jilbab ibu-ibu sekalian sebab kita harus mempertahankan identitas kita sebagai muslimah."
Dengan gerakan yang agak ragu, satu persatu ibu-ibu itu mulai menanggalkan gamisnya dan menyisahkan jilbabnya. Awalnya beberapa masih agak malu menunjukkan tubuhnya yang telanjang. Namun seiring melihat Bu Jannah yang begitu menikmati persetubuhan itu kembali membangkitkan hasrat mereka dan menyingkirkan rasa malu.
"Sekarang silahkan berlutut dan bersumpahlah untuk menjadi budak yang taat dengan menyerahkan segala jiwa raga pada Tuan Haris."
Sontak mereka bersimpuh dan mengucapkan sumpah bergantian. Aku tersenyum melihat hal itu. Dengan sumpah itu, maka resmilah mereka menjadi budak. Akal sehat dan rasa malu mereka telah pergi digantikan hasrat untuk memuaskan Tuan Haris.
"Kamu emang benar-benar hebat, Nur,"gumam Tuan Haris yang tersenyum senang mendapatkan budak baru.
"Saya senang jika Anda senang, Tuan."jawabku juga tersenyum lebar.
"Baiklah, mulai hari ini, nama majlis ini adalah majlis budak. Tujuan kalian bukan lagi memperdalam ilmu agama melainkan mempelajari hal yang dapat memuaskan nafsu lelaki. Kalian hanya boleh mengenakan jilbab saja ketika berada dalam majlis ini. Dan kalian harus siap mematuhi semua perintah dariku. Mengerti ?:Tanya Tuan Haris dengan suara lantang.
"Baik Tuan."
Bonus : Sumbangan
Sore itu kembali kajian digelar. Hari itu galiran adalah Bu Salma. Maka sejak azan ashar, kelompok pengajianku sudah berbondong-bondong mendatangi rumah Bu Salma.
“Assalamualaikum, ibu-ibu,”sapa Bu Salma ramah menyambut kedatangan kami semua dengan senyuman bersahabat.
“Waalaikum salam.”jawab kami semua serempak.
“Wah, ibu-ibu ini, cepet banget datengnya. Untung saya udah siapin hidangannya.”Bu Salma dengan senyuman lebar berujar.
“Kalau soal makanan mah, siapa yang bisa ngalahin Bu Salma,”timpal Bu Jannah seorang ustazah yang menjadi pengisi kajian kami.
“Bener tuh. Bu Riska aja sampai sengaja gak makan biar bisa habisin banyak makanan Bu Salma,”ujar Bu Lail.
“Eh, enak saja !”seru Bu Riska tak terima.
“Sudah-sudah, nanti gak selesai berantemnya,”ujarku menengahi.
“Oh ya, kok belum pada masuk ya.”ujar Bu Salma teringat sesuatu.”Ayo semuanya masuk. Protokolnya jangan lupa ya.”
Di dalam rumah telah terhampar sebuah karpet berwarna merah tipis. Di atasnya terhidang segala jenis makanan yang terlihat begitu menggugah selera. Namun bagian yang paling menarik adalah, telah ada belasan timun segar yang diletakan di nampan.
“Ayo ibu-ibu semua, mari kita semua lepaskan belenggu nafsu kita.”perintah Bu Jannah takzim.”Tapi tetap sisahkan jilbabnya. Mari kita tunjukkan kealiman sekaligus nafsu kita.”
Kami semua mengangguk dan segera melepaskan gamis yang kami pakai hingga menampilkan tubuh yang begitu indah yang tidak tertutup apa-apa lagi sebab Bu Jannah telah memerintahkan kami untuk tidak memakai daleman apapun sebagai wujud pengabdian kami sebagai budak. Namun meski begitu kami menyisahkan jilbab menutupi rambut kami dan hanya disampirkan ke bawah sehingga toked kami dapat menggantung bebas tanpa tertutup apa-apa lagi.
Kami kemudian mengambil masing-masing 1 timun dan mengambil posisi duduk melingkari hidangan. Perlahan kami masukan timun itu menembus bool kami hingga cukup dalam dan membuat kami menejerit. Usai memastikan timun itu mantap terjepit di antara bongkahan pantat kami, barulah kami mengambil posisis duduk. Tentu saja posisi itu membuat timun itu mendorong lebih dalam.
“Baik ibu-ibu semua,”kata Bu Jannah menarik perhatian. Dia juga berpenampilan sama seperti kami dengan tubuh mulus tidak tertutup apapun melainkan hijab lebar berwarna hitam yang kontras dengan kulitnya yang disampirkan ke belakang.”Sebelum kita mulai kajian ini, mari kita saksikan dulu sesi motivasi yang akan dibawakan oleh Bu Lail dan Bu Riska.”
Kami semua bertepuk tangan menyambut Bu Lail dan Bu Riska yang beranjak beridiri di bagian yang agak renggang dengan senyum genit. Kedua sosok akwat itu saling tatap dengan pandangan penuh nafsu seolah ingin melahap orang di depannya.
“Baiklah, mulai !”
Setelah mendengar aba-aba itu, Bu Lail yang punya tubuh lebih besar langsung menerjang Bu Riska hingga terjatuh. Mulut Bu Lail langsung melahap mulut Bu Riska dan menghisapnya hingga Bu Riska megap-megap mencari udara. Lidah Bu Lail kemudian terjulur masuk ke dalam mulut Bu Riska dan mulai memelintir lidah Bu Riska.
Merasa kalau dirinya terus di desak, Bu Riska mengambil inisiatif meremas toked besar Bu lail hingga dia menjerit kenikmatan dan melepaskan pautan mulutnya.
“Ahhhhhh, jangan di remes….”
Bu Riska dengan abai terus meremas kuat kedua toked Bu Lail. Kini situasi berbalik. Bu Riska berhasil membalik tubuh Bu Lail dan kini dia berada di atas dan melanjutkan remasan di toked besar Bu Lail. Sesekali mulutnya juga bergerak menciumi Bu Lail membuat Bu Lail yang tak kuat dengan rangsangan yang diberikan akhirnya mencapai klimaksnya.
Kami semua yang menyaksikan tanpa sadar mulai bermastrubasi. Tangan kami lincah bermain mulai dari menggesek hingga keluar masuk melewati jepitan memek kami sendiri. Mendengar serta menyaksikan permaianan Bu Lail dan Bu Riska membuat nafsu kami terangkat.
Beginilah suasana baru di kelompok pengajian Bu Jannah. Kami semua kini tanpa malu lagi menampilkan lekuk tubuh dan melepaskan nafsu hewani yang sebelumnya coba kami sembunyikan rapat-rapat. Setiap kajian, kami selalu telanjang bulat dengan menyisakan jilbab serta memasukan benda-benda tertentu ke anus kami. Kami juga mengadakan permaian lesbian yang dikatan Bu Jannah dapat menaikkan gairah semangat kami dalam mengikuti kajian.
Setelah permainan panas itu selesai, kajian diambil kembali oleh Bu Jannah. Materinya adalah kehormatan seorang muslimah. Tubuhnya yang sintal terlihat bergoyang seksi seiring bibirnya yang mengucapkan beberapa petuah nasihat yang sangat berkebalikan dengan keadannya sendiri.
“Jadi ibu-ibu, kehormatan kita sebagai wanita adalah dengan melayani nafsu para lelaki. Karena itu ibu harus melepaskan nafsu yang selama ini terpendam agar menjadi lebih binal dalam melayani lelaki. Kita juga harus mengabdikan segenap jiwa dan raga kita agar dapat melayani para lelaki dengan penuh totalitas.”
“Bu, bukannya kalau begitu kita akan jatuh dalam dosa ya ?”tanya salah seorang jamaah.
“Dosa itu justru kalau kita tidak bisa melayani kaum lelaki. Karena itu, jangan sampai rasa malu menghali ibu-ibu dalam mengungkapkan nafsu yang sudah digariskan pada kita semua.”jawab Bu Jannah penuh wibawa. Suatu ajaran yang sangat bertentangan dengan ajaran yang selama ini dia ajarkan pada kami semua.
Setelah kajian, kami mulai menyantap hidangan yang sudah disajikan oleh Bu Salma sambil berceloteh ringan. Beberapa dari kami bahkan sempat bercanda dengan menyentil putting milik ibu-ibu yang lain.
“Hemmm, sirup ini enak banget bu,”komentarku sambil menikmati sirop orange yang disajikan.
“Enak kan bu. Itu pakai kencing anak saya loh,”jawab Bu Salma.
“Ah, masih enakan kencingnya ayah saya. Dia lebih mateng.”Bu Riska tak mau kalah.
“Enakan anak saya lah.”Timpal Bu Lail yang merasa tersaingi.
“Udah-udah, nanti gak ada selesai-selesainya debat.”ujar Bu Jannah menenagahi.”Oh ya ibu-ibu, jadi berhubung uang kas halaqah kita sudah banyak, saya ingin mengusulkan supaya kita menyalurkan uang kita pada yang membutuhkan.”
“Hmmm, saya setuju. Tapi mau disalurkan ke mana ?”
“Karena itu saya mau bahas bareng ibu-ibu sekalian.”
“Gimana kalau disalurkan aja ke pemulung dan pengemis di pinggir jalan kayak biasa.”usul Bu Riska.
“Gak ah. Masa mereka terus yang dapet.”tanggap Bu Lail tak terima.
“Itu benar. Kita harus beda kali ini.”
“Bu, kalau saya usul, gimana kalau uang sumbangan ini kita kasih ke para PSK.”usulku angkat suara.
Semua orang menatapku dengan tatapan heran. Mereka tak menyangka kalau aku akan mengusulkan PSK yang selama ini dianggap sebagai golongan najis.
“Kenapa begitu ?”
“Berini, selama ini kita terlalu menganggap diri kita suci dan abai kalau sebenarnya para wanita yang menjajakan tubuhnya untuk dinikmati orang lainlah yang sebenarnya terhormat. Mereka telah terlebih dahulu membuang rasa malu agar tubuh mereka bisa dijamah dengan bayaran yang kecil. Kita harusnya malu pada mereka. Karena itu, saya mengusulkan supaya kita menyerahkan sumbangan pada mereka sebagai bentuk permintaan maaf juga karena menganggap mereka wanita hina.”
“Betul juga. Kita harusnya menyerahkan mereka sumbangan untuk membantu kehidupan mereka yang juga pas-pasan.”Bu Jannah mengangguk-angguk setuju.
“Kita juga gak hanya memberikan sumbangan. Saya sarankan kita juga harus melayani para gelandangan, pengamen, preman, pengemis, dan pemulung dengan harga murah. Kita harus menyedakhkan tubuh kita pada kalangan bawah yang belum tentu bisa menikmati kenikmatan birahi dari orang-orang kaya. Nanti hasilnya kita serahkan pada para PSK di sana. Ini juga akan mengangkat martabat mereka dan menyiarkan kalau pekerjaan PSK itu tidak kotor.”
“Wah, saya setuju banget sama usulan Bu Nur. Saya juga kepengen memek saya dimasukin banyak kontol.”Bu Riska menanggapi dengan mata berbinar.
“Ah, kau aja yang doyan kontol. Emang kontol bapakmu gak cukup apa ?”
“Bapak mah udah tua. Staminanya udah senin kamis. Padahal aku pengen banget ngeseks terus.”jawab Bu Riska.”Boleh ya ustazah. Itung-itung kita sekali-kali gak sedekah uang tapi tubuh kita.”
Bu Jannah nampak berpikir sejenak tapi kemudian dia tersenyum sambil mengangguk.”Baiklah, kalau begitu kita sepakat ya, kita akan mengadakan bakti sosial membantu para PSK sekaligus menginfaqan tubuh kita untuk dinikmati golongan miskin.”
Pagi itu, ketika para pria sudah pergi ke ladang, Bu Jannah memimpin sendiri belasan ibu-ibu yang akan mengantarkan berbagai paket sembako. Sesuai kesepakatan, kami semua akan berangkat ke salah satu kawasan lokalisasi milik Bu Susi yang merupakan mami yang mengawasi para lonte di sana.
Setelah menunggu agak lama, akhirnya transportasi kami datang. Karena cukup banyak barang yang harus di bawa, jadi kami meminta bantuan pada tentara untuk mau meminjamkan truknya untuk dipakai kami mengantar kami dan bantuan. Awalnya para tentara itu menolak namun berkat sedikit rayuan, akhirnya para tentara itu bersedia mengantar kami.
Ada 2 buah truk berkuruan sedang yang ditutupi semacam kain bahan tenda seperti layaknya truk pengangkut prajurit. Dari bagian supir, keluar 4 orang tentara dengan badan kekar. Salah seorang tentara dengan tubuh besar dan kulit gelap mendekati kami. Dari penampilan serta tanda pangkatnya, aku bisa menebak kalau dia adalah pemimpin tentara yang datang. Tanpa kusangka, Bu Jannah langsung balas mendeketinya dan merangkul tubuhnya.
“Sayang kok lama sih ?”tanya Bu Jannah yang dengan mesra mencium mesra sang komandan tanpa merasa risih apalagi malu.
“Maaf ya ustazah, kita isi bensin dulu,”jawab sang komandan sambil balas menciumi Bu Jannah hingga tanpa disadari Bu Jannah, wajahnya mulai dipenuhi liur sang komandan. Tak Cuma itu saja, sang komandan juga meremas keras toked Bu Jannah dari balik gamisnya hingga Bu Jannah menggelinjang kenikmatan.
“Ah, aku gak mau tahu. Tau gak, aku haus banget tahu nungguin kamu.”
“Oh, ustazah sayang haus toh ?”Tanya sang komandan sambil melepaskan ciumannya. Tangannya segera menarik resleting celanananya dan mengeluarkan sebuah kontol besar yang agak melengkung di depannya.”Nih, sebagai permintaan maaf akan saya beri kencing saya untuk ustazah minum.”
Dengan riang Bu Jannah langsung saja duduk bersimpuh di depan kontol besar sang komandan. Setelah mengeden sejenak, memancarlah aliran air berwarna kuning pucat yang langsung masuk ke mulut Bu Jannah yang terbuka. Seperti kehausan, Bu Jannah terus meneguk air kencing itu hingga habis. Bahkan Bu Jannah menjilati sisa kencing yang ada di kontol serta rerumputan di bawahnya.
“Em, enak banget kencingmu sayang. Kayak ada asin-asinnya.”komentar Bu Jannah sambil menjilati rerumputan untuk mencari sisa air kencing sang komandan.
“Iya dong. Kencing tentara mah beda.”Tawa komandan kencang melihat tinggak Bu Jannah yang sebenarnya adalah sosok yang harus dihormati namun kini bersimpuh meminum kencing bahkan menjilati sisa kencingnya.
Kami semua yang melihat hal yang memalukan itu justru menjadi terangsang. Menyaksikan sendiri Bu Jannah yang merendahkan dirinya demi bisa mendapatkan minum berupa air kencing mematik rasa iri. Ingin rasanya aku meminum air kencing langsung dari sumbernya namun Bu Jannah mengisyaratkan kalau dia ingin melayani para tentara itu dahulu.
“Bos gantian dong, kita juga pengen nikmatin tubuhnya ustazah nih,”tegur salah satu tentara yang sepertinya sedang ngaceng berat.
“Bentar…ahh…lagi enak….ahhh”jawab si komandan sambil terus mendesah tak kuat menahan nafsunya yang sudah sedemikian terangsang oleh permainan mulut Bu Jannah.
“Ah bos curang nih,”tukas anak buahnya tak terima.
“Ah, kalau bapak-bapak sekalian mau, gimana kalau saya layani saja bapak-bapak sekalian bersamaan.”jawab Bu Jannah dengan muka genit.
“Bener nih bu ?”tanya salah tentara tak percaya.
“Iya, nanti saya kasih servis spesial untuk bapak-bapak gagah sekalian. Pokoknya gak nyesel deh.
Dengan bersorak riang ketiga tentara itu mulai mendekati Bu Jannah dan mengelilinginya dengan kontol-kontol yang tegak mengacung. Kedua tangan Bu Jannah dengan cepat mulai memainkan kontol yang gagah tersebut dengan sepenuh hati. Tangannya naik turun membelai batang kontol itu dengan sesekali remasan serta permainan jari di ujung kontol. Tak cukup sampai disitu, tangan Bu Jannah juga sesekali memainkan buah zakar tentara tersebut seperti memainkan bola. Sementara mulut Bu Jannah dengan lihat bergantian menjilati dan mengulum kontol si komandan dan salah satu prajuritnya.
Usai permainan yang sangat erotis itu, kami semua akhirnya berangkat menggunakan kedua truk itu setelah sebelumnya kami dibantu para tentara mulai mengangkat bahan-bahan sembako yang akan kami sumbangkan ke dalam truk.
Sepanjang kegiatan kami itu juga tentara tanpa malu melecehkan kami. Tangan para tentara itu dengan iseng menjamah pantat dan toked kami. Telapak tangan tentara itu tanpa takut meremas-remas bagian yang seharusnya kami lindungi.
Hal itu seharusnya membuat kami menjerit marah namun anehnya kami merasa begitu menikmati perlakuan yang begitu melecehkan tersebut. Kami merasa sebagai budak, kalau tindakan pelecehan seksual seperti itu justru merupakan wujud dari penghormatan pada status kami yang merupakan budak pemuas birahi.
Truk berjalan pelan menelusuri jalanan semi aspal yang agak berbatu. Kami semua duduk berjejalan bersama barang sumbangan di bagian belakang truk. Matahari yang beranjak terik membuat kami lebih mudah keringatan di dalam bak truk yang pengap.
Karena tak kuat dengan panas tersebut, kami beramai-ramai melepas gamis kami hingga terpampanglah tubuh sintal dan seksi kami semua yang mengkilap karena keringat. Beruntung bagian belakang tuk tertutup sehingga tubuh menggoda kami tidak dapat dilihat begitu saja oleh pengguna jalan.
“Aduh, tubuh Bu Salma keringatan banget nih,”sapaku menghampiri Bu Salma yang sejak tadi diam saja.
“Iya nih. Saya gak kuat panas nih.”
“Gimana kalau begini….”Secara tiba-tiba aku menerkam tubuh Bu Salma dan mulai menjilati seluruh keringat yang ada di tubuhnya. Awalnya Bu Salma terlihat begitu terkejut dengan gerakan tiba-tibaku. Namun itu semua berubah menjadi desahan nikmat.
“Ahhh….lagi bu….ahhh….jilatin memekku.”Aku dengan girang menjilati memek Bu Salma yang mulai basah. Sesekali aku menghisap memek Bu Salma yang tercukur bersih untuk mendapatkan cairan kenikmatannya. Ah, sungguh nikmat sekali bisa menikmati keringat dan cairan orgasme Bu Salma meski terasa agak asam dan asin.
Melihat tingkah kami, ibu-ibu lainnya mulai mengikutinya juga. Mereka mulai saling menjilati tubuh satu sama lain yang berkeringat deras hingga tubuh kami yang sebelumnya mengkilat karena keringat kini berganti basah oleh air liur.
Akhirnya setelah perjalanan yang cukup “panas” tersebut kami akhirnya tiba di salah pusat lokalisasi di kota kami. Tempat itu terkesan begitu kumuh dan terbelakang dengan berbagai rumah yang dibangun berdekatan. Truk berhenti di salah satu tanah lapang tersedia.
Kami semua segera turun tanpa mengenakan gamis kami lagi sehingga tubuh telanjang kami dapat terlihat jelas tanpa ada yang menutupinya sebab jilbab lebar kami telah disampirkan ke belakang sehingga siapapun dapat menikmati tubuh kami tanpa halangan.
Beberapa penduduk mulai mengerbungi kami. Sebagian besar dari mereka adalah para lonte yang menjajakan tubuh mereka demi sesuap nasi. Mereka datang dengan baju berbahan minim yang menampakkan tubuh mereka dengan jelas serta dandanan menor untuk menutupi kerutan di wajah mereka. Mereka sepertinya cukup heran melihat ibu-ibu berjilbab lebar namun telanjang di bawahnya itu berdiri menurunkan sembako.
“Halo Nur,”sapa seorang wanita paruh baya. Begitu melihatnya, aku buru-buru langsung merangkak dan mencium kakinya dengan penu hormat.
“Salam pada Nyonya Susi dari budak hini,”kataku merendahkan diri di hadapan salah seorang mami yang menjadi bos para PSK di sini.
“Wah, kamu benar-benar dateng ya ?”tanya Bu Susi memperhatikan rombonganku.
“Tentu saja Nyona,”jawabku takzim.
“Jadi ini Nyonya Susi yang kamu bicaraain itu Nur,”tegus Bu Jannah yang tahu-tahu saja sudah ada di sampingku.
Aku sejenak bangkit dari sujudku dan menoleh ke arah Bu Jannah.”Benar. Dia adalah wanita mulia yang memberikan pekerjaan bagi para wanita mulai untuk bisa menjajakan tubuh mereka agar bisa dinikmati kaum lelaki.”
“Oh, hebat sekali ya Bu.”ujar Bu Jannah kagum.
“Ah, enggak juga. Biasa aja kali.”jawab Bu Susi sambil tertawa kecil.
Bu Susi menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Bu Jannah namun Bu Jannah cepat-cepat berlutut di depan Bu Susi dan mencium kakinya.”Budak hina ini tak pantas mencium tangan mulia Nyonya Susi. Budak hina ini hanya pantas mencium kaki, memek dan juga pantat suci milik Nyonya.”
“Eh, kok gitu ?”
“Hamba ini terlalu hina untuk disentuh oleh tangan Nyonya yang begitu mulia. Cukup dengan mencium kaki Nyonya saja itu sudah merupakan rahmat untuk hamba.”
Bu Susi tertawa melihat seorang ustazah yang selama ini begitu dihormati dan terkenal karena kealimannya merendahkan diri di hadapannya bahkan sampai mencium kakinya.
“Eh, tunggu sebentar ya, saya kebelet nih.”
“Tidak perlu ke toilet Nyonya. Kalau Nyonya berkenan, kencinglah di mulut hamba. Tolong izinkan hamba meminum air sucimu.”
Lagi-lagi Bu Susi hanya bisa menggeleng-geleng melihat sikap Bu Jannah. Akhirnya Bu Susi jongkok dan membuka celana dalamnya. Sementara itu Bu Jannah berbaring di tanah dengan mulut terbuka membiarkan air kencing yang dikeluarkan Bu Susi masuk ke mulutnya.
“Ah, enak sekali. Oh ya, sebagai terima kasih karena sudah mau jadi toilet saya, nih saya ada hadiah buatmu.”Bu Susi perlahan meraih celana dalamnya dan mulai mengusap memeknya yang masih basah. Kemudian dia menyerahkan pada Bu Jannah.”Pakai di atas jilbabmu ya.”
Seperti mendapatkan berkat, Bu Jannah langsung saja memasang celana dalam kuning itu ke atas jilbab birunya. Setelah itu dengan perlahan Bu Jannah kembali mencium kaki Bu Susi.”Terima kasih atas hadiahnya Nyonya.”
“Memang hebat. Gak kusangka akhwat yang terkenal alim bisa jatuh menjadi budak seperti ini.”
“Nyonya, sebelumnya saya mewakili kelompok pengajian saya ingin meminta maaf.”
“Soal apa ?”
“Kami selama ini menganggap kalian wanita najis padahal kalianlah wanita mulia yang mau membuang malu demi melayani para lelaki. Kami selama ini telah menjadi munafik dan mengabaikan tugas kami yang seharusnya melayani kaum lelaki. Karena itu, sebagai permohonan maaf, kami menyerahkan sembako hasil sumbangan kami. Tak Cuma itu, kami juga akan menyajikan tubuh kami untuk dinikmati masyarakat kelas bawah. Nanti hasil menjual tubuh kami akan disumbangkan sepenuhnya untuk para PSK di sini.”
“Oh bagus itu.”sahut Bu Susi berbinar.”Dengan begitu kalian bisa sadar kalau kalian selama itu hina dan kamilah para wanita mulia itu.”
“Silahkan diambil sumbangannya,”perintah Bu Jannah pada kami semua. Dengan senang hati kami semua mulai mengangkat kardus-kardus berisi bahan makanan pokok untuk diberikan pada para PSK yang mangkal di sini. Terlihat para PSK itu sangat senang bisa mendapatkan sembako terlebih itu berasal dari sumbangan ibu-ibu alim.
Setelah itu, kami semua diajak Bu Susi ke salah satu sudut lokalisasi. Di sana terdapat sebuah panggung sederhana dengan speaker besar. Bu Susi menyuruh salah seorang untuk menyalakan sound system dan Bu Susi segera mengambil alih mic.
“Bapak-bapak, ayo datang, ada penampilan spesial di panggung utama !”serunya memberikan pengumuman.
Tak selang lama, telah berkumpul puluhan atau bahkan ratusan pria. Mereka semua sebagian besar berpenampilan kumal dan bau. Kulit mereka gelap terbakar matahari. Mereka berasal dari kalangan pinggiran seperti pemulung, pemgemis dan tukang becak.
Mereka semua terlihat begitu terkejud melihat sekumpulan ibu-ibu yang bugil tapi masih mengenakan jilbab yang disampirkan ke belakang. Liur mereka seakan menetes melihat kami yang sudah berbaris di atas panggung tanpa menutupi tubuh kami.
“Nah, bapak-bapak sekalian, siang ini kita kedatangan tamu jauh-jauh dari Desa Permai. Mereka ini kelompok pengajian loh.”
Para hadirin sontak bersuit-suit sambil menatap takjub melihat sosok wanita yang selama ini taat pada ajaran agama kini berdiri memampangkan auratnya dengan jelas. Kami semua bukannya risih ditatap dengan tatapan penuh nafsu seperti itu justru merasa bangga karena tubuh kami dapat dinikmati oleh khalayak ramai.
“Nah, mereka yang selama ini begitu alim beribadah sekarang akan menginfakan tubuhnya agar bisa dinikmati oleh bapak-bapak sekalian. Nah, sebelum itu, mari kita semua nikmati tarian mereka.”
Musik dinyalakan berdentum-dentum. Kami semua mulai menari mengikuti irama musik. Demi penampilan ini, kami bahkan sampai rela menonton berbagai video biduan yang berjoget berkali-kali serta berlatih setiap malam agar bisa memberikan penampilan yang memuaskan.”
Terliha Bu Lail bergoyang seksi di pinggir panggung sambil berjongkok sehingga pantat semoknya bisa dielus oleh para penonton yang mendekat. Sesekali Bu Lail menoleh ke belakang menyaksikan bagaimana pantat mulusnya dapat dinikmati orang banyak
Tak mau kalah, Bu Riska meliukkan tubuhnya bagaikan ular. Perutnya meliuk sempurna mengikuti alunan musik disertai goyangan pantat hingga membuat para penonton meneguk ludah tak kuat melihat tubuh sempurna Bu Riska bergoyang.
Sementara itu Bu Salma terlihat memainkan tokednya dengan nikmat. Tangannya berkali kali mengusap, meremas, hingga memelintir putingnya. Sesekali dia menunduk ke depan membiarkan tokednya yang menggantung dapat dimainkan juga oleh para penonton.
Kami terus menari diiringi musik meliukkan tubuh memamerkan keseksian tubuh kami. Hingga entah siapa yang memulainya, tiba-tiba beberapa orang menaiki panggung secara paksa. Mereka menanggkapi kami dengan kasar dan tahu-tahu langsung memasukan kontolnya ke semua lubang kami.
“Ahhhh….ahhh…ahhhh….”Desah beberapa ibu-ibu yang pantatnya dengan kasar di tusuk tanpa ampun.
Sekilas aku menoleh ke Bu Jannah yang sedang dipaksa menaik turunkan tubuhnya sementara sebuah kontol telah menancap ke memeknya. Tangannya juga dipaksa untuk memberikan servis pada dua orang di sampingnya. Sementara itu mulutnya tersumpal sempurna oleh sebuah kontol sedang kepalanya di maju mundurkan mengikuti irama musik.
Kami semua terus berpesta di atas panggung. Mengabaikan rasa malu apalagi moral. Dalam pikiran kami hanyalah berusaha untuk memuaskan nafsu para lelaki.
Bonus 2 : Melayani Para Supir
Hari sabtu itu pertama di bulan itu, seperti biasa, aku pergi ke kota untuk mengambil pekerjaan di bawah perintah Bu Susi. Hal ini merupakan program pembinalan yang dirancang Tuan Haris agar aku bisa semakin binal dan semakin mahir melayani nafsu para lelaki.
Biasanya aku akan datang ke tempat lokalisasi itu dengan menumpang sebuah mobil. Tuan Haris tidak membolehkanku membawa uang apapun jadi aku harus menggunakan tubuhku sebagai bentuk transaksi termasuk makan.
Dalam perjalanan, aku sengaja duduk di samping supir tanpa mengenakan pakaiaan kecuali sebuah jilbab besar yang disampirkan ke belekang. Mulutku senantiasa memainkan kontol si supir sepanjang perjalanan. Sedangkan tangan si supir berkali-kali menggerayangi tokedku.
Usai sampai, tanpa mengenakan pakaiaan apapun selain jilbab aku turun. Sedangkan gamis yang sebelumnya kupakai akan diambil oleh si supir sebagai ongkos. Jadi, setelah aku kembali aku harus memiliki uang untuk membeli gamis baru agar dapat pulang menggunakna baju saat sampai di desa.
Aku berjalan pelan menelusuri gang-gang lokalisasi. Beberapa pria yang melihatku bersuit-suit girang menyaksikan tubuh *******. Aku membalas semua suitan itu dengan senyum genit menggoda.
Tiba-tiba aku melihat seorang lonte yang berjalan mendekatiku sambil berseru,”oi, budak !”
Mendengar seruan itu, aku bergegas menghampirinya dan menjatuhkan tubuhku di depannya sambil mencium ujung sepatunya.”Hamba Nyonya.”
“Sepatu gua kotor nih, bersihin dong.”Dengan santainya lonte itu mengangkat sepatu haknya yang agak berlumpur. Tanpa membuang waktu lagi, aku segera menjilati alas sepatunya yang penuh lumpur dengan lidahku.
“Ah, kau emang budak penurut.”tukas lonte itu.”Kepalanya aja yang berjilbab. Tapi lidahnya tetap ngejilatin sepatuku.”
“Terima kasih sudah menggunakan lidah hamba untuk membersihkan sepatu Nyonya.”
Ada sepuluh menit aku menjilati sepatunya sebelum akhirnya lonte itu merasa cukup dan pergi begitu saja meninggalkanku. Aku kemudian kembali melanjutkan perjalanan ke rumah Bu Susi.
Di rumah, terlihat Bu Susi yang duduk santai di teras sambil merokok. Dia terlihat begitu kesal ketika aku sampai ke terasnya.
“Lama banget !”bentaknya kasar. Aku segera mengambil posisi bersimpuh dan mencium kakinya seperti kebiasanku.
“Mohon maaf Nyonya, tadi ada seorang wanita mulia yang meminta saya membersihkan sepatunya.”jawabku. Karena begitulah aturan yang berlaku untukku. Aku harus memperlakukan para lonte di sini layaknya ratu mulia yang harus kulayani dengan sepenuh hati.
“Kau mau salahin mereka !”
“Tentu tidak Nyonya. Itu semua kesalahan hamba.”
“Cepat nungging !’perintah Bu Susi kasar. Aku segera mengambil posisi nungging dengan pantat yang terangkat tinggi.
Bu Susi sejenak ke dalam dan kembali membawakan rotan. Dengan keras Bu Susi menampar pantatku dengan rotan.
“Ahhhh…terima kasih….”kataku sambil berusaha menahan sakit .
Bu Susi terus memukuli pantatku tanpa ampun. Dan setiap kali pukulan rotan itu juga aku terus mengucapkan terima kasih karena Bu Susi sudah repot-repot mau menghukumku hingga aku bisa semakin sadar posisiku sebagai budak hina.
Setelah puas memukuli pantat nunginggku, Bu Susi sejenak kembali dan membawa bongkahan es. Tanpa peringatan, Bu Susi langsung menghujamkan es ke kulitku yang perih karena terus dipukuli rotan.
“ahhhhh…..terima..kasih….nyonya…..”cercauku sambil berteriak tak mampu menahan sakit. Namun bukan jeritan atau umpatan yang keluar melainkan ungakapan terima kasih. Entah bagaimana, tapi sepertinya otakku sudah diprogram untuk berterima kasih pada siapapun yang sudah menyiksa dan merendahkanku.
“Lain kali jangan telat lagi !”cetus Bu Susi dengan sinis.
“Terima kasih Nyonya telah menghukum budak hina ini. Sungguh sebuah kemuliaan bagi hamba karena bisa dihukum oleh tangan Nyonya yang suci.”kataku sambil bersimpuh mencium kaki Bu Susi.
“Bagus. Emang udah begitu harusnya budak bersikap.”sahut Bu Susi sambil tertawa lepas.
“Baik Nyonya.”
“Nah budak, hari ini kamu gak akan melayani para lelaki di sini,”
Aku mengangkat kepala tak mengerti. Biasanya tugasku adalah melayani para lelaki sebagai ‘bonus’ karena sudah main ke tempat Bu Susi. Aku dipaksa melayani nafsu mereka semua tanpa batasan waktu yang berarti itu sesuai dengan stamina pelanganku. Sepanjang persetubuhan itu juga kesemua lubangku bebas dimasuki tanpa memakai kondom. Dan yang paling miris adalah aku tidak diberi apapun sebagai gantinya sebab aku hanyalah bonus untuk menghibur tamu-tamu Bu Susi yang mau bermain di tempatnya.
“Lalu saya harus bagaimana Nyonya ?”
“Ayo ikut.”Perintah Bu Susi sambil melenggang pergi.
“Tapi baju saya ?”
“Memang budak butuh baju.”balas Bu Susi tak peduli. Akhirnya dengan penuh rasa malu aku mengikuti langkahnya di belakang.
Sebenarnya aku sudah terbiasa untuk telanjang di luar. Tapi itu dilakukan di area lokalisasi yang sudah cukup mengenalku. Namun tanpa kusangka Bu Susi terus mengajakku hingga tepi jalan raya yang ramai.
Aku berusaha menjulurkan jilbabku ke bawah untuk menutupi tokedku. Tanganku juga menyilang di depan berusaha menutupi memekku. Melihat sikapku, Bu Susi menegur,”gak usah diumpetin. Kau harus nunjukin hiburan untuk para pengguna jalan.”
Aku dengan langkah patah-patah akhirnya meletakan tanganku di samping dan kembali menyibak jilbabku ke belakang hingga setiap pengguna jalan dapat melihat tubu telanjangku dengan jelas. Beberapa saat aku memejamkan mata menahan malu ketika tubuhku menjadi tontonan di pinggir jalan. Namun beberapa saat kemudian aku mulai menikmati tubuhku yang menjadi santapan mata para pengguna jalan.
Hingga akhirnya, terlihat sebuah bus berukuran sedang yang melintas. Bu Susi kemudian meraih sesuatu di dalam tasnya berupa sebuah colar. Lekas saja dirinya memakaiakannya di leherku dan menyuruhku merangkak layaknya anjing.
Bus berhenti tepat di depan Bu Susi. Terlihat kernet menanyakan sesuatu pada Bu Susi.”mau kemana, Bu ?”
“Ini mau ke terminal X. Tapi saya boleh bawa anjing ya.”
“Wah, kalau di bis gak boleh bawa peliharaan bu.”
“Kalau yang kayak gini boleh ?”tanya Bu Susi sambil memberi isyarat padaku yang merangkak di sampingnya.
Si kernet agak terkejut melihatku yang merangkak seperti anjing tanpa mengenakan sesuatu apapun selain jilbab. Bu Susi sekilas melirik ke arahku memberi isyarat. Aku menanggapinya dengan menggonggong dan menjulurkan lidah. Sungguh aku sangat malu dengan keadaan seperti itu. Namun di sisi lain aku merasa begitu nikmat bisa direndahkan di depan umum.
“Bo…boleh.”jawab kernet itu tegagap.
“Makasih,”ujar Bu Susi sambil menarikku masuk ke dalam bis. Di dalam bis, supir bis yang sudah paruh baya terlihat agak terkejut melihat kedatanganku. Begitupun dengan para penumpang. Mata mereka terlihat melotot menatap seluruh tubuh mulusku.
“Wah, ibu lagi jalan-jalan sama anjing nih ?”tanya supir dengan suara genit.
“Iya nih. Anjing saya bandel. Makanya pengen saya bawa keluar. Siapa tahu bisa dapet hukuman dari penumpang sekalian.”
“Langsung aja bu. Kebetulan penumpang udah jenuh. Lumayanlah ada anjing buat dimainin.”
Bu Susi menyeretku ke bagian tengah bis yang kosong dan membiarkanku tetap di dalam lorong bis. Suasana bis sangat sepi sebab hanya ada lima penumpang dengan 4 lelaki dan satu gadis remaja yang kutaksir masih berusia SMA. Perhatian semua penumpang sekaragn terfokus padaku. Mereka seharusnya saat ini sangat risih dengan penampilanku. Namun keseksian tubuhku dapat menyita perhatian mereka.
“Anjingnya cantik ya ?”tanya seorang bapak-bapak yang duduk di seberang kami.
“Eh iya. Kalau gak cantik mah mana mau saya urus.”
“tapi kok make jilbab ya ?”
“Iya, jadi ini adalah anjing syari. Aslinya ibu-ibu alim tapi akhirnya sadar kalau dirinya itu budak hina yang lebih rendah dari para lonte. Ini saya bawa jalan-jalan juga buat latihan dia biar lebih merendah lagi.”
Aku cukup tersinggung mendengar kata-kata Bu Susi terlebih di depan orang yang masih asing di tengah bus yang melaju. Namun anehnya hatiku merasa berterima kasih karena Bu Susi sudah mau repot-repot mengingatkan posisiku.
“Oh begitu. Boleh saya pinjem. Kontol saya gatel nih.”
“Oh tentu pak. Emang ini anjing setiap hari harus dikontolin kalau gak lubangnya bakalan kegatelan.“
Bu Susi langsung menendang pantatku dan memaksaku merangkak ke bawah bapak tadi. Dengan santai bapak tadi meraih celananya dan meloloskannya ke bawah hingga nampaklah yang bergoyang pelan seiring laju bus.
Aku dengan senang hati mulai mengulum kontol bapak itu. Bapak tadi mencengkram jilbabku dan memaksaku lebih dalam mengulum kontolnya hingga aku kesulitan bernapas. Bapak itu terlihat keenakan dengan kulumanku.
Setelah sesi blowjob itu, bapak tadi mengangkat tubuhku dan memangkukku dengan kontolnya yang menerobos pantatku. Ingin rasanya aku berteriak menahan sakit ketika pantatku di tusuk di atas bis yang melaju. Tapi suara yang kukeluarkan hanyalah gongongan.
“Guk…guk…gukk….ahhh….ahhh….guk…guk…”cercauku dengan lidah yang sengaja kujulurkan. Entahk kenapa perlakuan dari Bu Susi telah membuatku sepenuhnya menjadi anjing dan membuatku lupa kalau aku adalah seorang wanita alim yang taat.
“Eh pak, gantian dong pake anjingnya. Masa bapak terus sih,”protes salah seorang penumpang yang sedari tadi menahan birahinya melihat permainanku.
“Iya nih. Kita kan juga pengen main.”
“Lah, salah sendiri diem aja.”bela bapak itu.
“Udah-udah. Anjingnya bisa dimainin sama kontol siapa aja kok.”terang Bu Susi sambil tersenyum.”Benerkan, anjing.”
“Guk..gukk..ahh..”jawabku dengan gonggongan disertai desahan.
“Tuh, anjingnya udah gak sabar buat ngentot sama kontol bapak-bapak sekalian.”Bu Susi tersenyum sambil menepuk-nepuk kepalaku. Aku tersenyum senang kepalaku bisa disentuh oleh tangan mulia Bu Susi.”Oh ya, pak, saya berhenti di sini ya.”
“Loh, duitnya gimana ?”tanya kernet menghadang Bu Susi yang beranjak berdiri.
“Udah pake aja anjingnya. Besok baru kembaliin ke tempat saya naik tadi. Dia tahu jalan kok.”
“Oh, terima kasih ya buk.”tukas kernet girang.”Siplah pokoknya.”
“Ok anjing, kamu baik-baik ya di sini. Besok baru balik lagi.”kata Bu Susi sambil meremas tokedku.”Jangan nakal ya.”
“Guk…guk…guk.”jawabku merasa begiu terhormat karena dengan diriku Bu Susi dapat naik bis dengan gratis. Betapa banggannya diriku karena tubuhku bisa dimanfaatkan sebagai alat tukar.
Bu Susi kemudian turun setelah berbicara sepatah dua patah kata dengan sopir yang dibalas dengan anggukan riang sang supir. Setelah itu tubuhku yang masih lemas kemudian di diberdirikan di lorong seraya tanganku diikat di pegangan penumpang di atas.
Maka dimulailah aksi persetubuhan yang hebat. Pantat dan memekku tak henti-hentinya dimasuki dengan berbagai kontol. Mereka dengan leluasa terus memompa kontolnya di kedua lubangku hingga aku senantiasa terjepit di antara dua kontol. Tak cukup di situ, toked dan mulutku juga tak luput dari permainan mereka. Tangan mereka dengan mahir bergeliya meremas tokedku sementara mulut mereka terus mengirimkan liur ke dalam mulutku.
Perjalanan bis itu terasa begitu menyenangkan buat para penumpang. Sepanjang perjalanan itu kontol mereka setia berada di lubangku. Sementara itu aku yang terikat tak berdaya hanya bisa menggonggong layaknya anjing yang sedang dipuaskan.
Sayangnya perjalanan itu harus berakhir seiring dengan penumpang yang satu per satu turun. Tersisalah kernet, supir, dan gadis SMA yang semenjak tadi hanya diam memperhatikan permainanku. Ketika sore mulai menjelang, gadis itu terlihat bangkit mendekati kernet.
“Bang anjingnya saya mainin dulu ya,”
“Oh silahkan,”jawab kernet itu mempersilahkan.
Gadis itu tanpa basa-basi langsung melepas ikat pinggangnya yang berwarna hitam dan tahu tahu saja sudah mencambuk perutku dengan ikat pinggangku.
“Gukkkkkk…”gonggongku kesakitan.
“Nih rasain dasar cewek murahan !”serunya sambil tersenyum sinis.
Pukulan ikat pinggang itu terus menderaku. Gadis itu dengan kasar mencambuki paha, perut, punggung, pantat, memek, dan tokedku hingga berubah merah. Selama itu juga aku hanya bisa menggonggong menggantikan jeritan kesakitan.
Gadis itu kemudian menendang perutku hingga aku tersentak ke belakang. Belum juga aku pulih, gadis itu sudah memasukan ujung sepatunya ke dalam memekku yang sudah dipenuhi sperma yang lumer hingga ke lantai bis. Tak cukup sampai di situ, gadis itu mengaduk-aduk sepatunya di dalam memekku hingga menyentuh rahimku. Aku lagi-lagi hanya bisa menggonggong untuk mengganti rintihan kesakitanku.
“Ih, gara-gara lu sepatu gua jadi kena sperma nih. Bersihin cepat !”perintahnya sambil melepas ikatan tanganku. Dengan patuh meski keadaan tubuh lemah dan sakit kujilati sepatunya hingga mengkilap.
“Ih, malah jadi kena ludahlu kan.”Gadis itu menggeram marah. Secara kasar dia membuka jilbabku hingga rambut panjangku tergerai. Kemudian dia menginjak rambutku untuk membersihkan sepatunya. Berkali-kali dia memutar mutar sepatunya di atas rambutku sedang posisiku sedang merangkak hingga aku harus merasakan sakit yang sangat karena rambutku yang ditarik paksa karena injakannya.
“Nah, begini baru bersih,”ujarnya senang.
“Gukk…gukk..”balasku senang karena dia bersedia menggunakan rambutku sebagai keset untuk membersihkan sepatunya dari liurku yang najis.
Akhirnya setelah menurunkan semua penumpang, bis diarahkan ke terminal. Sepanjang perjalanan aku duduk dipangku oleh kernet bis dengan kontolnya yang terus menyumbat lubang pantatku sedangkan tangannya meremas tokedku.
“Oh ya kita belum kenalan ya,”cetus kernet itu teringat sesuatu.”Namaku Jali. Nah supir itu pamanku. Namanya Joni. Kalau kau namanya siapa ?”
“Guk…guk…gukk….”
“Kau bodoh kali Jali, dia kan anjing. Mana bisa jawab.”tukas si sopir yang bernama Joni.
“Oh iya lupa. Gimana kalau kita kasih nama aja,”Jali nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mencetus,”gimana kalau namanya Doggy.”
“Ah cocok kali. Gimana, suka kan sama namanya.”
“Guk…gukk…”jawabku sambil tersenyum sumringah dan menjulurkan lidah. Ah, alangkah baiknya mereka. Mereka bahkan berkenan memberikanku nama yang sesuai untuk seekor anjing sepertiku.
Bis akhirnya berhenti di terminal. Di sana sudah terparkir puluhan bis dari berbagai jurusan. Begitu sampai, Joni langsung saja merampas tali kekakngku dari Jali.
“Sekarang giliranku !”ujarnya tegas.
“Ah, mamang gimana sih. Kan aku masih mau pakai.”
“Kau udah lama pakai. Lagian aku butuh hiburan nih abis nyopirin nih bis.”jawab Joni tak peduli dan memaksakaku untuk merangkak mengikutinya.
Aku akhirnya merangkak di terminal yang beranjak sepi. Hanya ada satu dua warung yang tetap buka untuk melayani para sopir yang lelah usai mengais rezeki. Kedatanganku yang telanjang menyisahkan jilbab serta merangkak layaknya anjing segera menjadi perhatian para sopir.
“Woi bang, hebat kali kau bisa dapat nih anjing.”ujar salah satu sopir yang tertarik mendekat.
“Iya nih. Abis dipenjimin sama ibu-ibu. Katanya buat bayar bis.”
“Bisa dientot kah ?”
“Ya bisalah. Kalau gak mana mau kubawa. Tapi kau jangan ngentotin dia dulu. Ak mau mainin dulu nih. Dari tadi udah gak sabaran pas di bis Cuma bisa denger pada main.”
Akhirnya aku diseret menuju salah satu warung yang agak sepi. Penjaganya seorang pria paruh baya yang langsung terkejut melihat kedatanganku. Namun Joni dengan cepat mencairkan suasana dengan memesan makanan.
“Kok kau bisa dapet cewek kayak anjing gitu sih ?”tanya si penjaga warung penasaran usai menyerahkan makanan.
“Iya nih namanya juga hoki,”sahut Joni sambil menyelesaikan makanannya sedangkan aku diikat di kursi yang didudukinya.
Joni membuka celananya dan memperlihatkan kontol hitam yang terlihat kotor namun di depanku, kontol itu seperti benda pusaka yang begitu mulia. Dengan segera aku mengemutinya seperti mengemus permen. Rasa asin keringat yang kurasakan seolah menambah sensasi kenikmatan ketika aku mengulum kontolnya. Sementara itu Joni terlihat santai melanjutkan makanannya
“Woi Doggy, lu laper gak ?”tanya Joni usai menyelesaikan makannya.
“Guk…”jawabku jujur sebab sejak tadi mulutku tidak terisi apapun kecuali sperma dan liur.
Joni melemparkan tulang ayam sisa makannya ke lantai. Aku dengan cepat memakannya dengan penuh rasa syukur sebab Joni bersedia memberikan tulang dengan sedikit daging yang masih menempal untuk anjing hina sepertiku. Untuk minumnya, Joni meletakan kobokan bekas tangannya yang segera saja kuminum bagaikan anjing kehausan. Tentu saja aku meminumnya dengan cara menjilatinya layaknya anjing.
“Mang, aku bayar pakai tu anjing ya. Entotin aja semau kau. Nanti aku balik setengah jam lagi.”
“Sip bos,”kata si penjaga warung dengan semangat menurunkan celananya dan menghampirku. Tanpa aba-aba dia langsung menusuk memekku dengan kasar hingga membuatku kepayahan.
Ada setengah jam aku harus melayani hasrat dari penjaga warung. Selama itu juga dengan semangat membara penjaga warung itu terus menusuk ke semua lubangku seolah dikejar waktu. Tak butuh waktu lama, dia akhirnya mencapai klimaks dan menyemprotkan spermanya ke rahimku.
Ketika Joni datang, aku sudah tergolek tak berdaya dengan lelehan sperma yang terus keluar dari memekku. Dengan kasar Joni menarik tali kekangku dan memaksaku merangkak mengikutinya ke salah satu bangunan kecil di sudut terminal
Joni menyalakan lampu dan menampakkan wujud asli bangunan itu yang merupakan toilet umum. Aku segera di bawa masuk ke toilet dengan 3 bilik serta beberapa toilet berdiri yang keadaannya sangat kumuh dan kotor. Bau pesing menguar dari tiap lantai membuat penciuman terganggu.
Joni menyerahkan sebuah sikat dengan gagang pendek dan menyuruhku untuk membersihkan semua sudut kamar mandi. Tentu saja sebagai anjing aku hanya bisa menggunakan mulutku untuk membersihkannya. Butuh waktu lama untuk melakukannya. Selama itu juga beberapa kali sikat harus terjatuh dan wajah serta jilbabku harus bersentuhan dengan toilet yang kotor.
Satu jam kemudian, akhirnya aku menyelesaikan perintah Joni. Joni kembali datang dan membersihkan kotoran yang sudah terangkat dengan semprotan selang. Namun ternyata tugasku belum sepenuhnya selesai. Joni menyuruhku untuk mengelap seluruh kloset yang baru saja dibersihkan dengan jilbabku dan kemudian menyuruhku untuk memakainya kembali.
Kondisiku sangat payah setelah pekerjaan itu selesai. Badanku bau oleh bau pesing kamar mandi yang melekat di tubuhku. Jilbabku juga basah oleh air bekas menyiram kamar mandi. Joni sampai menutup hidungnya ketika mengambil tali kekangku dan membawaku untuk membersihkan diri.
Di bawah sebuah keran, aku dibersihkan hingga basah kuyup. Joni menuangkan sabun cuci piring begitu saja di tubuhku dan menyikat tubuhku dengan sikat kloset. Terakhir dia menyuruhku untuk membuang jilbabku.
Setelah persiapan siap, Joni mengikatku dengan posisi kaki terikat di paha dan mendudukanku di salah satu kloset berdiri. Sejenak Joni memasukan kontolnya yang sudah tegak berdiri dan mulai menyetubuhiku. Tak lama kemudian dia mencapai klimaks dan menyemprotkan spermanya ke dalam memekku.
“Nah anjing, sampai besok pagi, kau bakalan melayani kami semua sebagai kloset buat peju dan kencing kita. Gimana, enakkan ? Nanti gua kasih tarif kayak ke wc buat ngentotin kau sepuasnya sekaligus buang kencing di mulut kau”
“Guk…gukk…gukk…”Aku menggonggong penuh rasa syukur. Betapa baik Joni sampai mau membandrolku dengan harga 2 ribu rupiah.
Maka dimulailah pemerkosaan brutal itu. Puluhan sopir bis diundang Joni dnegan hanya mengenakan tarif 2 ribu rupiah untuk bisa mengentotiku sepuasnya. Tentu saja para supir sangat bersemangat dengan tawaran dari Joni. Mereka bahkan sampai berebutan untuk dapat memasukan kontolnya ke dalam memekku.
Akhirnya ketika pagi menjelang aku hanya bisa terkapar tak berdaya dengan memek yang terus mengeluarkan sperma sisa persetubuhan semalam. Joni tertawa sambil mengipas-ngipas pendapatannya dengan menjual tubuhku.
“Gimana Doggy rasanya jadi kloset ?”
“Gukk…”gonggongku lemah dengan mulut yang juga meneteskan sisa kencing yang juga diminumkan padaku. Namun meski mendapatkan begitu banyak siksaan dan penghinaan, aku berterima kasih sekali untuk itu. Sebab dengan itulah aku bisa semakin memperdalam peranku sebagai budak pemuas birahi.