Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG A Diary of Dick (Season 2) - Multiple Strikes

“Iya papih, ooohhh mmm... iya ini lagi istirahat di hotel, di Dago, besok pagi check out balik ke Jakarta lagi, papih lagi apa ?”, ujar Indah yang mengangkat telponnya, sementara aku menelan ludah sambil menahan nafsu.

“Iya dah papih sayaaanngggg”, ujar Indah lalu menutup telponnya.

“Pak Armand, maaf, kita gak seharusnya ngelakuin ini...”, ujar Indah lirih.

“Kenapa Ndah... kita kan...”

“Bu Indah, tolong panggil saya bu Indah pak Armand”

“Oh oke bu Indah... ayo sayang”, rayuku sambil memeluknya.

“Maaf pak...”, ujar Indah menolakku, namun aku tak peduli dan mencumbu bibirnya, ia sempat membalas tapi...

“Pak Armand !!! berhenti atau saya panggil security !!!”, hardik Indah.

“Oke... oke, saya pergi bu Indah”, ujarku ketus, aku segera berpakaian dan pergi membanting pintu kamar hotelnya.

Di mobil aku terus menggerutu, bahkan Vany menelpon pun tidak kuangkat, aku sudah sange sekali tadi, ah sialan bener dah si Indah kamfffrrrrrrreeeeeeeeeeetttttttt.

Sampai di mess, aku bertemu Ryan dan Gilang yang sudah rapi dan wangi, mau pada hang out kayaknya.

“Kang bos !!! ah dateng nih, tadi di Yono kampret banget lah pianjingeun”, cerocos Ryan.

“Aya naon atuh”, jawabku santai.

Gilang dan Ryan lalu cerita tetantang kelakuan si Yono yang sotoy di depan klien tadi, nyaris saja mereka mesti lembur malam gara-gara si Yono bilang ada trouble chiller, padahal gak kenapa-kenapa.

“Kampret bener si Yono lah, dia tuh pengen keliatan pinter di depan klien tapi tolol”, keluh Ryan.

“Yaudah, ngomong-ngomong mau pada kemana coy, rapi bener”, tanyaku.

“Eiiitttssss malam jumat atuh kang bos, biasa anak muda”, ujar Gilang.

“Ikut yuk kang bos, udah gak musim malem mingguan, sekarang mah malem jumatan, mumpung besok kerja setengah hari, kita masuk siang, soalnya pagi-paginya owner ada seremoni, kontraktor stop kerja dulu”, tambah Ryan.

“Mau pada kemana sih ?”, tanyaku.

“Nongkrong bos”, ujar Ryan.

“Pulangnya kita ke Saritem, udah ada langganan kita sama mami mami disana, udah disiapin barang yang baguuussss”, tambah Gilang.

“Ya ampun kalian, lagian Saritem kan udah ga ada”, ujarku.

“Kata siapaaaaaa”, Gilang dan Ryan kompak menjawab.

“Biar depannya udah ada pesantren, tapi tetep aja kalo nyari-nyari ke dalem mah masih banyak kang bos, ayo ikut yuk”, ajak Ryan.

“Ogah ah”, aku lalu berlalu ke kamar.

Diluar kamar Ryan dan Gilang masih merayuku untuk ikut, tapi aku terus menolak, mereka pun akhirnya pergi.

“Maaf ya bos ditinggal sendirian di rumah, ntar subuh kita pulang kok, dadaaaaahhhhh”, kata kedua penjahat kelamin amatir itu.

Aku pun lanjut video call-an dengan Vany dan anakku, melihat tingkah anakku lumayan menghilangkan stress gara-gara gagal ngentot, tapi godaan Vany malah bikin aku sange lagi.

“Maaf ya yah kemaren bunda mens, besok deh hari minggu ketemu, bunda kasi yang spesiaaaaallll buat ayah”, goda Vany.

Aku menelan ludah, biar sudah beragam memek kucoba, memek Vany istriku tetap yang paling spektakuler, dan kalau dia sudah bilang spesial begini, ya pasti beneran hot nantinya, aduuuhhhh ngaceng lagi coy.

Usai video call aku lalu menyetel musik dari laptopku sambil main HP di kamar, aku baru sadar kalau ada sms dari si Yono, bilang dia izin tidak kerja besok karena mau pulang kampung dulu ke Ciamis.

Diluar hujan besar, pikiranku melayang kemana-mana, hujan begini ngentot nikmat sedap pastinya, apa aku susul saja si Ryan sama Gilang ? ah tapi nggak ah, pantang aku ngentot jablay, walaupun aku kemaren ngentot bibi Elizabeth pakai bayar tapi kan dianya juga pengen dientot, menggodaku duluan, kalau jablay kan bisa saja terpaksa melayani, gak seru.

Sekitar jam 8 malam, listrik padam, sial, baru niat mau nonton TV. Kutungu semenit, dua menit sampe setengah jam lebih tidak nyala lagi. Lewat chat si Ryan memberi tahu kalau akhir-akhir ini di mess sering ada pemadaman bergilir karena ada gardu listrik yang sedang diperbaiki, tapi dia juga memberi tahu kalau di mess ada genset kecil.

Biasa lah mess kontraktor, suka dijadikan gudang dadakan, banyak sekali matrial proyek yang disimpan di rumah ini. Aku lalu segera menyalakan genset dan menyambungkannya ke saklar rumah, yeah nyala, tapi karena solarnya tinggal sedikit jadi ya aku cuma menyalakan untuk lampu saja sama charge laptop.

Saat sedang asyik nonton bokep di laptop, tiba-tiba listrik padam lagi, apa solarnya habis ? Aku pergi untuk mengecek genset, tapi baru saja bangkit dari kursi listrik nyala lagi. Aku pun duduk lagi, namun tak lama mati lagi, kali ini agak lama.

Aku pun mengecek kondisi genset, ternyata genset masih bekerja tapi listrik padam, solarnya pun masih lumayan walau tak banyak.

“Kenapa nih ?”, ujarku dalam hati, kumatikan genset, sementara petir lalu menggelegar di luar, berisik bunyi air hujan di atap pun menandakan hujan makin besar. Aku mulai parno, soalnya ini malam jumat, dan aku sendirian di rumah yang aku juga tidak tau sejarahnya, pikiranku mulai horror di tengah kegelapan. Suasana ini sukses mengikis birahiku dan merubahnya jadi rasa takut, kontolku yang ngaceng jadi ciut.

“Draaaaakkkk !!!”, aku mendengar sesuatu jatuh dari arah dapur. Aku pun dengan mengendap-endap menuju dapur, lewat pancaran blitz HP ku aku memeriksa sekitar, rupanya tumpukan kardus jatuh, sepertinya ketabrak tikus.

Dok... dok... dok... doookkk !!! Aku tiba-tiba mendengar suara pintu depan diketuk, benar-benar bikin kaget, jantungku berdegup kencang ketakutan, aku terdiam di dapur.

“Dok... dok... dok... doookkk, permisiiii”, kudengar suara lirih dari luar. Makin tidak karuan saja, siapa coba yang bertamu hujan-hujan dan gelap begini, waduh.... Aku si penjahat kelamin mendadak relijius, kubaca doa-doa yang kuhafal, berharap kalau ada setan jadi kabur.

“Dok... dok... dok... dooookkkk assalamualaikuuuummm”, suara lirih itu mengucap salam dari luar.

“Setan kok assalamualaikum ?”, tanyaku dalam hati, aku jadi penasaran, aku memberanikan diri pergi ke depan untuk melihat siapa yang datang.

Dari ruang tengah aku tidak melihat bayang siapapun dari jendela, apa sudah pergi ? Tapi aku penasaran. Kuberanikan diri membuka pintu depan sambil komat kamit dan....

Tidak ada siapa siapa... hanya bunyi petir yang menyambar.

Aku celingak celinguk menatap pekarangan, beneran, tidak ada siapa-siapa, seketika aku berbalik ke dalam masuk ke dalam rumah dan...

“Pak... tolong paakkk...”, ada suara di belakangku, di sela pintu yang belum sempurna kututup. Aku bergetar ketakutan, saking ketakutannya aku mematung tak berani menoleh ke belakang.

“Pak... permisi pak Armaaannndddd”, suara itu terdengar lagi di belakangku, suara wanita ! aduh ini mah kalau bukan kuntilanak ya wewe gombel, mana dia tahu namaku lagi, ampuuuuunnnnnnn

Kurasakan ada tangan menarik ujung kaosku di bagian bawah, aku pun makin gemetaran, namun memberanikan diri menengok kebelakang sambil komat-kamit baca doa.

Kutatap sosok itu, ia menunduk dan memakai semacam hijab panjang, kudengar ia terisak-isak, jangan-jangan... Valak yang di The Conjuring 2 ini mah, ampun dijeeeeeee....

“Aaaa.... ampuuuunnnn... jaaaaa.... jangan ganggu saya yah setaaaaannnn”, ujarku polos sambil gemetaran.

Perlahan kepala yang tertunduk itu menengadah, jantungku berdegup kencang sekali menatapnya, ternyata dia....

“Saya bukan setan pak Armand”

“Hah ! kamu kan...”, ujarku.

“Iya yang kemarin kesini pak”, ujar wanita itu. Aku memperhatikannya dari atas kebawah, kakinya menapak ke tanah, perutnya tidak bolong, aman.

“Oh iya, istrinya pak Yono ya, eh ayo masuk teteh Nina ya”, aku mempersilakan Nina masuk.

Fiiiuuuuhhhhh... lega hatiku.

Setelah mempersilahkan duduk, aku menuju ke belakang mengecek genset tadi, ternyata colokannya longgar, kuperbaiki sebentar dan nyala kembali, rumah mess pun terang lagi. Aku pun kembali ke ruang tengah dan menyajikan segelas air minum ke Nina, ia tampak kebasahan karena hujan, kasihan aku melihatnya.

Kami pun mengobrol, ia tampak duduk menjaga jarak dariku. Jadi ceritanya Nina ini ribut sama Yono tadi sore, lalu Yono pulang ke Ciamis dengan culasnya meninggalkannya sendirian, bahkan tanpa sepeser uang pun. Tipikal wanita kelewat shaleh seperti Nina inilah yang mudah dijadikan bulan-bulanan lelaki kampret macam Yono. Lalu karena listrik padam dan Nina phobia gelap, ia pun meninggalkan kontrakannya, karena belum genap seminggu disini Nina belum kenal tetangga, walaupun ada sejumlah tetangga dekat kontrakannya ia malu untuk mengungsi ke sana, cuma mess ini yang dia tahu, jadi ia memberanikan diri kesini walaupun ia tahu mess ini ditempati laki-laki bukan muhrimnya. Menghubungi Yono pun HP-nya tidak aktif.

“Maaf ya pak Armand ngerepotin, saya bingung soalnya”, ujar Nina lirih.

“Iya nggak apa-apa teh Nina, oh iya kalau mau istirahat ada kamar anak-anak”, ujarku.

Selepas itu, kami terpaku, bingung mau ngomong apa, aku juga segan karena tipikal perempuan alim begini kurang asyik kalau digodain. Aku sempat menawarkannya mengganti pakaian dengan pakaianku, tapi ia menolak. Akhirnya aku pamit kembali ke kamarku.

Di kamar, lagi-lagi aku lanjut nonton bokep, aku sudah niat mau onani. Memang, ada perempuan di rumah ini, tapi ragu juga aku sama tipe alim begitu, nanti kalau teriak minta tolong tetangga bisa berabe aku dibilang pemerkosa, belum lagi kalau Ryan sama Gilang, atau Yono jadi tahu. Ah hancur sudah.

Sedang asyik ngocok, pintuku diketuk. Dengan malas aku pun membuka pintu. Rupanya dia mau laporan kalau kamar Gilang sama Ryan dikunci, ditambah lagi lampu ruang tengah mati, ternyata lampunya putus, aku mencari gantinya tapi tidak ada, Ryan dan Gilang pun tak membalas chatku yang menanyakan kunci kamar. Mau mengambil lampu ruangan lain untuk mengganti lampu yang mati di ruang tengah pun percuma, karena ruang tengah itu langit-langitnya lebih tinggi dari ruangan lain, harus pakai galah untuk mengganti lampunya, dan galahnya tidak ada.

“Yaudah teh Nina tidur di kamar saya aja, nggak apa-apa saya tidur di ruang tengah”, ujarku.

“Eh maaf ya pak Armand, maaf banget”, ujar Nina.

Aku lalu mengambil bantal dan sarung lalu tiduran di sofa ruang tengah, sementara Nina di kamarku. Aku jadi kebayang juga dia tidur di kamarku pasti melepas hijab lebarnya, mana mungkin dipakai, kan basah kehujanan. Namun sepertinya Nina agak kurus tapi tinggi, ah kacau nih aku horny.

Aku gelisah di atas sofa, mau coli tapi... aku masih berharap bisa ngentot si Nina, apalagi tadi sore gagal aku ngentot si Indah, juga membayangkan si Ryan dan Gilang yang pasti sedang hepi-hepi dengan perempuan liar di luar sana.

Tak lama kemudian, listrik benar-benar padam. Aku segera mengecek ke genset dan benar saja, kali ini solarnya habis. Untung baterai HP-ku full karena sempat di cas dulu tadi, yasudahlah tidur saja. Aku balik ke ruang tengah, namun kulihat kamarku pintunya sedikit terbuka, padahal tadi tertutup rapat, sepertinya si Nina ketakutan karena gelap dan sendirian di kamar. Hmmmm...

“Teh Nina, maaf, boleh saya tidur disini ? Gapapa saya tidur di bawah aja”, ujarku.

“Eh uummm... silahkan pak Armand”, jawab Nina singkat, benar ia membuka hijabnya dan menutup tubuhnya dengan selimutku hingga menyisakan wajahnya saja saat bicara denganku.

Aku pun tiduran di lantai dekat ranjang, beralaskan kasur Palembang tipis. Aku cuma memakai celana dalam dan bertelanjang dada, sengaja memang.

Suasana lalu hening, hanya bunyi rintik hujan dan petir yang sesekali terdengar di tengah kegelapan. Ada notifikasi di HP-ku, kulihat si Ryan sama Gilang mengirim foto lagi asik dengan jablaynya masing-masing, ah kampret anak-anak ini. Foto-foto tubuh para jablay montok yang telanjang itu benar-benar menaikkan libidoku, dan parahnya aku sekarang sedang sekamar dengan seorang wanita, tapi aku tidak ngapa-ngapain !

Dung ! Serasa kepalaku pusing, ini memang gejala yang biasa terjadi padaku kalau libidoku tak tersalurkan. Aku harus ngewe ini, harus kuentot si Nina ini, persetan lah apa yang bakal terjadi.

Kupikir Nina pun gelisah, ia pasti belum tidur. Dari tadi kudengar suara dari ranjang yang berbunyi tanda ia berkali-kali mencari posisi tidur. Mungkin dia sedang ketakutan, entah oleh gelap atau takut padaku, atau jangan-jangan dia sange juga ? Hmmm...

Aku memberanikan diri naik ke atas ranjang pelan-pelan, Nina nampak menyadari ulahku dan menggeser tubuhnya memepet dinding menjauh dariku. Namun aku tak gentar, perlahan kugeser tubuhku mendekatinya, Nina sudah mentok di dinding, kupepet tubuhku ke tubuhnya yang masih tertutup rapat selimut. Aku terdiam beberapa saat kala tubuh kami bersentuhan, meski dibalik selimut bisa kurasakan tubuh Nina gemetaran.

Aku dapat melihat lekuk tubuh Nina dibalik selimutku yang memang tidak terlalu tebal. Bokongnya, pinggang dan punggungnya. Ia membelakangiku. Aku memberanikan diri mengelus lekuk pinggang dan bokongnya yang tertutup selimut, ia diam tak ada perlawanan. Jangkauan elusanku makin lama makin jauh, mulai dari punggung hingga pahanya, ia terdiam mematung namun sedikit gemetaran.

Aku makin berani bertindak, kutempelkan kontolku yang masih terrbungkus celana dalam ke pantat Nina yang juga masih ditutup selimut. Perlahan makin kutekan selangkanganku yang menonjol, Nina lalu bereaksi dengan menjauhkan pantatnya, namun kupepet lagi hingga akhirnya pinggulnya pun sudah mentok ke tembok. Sekarang sepanjang tubuh Nina sudah dalam cengkeramanku, ia sudah mati langkah, kuremas bahunya sambil kugesek-gesek selangkanganku di bokongnya.

Aku lalu menyingkapkan selimut yang menutupi kepalanya, ia ternyata tak berhijab hingga rambut panjang hitamnya yang diikat ponytail terlihat, kulihat matanya terpejam dan ketakutan, aku mendekatkan wajahku ke wajahnya, sengaja kuhembuskan nafasku agak kencang ke arah leher dan pipinya.

“Ja... jangan pak Armand, dosa pak...”, ujar Nina lirih sambil terpejam.

“Mumpung sepi, teteh Nina...”, ujarku, kukecup pipinya yang putih.

“Tapi aku istri Yono pak, teman pak Armand”

“Yono bukan temen aku teh, dia mah banyak yang musuhin, soalnya orangnya songong”

Kulihat Nina menelan ludah meski masih terpejam, aku lalu memasukkan tanganku ke balik selimutnya. Kuremas lengannya, lalu meremas pantatnya, mengelus tubuhnya hingga akhirnya kucari payudaranya. Nina berusaha menghalangi payudaranya dengan tangannya, ia juga sempat menepis tanganku, namun aku terus memaksa.

Gemas dengan tingkah Nina, aku lalu masuk ke dalam selimutnya. Di balik selimutnya aku makin merajalela, aku juga sudah melepaskan celana dalamku sehingga kini aku telanjang bulat. Aku meraba dan mencumbui tubuh Nina yang masih berpakaian lengkap, sambil berusaha menyingkap pakaiannya dan menurunkan celananya. Ia nampak menggunakan kaus lengan panjang turtle neck longgar warna krem dan celana training panjang biru dongker plus kaos kaki krem.

“Pak... jangan pak... tolong pak, eling pak, nyebut pak Armaaaanndd”, ujar Nina berkali-kali ditengah serbuanku. Sesekali ia menepisku dan menendangku, namun aku masih terus menyerangnya, aku tau ada bagian dari dirinya yang menginginkan seks sepertiku, terbukti dari lemahnya perlawanannya, karena kalau memang benar-benar menolak ia pasti sudah lari dari tadi. Tanganku sudah sempat berhasil menyentuh payudara dan memeknya beberapa kali, walau baru sekedar sentuhan singkat.

Aku lalu emosi, kucengkeram wajah Nina sementara aku duduk di atas tubuhnya. Mau dibilang pemerkosaan juga bodo amat lah, nafsu birahi sudah sangat menguasaiku.

“Heh, denger ya, lu mesti mau jadi pelampiasan nafsu gue, gue sange, pengen ngentot, dan cuma ada lubang memek lu sekarang disini, jadi gue pengen ngentot lu, ngerti gak !!!”, bentakku pada Nina yang menangis.

“Toloooonnggggg !!! toloooonngggg !!!”, jerit Nina, langsung kubekap mulutnya dengan tanganku.

“Heh Nina, lu kagak denger di luar ujan gede, gelap pula, gak akan ada yang denger suara lu minta tolong, kalo gak diem gue cekek lu !!!”, ancamku. Namun Nina masih terus berteriak, meski suaranya tertahan oleh tanganku, tiba-tiba ia menggigit tanganku, refleks kuangkat tanganku.

“Toloooonnggggg !!! toloooonngggg !!! pergi kamu bangsaaaattt”, jerit Nina sambil bangkit berlari ke pintu, sumpah serapah dan kata-kata kotor ia ucapkan padaku, namun berhasil kutangkap dan kucegah keluar, kupeluk tubuhnya dari belakang dan kusumpal mulutnya dengan celana dalamku.

“Dieeeemmmm !!! mikir dong bego, suami lu aja ngebuang lu, mana dia sekarang, dia ninggalin lu Nina”, ujarku. Seketika Nina berhenti menjerit, perlahan kurasakan tubuhnya lebih rileks.

“Lu yakin dia pulang ke Ciamis ? bisa aja dia main sama perempuan lain, gue udah kenal Yono dari dulu, lu juga pasti tau masa lalu dia dulu gimana kan ?”, lanjutku.

Dalam hati sebenarnya aku bingung, bisa-bisanya aku bertingkah ala pemerkosa begini. Namun ternyata, Nina terdiam, air mata mengalir deras di wajahnya.

“Makanya gue heran, bisa-bisanya dia dapet istri alim kayak lu Nin, aneh”, tambahku, aku lalu melonggarkan pelukanku, Nina tertunduk dan menangis, aku jadi kasihan.

“Udah jangan nangis, lu sayang sama si Yono ? layanin gue lah, kalo nggak gue pecat dia, buat gue gampang kalo gue mau dia gak kerja lagi disini”, ujarku. Nina seketika berbalik menatapku dengan sorotan tajam, aku masih menahan sumpalan di mulutnya. Ia lalu mencengkeram lenganku, namun kemudian cengekramannya melemah, aku pun melepaskan sumbatan di mulutnya.

“Saya juga bisa laporin bapak, bapak udah ngelakuin pelecehan seksual”, ujar Nina.

“Silahkan, apa ada yang percaya ? siapa saksinya ? kamu yang datang sendiri kok ke sini, lagipula apa kamu yakin si Yono bakal belain kamu ? sekarang aja kamu ditinggalin”, ujarku.

Nina tertegun, ia tampak melamun.

Aku lalu mengangkat tubuh Nina, ia meronta dan memukul punggungku, tapi pukulannya lemah dibandingkan sebelumnya. Kurebahkan ia di ranjang, kuperosotkan celana trainingnya juga celana dalamnya, nampak memeknya yang botak tanpa rambut.

“Pak jangan pak Armand, jangan paaakkk tolong pak”, rengek Nina berkali-kali, namun ia tidak memberikan perlawanan, ia bahkan tidak menendangku saat kulepaskan celananya.

Kaki Nina tampak jenjang dan mulus mulai dari paha hingga ujung kakinya, selangkangannya pun mulus sekali. Langsung kuangkat kedua kakinya dan... sebentar, ooo tidak mens, aman lah, lalu kujilati memeknya.

“Pak jangan paaakkk... mmmhhh... jangan aaaaahhhh”, perlahan rontaannya berubah jadi desahan.

Begitu lahap kujilati memek si Nina, dalam waktu singkat memeknya pun basah oleh liurku, kutahan kuat-kuat kedua pahanya, ia sempat meronta menendang punggungku dengan tumitnya tapi kemudian diam dan, sepertinya mulai menikmati.

“Aaaahhhh... pa Armand, mmmhhhhh... udah pak, doo... ooohhhh... dosa paaakkk”, lirih Nina diselingi desahannya. Sementara lidahku menari-nari mulai dari luar, lalu ke klitoris hingga klentitnya. Kuhisap-hisap pula area vaginanya, kurasakan tubuhnya bergetar hebat setiap klentitnya menerima rangsangan mulutku.

“Ooouuuuuhhhh.... sssshhhhh... uuuuddddaaaahhhh pak, aaaaahhhh dosa pak, jaaangggaaannn pak Armand”, desah Nina. Sesekali ia menggumam kalimat-kalimat bahasa Arab, tapi pahanya menjepit kepalaku.

Kata-kata ‘dosa’ dan kalimat Arab yang ia ucap berulang kali membuatku risih juga, sebagai alumni santri pesantren, pesantren kilat tepatnya, aku jadi merasa tak enak hati. Tak lama kemudian aku berhenti menjilati memek Nina, kuangkat wajahku dan menjauhkan diri dari Nina, aku duduk dan menatapnya.

Nina terdiam mematung, nafasnya terengah-engah, kemudian ia menarik selimut menutupi bagian bawah tubuhnya.

“Yang saya lakuin ke kamu itu jahat ya Nin ?”, tanyaku. Nina sempat diam, lalu mengangguk.

“Dosa ya Nin ?”, tanyaku lagi. Nina diam.

“Mmm... eh... syukur kalau pak Armand sadar”, jawab Nina lirih.

“Kalau si Yono main sama perempuan lain, berdosa nggak Nin ?”, tanyaku. Nina membuang wajah.

“Apa dosa selingkuh dari suami yang menyelingkuhi kamu ? yang jahat dan kasar sama kamu ?”

Nina menangis lagi, ia terisak. Rupanya permainan logika dan kata-kataku mulai nyantol nih.

“Terus kamu sendiri, apa gak dosa ? saya yang bukan muhrim dan bukan suami kamu udah ngeliat dan bahkan ngemainin alat vital yang harusnya paling kamu jaga Nin”, tanyaku.

“Tap... tapi kan saya dipaksa”, jawab Nina lirih.

“Yups, kamu emang saya paksa, tapi kamu sendiri yang datang kesini, yang mana kamu tau di rumah ini tempat laki-laki lain, tapi kamu tetep dateng kesini, kamu gak mikir resikonya ? Disuruh jangan mendekati zina, tapi kamu udah kecemplung zina sekarang”, aku mulai menyudutkan Nina. Ia terdiam dan terisak.

“Nah, lagipula, apa kamu udah izin sama Yono untuk ninggalin kontrakan ? bukannya seorang istri yang solehah harusnya gak meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya ? bahkan Yono gak jawab izin kamu pun ya, kamu harusnya tetap diam di kontrakan, apa perlu saya ceritain tentang kisah tentang wanita yang tetap mengikuti perintah suaminya untuk diam di rumah walaupun ayah wanita itu sedang sekarat dan pengen ketemu ?”

Nina terisak makin keras, kudengar ia menggumam lagi kalimat bahasa arabnya.

“Kamu juga udah berdosa Nin, kamu udah salah Nin”, ujarku memvonis Nina. Air mata Nina lalu tumpah mendengar kalimatku barusan, mentalnya sudah kena, tinggal saatnya penentuan selanjutnya, setelah ini bisa jadi dia mau kuentot sukarela, bisa jadi dia malah tegas menolak karena takut makin dosa. Setelah beberapa saat, tangisan Nina mereda, ia terisak-isak dan mengatur nafasnya.

“Sekarang terserah kamu, yang jelas saya birahi saya masih tinggi dan pengen kamu jadi pelampiasan saya, saya bisa kasar kalau kamu tetep ngelawan, tapi bisa lembut kalau kamu nurut”, ujarku.

Nina menatapku di balik selimutnya, sorot matanya tajam. Setelah beberapa saat, ia menjulurkan ujung kakinya dari balik selimut, menyentuh betisku.

So then well, this is the code...

Aku merangkak menghampiri Nina, kuangkat tubuhnya seraya bertopang pada paha dan pundaknya seperti posisi menggendong bayi. Kududukkan ia di pangkuanku sementara aku duduk di pinggir ranjang dengan kaki memijak lantai. Aku menyosor bibirnya, namun Nina mengelak, terus seperti itu hingga akhirnya ia menerima ciumanku, kedua tangannya menekan dadaku seakan mendorongku menjauh, tapi tidak ada tenaganya. Ciuman kami terlepas, ku sosor lagi dan ia mengelak lagi, lalu akhirnya bercumbu lagi, terus aja begitu.

Lama kelamaan aku berhasil menaklukkan Nina, ia tak lagi mengelak dari cumbuanku, tangannya bahkan kini perlahan memegang pinggangku lalu merayap memeluk tubuhku, sebelah tangannya lagi pun memegang pundakku lalu merayap perlahan ke kepala bagian belakangku, pelan-pelan menekan kepalaku supaya lebih cumbuanku lebih rapat lagi.

Pelan tapi pasti Nina mulai mengimbangi cumbuanku, bahkan permainan lidah kami begitu intim dan nikmat, dia jago juga rupanya. Tangannya kini memegang daguku dan melingkar di leherku, sementara tanganku bergerilya di memeknya. Perlahan kuelus-elus memek bagian luarnya, lalu 1 jari masuk, dikocok maju mundur, lalu 2 jari masuk, dikocok goyang-goyang dan... 3 jari masuk, maju mundur dan goyang-goyang. Oh yeah...

Pek ! pek ! pek ! pek ! bunyi kocokan tanganku di memek Nina, sesekali ia melenguh, lalu kembali menyambar lagi mulutku untuk dicumbu. Nina begitu rapat mencumbu bibirku, bahkan ia terus menekan bibirku ketika aku ingin melepas sebentar untuk menarik nafas. Galak juga.

“Aaaauuuhhhh....mmmmhhhhhh.... sssshhhh ah !”, desah Nina kala ia melepas cumbuannya, ia nampak menikmati kocokan tanganku di memeknya. Sesekali ia mengangkang, sesekali ia menjepit tanganku dengan kedua pahanya. Keringat nampak sudah membasahi pakaian yang masih melekat di tubuhnya, begitupun keringatku yang berjatuhan ke tubuhnya.

Tanganku lalu berusaha melepas pakaiannya, awalnya ia sempat menolak dan menepis tanganku, namun aku tetap memaksa, maka jadilah kini hanya bra hitam yang menjadi pakaian terakhir yang masih menempel di tubuhnya.

Tubuh Nina cenderung kurus, setidaknya kalau dibanding semua wanita yang pernah kutelanjangi, toketnya pun, walaupun bra-nya masih dipakai, nampak adalah yang terkecil diantara wanita-wanita di kisahku. Hal ini sempat membuatku kecewa juga, tapi sudah kepalang nafsu birahi, daripada coli, dan juga dia istri dari seseorang yang menyebalkan.

“Rasain lu Yon, bini lu gue pake”, ujarku dalam hati.

Kulit Nina putih mulus, dan ada tompel di toket kirinya diatas puting. Rambutnya hitam panjang dan lurus hasil rebondingan, tampak kusut dan lepek karena keringat. Kucumbu lehernya yang putih sambil sedikit digigit sehingga meninggalkan bekas merah alias cupangan sementara tanganku masih terus mengocok memeknya yang kini becek. Sesekali tanganku pindah menelusup ke balik bra-nya untuk meremas toket kecilnya, ia sempat menepis tanganku namun kemudian membiarkannya.

“Aaaahhhh.... hhhaaaahhhhh... eeeemmmmmppppppphhhhhhh”, desah istri si Yono ini.

Kupercepat kocokan tanganku di memek Nina sambil terus kucumbui dada dan lehernya, sesekali kami berciuman dan saling beradu lidah, aku memang berniat membuat Nina orgasme duluan sebelum nanti kueksekusi, pengen aja melihat wanita alim orgasme.

Terus dirangsang dalam waktu lama, akhirnya usahaku berhasil juga, tubuh Nina mulai gemetar dan menggelinjang, makin kupercepat kocokan tanganku dan akhirnya...

“Aaaaaaaaahhhhhhh !!! Aaaaahhhh !!! eeemmmmmppppphhhh...”, desah Nina kala mencapai orgasmenya, basah tanganku oleh cairannya.

Nina pun terkulai lemas dan kuletakkan tubuhnya di ranjang, aku lalu iseng mengambil fotonya dengan kamera HP-ku, sinar blitz sempat membuat Nina mengerang, namun ia terlalu lemas untuk bangkit dan protes melawanku. Akhirnya aku mendapatkan foto-foto nyaris bugil Nina. Kukirimkan foto-foto itu ke Ryan dan Gilang sebagai jawaban kesongongan mereka yang sebelumnya mengirimkan foto para jablay.

“Hari gini maen jablay ? Nih liat kalo master turun tangan”, captionku pada foto yang kukirimkan.

Tak lama Ryan dan Gilang membalas, “Seriusan itu si Nina ? istrinya Yono ? ya ampun, sembah sujud untuk paduka raja suhu Armand”.

Aku ketawa membaca balasan mereka, nah sekarang waktunya eksekusi.

Nina terlentang diatas ranjang, wajahnya menengadah dan nafasnya terengah-engah. Kujilati perlahan tubuhnya mulai dari kaki, naik ke paha, perut, kemudian berputar-putar di sekitar toketnya, kuhisapi bergantian kedua putingnya yang kini tak lagi dibungkus bra, lalu menjilati lehernya. Cuma bunyi nafas Nina yang kudengar di tengah deru hujan diluar.

Aku lalu menyodorkan kontolku ke mulutnya, ia sempat membuang wajahnya ke samping namun kupaksa dengan menjambak rambutnya. Ia lalu memegang batang kontolku, lalu dengan ragu-ragu mencumbuiku kepala kontolku sambil memejamkan matanya. Sesekali ia seperti mau muntah namun tetap kupaksa.

“Pake lidahnya !”, hardikku pada Nina, ia lalu menjulurkan ujung lidahnya, berputar-putar di kepala kontolku. Terkadang ia membuang wajah dan ingin muntah, namun makin keras aku menjambak rambutnya.

Namun perlahan Nina mulai menikmati sepongannya sendiri, ia mengulum kepala kontolku sambil mengocok batang kontolku dengan tangannya yang berjemari panjang dan lentik, ia bahkan bangkit dan memposisikan tubuhnya sedikit agak duduk ditopang bantal. Ia lalu mengulum kontolku dalam-dalam hingga ke pangkal batang, boleh juga sepongannya walau kadang agak ngilu karena kena giginya, sepertinya ia jarang nyepong kontol si Yono.

“Yonooooo !!! Bini lu nyepong kontol gue nih anjiiingggg !!!”, ujarku sambil menggeram gemas menatap Nina, ia sempat memandangku, namun kembali menunduk dan menyepong dengan lebih ganas.

“Sssslllllllrrrrrrruuuuuuuuupppppppp... sssllllrrrruuuuupppp”, bunyi sepongan Nina di kontolku, liurnya menetes, ia juga sering berganti menjilati biji kontolku, juga memainkan lidahnya di sekitar lubang kencingku, walaupun ia melakukan itu karena paksaanku. Kepala Nina maju mundur sesuai arahan jambakan tanganku, gelora birahiku benar-benar memuncak sambil memikirkan istri dari salah satu orang yang paling tidak kusukai ini bertekuk lutut menyepong kontolku.

Puas disepong, kusuruh Nina mengangkang. Tanpa perlawanan ia membuka selangkangannya lebar-lebar. Aku tidak langsung memasukkan ‘rudalku’, tapi sekali lagi memasukkan jariku dan mengocoknya cepat-cepat.

“Aaaahhh !!! aaahhh !!! hhhaaaahhhh !!!”, jerit Nina.

Kucabut tanganku, dan kujilati jariku yang basah oleh cairan Nina sambil menyeringai menatap Nina. Nampaknya memeknya sudah siap dieksekusi. Kuangkat kedua paha Nina ke atas, kuarahkan kepala kontolku dan bleeessss....

Seperti perlakuan yang biasa kuterapkan pada Ayu, untuk Nina ini aku tidak ragu untuk langsung membenamkan kontolku sekaligus dengan menekannya habis, walaupun agak seret dan membuat Nina meronta seperti agak kesakitan. Kulihat ia menangis lagi, bodo amat lah.

Aku menghela nafas sejenak ketika kontolku sudah masuk seluruhnya, kucengkeram kedua lengan Nina di masing-masing sisi. Aku memandangi wajahnya, cantik sebenarnya perempuan ini, beneran mirip Amanda Rawless, agak kebule-bulean gitu, apalagi kulitnya putih mulus pula, solehah pula, setidaknya sampai sekitar 1 setengah jam lalu sebelum sukses kuentot, mau-maunya dia jadi istri si Yono yang... ah gitulah.

Kupompa kontolku di memek Nina, kuberi speed medium. Ia nampak menggelengkan kepalanya ke kiri dan kanan sambil terengah-engah nafasnya, keringat membanjiri tubuhnya, belum lagi ditambah keringatku yang menetes ke atas tubuhnya.

“Haaahhhh... haaahhhh...mmmmppphhhh”, desah Nina lirih dan tertahan, sesekali ia mengucap kalimat bahasa arab, buset dah masih aja ya.

Aku menikmati tusukan demi tusukan yang kuberikan ke memek Nina, kuberi variasi mulai dari tusukan pendek tapi cepat, tusukan pelan tapi dalam hingga tusukan memutar. Nina tak mampu menyembunyikan ekspresi bahwa ia menikmati hubungan badan ini, jelas bahwa ia tak mendapatkan ini dari Yono.

“Ah... ah... uh... ohhh...”, Nina mulai berani mendesah dengan kencang, makin tinggi nafsuku.

“Yonoooo !!! gue entot nih bini lu anjiiingggg !!!”, teriakku diiringi bunyi gelegar petir diluar, sensasinya luar biasa. Sementara Nina nampak pasrah dan menikmati pompaanku, tangannya kini mencengkeram sprei di sampingnya.

Kemudian Nina kuangkat naik sehingga posisi kami duduk berhadapan, karena tubuhnya yang ringan membuatku mudah untuk mengangkat pantatnya naik turun sambil mencengkeram kedua belah pantatnya.

“Eeeemmmmppphhhh....aahhhhh”, desah Nina tertahan sambil memeluk tubuhku. Ia kemudian memundurkan tubuhnya sedikit sehingga mulutku bisa menjamahi kedua toketnya. Kuhisap dan kuremas toket kecil ini bergantian, sementara Nina menggoyang sendiri pinggulnya dengan kontolku di dalam memeknya.

Tak terasa sudah 10 menit lewat aku ngentot.

Namun, sedang asyik-asyiknya ngentot, aku mendengar suara motor di luar. Gawat, Ryan sama Gilang udah pulang.

Nina pu menyadari hal yang sama, kami saling menatap dan terbelalak. Kemudian terdengar suara pintu kamarku diketuk.

“Booossss.... boooosssss... keluar booossss, aya urusan yeuh”, suara Ryan memanggilku. Aku dan Nina hanya terdiam.

“Booossss !!! Armand wooiiii, kaluar woooiiii !!!”, kali ini suara Gilang sambil menggedor pintu dengan keras.

Aku segera memakai celana dalam dan celana pendekku lalu membuka pintu, segera kututup pintu dengan membantingnya keras, sebelumnya aku menyuruh Nina tetap diam di kamar.

“Nah kitu atuh keluar lu kampret”, ujar Gilang. Langsung kudorong ia hingga jatuh dan kuarahkan tinjuku ke wajahnya.

“Ngomong sakali deui siah anjing siga kitu goblog !!! Ngomong siah !!!”, hardikku pada Gilang, Ryan langsung menahan kepalan tanganku.

“Kang bos maaf kang, maaf, si Gilang lagi mabuk parah kang maaf”, ujar Ryan menenangkanku.

“Maaf maaf, gak sopan dia ini !”, hardikku pada Ryan.

“Eh kalem bos, kalem... sori sori, mana memek mana”, ujar Gilang sambil teler.

Aku lalu melepaskan Gilang, Ryan lalu cerita bahwa dia dan Gilang sebenarnya gagal ngentot. Jadi tadi di tempat pelacuran mereka nyaris digerebek karena ternyata sedang ada razia.

“Kalo nggak digedor si maminya, kita pasti udah di kantor polisi kang, untungnya keburu tahu ada razia karena rumah yang di depan lagi di geledah, nah si mami tempat kita dapet info langsung ngasi tau pelanggan yang lagi di room”, jelas Ryan.

“Iyah bos, tau gak booosss, gue udah sempet ngentot, baru berapa kali celup tuh, eh langsung bubar”, jelas Gilang. Aku pun tertawa mendengarkannya.

“Jadi si Nina mana bos”, tanya Ryan.

“Udah pulang”, jawabku tenang.

“Bohong, gak mungkin udah pulang, pasti masih di kamar”, ujar Gilang sambil teler. Ia lalu menyambar pintu kamar dan segera kutahan sebelum sempat membuka pintu.

“Kenapa bos, mau dinikmati sendiri si Nina ?”, tanya Gilang.

“Bukan gitu bro, lau yang sopan lah mau masuk kamar orang sembarangan”, kilahku.

“Kenapa sih bos orang cuma pengen tau aja”, ujar Ryan yang juga berusaha masuk.

“Eitsss, jangan macem-macem lu yan”, ujarku.

Maka terlibatlah adu mulut antara aku dan junior-junior kampretku ini, mereka jelas sedang dibawah pengaruh alkohol ditambah lagi sange yang tidar tersalurkan. Aku sendiri, walaupun dari tadi kasar pada Nina, namun tidak sampai hati lah membiarkan kedua kampret ini melampiaskan nafsu padanya. Aku bahkan sempat baku hantam dengan Ryan dan Gilang.

Ckleekkk... pintu kamarku dibuka, tampak Nina dengan berpakaian tertutup hijab lebar menjulur dan rok panjangnya yang menjuntai. Posisiku sendiri sedang duduk diatas tubuh Ryan dan mengarahkan tinjuku ke wajahnya, sementara Gilang tergeletak memegangi perutnya yang habis kutinju. Ngalahin dua pemuda mabok mah gampang, tapi gak tau kalau keduanya lagi posisi sadar.

“Yaelah malah keluar kamar, masuk lagi cepet !!!”, teriakku pada Nina. Namun Nina malah diam saja menatap kami.

Aku pun langsung menghampirinya, “Denger ya Nin, ini cowok-cowok brengsek tu lagi pada sange, pada birahi, pengen merkosa kamu, aku tu barusan ngalangin mereka biar kamu gak diapa-apain”, jelasku.

“Mereka brengsek ? terus, pak Armand apa ? lagi pula saya emang udah diapa-apain sama bapak kan barusan ?”, ujar Nina sambil melangkah melewatiku.

Nina menghampiri Ryan dan membantunya berdiri, begitu pula dengan Gilang, kemudian menuntun kedua pemuda tersebut masuk ke kamarku.

“Semua udah terlanjur, ya udah, tanggung gila sekalian aja”, ujar Nina sambil berlalu. Ryan dan Gilang bersorak mendengar ucapan Nina. Aku melongo.

Nina lalu menurunkan roknya, ketika ia hendak melepas hijab lebarnya, Ryan langsung menghentikannya.

“Jangan dibuka teh Nina, pake aja, biar lebih kerasa sensasi ngentot cewe berhijab syar’i hahahahahaha”, ujar Ryan, Gilang manggut-manggut.

Yang terjadi kemudian sungguh liar, Nina menjadi bulan-bulanan kedua buaya muda yang sedang dilanda birahi tinggi. Aku menyaksikan mereka sambil bersandar ke kusen pintu karena pintu kamar masih terbuka, sambil menghisap sebatang Mevius milik Gilang.

Nina tampak bolak balik berpindah dari kontol Gilang ke kontol Ryan, seperti itu terus. Sambil mengenakan atasan hijab lebar serta cadarnya, Nina naik turun di atas tubuh Gilang dengan 1 tangannya meraih dan mengocok kontol Ryan, kemudian ia berpindah naik turun memeknya di kontol Ryan dan mengocok kontol Gilang.

Sebatang rokokku habis, aku sebenarnya jijik jika harus berbagi memek dengan orang lain, tapi ya sange juga, aku pun menghampiri mereka dan melepas celanaku sehingga aku telanjang.

“Bos sini atuh bos ikutan hahahaha”, ujar Gilang.

“Ayo kangbos jangan malu-malu uuuuhhhhhhhh”, ujar Ryan sambil mendesah karena goyangan Nina.

Padahal belum sampai setengah jam yang lalu mereka habis kuhajar, bekas pukulanku pun masih ada, namun tampaknya mereka sudah tidak memikirkan hal itu karena sudah mendapatkan apa yang mereka mau.

“Hampura yah bro yang barusan”, ujarku meminta maaf sambil mendekati ketiganya di pinggir ranjang.

“Alah udah kang bos santai aja, bener Yan ?”, ujar Gilang.

“Pokoknya hajaaaarrrrr kang boooosssss”, teriak Ryan.

Seketika Nina memelukku yang berdiri di samping ranjang, kami berciuman dan beradu lidah sambil ia masih menggoyangkan pinggulnya diatas tubuh Ryan. Gilang lalu bangkit dan meremas toket Nina dari belakang. Nina lalu mengarahkan tangannya mengocok kontol Gilang.

Puas berciuman, aku lalu naik ke atas ranjang sementara Nina asyik bercumbu dengan Gilang. Ryan kemudian bangkit dalam posisi duduk sementara Nina masih dientot kontolnya, ia nampak meremas dan menopang tubh Nina yang naik turun sementara Nina masih bercumbu dan berpelukan dengan Gilang. Aku duduk dan menyaksikan mereka sambil mengocok kontolku sendiri.

Nina kemudian menoleh dan menatapku, ia lalu beranjak dari pelukan Gilang dan mengangkat memeknya dari kontol Ryan, ia lalu menghampiriku.

Kulihat wajah cantiknya memerah dan memancarkan aroma mesum sekali sekalipun terbungkus hijab lebar. Nina tampak kusut dan berantakan sekali, namun tampilan ini yang membuatku makin nafsu, begitupun Ryan dan Gilang.

Nina naik ke atas tubuhku yang duduk dan bersandar ke dinding, ia mendorong bahuku kemudian melumat bibirku penuh nafsu. Entah karena nafsu atau kurang pengalaman, ciumannya malah jadi berantakan, cumbuan dan jilatannya meninggalkan bekas liur di dagu bahkan pipiku. Kurasakan kemudian kontolku sudah menembus liang memeknya dan ia mulai naik turun menggenjot kontolku.

“Ah ! uh ! aaahhh !!! ooouugghhhh ! Ga... ra... gara kamu aku ja.... aaahhhh jadi diperkossssaaaaaaa begini oooouuuhhhhh....”, desah Nina.

Kupeluk erat tubuh Nina sambil menghujamkan kontolku kuat-kuat dari bawah, desahannya pun berubah menjadi jeritan histeris menerima sodokan kontolku. Mulutku kembali bergerilya ke kedua puting susunya seiring genjotan ganas Nina, keringat membanjiri tubuh kami dan juga tubuh Ryan dan Gilang yang menyaksikan aksi kami.

Kulihat Ryan merangkak menghampiri aku dan Nina yang tengah ngentot dengan seru, kuberi isyarat mundur dengan tanganku di belakang punggung Nina, Ryan pun mundur lagi. Kemudian aku terfikir permainan sederhana, sambil sebelah tanganku memeluk pinggang Nina yang naik turun, satu tanganku menjulur ke arah Ryan dan Gilang kemudian kubolak-balik. Awalnya mereka berdua melongo, namun kemudian mengerti maksudku.

Ryan dan Gilang duduk bersila di dekatku membentuk lingkaran, mereka menjulurkan masing-masing tangannya dan kami bermain hompimpa di sela desahan Nina dalam genjotanku. Nina lalu menengok ke belakang dan tersenyum melihat apa yang sedang kami lakukan.

“Hompimpa alaihum gambreng !”, ujarku.

Tanganku dan tangan Ryan menelungkup, telapak tangan Gilang menengadah. Maka Nina pun beranjak dariku dan menghampiri Gilang, lalu Nina memasukkan kontol Gilang ke dalam liang memeknya dalam posisi duduk seperti denganku tadi, dan mulailah desahan mereka berdua sementara aku dan Ryan coli sambil menghitung 60 detik.

“Yuhuuuu !!!! Gue entot bini lu Yono anjiiiinnggggg !!!”, teriak Gilang.

Setelah 60 detik kami hompimpa lagi, kampret, tanganku dan Ryan menengadah dan Gilang telungkup, dia menang lagi, lanjut lagi deh 1 menit. Kali ini Gilang memompa dalam posisi standar, dimana dia diatas sementara Nina di bawah mengangkangkan kakinya lebar-lebar.

Kami hompimpa lagi, kali ini Ryan yang dapat, Nina lalu mengangkat memeknya dan pindah ke kontol Ryan, mereka lalu ngentot duduk seperti aku tadi. Beres Ryan, aku yang dapat, lalu Gilang, ya intinya kami saling bergantian dan mencoba berbagai variasi posisi. Tubuh Nina kami eksploitasi habis-habisan, mulai dari posisi duduk lah, doggy style lah, berdiri sambil bersandar di tembok lah, diangkat sambil berdiri lah, kami malah saling ingin mencoba gaya yang teman kami mainkan, juga sempat saling adu tenaga saat ngentot dengan menggendong tubuh Nina. Nina sendiri nampak menikmati hubungan badan yang sungguh liar ini, hijab panjangnya penuh nampak kusut sekali serta dibasahi keringat dan lendir, sama kusutnya dengan sprei ranjangku dan bantal guling juga selimut yang kini entah dimana. Deru hujan dan petir diluar menutupi suara tawa dan desahan kami, serta sumpah serapah dengan ucapan yang hampir sama : “Yono anjiiinngggg, bini lu gue entooootttt !”

“Ouuuhhhhh !!! ah ! ah ! ssshhhhh... ah ! aaahhhh !”, hanya itu yang keluar dari mulut Nina, desahan yang berulang mewakili rasa nikmat yang dialami tubuhnya.

Di penghujung game, aku beruntung karena menang 3 kali beruntun dalam hompimpa, di putaran terakhir aku menyuruh Nina menyepong kontolku yang tegak mengacung, jemari tangan kanannya menggenggam batang kontolku, ia lalu memutar lidahnya di kepala kontolku, mengecupi kepala kontolku dan perlahan mulai membenamkan batang kontolku di mulutnya. Kendati sudah dibasahi cairan memeknya sendiri, Nina tanpa ragu melahap batang kontolku. Ia menghisapi lubang kencingku, sesekali melepas kulumannya dan memainkan lidahnya naik turun di batang kontolku, serta mengulum biji kontolku.

Kulihat Ryan dan Gilang sudah bete menungguku, aku lalu mengisyaratkan keduanya untuk ikut menggarap Nina bersamaku, game-nya udahan. Ryan yang semangat langsung menghampiri Nina yang menungging karena sedang menyepongku, ia nampak meludahi tangannya lalu menempelkannya ke liang pantat Nina, kemudian mengarahkan kontolnya ke liang buang hajat tersebut.

“Awww !!!”, jerit Nina.

Seketika sepongannya di kontolku berhenti bahkan ia menjauhkan tubuhnya dari kami sambil memegangi pantatnya. Ryan lalu menghampirinya dan Nina segera menendangnya.

“Gak ah kalo kesitu enggak, gak mau pokoknya”, ujar Nina marah.

“Enak loh, awalnya aja sakit sayang, ayo coba pelan-pelan yuk”, rayu Ryan.

Gilang langsung bangkit dan menyeret tubuh Nina, sementara Nina meronta menolak. Aku langsung menengahi dan melindungi Nina, kuingatkan kedua buaya muda itu supaya tidak memaksakan kehendaknya.

“Udah bro, kalo gak mau jangan dipaksa, mood kita semua lagi bagus, jangan dirusak ya, oke”, ujarku. Untungnya Ryan dan Gilang bisa diberi pengertian, perlahan kami mulai membangkitkan mood Nina lagi yang sempat kesal, dan berhasil.

Kini Nina sedang menyepong kontolku, sementara memeknya sedang digarap oleh Ryan, dan tangan Nina sibuk mengocok kontol Gilang. Kami pun iseng hompimpa lagi, sehingga kemudian posisi Nina berubah lagi menjadi menyepong Gilang, mengocok kontol Ryan dan memeknya digarap olehku, terus begitu sambil bertukar posisi.

“Mau sampe nih si Nina”, ujar Gilang di sela pompaannya.

Aku dan Ryan pun langsung merangsang Nina habis-habisan, tubuh Nina berlutut setengah berdiri kemudian ia bercumbu dengan Ryan dan toketnya dilumat habis oleh mulutku, kujilat dan kuremasi toketnya termasuk kuhisap putingnya bergantian.

“AAAAAAAAAAARRRRRRGGGGGGHHHHHHHHH !!!!”, jerit Nina mencapai orgasme saat giliran Gilang yang menggenjot. Tubuh Nina bergetar hebat dan memeknya memancurkan cairan kewanitaannya, Nina squirt !

Setelah sempat membiarkan Nina beristirahat sebentar, kami langsung menggarap Nina lagi, memeknya bergantian dijejali kontolku, kontol Ryan dan kontol Gilang, begitupun mulut Nina. Kami pun sepakat sudah waktunya ejakulasi.

“Ayo bos !”, teriak Gilang dan Ryan bersamaan.

Nina terlentang sementara kedua tangannya masing-masing ditahan oleh Gilang di kanan dan Ryan di kiri. Kuangkat kaki Nina dan tanpa basa-basi kuhujamkan kontolku ke memeknya yang becek.

“Aaahhhh...”, desah Nina lemah.

Aku lalu mengangkat kedua kaki Nina dan ditopangkan ke kedua bahuku, kupompa dengan kecepatan maksimal kontolku di dalam memeknya, sesekali kuputar dan kuberi sodokan dalam sehingga tubuh Nina terhentak. Sementara Ryan dan Gilang bermain dengan toket dan cumbuan bibir Nina.

Dalam kecepatan tinggi kurasakan kontolku berdenyut, Nina pun merasakannya di dalam memeknya, ia meronta meminta untuk aku mencabut kontolku, namun Ryan dan Gilang dengan sigap menahan tubuh Nina yang tak berdaya, maka kemudian...

“AAAAAAAARRRRRRRRRRGGGGGGGGHHHHHHHH !!! AH ! AH ! AH ! OOOOOOOOUUUUUUGGGGGGGHHHHHHH !!!”, lenguhku mencapai orgasme.

Crot ! crot ! crot ! croootttt !!! Tumpahlah spermaku di dalam memek Nina.

Setelah mengatur nafas, aku lalu mencabut tubuhku dan giliran Ryan yang hendak melampiaskan birahinya. Aku menyodorkan kontolku ke mulut Nina yang menengadah dan terlentang tubuhnya, ia pun tanpa ragu mengulum kontolku dan membersihkan sisa spermaku dengan mulutnya.

“HUUUUAAAAHHHHH !!! HAMIL TUH BINI LO YONO ANJIIIINNGGGGG !!!”, teriak Ryan mencapai ejakulasinya. Aku dan Gilang tertawa mendengarnya.

“HHHHAAAAMMMMMIIIIILLLLL SIAAAAAHHHH ISTRI MANEH YONOOO GGGGUUUUBBBBLLLLOOOOOGGGG !!! HAMIL ! HAMIL ! HAMIIIILLL !!!”, jerit Gilang yang mendapat giliran ejakulasi terakhir.

Setelah semua kontol kami dibersihkan oleh kuluman Nina, kami berempat pun terlelap tanpa busana hingga pagi menjelang.

Saat pagi datang, aku bangun duluan dan kulihat Ryan juga Gilang masih ngorok dengan kencang dibalik selimut, namun aku tidak melihat Nina. Aku pun mencarinya di seisi rumah, namun tidak ada, pasti dia sudah pulang ke kontrakannya, namun bagusnya rumah berantakan kami nampak rapi, Nina pasti sempat beres-beres sebelum pergi. Aku segera membangunkan Ryan dan Gilang, khawatir si bibi Lilis keburu datang.

“Puas banget aing bisa ngentot si Nina hahahaaaaa”, ujar Gilang saat sarapan.

“Sssstttt... ah, udah, rahasia”, ujarku. Gilang dan Ryan mengangguk.

Weekend pun tiba, Vany dan anakku datang ke Bandung naik bis dan kujemput mereka di bunderan Cibiru, Bandung dengan mobilku untuk kemudian kami jalan-jalan. Aku sempat membawa istri dan anakku ke mess untuk mengambil barang-barangku sekalian karena minggu depan aku mulai ke Bekasi lagi. Ryan, Gilang bahkan Yono dan Nina menyambut keluargaku di mess, semuanya terlihat normal tanpa ada kecanggungan antara Ryan, Gilang dan Nina. Baguslah.

Namun, aku sempat merasa aneh saat Nina dan istriku Vany duduk mengobrol berdua, entah apa yang mereka bicarakan.

“Mikirin apa sih bunda”, ujarku pada Vany di dalam mobil.

Vany terdiam, lalu menatapku dengan pandangan datar, aku jadi gugup. Namun seketika ia tersenyum.

“Nggak apa-apa yah, cuma kepikiran udah bayar arisan belom ya bulan ini hehehe”, ujar Vany. Suasana pun cair kembali, dan kami bersenang-senang keliling Bandung hari itu.

Di suatu sore di Bekasi, aku sibuk membantu mengangkut barang-barang Ayu yang mau pindahan, hari ini ia akan pulang ke Purwokerto dan sekarang keluarganya bahkan calon suaminya sedang ada di kosan untuk menjemput dan membawa barang-barangnya.

Calon suami Ayu namanya pak Supangat, umurnya sekitar 60 tahunan, pengusaha tambak ikan air tawar yang cukup sukses di kampungnya dan kami sempat mengobrol. Awalnya ia agak sombong, namun setelah tahu aku orang Garut dia nampak lebih ramah. Alasannya karena ia pernah mencoba mencari lahan untuk buka tambak di Garut namun gagal karena harga tidak cocok, hingga kini ia masih ingin sekali melebarkan bisnisnya ke Garut karena dekat dengan daerah incaran pemasarannya yakni Bandung dan Jakarta, area yang masih sulit ia tembus.

“Jadi yo, kalo mas Armand ada informasi, saya sangat tunggu, benar, saya tunggu, saya harap kita bisa bekerja sama, mau sampai kapan to kerja sama orang mas Armand ? Ayo kita bisnis lah, saya tuntun, jangan khawatir”, ujar pak Supangat sebelum berangkat pulang. Aku jelas senang, ada peluang bisnis nih.

Ayu menatapku sayu saat beranjak meninggalkan kosan, pasti ia sedih sekali, aku pun sedih, bukan karena ada perasaan sama Ayu, tapi karena aku sudah tidak punya memek darurat gratisan lagi. Yah nanti cari lagi lah.

Sesaat sehabis aku mengantar rombongan keluarga Ayu, aku mendengar HP-ku berdering, nomornya tak kukenal, aku pun lalu mengangkat telepon itu.

“Halo... halooo”, ujarku. Tak ada suara di ujung telpon.

“Halo ini siapa yaaaa”, tanyaku, sayup-sayup kudengar suara orang menghela nafas di ujung telepon, aku pun dengan seksama mendengarkannya.

“Man... Armand ya...”, ujar suara diujung telepon, suara lembut seorang wanita.

“Iya bener, ini siapa ya ?”

“Ini aku Man.... Putri...”

“Hah ? siapa ?”, tanyaku.

“Aku Man... Putri Rahmania...”

Kemudian aku terbelalak kaget setengah mati.



END

SEASON 2
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd