-part 6- sekitar 1.5 halaman word semoga berkenan.
Setelah aku selesai dengan pengobatan alternatif, aku kembali ke kamarku dan melihat Renata sudah tidur lagi berlapiskan selimut tebal dengan setengah kepalanya menyembul. Wajahnya terlihat kesakitan sehingga aku pun kembali mengompres kepalanya dengan handuk dingin. Wajahnya yang tadinya berkerut kini terlihat lebih santai saat itu juga.
“Ternyata Renata demam melihat otongku...” gumamku lirih.
Lalu karena takut Renata kenapa-napa, Aku kini mengambil buku pelajaran dan belajar di meja belajarku sambil menungguinya. Setelah dua jam dia tertidur, nampaknya ia mulai terbangun. Karena ia mulai membuat suara-suara aneh dan nampak gelisah di dalam selimut. Aku tidak dapat melihatnya dengan jelas namun aku dapat melihat bahwa kakinya bergerak-gerak dari sisi meja belajarku, dan kini menongol keluar dari balik selimut.
“ahh panaaaas” teriak Renata bergerak bangun.
Aku bisa melihat siluetnya dari kaca bingkai foto. Dari awal ia mengipas-ngipaskanbajunya lalu sampai pada gerakan ia menarik bajunya keatas. Namun aku memilih tidak bereaksi karena sibuk menyiapkan catatan ringkas untuk perempuan ini. Namun tindakanku sepertinya membuatnya sedikit jengkel dan berkata kepadaku dengan kasar.
“kamu ga keluar? Aku lagi mau buka baju...”
“bukannya udah? diluar ga enak, ga ada meja yang cocok buat nulis.”
“Eh? ka-kamu liat? Ta-tapi...”
“keliatan dari kaca...”
“eh... ahhhh” seru Renata terdengar panik.
“bukk” sebuah baju tiba dilemparkan hingga mengenai punggungku.
“tuh baju lo...” Ucapnya sambil menarik selimut dan tidur meringkuk di dalamnya.
Aku menarik nafas panjang. Menjelang malam minggu aku hanya berduaan saja dengan seorang wanita cantik yang bertelanjang dada di dalam satu kamar. Wajar jika Renata terdengar marah, dan mencari-cari alasan mengusirku dari kamarku sendiri. Aku pun bergerak membawa beberapa buku yang menjadi rujukanku dan bergerak menuju ruang tengah. Aku sudah memutuskan akan melanjutkan belajarku di ruang tamu.
Namun sebelum keluar dai kama, aku bergerak membuka kunci pintu lemariku dan berkata kepadanya.
“pakai baju gw nih.” ucapku dingin.
***
“Ma-maaf...” ucapnya Renata dari arah tangga.
Aku yang masih sibuk menulis tidak kuasa menolehkan pandanganku kepadanya. Kini terlihat wanita dengan rambut sepinggang itu bergerak menuruni tangga berbalutkan selimut dari kamarku. Sesekali, aku dapat melihat betis dan pahanya yang putih tersembul keluar dari balik selimut seakan-akan Renata tidak mengenakan apa-apa lagi di balik selimut itu. Dia melangkahkan kakinya malu-malu seperti seorang perempuan yang pergi ke pesta dansa. Aku menduga demamnya naik sehingga ia mulai berkhayal hal-hal yang aneh.
Lalu seperti disengaja, tubuh Renata tiba-tiba limbung sebelum akhirnya terlihat berlari menuju bawah seakan-akan tubuhnya jatuh bebas. Meski aktingnya termasuk kelas teri, aku tetap saja berusaha menangkapnya. Bagaimanapun, kalau sampai cewek ini jatuh terguling, masalahnya tidak akan selesai hanya dengan masuk rumah sakit. Namun lagi-lagi aku terjebak karena Renata tiba-tiba terhenti lalu tertawa kearahku.
“hehehe... kena tipu lagi ya?”
Cukup! Kesabaranku habis. Aku pun berteriak kepadanya dengan penuh emosi.
“Renata!” teriakku berlari naik dengan emosi.
“hehehe” ia kembali tertawa sambil berlari menjauh dari kejaranku.
Sayangnya selimut melilit kakinya dan Renata yang belum pulih benar terpleset karenanya.
“Sret”
Renata jatuh meluncur menuruni tangga tanpa sempat berteriak. Untungnya aku sudah siap menyambutnya. Dalam sekejap aku berhasil menangkap badannya. Sialnya, setelah menangkapnya aku juga ikut meluncur jatuh. Kami terdorong sampai menabrak sofa ruang tengah. Sofa itu pun juga bergeser cukup jauh sebelum akhirnya kami berhenti. Ruang tengah pun menjadi berantakan dalam sekejap.
Saat kami terhenti aku tersadar bahwa selimut yang Renata tutupkan ke tubuhnya telah tersingkap. Ternyata di balik selimut itu, Renata tidak mengenakan bawahan sama sekali. Hanya baju kebesaran yang sangat pas-pasan untuk menutupi selangkangannya. Sayangnya kalau aku bisa melihat perutnya yang putih saat ini, tentu aku juga bisa melihat memek mulus tanpa rambut dengan garis kemerahan berkilat basah di bawah sinar lampu.
“Re-renata...kamu ga apa-apa?” panggilku terbata-bata
Renata menggeleng namun ketika aku bertanya lebih lanjut. Renata tetap diam meski nafasnya mulai berubah tidak beraturan. Akhirnya ia menarik tanganku yang memeluknya dan memindahkannya ke dadanya sambil berusaha mengkodekan tanganku untuk meremasnya. Bibirnya kemudian mendekat ke wajahku dan sedetik kemudian, kedua bibir kami bertemu.
Awalnya aku berharap bisa memimpin namun akhirnya aku gelagapan dibawah pilinan lidahnya yang mulai bergerak masuk. Tidak ada lagi permainan anak baik. Aku yang masih ingin mendominasi telah bergerak kasar meremas tokednya dengan gemas sementara Renata sendiri sedang mengesek-gesekan selangakangannya ke kulit pahaku yang tersingkap. Suhu tubuh kami berdua mulai merangkak naik menciptakan sensasi aneh pada kulit-kulit kami yang bersentuhan. Puncaknya tubuh kami berguling dan ciuman kami semakin liar. Renata menang dan dia sekarang menindihku dengan liar. Dengan tatapan sayu ia mulai menyuntikan air liurnya ke dalam mulutku.
Hanya saja, karena suatu alasan, segumpal air liur Renata yang memasuki mulutku membuat nafsuku hilang. Akupun tersadar dan mendorong tubuhnya menjauh. Renata nampak gelagapan dengan air liur menetes kemana-mana. Ia menatapku kaget dan terlihat ingin menangis. Lalu Renata berlari naik dan bergerak mengunci kamarku dari dalam.
Sepertinya ia memang benar-benar menangis karena samar-samar aku dapat mendengar isak tangisnya. Namun itu kamarku dan ia bahkan belum memberitahu alasannya berada di rumahku.
“Renata!” panggilku dengan suara keras.
“crek crek...”
Aku mencoba membuka kunci pintu dari luar dengan kunci cadangan. Sayangnya, kunci cadangan ini tidak bisa masuk karena sepertinya kunci lain masih terpasang disana. Aku hampir saja mendobraknya kalau saja itu membuat kamar yang sekarang Renata tempati tidak memiliki kunci, dan itu akan sangat mungkin menyebabkan terjadi hal-hal yang ingin ku hindari. Akhirnya aku duduk bersandar di depan kamarku dan menunggu Renata dapat menenangkan diri sambil aku mengajaknya bicara dari luar.
“Ren... mungkin... aku takut... karena kamu terlalu cantik ” ucapku memulai pembicaraan.
“jangan menangis... itu ga cocok buat cewek yang suka becanda... Hehehe...”
“maaf...”
Lalu aku beranjak turun sampai Renata tiba-tiba menyelipkan sebuah benda berukuran stik eskrim dengan dua garis merah dari bawah pintu. Lalu bergerak membuka kunci pintu kamarku. Namun aku hanya memilih menarik stik itu dan menggenggamnya erat-erat didadaku tanpa keinginan membuka pintu kamar. Aku bisa merasakan kabut dimataku dan kali ini, akulah yang ingin menangis. Bulir-bulir air mata mengalir turun menuruni pipiku.
maaf emosional TS
baper