Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Affair(s): Season 1

Bimabet
XXIV:
Decadence


decadence
[dek-uh-duhns, dih-keyd-ns]

noun
  1. moral or cultural decline as characterized by excessive indulgence in pleasure or luxury.
  2. the act or process of falling into an inferior condition or state; deterioration; decay.
  3. moral degeneration or decay; turpitude.






=April=


Gua udah tau dari dulu, bahwa plot di kehidupan nyata engga berjalan kayak cerita manis di novel-novel teenlit. Ada pertanggung jawaban dalam setiap perbuatan yang dilakuin. Ada resiko dalam setiap tindakan yang dipilih. Dan pada tiap hal buruk yang kita lakuin, kita akan dihadapkan pada hukum sebagai aturan absolut dan pengadil tindakan-tindakan buruk kita.

Karena hidup di negara hukum, maka (secara teori) masyarakat harus tunduk terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Idealnya, penegakan hukumnya, sih, engga tebang pilih, engga juga tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Seharusnya, ga ada yang bisa lolos dari jerat hukum. Tapi itu kalo penegak hukumnya bener dalam penegakan praktiknya, sih. Tapi gua engga mau ngomongin itu.

Hukum yang sama dengan yang sedang gua bahas ini, juga mengikat Nendra. Dia engga bisa lolos begitu aja setelah menganiaya dua turis asing sampe pingsan, di warung tenda yang tadi kami datengin. Apalagi, posisi warung tendanya deket banget sama pos polisi. Cuma butuh satu laporan dari masyarakat, dan beberapa menit kemudian polisi datang untuk meringkus Nendra. Lalu, dia dibawa ke pos polisi untuk diperiksa sejak dua jam lalu.

“Kayaknya Nendra akan ditahan ya, Pril….” Sisil, duduk di emperan toko yang udah tutup di seberang pos polisi, berkali-kali mengeluh khawatir. Dia nemenin gua duduk di emperan toko, sama-sama menunggu kabar Nendra.

Setelah bikin kepala dua orang bocor, hidung mereka patah, gigi rontok, buah zakar bengkak, dan cedera pada pendengaran (diluar luka-luka lebam akibat pukulan dan tendangan di sana-sini), gua engga yakin kalo Nendra akan dibebasin begitu aja. Untuk penganiayaan yang berlangsung cepat, kerusakan yang Nendra perbuat termasuk brutal. Gua ga tau kalo dia bisa berantem sebrutal itu sebelumnya… heck, gua bahkan ga tau kalo dia bisa beneran berantem! Dia itu cowok emosian yang paling kalem, yang pernah gua kenal! Kalo emosi sampe ribut sama orang, paling cuma berujung adu bacot—paling mentok saling dorong dan pukul ngasal lalu dipisahin orang-orang.

Jadi, saat dia bikin dua turis asing berbadan kekar sampe pingsan dengan keadaan babak belur… jujur, gua ga bisa ngomong apa-apa. Tadi itu, gua kayak engga kenal Nendra sama sekali.

“Lu balik ke hotel aja, Sil. Udah malem.” Gua nengok ke Sisil, perhatiin muka lelahnya. “Lu keliatan capek banget, tuh. Biar gua sama Gabriellé aja yang mantengin update soal Nendra.”

Tapi Sisil malah menggeleng. “Engga apa-apa. Ellé belum keluar dari pos polisi. Nanti kalo aku tinggal, kamu jadi nunggu sendirian di sini. Kalo kamu merasa ga enak sama aku, kamu jajanin aku mie ayam aja Senin besok.”

“Gaji lu aja lebih banyak dari gua, Sil.” Spontan, gua menggelengkan kepala; berusaha mengenyahkan pikiran negatif yang memenuhi isi kepala. Saat ini, bukan saat yang tepat untuk jadi orang yang perhitungan. “Tapi oke, deh. Mau sekalian sama es doger juga?”

Sisil mengangguk, pelan. Dia berusaha senyum, tapi keliatan banget kalo itu dipaksa. “Senin nanti… kita masih bisa makan siang bareng Nendra, kan?” tanyanya. Tatapan khawatirnya berusaha mencari jawaban pada tatapan gua.

“Gua ga tau, Sil.” Gua kembali menatap ke arah pos polisi di seberang jalan. Sambil terus menatap, gua kembali mengulang ucapan gua barusan. “Gua… ga tau, beneran.”

Dua jam lalu, Nendra diringkus oleh tiga polisi ke pos yang berjarak cuma beberapa puluh meter dari tempat kejadian. Saat dibawa, tatapan matanya kosong. Kayak orang yang engga merasa bersalah sama sekali sehabis menganiaya orang lain sampe pingsan. Tatapan yang sama, dia tunjukin saat berantem sama dua turis asing tersebut. Seakan dia berantem tanpa pake emosi sama sekali.

Dan dia masih sempet-sempetnya nengok ke Pak Himawan, sambil ngomong, “How’s my portfolio?” Entah, gua ga ngerti apa maksud dari pertanyaannya.

Saat gua dan Sisil masih syok dengan apa yang terjadi, Gabriellé jadi satu-satunya orang yang, secara taktis, mengomando tiap orang untuk berbagi tugas. Termasuk mengatur bokapnya. Dia ajuin diri untuk nemenin Nendra di kantor polisi, gua dan Sisil bertugas untuk panggil ambulans, sementara Pak Himawan diminta untuk mengurus pengobatan dua turis tersebut di klinik. Bokapnya keliatan enggan, tapi gua rasa pada akhirnya mau mengalah setelah ngeliat badan gemetar Gabriellé, yang dia paksa untuk dikuat-kuatin.

Tapi satu jam lalu, Pak Himawan udah balik dari klinik. Kata beliau, urusan pengobatan dan biayanya udah beres. Lalu, beliau pun masuk ke kantor polisi, entah untuk ketemu Gabriellé atau nemenin Nendra. Tadinya, gua dan Sisil juga berniat mau ke kantor polisi juga, tapi setelah ngeliat kalo Pak Himawan lagi berdebat alot dengan salah satu polisi, kami jadi ga enak hati dan urung. Akhirnya, kami malah mutusin untuk nunggu di emperan toko kayak sekarang.

Gua, Sisil, dan Gabriellé sepakat untuk engga kasih kabar tentang Nendra ke Bu Ira, dan membiarkan beliau masih mengira kalo kami masih hangout di warung tenda pinggir pantai. Pertimbangan kami adalah, kami takut bahwa kejadian ini akan berdampak pada penilaian Bu Ira tentang Nendra. Mungkin banget penilaian itu yang akan menentukan nasib dia di kantor, nantinya.

Iya. Gua tau, yang merusuh duluan emang dua turis asing itu. Mereka dateng entah dari mana, lalu tiba-tiba godain Sisil. Malah toketnya sampe dicolek-colek juga. Lalu Gabriellé belain Sisil dengan menghina dua turis itu pake kata-kata yang pedes banget. Mereka ga terima, lalu balik ngelakuin pelecehan verbal ke Gabriellé, yang gua rasa, terdengar kelewatan banget di kuping. Lalu kami kaget dengan adanya botol yang kena ke pelipis salah satu turis asing tersebut, dan mendapati bahwa yang melempar adalah Nendra. Sisanya bisa ditebak. Nendra berantem dengan mereka.

Tapi gua ga bisa mengelak, bahwa posisi Nendra ini yang paling salah. Apa yang dia lakuin itu jatuhnya penganiayaan, sih. Masalahnya, polisi juga mengantongi bukti berupa botol bir yang tadi Nendra pake buat getok kepala korban-korbannya. Tuduhan ke dia malah makin kuat jadinya, kan….

“Gua bingung sama lu, Sil. Kenapa lu masih ngotot ada di sini?” tanya gua, “padahal lu bisa aja balik duluan.”

“Aku takut nanti Bu Ira atau Bu Lina tanya-tanya aku. Di kondisi sekarang, aku kayaknya bingung mesti jawab apa. Jadi aku mau cari aman aja, dengan berada di sini.”

“Gua yakin, alasannya bukan cuma itu aja. Iya, kan?” tanya gua lagi.

Sisil engga langsung menjawab. Dia melipat kedua kakinya, lalu memeluk lutut sambil dagu bertumpu pada lutut. “Mungkin. Aku sendiri juga bingung kenapa aku masih di sini. Seharusnya aku bisa aja tidur nyenyak di ranjang kamar hotel. Seharusnya aku engga mengurusi masalah orang lain. Tapi Nendra ditangkap polisi, kan, awalnya gara-gara aku. Jadi… aku merasa bertanggung jawab karenanya,” jawabnya, lirih.

“Bukan gara-gara lu, kok. Dia ga terima ada orang ribut sama ceweknya, dan dia simply belain Gabriellé. Udah.”

“Tapi Gabriellé, kan, ribut karena belain aku….”

“Belain dari siapanya, tau, kan?” Gua pun ikut-ikutan mengambil posisi duduk kayak yang Sisil lakuin. “Jangan punya mental menyalahkan diri sendiri, Sil. Orang-orang yang godain lu itu pantes dihajar, kok. Karena ini emang salah mereka.”

“Thanks,” ucap Sisil, sambil menatap ke gua, “dan maaf… atas sikap buruk aku ke kamu selama kita ngantor bareng. Selama ini aku cuma dateng ke kamu saat ada butuhnya aja. Tapi kamu selalu aja baik sama aku.”

“Kenapa tiba-tiba lu ngomong gitu?” tanya gua, heran.

“Karena pengen ngomong itu.”

“Ga selalu. Gua baik ke elu cuma pas lagi pengen aja, sih.” Gua pun ketawa, tapi ga lama, karena gua cuma ketawa sendirian sementara Sisil masih terus menatap gua, tanpa ekspresi. “Gua juga sebel sama lu, kok. Sering, malah. Lu sering bikin gua berada di posisi sulit di kantor. Gara-gara sikap lu yang sering menjilat ke Bu Ira, gua jadi sering dapet kerjaan tambahan dan bikin gua harus lembur. Sebelum Nendra join ke kantor, gua selalu lembur sendirian. Nangis sendiri sambil menghadapi kerjaan yang menumpuk. Apalagi kalo gua liat lu bikin story lagi makan-makan bareng rekan kerja yang lain di waktu sepulang kerja, sementara gua harus nge-admin sendirian. Rasanya nyesek, tau.”

Sekarang, Sisil membenamkan mukanya ke lutut. “Terus kenapa kamu masih mau baik sama aku?” tanyanya, sambil terus membenamkan muka.

“Gua punya prinsip, untuk ninggalin vibe buruk yang terjadi pada gua di hari itu, dengan cara dibawa tidur. Sebelum tidur, gua selalu bilang ke diri sendiri, “koe iso, lur”. Berkali-kali, sampe ketiduran. Besok paginya, gua kayak dapet refresh buat mulai hari baru dengan suasana hati yang baru. Kalo suasana hati gua udah baik dari pagi, gua ga akan gampang sebel sama orang lain. Selama ini, cara itu cukup membantu gua, sih.” Entah kenapa, gua spontan ketawa miris. Kelebatan-kelebatan ingatan buruk tiba-tiba mampir ke otak gua. “Cara itu ga bisa diaplikasiin ke semua masalah gua, sih. Ada juga yang emang ga selesai cuma dalam satu malam. But mostly, gua masih bertahan hidup sampe sekarang karena punya coping mechanism sendiri.”

“Buatku… itu terkesan naif, April.”

“Emang. Tapi di dunia yang serba realistis ini, gua harus punya sisi naif, Sil. Kalo engga, mungkin gua udah bunuh diri dari dulu. Lu juga pasti punya cara sendiri untuk bertahan hidup, kan?”

Sisil mengangguk, pelan. Matanya menatap lurus ke depan, tapi tatapannya kosong. “Entah sejak kapan aku jadi suka menjilat orang lain demi cari aman, April. Padahal dulu aku engga gini. Dulunya, aku itu vokal dan frontal banget sama hal-hal yang aku anggap benar, yang sesuai dengan standar moral masyarakat. Kalo ada yang salah, aku bilang salah. Kalo orang lain melakukan sesuatu yang benar, aku puji dia, aku apresiasi usahanya. Saat remaja, aku itu idealis banget, tau.” Di ujung kalimatnya, dia ketawa. Satu tawa miris yang terdengar menyedihkan di kuping. “Tapi dunia orang dewasa itu menyeramkan. Aku ga tau udah berapa banyak prinsipku yang harus aku buang cuma demi bisa fit in.”

Tiba-tiba, Sisil keluarin HP dari saku celana. Lalu, dia buka twit**ter. Dia pun sodorin HP-nya ke gua, kasih liat gua apa aja yang terpampang di layar HP-nya. Seketika, gua langsung merasa bingung. Mixed feeling banget! Antara kaget, excited, dan kasian juga. Akun twit**ter yang dia kasih liat ke gua, adalah akun dengan foto profil dia lagi mirror selfie dengan pake baju seksi. Akun kayak gini… pasti bukan akun utamanya, kan?

Lalu dia bergeser ke bagian media. Dia scroll layar ke bawah, nunjukin foto-foto dan video dari konten-kontennya yang… damn, seksi banget. Gua selalu penasaran sama badan Sisil, dan rasa penasaran gua pun terjawab sekarang. Badannya bagus banget, sesuai dengan bayangan gua selama ini.

What? Belum pernah ketemu sama cewek yang suka sama bentuk badan cewek lain?

“Dulu aku paling jijik sama yang namanya konten porno. Menurutku, konten pornografi adalah bentuk manipulasi seksual yang menggunakan wanita sebagai objek, dan itu adalah bentuk objektifikasi terhadap perempuan yang paling hina. Tapi sekarang… aku jualan konten gravure supaya punya tambahan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. That’s how far I degrade myself just to struggle in this world,” ucapnya, sambil mendesah berat. “Ga tau juga kenapa aku kasih tau ini ke kamu. Padahal aku ga pernah cerita ke siapa-siapa. Padahal bisa aja info ini kamu pakai untuk jatuhin aku, tapi aku tetap cerita meski udah tau konsekuen—”

“Gua harus bayar berapa buat dapet semua konten lu, Sil?” tanya gua, tanpa basa-basi. Tangan kiri gua udah megang HP, dan buka m-banking buat segera transfer ke Sisil. Sumpah, badan Sisil langsung bikin gua ga bisa mikir logis.

“Kamu… mau beli konten aku?” tanya balik Sisil. Kedua alisnya naik. “Kenapa?”

“Anggap aja ini women support women.” Bohong banget. Muka gua aja kayaknya udah ga bisa kontrol gini, kok. Mupeng banget guaaa!

“Oh, gitu. Nanti aku kirim file-nya ke kamu, deh. Ga perlu bayar.”

“Eeeehhh? Engga, gua maunya bayar—”

“Tapi aku ga mau dikasihani, April,” potong Sisil.

“Gua engga lagi dalam rangka mengasihani elu, Sil. Gua mau sportif aja; gua mau konten lu, jadi gua harus bayar buat dapetin itu. Simpel, kan?”

“Kamu aneh banget, sih.” Sisil pun ketawa. Tapi kali ini, tawanya terdengar lebih ringan dan menyenangkan. “Kita fokus ke Nendra dulu, ya. Habis ini, aku kirim price list-nya. Tapi jangan hit and run, loh!”

“Yaelah, Sil! Gimana gua mau hit and run, kita aja ketemu dari Senin sampe Jumat di kantor!” omel gua. Tapi omelan gua malah bikin tawa Sisil malah makin jadi. Setelah tawanya mereda, gua nengok lagi ke dia. “Pasti ga enak banget, ya, menampung banyak beban di hati? I feel you. Beneran.

“Tapi gua bangga sama lu, tau, Sil. Dan gua ngerti sama pilihan hidup lu. Hidup emang bisa sesusah itu untuk orang-orang yang ga punya privilege lebih di hidupnya. Tiba-tiba, orang bisa merasa kepepet dihimpit kebutuhan hidup, dan mentok sana-sini saat cari pertolongan. Saking kepepetnya, mereka bisa membuang prinsip yang selama ini dijaga, dan manfaatin baik-baik apa aja yang melekat pada mereka, yang tersisa dan masih bisa dipake untuk jadi uang.

“Tapi lu juga harus merasa bangga sama diri sendiri. Orang-orang yang berjuang untuk bertahan hidup… adalah orang-orang yang pantas untuk merasa bangga pada dirinya sendiri, tau.”

“Kamu memang selalu sebijak ini, atau cuma mau impress aku aja?” tanya Sisil. Sikunya menyenggol lengan gua. “Thank you. I really do thank you. I feel a lot better, thanks to you.”

“I think… that’s what friends are for; to make their friend who’s in pain, to feel better.”

Gua ga tau kenapa obrolan iseng sambil nunggu kabar Nendra bisa jadi sedalam ini. Mungkin ini yang beneran disebut girl’s talk, kali, ya. Karena baru kali ini, Sisil seterbuka ini ke gua. Dan karena keterbukaannya, sekarang gua memandang Sisil dengan sudut pandang yang berbeda.

Eh, Pak Himawan keluar dari pos polisi, tuh. Sekarang, beliau sedang menuju ke tempat gua dan Sisil. Tapi kalo diliat dari ekspresi mukanya… kayaknya beliau engga membawa kabar baik, deh. Semoga aja dugaan gua salah.

“So… here’s the thing,” ucap Pak Himawan, memulai penjelasan saat udah berada di hadapan kami, “tadi saya sudah berupaya nego. Alot betul. Tapi hasil akhirnya Nendra ndak jadi ditahan, kok. Tapi dia baru boleh dilepas besok, jadi malam ini dia terpaksa harus menginap di sel dulu. Buat efek jera, katanya.”

“Bukannya ini kabar baik, ya?” Alis gua langsung mengernyit. “Terus kenapa muka Bapak keliatan ga enak?”

“Karena saya yang jadi penjaminnya!” Pak Himawan langsung mengurut-urut pelipisnya. Pasti beliau lagi tegang banget, nih. Urat-urat di pelipisnya sampe mencuat ke kulit, gitu. “Kalau Nendra berulah lagi, saya yang susah nantinya. Sementara nama baik saya ini sudah jadi jaminan citra saya dan tiap perusahaan yang saya pimpin. Tentu saja muka saya jadi ndak enak.”

“Ah… make sense.” Gua dan Sisil mengangguk-angguk, berbarengan. “Tapi sekitar dua jam lalu Pak Angga telepon saya. Katanya mau ke sini, tapi ga bisa cepat. Harus urus istrinya dulu di rumah sakit.”

Muka ga nyaman Pak Himawan, seketika berubah pucat. Keluhan-keluhannya tiba-tiba berubah jadi hening yang menjeda, lama. “Angga… maksud kamu, Pril… Airlangga? Yang semalam ngobrol sama kamu dan anak saya itu?” tanyanya, setelah sekian detik larut dalam diam.

Gua mengangguk, pelan.

Muka Pak Himawan jadi semakin pucat. “Dia… bisa dapat… nomor kamu… dari mana?”

“Semalam pas titip uang ke saya untuk bayar minum, ternyata beliau juga selipin kartu nama. Jadi tadi setelah telepon ambulans, saya telepon Pak Angga juga untuk kasih tau soal Nendra. Ga lama, beliau yang telepon balik,” jawab gua.

Pak Himawan langsung meraupkan kedua tangan ke muka. “Kenapa kamu kasih tauuu?”

Loh, eh? Tindakan gua salah, ya? “S-saya panik, Pak. Sa-saya pikir… Pak Angga, sebagai papa tiri Nendra, harus tau ini. Ternyata ga perlu, ya, Pak?”

“Iya, harusnya ndak perlu!” Pak Himawan, lagi-lagi, mengurut pelipisnya. “Nanti masalahnya berpotensi jadi tambah rumit. April, kamu buru-buru kasih kabar ke Pak Airlangga, kalau masalah Nendra sudah tertangani dengan baik. Cepat, sebelum orangnya sampai ke….”

Bersamaan dengan ucapan Pak Himawan yang menggantung, mata gua juga mengarah ke titik dimana Pak Himawan memusatkan pandangannya. Ke sebuah mobil SUV berwana silver yang baru aja berhenti di pinggir jalan, di depan pos polisi. Ga lama, seorang pria paruh baya keluar dari pintu kemudi. Baik gua dan Pak Himawan, tau betul siapa itu.

Untuk kedua kalinya, Pak Himawan meraupkan tangan ke muka.




=Nendra=


Maaaan… meski cuma beberapa jam, tapi pengalaman berada di balik jeruji besi itu ga ngenakin sama sekali. Udah selnya sempit, gue juga harus berbagi tempat sama dua orang lain. Mana badan mereka bau banget, lagi. Kalo gini, gue harus take note untuk, lain kali, lebih hati-hati supaya engga gampang ditangkep polisi.

Tapi gue emang dibebasin lebih cepat dari yang seharusnya, sih. Harusnya, kan, gue bebas besok pagi. Seenggaknya, itu yang dibilang oleh salah satu polisi piket di pos (nggg… daripada pos, gue lebih merasa kalo tempatnya kayak kantor kecil gitu, sih) ke Pak Wawan. Tapi itu sebelum suami barunya nyokap gue dateng.

Begitu tiba di kantor polisi, pria itu cuma nyerahin HP-nya yang kayaknya lagi ada sambungan telepon, entah sama siapa, ke salah satu polisi yang lagi jaga. Si polisi cuma menunduk-nunduk sambil ngomong ke speaker HP, lalu sesegera mungkin bebasin gue dari sel. Gue bebas instan, ga pake bikin surat perjanjian, ga pake ngajuin penjamin. Gue berasa jadi kayak korban salah tangkap yang dibebasin begitu aja setelah terbukti engga bersalah.

Bahkan, sikap para polisi itu langsung berubah manis ke gue. Padahal, tadinya gue dibilang bikin malu orang Indo gara-gara bersikap kasar ke turis asing. Buset, sikap inferior macam apa, tuh? Jelek amat mindset-nya.

“Nendra,” panggil suaminya nyokap gue, “ini pertama dan terakhir kalinya kamu berurusan dengan saya. Jika ada lain kali, saya tidak akan mau bantu.”

Gue tau, kalo seharusnya gue bersikap baik terhadap orang yang nolongin gue. Tapi gue engga bisa menahan amarah yang menggelegak tiap kali gue liat muka orang ini. Kedua tangan gue langsung terkepal kencang. Omongannya sok banget, bikin gue emosi aja, lo, Nyet!

Tapi Gebi langsung merengkuh kedua tangan gue. Jempolnya mengusap-usap punggung tangan gue. Usapannya menenangkan. Karena Gebi, gue jadi bisa berpikir lebih logis, sekarang. Maka, gue pun sedikit menundukkan kepala, lalu bilang, “iya, terima kasih banyak… Om. There won’t be any next time. You have my words.”

“You better keep your promise, Nendra.” Sambil bertolak pinggang, Om Angga menghela nafas panjang, lalu menggelengkan kepala. “Saya melakukan ini bukan untuk kamu, ya. Saya ga mau istri saya jadi sedih kalau kamu sampai dipenjara. Jadi jangan salah pahami kebaikan saya. Dan sebenarnya, saya masih ingin marah-marah sama kamu. Tapi istri saya lebih butuh saya sekarang. Jadi saya mau pamit untuk kembali ke rumah sakit.” Om Angga langsung mengedarkan pandangan ke sekitar, lalu mengangguk, sedikit. Tapi matanya malah memicing, saat ngeliat ke arah Pak Wawan… yang sekarang lagi ‘ngumpet’ di belakang anaknya. “Wan, are you okay?” tanyanya.

“O-oh… y-yes, never been better, Angga,” bales Pak Wawan, kikuk. Gue bingung, deh. Kenapa beliau malah kikuk di depan Om Angga?

“Tapi kenapa Pak Wawan harus ngumpet di balik badan Nendra dan Gabriellé?” tanya Om Angga lagi.

“Don’t mind him, Om,” jawab Gebi, “papa saya tanpa setelan jas kerjanya itu cuma bapak-bapak gamer yang punya insecure akut.”

“Lhoooo! Saya, kan, cuma takut masalah ini malah membuat hubungan kolega saya sama Pak Angga jadi rusak!” protes Pak Wawan. Sekarang, gue jadi makin bingung sama tingkahnya.

Diluar dugaan gue, Om Angga malah ketawa. “Pak Wawan ini ngomong apa, sih? Ini cuma masalah anak muda, Pak. Tidak ada sangkut pautnya dengan urusan bisnis. Dan tidak ada yang dirugikan dari kejadian ini selain waktu dan perhatian kita semua, kan? Tenang saja, saya cukup menikmati berbisnis dengan Pak Wawan, kok.”

“Tuh, dengerin,” timpal Gebi. Orang yang dimaksud Gebi cuma bisa memanyunkan bibir sambil menyentuhkan kedua ujung telunjuknya. Kayak gini…. 👉👈

Sok imut banget, anjir.

Setelah sekali lagi berpamitan, Om Angga pun pergi dengan mengendarai Range Rover Evoque miliknya. Karena jalanan Kuta di jam satu dini hari ini udah lumayan lengang, orang itu jadi bisa mengebut. Katanya, sih, tadi mau ke rumah sakit. Nyokap gue yang sakit, gitu? Kalo iya, apa mungkin gara-gara semalem kami ribut?

Ga tau, ah. Gue ga mau mikirin.

Gue, Gebi, Pak Wawan, April dan Sisil pun menyusuri tepi jalan. Tujuan kami udah jelas, hotel tempat kami menginap.

“Tapi saya rugi uang juga. Buat cover biaya pengobatan dua orang yang dihajar Nendra, lho,” keluh Pak Wawan, tiba-tiba.

“But you said, I just need to send you the bill?” timpal gue.

“But I never expected to be that much.”

Gue ga bisa menganggap enteng keluhan Pak Wawan, sih. Kayaknya beliau keluar uang lumayan gede juga. Jadi, untuk menghibur beliau, gue pun menepuk bahunya, sambil bilang, “nanti, kalo ada waktu, saya gendong push rank sampe mythic. Gimana?”

Dan… yap. Orangnya udah kembali ceria. Gampang banget dirayu. “Harusnya kamu sudah saya blacklist dari daftar cowok yang berhubungan dengan anak saya. Tapi masih saya pikir-pikir dulu, Nendra,” katanya.

“Jadi, gimana soal pekerjaan tambahannya?” tanya gue, “yang tadi itu saya lulus interview, ga? Atau butuh uji praktek yang lebih lagi?”

Pak Wawan langsung menarik tangan gue. Membuat langkah gue seketika terhenti. “Saya beritahu detailnya lewat chat,” bisiknya.

“Alrighty, alrighty.” Gue pun ketawa ringan. “I feel like I’m doing some sort of secret mission, you know.”

“This isn’t an easy feat, I warn you.” Pak Wawan menatap dalam-dalam ke gue. Ekspresi jenakanya, kini berubah jadi mimik serius. “But you, young man, are quite a monster yourself. I wonder… to what extent your madness can drive you.”

“Nah. Compared to you, I’m just a lone, skinny-starving wolf—a small fry. But you, Pak Himawan, you used to lead the whole pack of hungriest wolves just to do your dirty work. I guess–as a businessman–your hands are bloodier than mine, right? It can’t be cleaned just by washing your hands, though,” bales gue, sambil melempar tawa sebagai penutup kalimat. Lalu, gue kembali berjalan, menyusul Gebi. Tapi gue masih bisa ngerasain tatapan tajam Pak Wawan, yang kini masih terus menatap punggung gue.




=April=


Tadinya, gua dan yang lain mau langsung kembali ke kamar masing-masing. Tapi begitu sampe lobby, Nendra langsung berjalan mengarah ke lounge. Jelas aja, Gabriellé langsung menyusul. Kayaknya, dia takut kalo Nendra akan bikin keributan lagi. Sekarang, gua jadi ikutan was-was, kan.

Ikut nyusul, deh.

“April, aku ikut,” timpal Sisil.

Jadinya, cuma Pak Himawan aja yang langsung kembali ke kamarnya. Sementara Nendra, sekarang lagi berdiri di pintu masuk lounge. Mukanya tampak excited banget akan sesuatu. Sesekali, bibirnya bergerak-gerak seakan lagi merapal mantra. Oh, atau dia lagi sing along sama lagu yang lagi dinyanyiin band di Centerstage, ya?

“Aku nyanyi satu lagu ini dulu, yaaa?” pinta Nendra, ke Gabriellé. Pacarnya cuma bisa senyum sambil mengangguk kecil.

“Ini lagu apa, sih?” tanya gua, berteriak ke Nendra. Beat-nya cepet banget. Udah gitu, suara ritme gitar dan drum-nya terkesan berat. “Lagu metal-metal-an gitu, ya?”

Nendra cuma mengangguk, lalu kembali nyanyi, mengikuti lirik yang sedang dinyanyiin si vokalis band. Berbanding terbalik dengan Nendra yang bisa mengikuti lagunya, kuping gua engga bisa menangkap lirik pada bagian verse. Terlalu cepet. Tapi temponya melambat, kok, saat masuk ke bagian yang gua duga chorus ini.
Then you slowly recall all your mind
Why, your soul's gone cold, and all hope has run dry
Dead inside
Never enough to forget that you're one of the lonely

Slowly recall all your mind

“If I scare you nooow, don’t run from me. I’ve been hiding my pain, you see,” teriak Nendra, dengan suara seraknya, “said if I scare you nooow, don’t run from me. I’ve been hiding my pain, you see.” Lalu, tiba-tiba dia senyum lebar. Mukanya ceria banget, sekarang. Dia pun nengok ke Gabriellé, gua, dan Sisil. “Cabut, yuk?”

“Tapi, kan, lagunya belum habis, Bae?” bales Gabriellé.

“Ga apa-apa. Aku udah puas. Cuma pengen nyanyi bagian yang itu, sebenernya.”
Slowly recall all your mind
Why, your soul's gone cold, and all hope has run dry
Dead inside
Never enough to forget that you're one of the lonely
Slowly recall all your mind

Slowly recall all your mind

Saat Nendra, Gabriellé, dan Sisil mulai ninggalin area lounge, gua coba menajamkan pendengaran. Kayaknya, gua udah mulai terbiasa dengan artikulasinya. “...They know that you’ve hurt yourself another time. Don’t they know that you’re full of pain already?” Abis itu, gua kembali ga bisa mengikuti liriknya. Tapi dari sepenggal lirik itu, udah cukup untuk bikin gua merinding. Merinding karena… somehow, lagu itu mewakili perasaan Nendra sekarang.

Dan kayaknya yang peka bukan cuma gua, deh. Sekarang, Gabriellé terus menggenggam tangan Nendra, selama mereka berjalan menyusuri koridor. Genggamannya bukan kayak genggaman mesra. Lebih ke genggaman tangan khawatir. Setelah berpisah karena kamar kami beda arah, Nendra sempat dadah-dadah ke kami, sebelum pintu lift yang membawanya ke atas menutup.

“Judul lagunya Decadence, April. Dari band heavy metal, Disturbed,” ucap Gabriellé, tiba-tiba. “Tau, ga, arti dari decadence?”

Gua menggeleng, pelan. “Something bad, I think?”

“The act or process of falling into an inferior condition or state,” bales Gabriellé, “bisa juga diartikan sebagai moral degeneration. The very same condition… aku liat lagi dialami Nendra.”

“It is–without any doubt–bad.” Gua pun meneguk ludah.

“Semoga aja ini cuma fase terpukulnya atas hal-hal yang dialami akhir-akhir ini, ya. Semoga hari-hari kedepan nanti, Nendra kembali lagi ke dirinya yang biasanya,” timpal Sisil. Nguping aja, sih, ini cewek.

Gua berusaha mengamini ucapan Sisil. Tapi bahkan hati gua ragu kalo ucapan Sisil akan jadi kenyataan. Gua kenal Nendra cukup lama untuk pada akhirnya tau, bahwa, ternyata selama ini dia lagi bergantung pada seutas benang tipis. Benang yang menyambungkannya dengan moralitas dan perasaan. Lalu, dari cerita-cerita tentangnya yang gua kumpulin dari Gabriellé dan Nendra sendiri, gua makin yakin akan satu hal: Nendra udah mencapai breaking point-nya. Akumulasi dari stress, tertekan, cemas, marah, dan segudang perasaan negatif lainnya yang engga tersalurkan dengan baik; yang mengumpul jadi bom waktu… dan pada akhirnya, meledak tiba-tiba.

Kayak yang Joker bilang, “madness, as you know, is like gravity. All it takes is a little push.”

Dan kejadian semalam merupakan dorongan kecilnya.




=Nendra=


Akhir-akhir ini, gue jadi bisa mengingat-ingat lagi kenangan gue saat kecil dulu. Kenangan yang cuma samar-sama, tapi entah kenapa, malah terasa kuat. Saat gue masih balita (mungkin usia gue tiga atau empat tahun pada saat itu), gue punya ‘ibu’ lain selain nyokap gue. ‘Ibu’ ini hampir selalu datang saat tengah malam. Kedatangannya ditandai dengan bunyi cuitan anak ayam yang awalnya terdengar nyaring, lalu perlahan-lahan memudar. Saat bunyi cuitan anak ayamnya menghilang sepenuhnya, ‘ibu’ gue itu pasti udah berada di deket gue.

Beliau emang ga pernah ganti baju. Yang selalu beliau pake cuma daster putih polos yang sudah lusuh dan jadi berwarna kecoklatan. Pada tiap kedatangannya, tercium aroma harum yang khas—yang setelah dewasa, gue baru tau kalo itu wangi mawar. Rambutnya pun kusut dan acak-acakan, menjuntai-juntai ga karuan sampe menutupi sebagian mukanya. Yang bisa gue inget dari mukanya cuma senyum dari bibir tipisnya, itu pun juga ingatan yang samar.

Gue menganggapnya ‘ibu’, karena beliau dateng cuma untuk menimang-nimang gue—like a normal mother would do. Cuma sebentar, tapi cukup untuk bikin gue tidur pulas. Kadang beliau dateng hanya untuk menangisi luka-luka lebam dan luka lecet akibat cubitan yang memenuhi lengan gue. Jangan tanya siapa yang bikin gue sampe lebam dan lecet gitu. Tiap kali gue lagi meradang karena babak belur, beliau selalu mengusap luka-luka gue. Saat diusap beliau, anehnya, luka-luka gue jadi ga terlalu terasa sakit. Gue pun bisa tidur nyenyak karenanya.

Dan besoknya, nyokap gue pasti langsung sakit. Entah ini ada hubungannya apa engga dengan tatapan marah dari ‘ibu’ gue ke Nyokap. Tapi gue jadi senang, bahwa bukan cuma gue yang pada akhirnya sakit.

Gue cuma menikmati pengalaman ‘diasuh’ beliau selama setahun. Setelah pohon mangga yang berada persis di depan rumah ditebang, ‘ibu’ gue udah ga pernah dateng lagi. Lalu, gue sempet lupa dengan keberadaan beliau selama bertahun-tahun. Sekarang, setelah ngeliat sosok yang mirip, yang sedang melayang rendah sambil nemenin gue menyusuri koridor hotel ini, gue jadi bisa ingat beliau lagi.

“Tentu aja kalian berbeda. Kamu bukan ‘ibu’ yang saya maksud. Rambut kamu juga engga se-acak-acakan beliau. Tapi saya pikir, baju lusuh itu kayak udah jadi trademark untuk kalian, ya?” tanya gue, sambil terkekeh geli.

“Kamu nggak takut sama saya?”

Suaranya terngiang-ngiang, baik di kuping maupun yang langsung ke kepala gue. “Engga. Ga lagi. Maaf karena selama ini saya salah paham terhadap kalian, ya.”

“Beberapa dari kami memang iseng. Tapi tujuan kami… cuma ingin menghibur kamu.”

“Saya tau, kok.” Gue tersenyum tipis. “Saya akhirnya sadar akan hal itu.”

Iya, gue akhirnya menyadari bahwa para hantu yang gue liat di kamar mandi saat gue dikunciin Nyokap itu, engga bertujuan untuk meneror gue. Mereka cuma ingin menghibur gue supaya engga sedih lagi. Tapi kemunculan mereka emang dramatis yang nyeremin, gitu. Gue juga ga bisa menyalahkan bentuk mereka yang nyeremin, sih, tapi itu bisa banget bikin gue jadi salah paham, kan.

“Yang semalam itu memang kelewatan, ya. Saya sudah mewanti-wanti supaya jangan terlalu menyeramkan.”

“Oh. Justru bagus!” Gue kembali ketawa. Sekarang, saat mengingat lagi kejadian semalem, saat gue ditakut-takutin sama ‘Pak Tarsani’, gue cuma bisa bersyukur atas upaya hantu sialan itu dalam nakut-nakutin gue. “Saya ga tau apa yang akan terjadi pada saya, kalo aja saya beneran sendirian di kamar, semalem. Justru karena saya ketakutan, fokus saya jadi teralihkan.”

“Tapi kenapa sekarang kamu nggak takut sama kami lagi?”

“Ga tau. Mungkin karena sekarang… saya merasa kosong. Kalo merasa kosong begini, saya jadi ga takut sama apapun lagi.”

Akhirnya. Gue sampe juga di depan kamar gue. Pak Tarsani bilang pintu kamar ga dikunci, jadi gue bisa langsung masuk. Tapi sebelum masuk, ‘mbak’ yang nemenin gue berjalan sepanjang koridor ini bisikin gue sesuatu. Reaksi gue pun beragam. Ada kaget, lalu jadi gemes, kemudian kesel, dan terakhir… bersyukur.

“That little trickster is really, really getting on my nerves.” Itu adalah komentar pertama gue, setelah si ‘mbak’ selesai bisikin gue. “Besok hari terakhir saya di sini. Tenang aja, saya akan bikin perhitungan sama dia.”

“Yang satu itu memang usil, Nendra.”

“Emang.” Gue pun ketawa. Lalu, gue memutar tuas pintu. “Saya masuk dulu, ya, Mbak.”

Saat gue masuk, gue mendapati kalo Pak Tarsani lagi ngelakuin sholat malam. Orangnya lagi sujud, jadi ga langsung ngeliat gue. Tapi beliau sujud mengarah ke gue, karena emang posisi kiblat-nya ngepas ke arah pintu masuk, sih. Tapi fokus gue seketika bergeser ke orang yang sedang ikutan sujud, di belakang Pak Tarsani. Bajunya mirip dengan yang gue pake, rambut acak-acakannya juga, postur badannya….

Dan saat Pak Tarsani bangun dari sujudnya, ‘orang’ itu pun ikut bangun. Seketika, gue langsung merasa capek. Capek banget harus ngeliat ada hantu yang menyamar jadi gue, dan ikutan sholat jadi makmum. Tapi reaksi Pak Tarsani berbeda. Saat beliau ngeliat gue lagi berdiri di pintu, beliau seketika membatalkan sholat-nya, lalu menengok ke belakang. ‘Gue’ yang jadi makmum pun cuma bisa cengengesan, mungkin karena merasa dirinya ketahuan.

Lalu hantu itu menghilang begitu aja, melebur bersama ruang kosong.

Reaksi pertama dari Pak Tarsani, adalah seruan istighfar, paling kenceng yang pernah gue denger dari mulut beliau. Dan beliau terus merapal kata yang sama, mungkin hingga Subuh menjelang. Sementara gue, ga bisa berhenti ketawa tiap kali ngeliat muka ketakutan Pak Tarsani pada dini hari ini.

Sayang banget, besok gue udah harus check out. Padahal gue baru aja bisa menikmati keangkeran kamar ini.


Bersambung…
 
Ah update yang dinanti :beer:
Komennya? Singkat saja. Terbaik Hu. Nubie suka banget ama penggambaran sosok tokoh2 ceritanya. Realistis banget. Serasa nonton film atau ikutan liat dan dengerin mereka live.
Tapi beneran kedistrak ama kehadiran si hantu usil. Lucu abisss. Bikin ngakak walau dia nongol cuma di penutup :lol:
Makasih updatenya Hu @nympherotica
Monggo dilanjut
 
Akhirnya yg ditunggu pun tiba, terima kasih untuk kelanjutan ceritanya. As always, selalu ada yg unik dari bagian2 di dunia ceritanya Nendra. Satu lagi, baru denger kalo suhu sedang/baru sakit. Semoga suhu selalu diberikan kesehatan, namun ya tentu saja suhu perlu memperhatikan diri suhu sendiri. Lancar2 terus hu segala urusannya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd