Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERPEN 60 menit

marsena

Adik Semprot
Daftar
14 Jan 2018
Post
112
Like diterima
108
Bimabet

Kasih Ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia
Kumpulan awan terlihat berwarna hitam kemerahan menghiasi langit malam ini. Wangi tanah kering yang biasanya muncul ketika hujan datang masih tercium olehku. Tampak beberapa genangan air sisa hujan yang turun tadi sore masih terlihat di sekitarku. Sambil menghirup napas panjang, kutatap langit malam tanpa bulan dan bintang sambil mengelus perutku yang telah membuncit. Kaki kananku mulai bergerak pelan mendorong ayunan yang tengah kunaiki. Suara jangkrik di taman belakang rumah menemaniku menikmati malam berdua dengan calon anakku.

“Bunda ... aku mencarimu di dalam rumah, ternyata kamu ada disini,” ujar Mas Bintang, seorang lelaki muda berkacamata yang berhasil mempersuntingku 1 tahun yang lalu. Aku tersenyum manis ke arahnya.

“Cuaca diluar sedang dingin, Bun. Nanti kamu sakit lagi. Ingat kamu sedang hamil 9 bulan. Kita sedang menunggu kelahiran anak pertama kita. Aku ingin kamu dan calon anak kita tetap sehat sampai waktunya tiba,” gumam Mas Bintang sambil menyelimuti tubuh bagian depanku dengan sweater yang ia kenakan. Ah ... suamiku memang sangat perhatian padaku. Sejak awal aku bertemu dengannya, aku tahu dia orang yang baik. saking baiknya, ia selalu meminta maaf terlebih dahulu ketika kita hubungan kita berdua sedang bermasalah tanpa melihat siapa yang salah. Dia memang bukan pria romantis dan humoris, tetapi perhatian, kaih sayang, dan kebaikannya padaku membuatku mempercayainya sebagai imam rumah tanggaku.

“Aku ingin mencari udara segar, Mas,” ujarku tersenyum.

“Jadi nanti kamu mau lahiran secara caesar atau normal?” tanya Mas Bintang sambil menduduki ayunan kosong di samping kananku. Memang saat ini aku tengah dalam kondisi hamil dengan usia kandungan hampir 9 bulan. Aku terdiam sejenak menatap langit, berusaha mencari alasan agar jawabanku dapat diterima oleh Mas Bintang. Karena aku tahu lelaki kesayanganku ini pasti akan keberatan dengan jawabanku.

“Aku ingin melahirkan secara normal, Mas,” ujarku.. Tiba-tiba aku merasakan sebuah kehangatan dari tangan kananku yang menjalar ke seluruh tubuhku. Rupanya tangan kiri Mas Bintang menggenggam tangan kananku. Ia menatapku dengan raut wajah cemas mendengar jawaban dariku.

“Bunda, mengapa tidak secara caesar saja? Bukankah melahirkan secara caesar cenderung lebih aman. Aku tidak ingin terjadi sesuatu denganmu dan anak kita saat kamu melahirkan nanti,” ujar Mas Bintang. Aku tersenyum menghela napas panjang berusaha meyakinkan suamiku. Aku paham dengan kekhawatiran yang tengah dilanda suamiku. Namun bukankah berhasil melahirkan secara normal adalah kebanggaan tersendiri dari seorang wanita? Memang secara naluri, hampir semua wanita ingin melahirkan secara normal.

“Sayang ... aku ingin melahirkan secara normal. Aku ingin merasakan sensasi perjuangan seorang ibu. Seorang wanita akan lebih bahagia melahirkan secara normal dibandingkan caesar. Kamu tenang saja. Semuanya akan baik-baik saja ‘kok,” ujarku sambil mengelus jemari kii suamiku yang tengah menggenggam erat tangan kananku.

“Tapi, Bun. Melahirkan secara normal itu jauh lebih sakit dan sulit untukmu. Apalagi ini adalah kehamilan pertamamu. Aku ...”

“Mas, aku sudah siap ‘kok. Aku ingin menjadi orang pertama yang melihat anakku. Aku ingin menyusuinya setelah ia lahir, Mas,” ujarku. Aku menatap Mas Bintang, berusaha meyakinkannya dengan keputusanku. Beberapa saat kemudian, ia membuang napas panjang.

“Ok. Terserah Bunda saja. Tetapi jika kondisi Bunda tidak memungkinkan, Bunda harus caesar, ya,” gumam Mas Bintang pasrah. Aku tersenyum sambil memeluk lengan kiri suamiku. Mas Bintang mengelus rambutku pelan.

“Kata dokter Hani, anak kita diprediksi berjenis kelamin laki-laki, loh. Kamu juga harus siap-siap karena menurut beliau kamu akan lahiran minggu depan,” gumam Mas Bintang sambil mengecup lembut keningku.

“Iya, Mas. Makasih, ya,” gumamku sambil bergelayut manja di lengan suamiku.
***​
Angin malam berhembus pelan menyusup dari celah jendela, membuat hawa dingin menyeruak ke dalam kamar. Suhu kamar yang dingin membuat bulu kudukku merinding. Akhirnya aku terbangun dan merasakan kontraksi di bawah perutku. Mungkin suhu ruangan yang dingin membuatku ingin buang air kecil. Perlahan aku bangkit dan melangkah menuju kamar mandi. Semenjak kandunganku kian membesar, memang segala mobilitasku jadi terbatas. Segala aktivitasku harus aku lakukan dengan sangat hati-hati agar tidak membahayakan kandunganku. Tenagaku juga menjadi lebih cepat habis, bahkan aku sering merasa lemas ketika melakukan pekerjaan rumah. Sebuah ruangan gelap berlantai basah menyambutku saat tiba di kamar mandi. Aku menyalakan lampu dan bersiap melepas cairan yang sedari tadi mendesak untuk keluar. Ketika aku duduk di atas kloset, tiba-tiba aku merasakan perutku melilit. Aku menyerengit dan memegangi perutku berusaha menahan rasa sakit dan kram yang tiba-tiba datang. Punggungku tiba-tiba menegang dan tubuhku lemas. Kulihat setetes darah mengalir dari pangkal pahaku. Apakah sudah saatnya aku melahirkan? Bukankah menurut dokter aku baru melahirkan minggu depan? Aku merintih lirih mencoba memanggil Mas Bintang yang tengah tidur terlelap. Air mata dan keringatku mulai mengucur deras saat aku berupaya menahan rasa sakit. Aku berjalan tertatih berusaha keluar kamar mandi dengan berpegangan pada tembok.

“Mas ... tolong, Mas ... Mas Bintang, tolong aku. Sakit banget, Mas,” teriakku sambil terduduk lemas di depan kamar mandi. Aku berharap Mas Bintang mendengar teriakanku. Aku berusaha mengatur napas dan mulai mengejan pelan. Beruntung beberapa detik kemudian Mas Bintang datang menghampiriku.

“Astaga Bunda! Bunda mau melahirkan? Sabar ya, Bun. Mas akan mengantarmu ke rumah sakit,” gumam Mas Bintang panik. Ia bergegas membantuku berdiri dan memapah tubuhku menuju garasi. Sebuah mobil minibus hitam milik Mas Bintang seakan menyambut kami ketika tiba di garasi. Mas Bintang bergegas membantuku untuk masuk ke dalam mobil dan ia langsung menghidupkan mesin mobil, bersiap untuk berangkat tanpa bersiap terlebih dahulu. Tiba-tiba aku merasakan jok mobil yang kududuki sangat basah dan lengket. Rasa sakit dan kram yang menyerangku saat di kamar mandi tadi semakin terasa.

“Astaga .... ketubanmu sudah pecah, Bun. Tahan sebentar ya, Bun. aku akan membawamu ke rumah sakit secepatnya,” gumam Mas Bintang sambil menggeser persnelling yang membuat mobil langsung melaju. Aku hanya bisa mengerang dan merintih tanpa bisa menanggapi ucapan Mas Bintang. Tangan kananku meremas keras lengan kiri Mas Bintang yang tengah sibuk mengatur persnelling. Ia membawa mobil dengan kecepatan tinggi. Biasanya aku akan mencubit lengannya atau membentaknya ketika ia mengemudikan mobil dengan kecepatan seperti ini. Namun saat ini aku tidak memikirkan itu. Mungkin dalam benaknya membawaku ke rumah sakit secepatnya adalah prioritas utama. Beruntung saat ini jalanan sedang sepi. Setelah 10 menit perjalanan, akhirrnya kami tiba di rumah sakit.

“Tunggu sebentar ya, Bun. Mas mau panggil perawat dulu,” ujar Mas Bintang sambil keluar dari mobil meninggalkanku sendiri. Aku memejamkan mata sejenak berusaha rileks untuk mengurangi rasa sakit akibat kontraksi hebat di peruku. Tiba-tiba aku merasakan hawa di sekitarku bertambah dingin. Saat aku membuka mata dan menoleh ke arah kursi kemudi, tampak beberapa bayangan hitam pekat yang tiba-tiba datang dan membuatku terkejut. Perlahan jumlah bayangan itu semakin bertambah dan menyatu membentuk siluet manusia berjubah hitam. Kulihat tangan kanannya memegang sebuah tongkat dengan sebuah pisau arit besar yang terikat di ujung tongkat. Astaga ... Apakah ia adalah malaikat maut? Mengapa dia ada disini? Apakah dia ingin mencabut nyawaku dan calon anakku? Bulu kudukku berdiri saat ia menatap tajam ke arahku.

“Namamu Arlinda Septiani, umurmu 25 tahun. Benar?” tanya bayangan itu. Aku terdiam sejenak memandang bayangan itu. Aku menahan napas dan menatap cemas pada bayangan itu.

“Ya tuhan ... aku belum siap untuk mati. Masih banyak hal yang harus aku lakukan. Beri aku waktu sedikit lagi, tuhan ... aku mohon,” gumamku dalam hati. Tiba-tiba kedua tangan bayangan itu mengangkat tongkat dan bersiap mengayunkannya ke arahku. Aku menutup mata dan hanya berharap serta berdoa kepada tuhan, berharap kemurahan hatinya untuk memberiku sedikit waktu. Setidaknya aku berharap tuhan memberikanku kesempatann untuk menyelesaikan tugas pertamaku sebagai ibu. Ketika bayangan hitam itu mengayunkan tongkatnya, tiba-tiba ujung pisaunya berhenti tepat di depan kepalaku. Kulihat semua aktivitas di sekitarku berhenti. Rasa sakit di perutku tiba-tiba menghilang. Aku mengintari pandanganku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sebuah cahaya putih terang tiba-tiba menyinari area di sekitarku.

“Arlinda Septiani. Mengapa kau meminta tambahan waktu padaku? Bukankah kamu sudah mengetahui jika aku yang membuatmu hidup dan aku berhak mengambil nyawamu kapanpun aku mau. Katakan alasanmu.” Sebuah suara berasal dari cahaya itu bertanya padaku. Apakah dia tuhan? Aku termenung sejenak menatap cahaya itu.

“Tuhan ... aku mohon tolong berikan aku waktu sedikit lagi. Berikan aku kesempatan untuk menyelesaikan tugasku sebagai ibu. Jika sudah takdirku untuk meninggal hari ini, aku siap. Tapi aku mohon jangan mencabut nyawa calon anakku juga, tuhan. Kami sudah lama menanti kehadiran buah hati pelengkap keluarga kami. Aku tidak ingin melihat suamiku terpuruk karena kehilangan anak dan istrinya. Setidaknya sebelum aku meninggal, izinkan aku merasakan kebahagian sebagai ibu, tuhan. Walau hanya sebentar, aku mohon padamu,” gumamku penuh harap.

“Mengapa kau tidak meminta padaku untuk hidup lebih lama sehingga kau bisa membimbing anakmu sampai dewasa? Mengapa kau bertekad untuk melahirkan anakmu dengan selamat? Jika ia mati bersamamu, kalian akan bersama selamanya di akhirat.”

“Oh ... tuhan. Sungguh akan sangat senang jika engkau menizinkanku untuk membesarkan anakku sampai dewasa. Tetapi kematianku sudah menjadi kehendakmu yang tidak bisa kurubah. Aku sudah siap dan pasrah jika engkau mengambil nyawaku hari ini. Tetapi aku mohon padamu untuk keselamatan anakku hari ini. Tolong berikan ia kesempatan untuk merasakan pahit manisnya dunia, merasakan kebahagiaan dan ketenangan saat menyembahmu. Sehingga ia bisa mengambil pelajaran dari setiap kejadian yang ia alami dan menjadi manusia yang bermanfaat bagi semua mahkluk-mu.”

“Baiklah. Kamu tenang saja, Arlinda. Hari ini memang waktunya kau kembali padaku. tapi belum waktunya anakmu kembali padaku. Aku akan memperpanjang waktumu selama 60 menit. Selamat berjuang dan menikmati sisa waktumu sebagai ibu.” Perlahan cahaya itu mulai memudar dan sekelilingku menjadi gelap.
***​
Perlahan aku membuka mata dan menengok ke arah kanan. Tampak seorang wanita berbaju putih tengah menyiapkan sesuatu di atas meja. Saat ini aku terbaring di atas kasur putih di sebuah ruangan yang juga bernuansa putih. Kepalaku sedikit pusing berusaha mengingat apa yang sedang terjadi. Namun aku aku kembali merasakan kontraksi di perutku.

“Ah ... sakit ...” gumamku lirih. Wanita itu langsung menengok ke arahku saat mendengar eranganku. Raut wajahnya tampak terkejut dan berusaha tersenyum kepadaku.

“Alhamdulillah, Dok. Denyut jantung pasien mulai meningkat dan pasien sudah sadar,” gumam wanita itu. Tidak lama kemudian seorang pria berjas putih panjang masuk ke dalam ruangan. Kulihat Mas Bintang mengenakan baju steril ikut masuk mengikuti dokter dari belakang.

“Akhirnya Ibu sadar. Tadi Ibu sempat pingsan selama 10 menit. Beruntung Ibu saat ini sudah sadar, sehingga kami bisa melakukan tindakan selanjutnya. Melihat dari kondisinya, saya menyarankan untuk operasi caesar saja. Karena saa melihat kondisi Ibu sudah lemas,” gumam sang dokter. Aku menatap Mas Bintang berharap ia tidak menuruti saran dokter. Seperti janjiku kepada tuhan, aku akan menyelesaikan tugas pertamaku sebagai seorang Ibu.

“Sayang ... aku mohon. Ikuti saran dokter, ya. Kita ‘kan sudah sepakat,” ujar Mas Bintang sambil menggenggam erat tangan kananku. Raut wajahnya tampak khawatir menatapku. Aku tersenyum membalas genggamannya.

“Mas, aku mohon. Anggap saja ini permintaan egoisku sebagai istri. Aku ingin melahirkan secara normal. Kumohon percaya padaku,” gumamku sambil menatap matanya. Kami berdua saling bertatapan sejenak. Mas Bintang menghela napas dan menganggukkan kepalanya.

“Dok, apakah bisa dilakukan secara normal saja?” tanya Mas Bintang.

“Sebenarnya bisa, Pak. Tapi jika melihat kondisi fisik Ibu, saya ...”“Dok, saya masih kuat ‘kok. Saya tahu batasan fisik saya,” ujarku memohon. Sang Dokter terdiam berusaha berpikir sejenak.

“Baiklah jika itu kemauan Bapak dan Ibu. Tapi saya harap kalian bersiap untuk kemungkinan terburuk,” ujar Dokter. Aku tersenyum menggenggam tangan Mas Bintang.

“Dok, apakah saya boleh menemani istri saya selama melahirkan?” tanya Mas Bintang. Aku terkejut mendengar permintaan Mas Bintang. Ia menatapku seakan meminta persetujuanku. Aku mengangguk dan mengeraskan genggamanku. Kulihat jarum jam di dinding kamar sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Artinya aku hanya punya waktu 50 menit lagi. Dokter dan suster bergegas mempersiapkan peralatan dan menyuruhku untuk terus mengenjan. Mas Bintang tidak kenal lelah terus memotivasiku untuk terus berusaha. Aku kembali merasakan kram dan mulas yang luar biasa. Rasa sakitnya melebihi saat aku kontraksi di kamar mandi. Berulang kali aku mengatur napas dan berusaha mengeluarkan sisa tenaga yang ada. Peluhku bercucuran membasahi seluruh pakaian, bahkan sampai menembus sprei kasur. Beberapa kali aku mengerang dan menangis karena tidak kuat menahan rasa sakitnya. Kombinasi rasa sakit dari kram perut, mulas, dan perih membuatku ingin menyerah dan pingsan. Tetapi ketika aku teringat dengan janjiku kepada tuhan dan sisa waktuku tinggal sedikit, seolah ada tenaga tambahan yang mengalir di dalam tubuhku. Seorang perawat mengelap keringat di dahiku dan memijit perutku untuk mempermudah proses kelahiran.

“Ayo sayang ... semangat. Kamu pasti bisa,” gumam Mas Bintang. Kulihat Wajah Mas Bintang nampak cemas menatapku. Matanya tampak berlinang air mata berusaha menahan tangis.

“Ayo, Bu ... tarik napas, buang, dorong ... ayo semangat, Bu. Ayo ... kepala bayinya sudah kelihatan,” gumam Sang Dokter.

“Argh ... huh ... hah ... argh ...” aku terus berusaha mengeluarkan calon anakku dari rahimku. Setelah berkali-kali aku mencoba menahan sakit, 35 menit kemudian akhirnya aku mendengar tangisan suara bayi.

“Alhamdulllah, Bu, Pak. Selamat, ya. Anaknya laki-laki,” gumam Sang Dokter sambil menggendong bayi merah yang masih berlumuran darah. Aku bernapas lega dan mengucap syukur setelah berhasil menyelesaikan tugasku. Mas Bintang berkali-kali mengucap syukur dan mencium keningku. Meskipun badanku terasa lemas, sakit, dan linu, aku merasa sangat puas dan bangga bisa menyelesaikan tugas pertamaku sebagai Ibu. Suster dan Dokter berkali-kali mengucapkan selamat kepadaku dan Mas Bintang. Semua orang di dalam ruangan ini menangis haru menyambut kelahiran anak pertamaku. Setelah dimandikan dan diadzankan oleh Mas Bintang, akhirnya aku bisa menyusui anakku untuk yang pertama kalinya. Sungguh penderitaan yang beberapa saat yang lalu kulalui tidak sebanding dengan besarnya kebahagiaan yang kurasakan saat ini. Terima kasih, Tuhan.Hari ini adalah hari terindah dalam hidupku.

“Namanya Muhammad Arief Setiawan,” gumam Mas Bintang sambil mengusap lembut kepala anakku dan mencium keningku. Anakku sepertinya sangat haus. Ia terlihat sangat antusias ketika menghisap ASI milikku. Tangan mungilnya menggenggam erat jemari tanganku. Aku tersenyum menatap wajahnya yang tampan menyerupai Mas Bintang. Tiba-tiba kulihat sebuah bayangan hitam yang kulihat saat di dalam mobil, menembus tembok kamar dan datang menghampiriku. Tangan kanannya menunjuk ke arah jam di dinding kamar yang menunjukkan pukul 01:49. Artinya waktuku menikmati kebersamaan dengan suami dan anakku tinggal 1 menit lagi. Aku menatap suamiku dan anakku bergantian seolah tak rela berpisah dengan mereka secepat ini. Mas Bintang menoleh padaku saat aku mengeratkan genggaman tanganku padanya.

“Nak, Bunda yakin kamu akan menjadi anak yang kuat. Dengarkan semua nasihat ayahmu dan jalani hidupmu dengan semangat. Maaf, mungkin Bunda hanya bisa menjadi Ibu yang buruk bagimu karena tidak ada di sisimu selamnya. Satu hal yang pasti. Bunda sangat sayang padamu, Nak. Muhammad Arief Setiawan, aku selalu mencintaimu,” gumamku lirih pada anakku. Sang bayangan hitam mulai mengusap telapak kakiku dengan kedua tangannya dan terus merangkak naik hingga perutku. Aku bernapas pelan, pasrah dengan semua takdirku. Genggaman tanganku pada Mas Bintang perlahan mengendur dan terjatuh lemas. Ketika telapak tangan bayangan hitam itu menyentuh keningku, kulihat raut wajah Mas Bintang terakhir kalinya nampak panik sambil menyebut namaku. Sebelum akhirnya sebuah cahaya datang menyinariku, seakan menarikku untuk pergi jauh meninggalkan ruangan itu.
Oh Bunda ada dan tiada dirimu ‘kan selalu ada di dalam hatiku
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd