Saya suka cerita sep ini...lanjut suhu
Konon, karakter asli seseorang akan kelihatan di saat situasi sulit, dalam tapal batas ketidakberdayaan. Dan sekarang aku percaya itu. Hanya dalam waktu tiga hari berkenalan dengan Tea, Bu Sukma, dan Bu Yasinta, aku sudah bisa mengenali dan memahami karakter mereka. Mudah? Tidak!!! Keberadaan mereka seringkali membuat situasi hidupku yang sulit malah semakin sulit. Aku seperti harus mengasuh tiga orang dewasa yang memiliki keunikan masing-masing.
Tea adalah gadis cantik dan pintar, namun perasaannya gampang rapuh. Tinggal diam tanpa banyak beraktifitas membuatnya cepat bosan dan bad mood. Juga banyak galau dan nangis sendiri ketika merindukan keluarga dan kekasihnya. Komunikasi memang lancar. Ia bisa menelpon atau video call, tetapi hanya dalam hitungan jam sikap riangnya bisa kembali berubah murung. Mendengar dan melihat tidaklah cukup baginya, kerinduannya adalah perjumpaan. Ia ingin segera berjumpa dan berada di tengah keluarga; juga ingin berjumpa dan dekat dengan Bagas sang kekasih.
Bu Yasinta adalah yang paling unik. Sikap sombong dan selalu merasa diri paling benar tidak pernah bisa hilang. Emosinya cepat meluap ketika pendapatnya disanggah atau keinginannya tidak bisa dikabulkan. Karakter boss bertipikal otoriter sangat melekat dalam dirinya. Di sisi lain yang kontras dengan itu, jiwa melindunginya cukup kuat. Ia sangat melindungi dan memperhatikan kebutuhan Bu Sukma dan Tea dengan caranya. Benar kata orang: “Hal paling menjengkelkan adalah ketika seseorang melakukan sesuatu yang baik untuk kita, tetapi caranya salah.” Itulah dia! Perhatian dan sikap pedulinya seringkali malah membuat kami bertiga tersulut emosi.
Bu Rahma? Dia adalah yang paling kalem dan keibuan. Sikap dan tutur katanya lembut. Boleh dibilang cukup sabar dan terlihat paling tegar. Tapi di balik semuanya itu, ia adalah yang paling suka menyendiri. Dia adalah family mom. Yang ada dalam pikirannya hanya suami dan anak-anak. Ia lebih memikirkan keluarga daripada keadaannya sendiri.
Dan tiba-tiba saja.. dalam tiga hari ini aku harus bergaul dengan tiga wanita betipe seperti itu. Kadang terasa merepotkan. Satu-satunya hiburanku adalah bahwa mereka tidak demam atau menunjukan gejala sakit lainnya. Itu sudah cukup bagiku.
Memasuki hari keempat aku bangun siang. Kemarin malam aku dan Tea sudah belanja ke supermarket untuk membeli kebutuhan mereka sehari-hari. Jadi aku tidak harus menemui mereka pagi ini. Jam sepuluh aku baru selesai mandi. Kubuka laptop sambil menikmati secangkir kopi. Kubuka beberapa berita di internet, kubrowsing juga beberapa artikel yang bisa kujadikan referensi tugas akhir.
Tak lama berselang smartphone-ku bergetar. Sigap aku mengangkatnya karena pihak Dinas Kesehatan menelpon.
“Pronto.”
“Buongiorno, Signor Alle.” terdengar suara seorang wanita.
“Buongiorno, Signora….”
“Chiara.”
“Buongiorno, Signora Chiara.”
Setelah saling bersalam sapa, wanita bernama Chiara itu mengutarakan maksudnya menghubungiku.
“Kami sudah mendapatkan hasil lab atas nama Signora Sukma, Signora Yasinta, dan Signorina Tea. Kami pikir kamu boleh tahu agar kamu bisa membantu mereka, tapi ini rahasia. Apakah kamu bisa merahasiakannya?”
“Ya, saya akan merahasiakannya. Katakalah.” jawabku.
Kuseruput sisa kopiku. Biar bagaimana pun aku cukup tegang menanti berita yang akan Bu Chiara sampaikan, dan berharap bahwa hasilnya baik-baik saja.
Setelah mendengar kesanggupanku, Bu Chiara pun berkata, “Bagus kalau begitu. Mereka belum tahu, dan kami akan menelpon mereka setelah ini. Untuk hasilnya….”
“Signora Yasinta negatif.”
Aku menghela nafas lega mendengarnya.
“Signora Sukma juga negatif.”
Aku semakin lega.
“Bagaimana dengan Tea?” aku tidak sabar.
“Bagaimana kondisi dia sekarang?” ia malah balik bertanya.
“Kondisinya baik. Selama ini aku tidak melihat gejala sakit pada gadis itu.” jelasku.
Kudengar Bu Chiara menghela nafas, ujarnya, “Sehat belum tentu tidak terinfeksi, Signor Alle. Hasil labnya menunjukan positif.”
Degh!!
Dudukku langsung kaku mendengar penuturan Bu Chiara. Wajah Tea langsung terbayang, dan aku tidak bisa membayangkan bagaimana shock-nya gadis itu ketika mendengar hasil labnya. Untuk memastikan bahwa aku tidak salah dengar, kutanyakan sekali lagi. Dan jawabannya tetaplah sama.
“Apakah dia perlu dirawat di rumah sakit?” tanyaku lemah.
“Kalau kondisi sekarang dia baik, dia tidak perlu dirawat, tapi harus isolasi lokal.”
Bu Chiara pun menjelaskan langkah-langkah yang harus Tea lakukan, dan juga tindakan-tindakan preventif yang harus kubuat selama membantu dia. Ia juga menjelaskan bahwa yang terpenting aku harus membantu menjaga kondisi mental Tea supaya daya tahan tubuhnya tetap terjaga. Semakin stress seseorang, maka daya tahan tubuhnya akan melemah, dan itu akan semakin memudahkan virus untuk menyerang.
Aku dan Bu Chiara berbicara panjang lebar, dan baru setengah jam kemudian kami mengakhiri percakapan.
Kuputuskan untuk keluar kamar dan menemui Bu Sukma dan Bu Yasinta terlebih dahulu. Sambil menyusuri lorong pandanganku menyapu seluruh gedung. Sunyi dan sepi. Padahal hampir semua apartemen sudah terisi. Sebagian besar adalah warga asing yang diwajibkan menjalani karantina. Aku begidik. Keadaan menjadi mencekam sekalipun di siang bolong.
Bu Sukma membukakan pintu dan langsung mempersilakanku masuk sambil memberi kode dengan jari supaya tidak berisik. Aku paham, kulihat Bu Yasinta sedang menelpon. Aku langsung menduga ia sedang dihubungi petugas karena isi percakapannya, juga bahasanya yang menggunakan bahasa Inggris.
Aku dan Bu Sukma duduk di hadapan Bu Yasinta. Cukup lama kami menunggu, dan berakhir ketika Bu Yasinta menutup telpon sambil berteriak girang. Ia langsung mengabarkan hasil bahwa ia dan Bu Sukma dinyatakan negatif. Dua wanita itu saling berpelukan penuh bahagia.
Rasa syukur pun mereka ungkapkan. Bu Sukma malah berkaca-kaca karena saking senangnya. Aku? Senang ini ada, tetapi tetap saja aku bersedih karena Tea tidak mengalami nasib baik seperti mereka.
“Kita pulaaang.” pekik Bu Yasinta.
Mendengarnya aku hanya tersenyum kecut. Bu Sukma adalah yang pertama melihat kekakuanku.
“Kenapa, Le?”
Bu Yasinta ikutan menatapku dengan heran.
“Alle?!” Bu Sukma berubah khawatir.
“Selamat, ya Bu. Ibu berdua dinyatakan negatif, tapi…” aku menelan liur.
“Kenapa Tea?” Bu Yasinta langsung menduga.
“Alle?!” Bu Sukma berubah panik.
“Tea.. Tea.. ia dinyatakan positif.”
“Apaa?!!!”
Bersama ibu-ibu apapun bisa menjadi drama. Setelah saling berpelukan dan menangis bahagia, kini berganti pekik histeris penuh ketakutan. Titik air mata bahagia Bu Sukma berubah tangis sedih; Bu Yasinta mengerang kecil sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.
Tik tok tik tok.
Dua wanita yang tadi berbahagia, kini saling menangis menutup muka. Aku hanya mematung tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Memeluk mereka takut ditabok.
“Kita temui Tea.” Bu Yasinta berdiri sambil mengusapi wajahnya dengan kasar.
“Sebentar, kita bicara dulu.” aku mencegah.
Biar bagaimana pun secara prosedural kami harus menjaga jarak dengan Tea. Aku masih memikirkan etika Indonesia, tapi itu membuat dilema. Menemaninya tanpa masker pelindung akan membahayakan diri kami sendiri, tetapi jika memakai masker dan menjaga jarak bisa membuat Tea tersinggung dan semakin terpuruk.
Bu Yasinta menuruti usulku dan kembali duduk, tapi ia langsung marah-marah tidak jelas. Semua pihak disalahkan, termasuk pihak berwenang yang tak satu pun yang datang. Memberi kabar pun hanya melalui telpon. Sikap berapi-api Bu Yasinta malah membuat Bu Sukma menangis kembali. Ia nampak begitu stress dan frustasi. Hasil labnya yang negatif tidak lagi menjadi kabar yang menyenangkan.
“Bu Yasinta tenang dulu, kita bicarakan dengan kepala dingin. Lagi pula, sistem di sini sudah tertata secara baik. Mereka tahu kapan harus datang, dan kapan hanya menghubungi melalui telpon. Kalau semua kasus harus dibawa ke rumah sakit, maka semuanya akan semakin chaos, rumah sakit tidak akan mampu menampung pasien lagi. Mereka memiliki prioritas.” aku berusaha menenangkan.
Kalau Bu Yasinta masih menggerutu, Bu Sukma mulai memanggil nama suami dan kedua anaknya di tengah tangis. Keduanya tidak membantuku mencari jalan keluar. Sampai akhirnya…
“Bu Yasinta, Bu Sukma… Sampel lab kalian diambil empat hari yang lalu, dan hasilnya baru keluar hari ini. Apa yang kita lakukan selama menunggu hasil lab? Kita sering berkumpul tanpa menjaga jarak, petugas tidak tahu tentang ini. Artinya, bisa saja kalau diperiksa ulang, kita semua sudah positif.”
Ucapanku sukses membuat Bu Yasinta dan Bu Sukma diam. Keduanya duduk lesu menatapku.
“Apapun itu, yang terpenting sekarang adalah bagaimana menemani Tea agar dia tegar dan tetap semangat.” ujarku lagi.
Bu Yasinta yang sudah agak tenang berujar, “Menurut penjelasan petugas tadi, secara teoritis saya dan Bu Sukma bisa pulang ke Indonesia sambil membawa surat keterangan. Tapi apakah kita tega meninggalkan Tea?”
“Jadi kita akan tetap tinggal di sini sampai Tea dinyatakan negatif?” Bu Sukma berbicara pelan seolah sedang berkata pada diri sendiri.
“Sebelum kita bertemu Tea, sebaiknya kita menyamakan persepsi dulu. Jangan sampai kita malah berdebat di depan dia.” aku menyampaikan usulan.
Drama kembali terjadi. Kedua wanita di hadapanku saling berdebat. Bu Sukma langsung setuju untuk menunda kepulangan, sedangkan malah Bu Yasinta yang plin plan, ia ingin pulang. Kupret!!!
Butuh waktu untuk menyamakan suara, meski pesertanya hanya berdua. Setengah jam kemudian baru ada kata sepakat, keduanya tidak akan pulang ke Indonesia jika tidak bersama Tea. Akhirnya aku bisa bernafas lega.
Setelah sepakat, kami bertiga menuju apartemen Tea. Meski agak berlawanan dengan suara hati, kami bertiga mengenakan masker.
Kami bertiga langsung menghambur masuk ketika mendengar suara tangisan di dalam. Beruntung pintunya tidak dikunci, mungkin Tea sempat keluar untuk mencariku.
Lari kami langsung terhenti ketika melihat Tea sedang duduk di atas lantai. Menangis tersedu sambil memeluk lutut.
“Tea.. Kamu tenang, ya sayang.” adalah Bu Sukma yang pertama bersuara. Tanggungjawabnya sebagai pimpinan gadis itu sekaligus rasa keibuannya membuat ia nampak lebih tenang.
“Kalian jangan mendekat! Hiiiks…” tiba-tiba Tea mengangkat muka, wajahnya bersimbah air mata. Tangan kanan menunjuk-nunjuk ke arah kami bertiga. Tampangnya sangat mengkhawatirkan, sinar hidupnya seolah sirna.
“Hei.. kamu jangan begitu. Ayo duduk.” Bu Sukma tidak menggubris, ia semakin mendekat dan menarik tangan Tea.
Gadis itu meronta dan beringsut mundur sampai ke pojokan. Sedih, marah, dan takut terbias dari raut wajah dan sorot matanya.
Kalau dalam keadaan normal mungkin Bu Sukma akan merangsek dan memaksa memeluk Tea, tapi tidak kali ini. Simpati dan empati bercampur dengan rasa takut. Kami akhirnya kebingungan sendiri dan hanya saling mematung sambil melihat Tea yang kembali menangis.
Kuputuskan menuju dapur dan membuat susu panas. Lalu kubawa dan kusodorkan pada Tea.
“Kamu minum dulu biar tenang.” ujarku.
“Jangan mendekat!” hardik Tea.
“Kamu jangan terlalu takut, Tea. Kami tidak menganggap kamu sebagai virus, tapi kamu adalah manusia, sesama kami, saudara kami.” Bu Sukma menyahut dari sampingku.
“Iya, Tea. Kalau kami tidak sayang kamu, kami tidak akan ada di sini.” Bu Yasinta menambahkan.
Tea menatap kami bertiga bergantian. Tangannya akhirnya terulur menerima gelas yang kusodorkan. Keadaannya sangatlah memprihatinkan, ingin rasanya aku mendekat untuk sekedar menggenggam tangannya dan memberi kekuatan. Tapi Tea malah semakin merapat ke tembok ketika salah satu dari kami mendekat.
Kami terdiam sambil menunggu Tea menghabiskan susunya. Setelah melihatnya lebih tenang, kuminta Tea berdiri dan duduk di atas kursi. Ia menurut, dan kami duduk berjauhan atas permintaan Tea sendiri.
“Tea, virus itu tidak akan menular melalui sentuhan.” ujarku. Kujelaskan kembali bagaimana cara kerja virus ini, sebuah informasi yang sebetulnya sudah saling kami tahu melalui penjelasan petugas yang menelpon, juga melalui berbagai informasi di internet.
“Iya, Tea. Maafkan kami kalau kami memakai masker, tapi ini adalah cara terbaik untuk saling melindungi. Tapi bukan berarti kita harus saling menghindari.” Bu Sukma ikut menenangkan Tea.
Setelah saling bersahut-sahutan menguatkan, akhirnya Tea bisa lebih tenang. Ia sebetulnya hanya kecewa atas hasil pemeriksaan labnya, bukan karena takut pada virus itu sendiri. Atas inisiatifnya, ia pun mengenakan masker dan nampak lebih rileks saling berbicara dari hati ke hati.
Namun drama kembali terjadi ketika Bu Yasinta menyampaikan bahwa ia dan Bu Sukma akan tetap tinggal sampai Tea dinyatakan boleh pulang ke Indonesia. Mereka mengalami nasib dan situasi yang sama, dan harus pulang ke Indonesia secara bersama-sama. Sementara Tea justru sebaliknya, ia meminta Bu Yasinta dan Bu Sukma segera pulang sebelum situasi di tanah air sendiri semakin tidak terkendali. Saat ini semuanya tidak bisa diprediksi. Perdebatan panjang terjadi, dan berakhir tanpa kesepakatan. Semua bertahan dengan pendapat masing-masing.
“Aku masih sendiri. Tapi Bu Sukma dan Bu Yasinta punya keluarga.” Tea masih bersikukuh.
Diam-diam aku semakin mengagumi gadis ini. Di balik keterpurukannya, ia masih memikirkan kepentingan orang lain.
Ucapan Tea tentu saja membuat Bu Yasinta dan Bu Sukma nampak bimbang kembali. Kebulatan hati mereka untuk tetap tinggal nampak goyah. Mulutku terbuka untuk menyampaikan pendapat, aku siap membantu Tea sampai ia dinyatakan negatif dan boleh pulang. Tapi Bu Sukma berujar lebih cepat, “Kalau saya sendiri belum bisa memutuskan sekarang, saya mau bicara dulu dengan keluarga saya dan perusahaan.”
“Alle, kamu bisa membantu menghubungi pihak KBRI dan meminta pendapat mereka?” kali ini ucapannya ditujukan padaku, dan kusanggupi dengan anggukan.
Sebetulnya kami masih ingin ngobrol dan tidak berniat meninggalkan Tea, tapi gadis itu meminta kami pergi. Ia butuh waktu untuk menyendiri, juga ingin berbagi kabar dengan keluarganya. Akhirnya kami pun bubar setelah menyakinkan bahwa Tea akan baik-baik saja. Bu Sukma menyanggupi untuk masak makan siang, dan akan mengantarnya ke kamar kami masing-masing.
“Tea..” aku yang keluar terakhir memanggil gadis itu.
“Iya, Le?”
“Ingat kamu bukan virus, kami sayang kamu.” ujarku.
Tea mengangguk sambil berusaha tersenyum. Dia tidak tahu saja bahwa jauh di dalam lubuk hatiku, aku ingin mengganti kata “kami” dengan “aku”.
Setibanya di kamar, aku menghubungi seorang pejabat KBRI. Kukabarkan situasi dan kondisi mereka bertiga, dan rupanya pihak kedutaan pun sudah memperoleh informasi. Hal ini semakin memudahkanku dalam memberikan penjelasan. Soal apakah Bu Sukma dan Bu Yasinta memutuskan pulang atau tidak, itu diserahkan kepada mereka berdua, yang pasti ada plus minusnya baik untuk pulang maupun untuk yang ditinggalkan. Intinya, pihak kedutaan sendiri yang akan menemui dan berbicara dengan mereka sehingga aku sangat lega mendengarnya.
*
*
*
Di depan kamar setiap apartemen ada balkon kecil yang disekat oleh tembok pembatas di bagian kiri dan kanannya. Sebetulnya balkon ini sangat sempit dan tidak berfungsi sebagai tempat nongkrong, melainkan hanya untuk mempermudah penghuni jika ingin membersihkan kaca bagian luar. Dua hari ini, aku sering berada di balkon untuk mengamati keadaan Tea. Aku tidak ingin ia menunjukan sikap tegar di depan orang lain, tapi terpuruk ketika sendiri. Lama-lama Tea tahu kalau aku sering “mengintip”, akhirnya ia sendiri sering berada di balkonnya dan ngobrol berdua dengan berbataskan tembok setinggi dada. Sudah dua hari ini Tea membentengi diri dan tidak mengijinkan kami berkunjung ke kamarnya.
Seperti senja ini, kami berdua ngobrol sambil menyantap spagheti masakanku. Menikmati birunya langit senja yang seolah datang menghibur manusia yang dirundung sepi dan takut. Aku senang, karena meskipun dinyatakan positif mengidap Covid19, Tea nampak baik-baik saja. Makan dan istirahat teratur membuatnya bertahan, ditambah olahraga setiap malam dengan melakukan yoga di kamarnya.
“Masakanmu enak juga, Le.” ujarnya sambil menghabiskan isi piring.
“Pasti donk.” sombongku.
“Nyesel muji!”
“Hehe…”
Tea masih melanjutkan makannya, kesempatan ini kupakai untuk menatapnya. Sungguh cantik. Keadaannya yang seperti sekarang malah tidak membuatku iba, melainkan semakin kagum. Masa karantina membuatnya nampak semakin dewasa, dan lebih santai menghadapi hidup. Itu kurasakan dari caranya berpendapat dan berbicara.
“Kamu tidak berencana pulang dulu ke Indo, Le?” tiba-tiba ia bertanya.
“Nggak, aku di sini aja sampai selesai kuliah. Itu pun gak tahu sampai kapan kami bisa masuk kampus lagi.”
“Loh kenapa? Walaupun sama-sama menghadapi wabah, bukannya akan lebih baik berada di negeri sendiri, berada di tengah keluarga?”
Aku tersenyum kecut mendengarnya. Jangankan punya uang untuk membeli tiket pesawat, bisa bertahan hidup sampai sebulan ke depan pun aku tidak yakin.
“Aku di sini aja, Tea.” ujarku sambil menatap ke kejauhan.
“Oh.” singkatnya.
Dari sudut mataku terlihat Tea menatapku lekat, tapi aku pura-pura tidak melihat. Aku malah merasa jengah, dan sebelum ia bertanya lagi, aku pura-pura mengembalikan piring sambil mengambil minum.
Tea masih berada di posisinya yang sama. Matanya jauh memandang pada kaki langit yang bersemburat merah. Rambutnya yang sedikit pirang berkibar diterpa angin senja, berkilau keemasan karena pantulan sinar surya yang tersisa. Wajah Tea yang aslinya sedikit pucat, kini nampak bercahaya. Memberi aura yang serasi dengan merah bibirnya.
Aku mematung, terus memandangnya. Mengagumi kecantikan yang ia miliki. Hatiku pun membatin, “Bahagia seorang Bagas bisa mendapatkan cintanya.”
“Kenapa ngeliatinnya kok gitu banget?” aku tergagap mendapat pertanyaannya.
Langsung kualihkan pandangan ke bawah, pura-pura menatap jalanan.
“Ngg.. hanya untuk memastikan kamu sehat dan baik-baik saja.” aku mencari alasan.
“Bener?” ia mendekat mepet ke tembok yang menjadi pembatas kami.
“Iya.” aku membalas tatapannya, tapi hanya sebentar.
“Kamu bisa lihat sendiri, kan? Aku baik-baik saja kok.” ujarnya.
“Iyah.. aku lihat kamu sehat, tapi hatinya sih kayaknya enggak.” aku memberanikan diri menggoda.
“Sok tahu! Huh!!”
“Hehe..”
“Iih malah ketawa dianya.”
“Iyah Onaaa.. aku percaya.” aku memang merasa salah tingkah karena terciduk mengaguminya, sekaligus merasa gemas karena sikapnya.
“Ona?”
“Yah.. kamu kan kena corona.”
Dugh.. dugh.. aku langsung tercekat. Tidak seharusnya aku berkata seperti itu. Aku langsung kembali menatap gadis itu dengan perasaan bersalah.
“Tuh mulut.. congornya pedes banget sih?!” Tea seperti sewot, tapi tertawa setelahnya.
“Maaf.. aku keceplosan tadi.” aku masih tidak enak hati, meskipun kulihat Tea malah tertawa.
“Hehe.. nyantai.. emang bener kan aku positif corona. Congormu juga positif pedes ternyata.”
“Tuh mulut!! Haha…” mau tidak mau aku pun ikut tertawa.
“Bodo!”
Jadilah.. aku dan Tea saling tertawa. Menertawakan kekonyolan, menertawakan situasi yang tidak bisa kami atasi.
“Kamu udah punya pacar, Le?” tanyanya ketika tawa kami reda.
“Nope. Aku memilih jomblo.”
“Haha.. bilang aja gak laku.”
“Mulutmu tuh yang pedes.”
“Hehe.. emang bener, kan? Sok-sokan jomblo itu pilihan… kalau memang gak laku ya bilang aja gak laku. Hahaha…”
Tawa Tea begitu lepas, ia nampak begitu senang karena telah berhasil membalas ledekanku. Aku malah kembali tertegun, bukan lagi sebuah tawa yang dibuat-buat, melainkan natural dan begitu lepas. Ini menampilkan sisi lain pribadinya, namun apapun itu, nada dasarnya selalu sama: ia cantik.
“Aku sudah putus, Tea, pacarku gak tahan LDR.” jiah.. aku malah curhat. Tapi kata-kata ini meluncur begitu saja, seolah membuka ruang bagi Tea agar bisa mengenalku lebih jauh.
“Wow.. sorry… tapi bukannya zaman sekarang mah LDR itu bukan masalah ya. Kalian kan masih bisa komunikasi setiap saat.” ujarnya.
“Halah.. kayak gak ngalami aja. Ini baru pisah beberapa hari dengan Bagas aja udah uring-uringan, padahal kan telponan hampir setiap saat.” aku menyahut.
“Hehe.. iya sih.”
Tea akhirnya banyak bertanya tentang kisah cintaku, dan aku menjawab tanpa beban. Mengingat masa lalu bukanlah sesuatu yang menggangu lagi bagiku, aku malah merasa lebih lega ketika akhirnya putus dengan pacar terakhirku.
“Jadi, sebenarnya pacarmu yang gak tahan LDR donk, jadi dia yang minta putus.” Tea menyimpulkan ceritaku.
“Yep. Aku selalu memulai suatu hubungan, tapi tidak pernah mengakhirinya.”
“Maksudmu?” Tea menyangga kedua dagunya dengan tangan yang ia tumpangkan di atas tembok pembatas.
“Ya.. aku selalu menyatakan perasaanku lebih dahulu, jika diterima dan akhirnya pacaran, aku tidak pernah memutuskan pacarku, kecuali dia yang meminta sendiri.”
“Oke. Aku paham, kamu mungkin tidak mau menyakiti hati pacarmu. Tapi kalau kamu sendiri merasa tidak cocok masa mau tetap mempertahankan hubungan?” Tea tidak sependapat denganku.
“Kita mungkin mudah sakit, tapi jangan mudah menyakiti.” jawabku.
“Sok bijak lu!!” ledek Tea.
Aku hanya tertawa kecil sambil mengangkat kedua bahu. Dan akhirnya.. tanpa diminta Tea pun banyak bercerita tentang hubungannya dengan Bagas. Ia merasa bersyukur bahwa bisa mendapatkan seorang kekasih yang baik, dewasa, dan mapan. Namun ia juga sedih, karena intensitas komunikasi mereka semakin berkurang, Bagas selalu punya alasan bahwa ia sibuk mengurus pekerjaan yang kini sudah mulai dilakukan di rumah alias work from home (WFH).
“Mungkin sebenarnya komunikasi kalian tidak berkurang, kamu aja yang merasa begitu karena kamu hanya di kamar dan tidak banyak kegiatan.” hiburku.
“Hmmm.. iya juga sih. Mungkin!” balasnya.
Aku dan Tea mengakhiri obrolan ketika matahari sudah benar-benar tenggelam, kami saling pamit dan masuk kamar masing-masing. Kuputuskan untuk langsung mandi.
Jam sepuluh malam bel kamarku berbunyi. Ternyata Bu Yasinta yang datang. Tanpa permisi untuk kedua kali, ia langsung nyelonong masuk dan meraih bungkus rokok di atas meja. Dibukanya maskernya, dan langsung menyulut sebatang rokok. Tampangnya nampak kusut pertanda sedang banyak pikiran.
Tanpa banyak kata aku menemaninya duduk berhadapan. Kusulut juga rokokku.
“Kamu umur berapa, Le?” tanyanya tiba-tiba.
“Dua puluh empat, hampir dua lima.”
“Hmm.. anak sulung ibu baru 17 tahun tapi sangat susah diatur.” gumamnya.
Tanpa diminta ia pun menceritakan kegelisahan hatinya. Rupanya ia sangat mengkhawatirkan anak tunggalnya yang -menurutnya- semakin sulit diatur. Namanya Supra. Hobinya keluar malam dan baru pulang dini hari, bahkan sering tidak pulang. Penerapan aturan supaya tetap tinggal di rumah pun ia abaikan.
Yang membuat Bu Yasinta semakin sedih, Supra seolah tidak peduli jika ibunya sedang tertahan di luar negeri. Suaminya sendiri ada di rumah, namun juga seolah tidak berdaya mengatur anak semata wayang mereka.
Aku hanya diam mendengarkan, sekali-kali bergumam untuk menunjukkan bahwa aku tetap menyimak. Setelah menyampaikan semua unek-uneknya, ia berjingkat membuka kulkas.
“Kok kosong, Le? Bukannya kemarin belanja?” tanyanya ketika melihat isi kulkasku hanya terdapat beberapa bungkus persediaan makanan dan apel.
“Kan belanja untuk keperluan kalian?” ujarku.
“Lah kamu sendiri?”
“Saya mah gampang, Bu, kan sudah tahu supermarket sekitar sini.” jawabku dengan sedikit berbohong.
“Ooh.. Minumannya juga gak ada ya?”
“Hehhe.. habis juga. Tapi kalau ibu mau, kita bisa keluar?”
“Memang boleh?”
“Ibu bawa saja surat keterangan dari dokter kemarin.”
“Nice. Saya ambil dulu ya.”
Tanpa banyak berpikir, ia pun langsung kembali ke apartemennya. Dengan enggan aku mengambil dompetku, juga surat ijin keluar. Kutunggu Bu Yasinta di depan kamar. Tak lama kemudian ia kembali, dan kami menuruni lift sambil tanpa lupa mengenakan masker. Karena supermarket hanya diijinkan buka sampai jam delapan malam, aku dan Bu Yasinta pun membeli beberapa kaleng beer pada mesin di depan sebuah toko. Untuk bisa membelinya tentu saja harus menggunakan kartu identitasku untuk mendeteksi umur.
Kami tidak langsung kembali ke apartemen, melainkan duduk di sebuah bangku taman yang sepi. Hanya ada sepasang muda-mudi yang sedang duduk di sebuah bangku, juga sambil minum dan merokok.
“Kenapa baru sekarang kamu ngajak saya keluar?” tanyanya sambil menyeruput isi kaleng. Ia nampak merasa senang karena akhirnya bisa keluar dari kamarnya dan menghirup udara luar.
“Hehe.. kemarin-kemarin kan masih nunggu hasil lab.” aku beralasan.
“Ini kan sudah dua hari sejak hasil labnya ada.”
“Hehe..”
“Bilang aja kamu sebenarnya gak mau ngajak saya keluar.”
“Bukan begitu, Bu..”
“Begitu juga gakpapa kok. Hehe…”
Obrolan tidak jelas kami sudah cukup membuat Bu Yasinta sedikit terhibur. Ia sudah tidak semurung kami. Semakin malam, semakin nampak beberapa warga dari gedung apartemen sebelah yang pada keluar untuk sekedar membawa binatang peliharaan mereka jalan-jalan. Tentu dengan mengenakan masker dan saling menjaga jarak. Sekali-kali aku saling sapa dengan orang yang dikenal.
“Eh.. itu.. kenapa sih kalau orang sini tidak malu-malu ciuman di tempat umum?” ujarnya sambil setengah menunjuk pada pasangan paruh baya yang sedang ciuman di bangku tak jauh dari kami berdua.
“Ya kultur mereka memang begitu.” jawabku. Aku melanjutkan, “Kalau di sini orang berciuman karena mengungkapkan kasih sayang, bukan mesum.”
“Tapi kalau saya sih lihatnya aja malah nafsu.” ia mulai menunjukan sisi nyablaknya.
Aku setengah tertawa mendengarnya, pikiranku mulai ngeres membayangkan bagaimana seorang wanita secantik Bu Yasinta mendesah di atas kasur.
“Ngomong-ngomong pesanan saya belum ada ya?” tanyanya lagi.
“Susah nyarinya, Bu. Sekarang toko-toko yang boleh buka hanya toko yang menyediakan kebutuhan primer, yang lain pada tutup semua.” jelasku.
Bu Yasinta memang pernah meminta tolong waktu minum di kamarku untuk mencarikan dildo, secara di eropa lebih murah dan lebih mudah mendapatkannya. Tapi dalam situasi sekarang, yang mudah pun berubah susah.
“Seks juga kan kebutuhan primer.” ujarnya, ucapannya semakin ngelantur dan mengundang pikiran mesum.
“Halah.. primer itu kalau ama pasangan, kalau ama dildo mah cuma nafsu doank.” aku berusaha mengimbangi gaya percakapannya.
“Kunyuk memang si Raksy.” ia mendumel.
Kalau tadi di apartemenku keluhannya berisi tentang anaknya, kini beralih tentang suaminya. Lima tahun lalu ia mendapati suaminya melakukan affair dengan wanita lain, dan sejak itu ia tidak pernah mau berhubungan badan lagi. Mereka memang tidak bercerai dan tetap tinggal serumah, namun semuanya langsung berubah seperti orang asing satu sama lain. Ketika kutanya kenapa mereka tetap mau bertahan, alasannya adalah Supra dan juga orangtua mereka masing-masing. Bu Yasinta dan Pak Raksy menikah karena dijodohkan orangtua mereka, dan mereka tidak mau mengecewakan kedua belah pihak jika bercerai.
Dari cerita Bu Yasinta aku langsung bisa menyimpulkan kenapa Supra bersifat seperti masa bodoh seperti itu. Rumah bukanlah tempat yang nyaman baginya. Salah satu alasan tidak bercerai adalah anak, tetapi situasi “dingin” di rumah malah membuat sang anak semakin tertekan.
“Kenapa sih orang harus selingkuh?” ia seolah bertanya pada dirinya sendiri.
Inginku mengatakan bahwa suaminya selingkuh mungkin karena sikap Bu Yasinta sendiri yang cenderung otoriter, tapi aku takut membuat wanita ini tersinggung dan moodnya jelek kembali. Jawab berbeda kuberikan.
“Mungkin karena ketagihan rasa nikmat. Dan nikmat itu tidak didapatkan dari pasangan. Ibu sendiri kenapa masih setia? Meski tidak bercerai, kan kalau mau, ibu juga bisa selingkuh.”
“Gak tahu. Menurut kamu, kenapa saya tidak selingkuh?” ia malah balik bertanya.
“Mungkin ibu setia karena ibu ketagihan rasa nyaman yang pernah didapatkan. Orang selingkuh karena ketagihan rasa nikmat, sedangkan yang memilih setia karena ketagihan rasa nyaman.” aku ngasal.
“Hahaha.. jadi intinya tetap aja karena sama-sama ketagihan ya, cuma objeknya yang berbeda.” Bu Yasinta tertawa tanpa menyangkal atau mengamini pendapatku.
Obrolan kami semakin tanpa arah, bukan hanya tentang keluarganya, tapi apapun bisa dikomentari. Aku semakin mengenal Bu Yasinta malam ini. Di balik semua kelebihan yang ia miliki sebagai seorang wanita karier, ternyata hatinya sangatlah rapuh.
Obrolan kami sekali-kali diselingi canda tawa untuk menghilangkan semua beban yang mengganggu pikiran, dan tanpa disadari duduk kami pun semakin rapat. Kaleng minuman kami akhirnya habis, dan berbatang-batang rokok sudah kami bakar. Hening.. kehabisan kata.
“Eh..?” aku kaget ketika Bu Yasinta tiba-tiba memeluk lenganku sambil menyenderkan kepala.
“Makasih, Le, udah mau mendengarkan saya. Haissh… kenapa juga saya harus terbuka seperti ini kepada kamu, padahal kita baru saling kenal.” ujarnya.
Aku hanya diam, fokusku bukan lagi pada ucapannya, melainkan pada kenyal payudaranya yang menyentuh lenganku.
“Saya kesepian, Le.” lirihnya.
“Saya paham.” gumamku pelan.
Bu Yasinta pun semakin mengeratkan pelukan, sedangkan aku masih duduk kaku. Aku belum tahu apakah sikap Bu Yasinta ini hanya sekedar untuk mencari ketenangan, atau memang kode yang menjadi peluang untuk membuat kami berdua mengerang.
Bu Yasinta memindahkan tanganku agar melingkari bahunya. Dengan sedikit berdebar kuikuti maunya, kupeluk wanita paruh baya yang tubuhnya masih memesona ini. Merasa aku memberi respon positif, ia malah mendekapku dan menangis tersedu dalam pelukanku.
Secara naluriah aku balik mendekap, dan spontan mengusapi punggungnya. Ia pun semakin menangis.
“Saya butuh pelampiasan, Le. Hiks.. hiks…”
“Maksud ibu?”
Dadaku langsung berdetak kencang. Rasa iba dan nafsu bercampur menjadi satu.
“Kamu jangan pikir aneh-aneh, saya hanya butuh kamarmu untuk masturbasi. Gak mungkin di kamarku karena ada si Sukma.” jawabnya, tangisnya mulai reda.
“Lalu.. ehem.. euuu.. lalu aku? Kenapa.. kenapa…?” aku malah tergagap.
“Saya belum siap kalau harus dijamah lelaki lain. Bukan tidak ingin, tapi saya benar-benar belum siap melakukan perbuatan yang sama, seperti yang pernah dilakukan suamiku. Hiiks…”
Aku hanya bisa menelan liur. Ternyata Bu Yasinta adalah seorang wanita yang tangguh, dan aku harus menghargai itu.
“Maksudku, kalau ibu pake kamarku, lalu aku gimana?” aku mengalihkan jawaban.
“Ya terserah kamu, mendengar boleh, nonton jangan. Hehehe.. hiiiksss…”
Kupret!!!
Bersambung…..
Saya suka cerita sep ini...lanjut suhu
Konon, karakter asli seseorang akan kelihatan di saat situasi sulit, dalam tapal batas ketidakberdayaan. Dan sekarang aku percaya itu. Hanya dalam waktu tiga hari berkenalan dengan Tea, Bu Sukma, dan Bu Yasinta, aku sudah bisa mengenali dan memahami karakter mereka. Mudah? Tidak!!! Keberadaan mereka seringkali membuat situasi hidupku yang sulit malah semakin sulit. Aku seperti harus mengasuh tiga orang dewasa yang memiliki keunikan masing-masing.
Tea adalah gadis cantik dan pintar, namun perasaannya gampang rapuh. Tinggal diam tanpa banyak beraktifitas membuatnya cepat bosan dan bad mood. Juga banyak galau dan nangis sendiri ketika merindukan keluarga dan kekasihnya. Komunikasi memang lancar. Ia bisa menelpon atau video call, tetapi hanya dalam hitungan jam sikap riangnya bisa kembali berubah murung. Mendengar dan melihat tidaklah cukup baginya, kerinduannya adalah perjumpaan. Ia ingin segera berjumpa dan berada di tengah keluarga; juga ingin berjumpa dan dekat dengan Bagas sang kekasih.
Bu Yasinta adalah yang paling unik. Sikap sombong dan selalu merasa diri paling benar tidak pernah bisa hilang. Emosinya cepat meluap ketika pendapatnya disanggah atau keinginannya tidak bisa dikabulkan. Karakter boss bertipikal otoriter sangat melekat dalam dirinya. Di sisi lain yang kontras dengan itu, jiwa melindunginya cukup kuat. Ia sangat melindungi dan memperhatikan kebutuhan Bu Sukma dan Tea dengan caranya. Benar kata orang: “Hal paling menjengkelkan adalah ketika seseorang melakukan sesuatu yang baik untuk kita, tetapi caranya salah.” Itulah dia! Perhatian dan sikap pedulinya seringkali malah membuat kami bertiga tersulut emosi.
Bu Rahma? Dia adalah yang paling kalem dan keibuan. Sikap dan tutur katanya lembut. Boleh dibilang cukup sabar dan terlihat paling tegar. Tapi di balik semuanya itu, ia adalah yang paling suka menyendiri. Dia adalah family mom. Yang ada dalam pikirannya hanya suami dan anak-anak. Ia lebih memikirkan keluarga daripada keadaannya sendiri.
Dan tiba-tiba saja.. dalam tiga hari ini aku harus bergaul dengan tiga wanita betipe seperti itu. Kadang terasa merepotkan. Satu-satunya hiburanku adalah bahwa mereka tidak demam atau menunjukan gejala sakit lainnya. Itu sudah cukup bagiku.
Memasuki hari keempat aku bangun siang. Kemarin malam aku dan Tea sudah belanja ke supermarket untuk membeli kebutuhan mereka sehari-hari. Jadi aku tidak harus menemui mereka pagi ini. Jam sepuluh aku baru selesai mandi. Kubuka laptop sambil menikmati secangkir kopi. Kubuka beberapa berita di internet, kubrowsing juga beberapa artikel yang bisa kujadikan referensi tugas akhir.
Tak lama berselang smartphone-ku bergetar. Sigap aku mengangkatnya karena pihak Dinas Kesehatan menelpon.
“Pronto.”
“Buongiorno, Signor Alle.” terdengar suara seorang wanita.
“Buongiorno, Signora….”
“Chiara.”
“Buongiorno, Signora Chiara.”
Setelah saling bersalam sapa, wanita bernama Chiara itu mengutarakan maksudnya menghubungiku.
“Kami sudah mendapatkan hasil lab atas nama Signora Sukma, Signora Yasinta, dan Signorina Tea. Kami pikir kamu boleh tahu agar kamu bisa membantu mereka, tapi ini rahasia. Apakah kamu bisa merahasiakannya?”
“Ya, saya akan merahasiakannya. Katakalah.” jawabku.
Kuseruput sisa kopiku. Biar bagaimana pun aku cukup tegang menanti berita yang akan Bu Chiara sampaikan, dan berharap bahwa hasilnya baik-baik saja.
Setelah mendengar kesanggupanku, Bu Chiara pun berkata, “Bagus kalau begitu. Mereka belum tahu, dan kami akan menelpon mereka setelah ini. Untuk hasilnya….”
“Signora Yasinta negatif.”
Aku menghela nafas lega mendengarnya.
“Signora Sukma juga negatif.”
Aku semakin lega.
“Bagaimana dengan Tea?” aku tidak sabar.
“Bagaimana kondisi dia sekarang?” ia malah balik bertanya.
“Kondisinya baik. Selama ini aku tidak melihat gejala sakit pada gadis itu.” jelasku.
Kudengar Bu Chiara menghela nafas, ujarnya, “Sehat belum tentu tidak terinfeksi, Signor Alle. Hasil labnya menunjukan positif.”
Degh!!
Dudukku langsung kaku mendengar penuturan Bu Chiara. Wajah Tea langsung terbayang, dan aku tidak bisa membayangkan bagaimana shock-nya gadis itu ketika mendengar hasil labnya. Untuk memastikan bahwa aku tidak salah dengar, kutanyakan sekali lagi. Dan jawabannya tetaplah sama.
“Apakah dia perlu dirawat di rumah sakit?” tanyaku lemah.
“Kalau kondisi sekarang dia baik, dia tidak perlu dirawat, tapi harus isolasi lokal.”
Bu Chiara pun menjelaskan langkah-langkah yang harus Tea lakukan, dan juga tindakan-tindakan preventif yang harus kubuat selama membantu dia. Ia juga menjelaskan bahwa yang terpenting aku harus membantu menjaga kondisi mental Tea supaya daya tahan tubuhnya tetap terjaga. Semakin stress seseorang, maka daya tahan tubuhnya akan melemah, dan itu akan semakin memudahkan virus untuk menyerang.
Aku dan Bu Chiara berbicara panjang lebar, dan baru setengah jam kemudian kami mengakhiri percakapan.
Kuputuskan untuk keluar kamar dan menemui Bu Sukma dan Bu Yasinta terlebih dahulu. Sambil menyusuri lorong pandanganku menyapu seluruh gedung. Sunyi dan sepi. Padahal hampir semua apartemen sudah terisi. Sebagian besar adalah warga asing yang diwajibkan menjalani karantina. Aku begidik. Keadaan menjadi mencekam sekalipun di siang bolong.
Bu Sukma membukakan pintu dan langsung mempersilakanku masuk sambil memberi kode dengan jari supaya tidak berisik. Aku paham, kulihat Bu Yasinta sedang menelpon. Aku langsung menduga ia sedang dihubungi petugas karena isi percakapannya, juga bahasanya yang menggunakan bahasa Inggris.
Aku dan Bu Sukma duduk di hadapan Bu Yasinta. Cukup lama kami menunggu, dan berakhir ketika Bu Yasinta menutup telpon sambil berteriak girang. Ia langsung mengabarkan hasil bahwa ia dan Bu Sukma dinyatakan negatif. Dua wanita itu saling berpelukan penuh bahagia.
Rasa syukur pun mereka ungkapkan. Bu Sukma malah berkaca-kaca karena saking senangnya. Aku? Senang ini ada, tetapi tetap saja aku bersedih karena Tea tidak mengalami nasib baik seperti mereka.
“Kita pulaaang.” pekik Bu Yasinta.
Mendengarnya aku hanya tersenyum kecut. Bu Sukma adalah yang pertama melihat kekakuanku.
“Kenapa, Le?”
Bu Yasinta ikutan menatapku dengan heran.
“Alle?!” Bu Sukma berubah khawatir.
“Selamat, ya Bu. Ibu berdua dinyatakan negatif, tapi…” aku menelan liur.
“Kenapa Tea?” Bu Yasinta langsung menduga.
“Alle?!” Bu Sukma berubah panik.
“Tea.. Tea.. ia dinyatakan positif.”
“Apaa?!!!”
Bersama ibu-ibu apapun bisa menjadi drama. Setelah saling berpelukan dan menangis bahagia, kini berganti pekik histeris penuh ketakutan. Titik air mata bahagia Bu Sukma berubah tangis sedih; Bu Yasinta mengerang kecil sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.
Tik tok tik tok.
Dua wanita yang tadi berbahagia, kini saling menangis menutup muka. Aku hanya mematung tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Memeluk mereka takut ditabok.
“Kita temui Tea.” Bu Yasinta berdiri sambil mengusapi wajahnya dengan kasar.
“Sebentar, kita bicara dulu.” aku mencegah.
Biar bagaimana pun secara prosedural kami harus menjaga jarak dengan Tea. Aku masih memikirkan etika Indonesia, tapi itu membuat dilema. Menemaninya tanpa masker pelindung akan membahayakan diri kami sendiri, tetapi jika memakai masker dan menjaga jarak bisa membuat Tea tersinggung dan semakin terpuruk.
Bu Yasinta menuruti usulku dan kembali duduk, tapi ia langsung marah-marah tidak jelas. Semua pihak disalahkan, termasuk pihak berwenang yang tak satu pun yang datang. Memberi kabar pun hanya melalui telpon. Sikap berapi-api Bu Yasinta malah membuat Bu Sukma menangis kembali. Ia nampak begitu stress dan frustasi. Hasil labnya yang negatif tidak lagi menjadi kabar yang menyenangkan.
“Bu Yasinta tenang dulu, kita bicarakan dengan kepala dingin. Lagi pula, sistem di sini sudah tertata secara baik. Mereka tahu kapan harus datang, dan kapan hanya menghubungi melalui telpon. Kalau semua kasus harus dibawa ke rumah sakit, maka semuanya akan semakin chaos, rumah sakit tidak akan mampu menampung pasien lagi. Mereka memiliki prioritas.” aku berusaha menenangkan.
Kalau Bu Yasinta masih menggerutu, Bu Sukma mulai memanggil nama suami dan kedua anaknya di tengah tangis. Keduanya tidak membantuku mencari jalan keluar. Sampai akhirnya…
“Bu Yasinta, Bu Sukma… Sampel lab kalian diambil empat hari yang lalu, dan hasilnya baru keluar hari ini. Apa yang kita lakukan selama menunggu hasil lab? Kita sering berkumpul tanpa menjaga jarak, petugas tidak tahu tentang ini. Artinya, bisa saja kalau diperiksa ulang, kita semua sudah positif.”
Ucapanku sukses membuat Bu Yasinta dan Bu Sukma diam. Keduanya duduk lesu menatapku.
“Apapun itu, yang terpenting sekarang adalah bagaimana menemani Tea agar dia tegar dan tetap semangat.” ujarku lagi.
Bu Yasinta yang sudah agak tenang berujar, “Menurut penjelasan petugas tadi, secara teoritis saya dan Bu Sukma bisa pulang ke Indonesia sambil membawa surat keterangan. Tapi apakah kita tega meninggalkan Tea?”
“Jadi kita akan tetap tinggal di sini sampai Tea dinyatakan negatif?” Bu Sukma berbicara pelan seolah sedang berkata pada diri sendiri.
“Sebelum kita bertemu Tea, sebaiknya kita menyamakan persepsi dulu. Jangan sampai kita malah berdebat di depan dia.” aku menyampaikan usulan.
Drama kembali terjadi. Kedua wanita di hadapanku saling berdebat. Bu Sukma langsung setuju untuk menunda kepulangan, sedangkan malah Bu Yasinta yang plin plan, ia ingin pulang. Kupret!!!
Butuh waktu untuk menyamakan suara, meski pesertanya hanya berdua. Setengah jam kemudian baru ada kata sepakat, keduanya tidak akan pulang ke Indonesia jika tidak bersama Tea. Akhirnya aku bisa bernafas lega.
Setelah sepakat, kami bertiga menuju apartemen Tea. Meski agak berlawanan dengan suara hati, kami bertiga mengenakan masker.
Kami bertiga langsung menghambur masuk ketika mendengar suara tangisan di dalam. Beruntung pintunya tidak dikunci, mungkin Tea sempat keluar untuk mencariku.
Lari kami langsung terhenti ketika melihat Tea sedang duduk di atas lantai. Menangis tersedu sambil memeluk lutut.
“Tea.. Kamu tenang, ya sayang.” adalah Bu Sukma yang pertama bersuara. Tanggungjawabnya sebagai pimpinan gadis itu sekaligus rasa keibuannya membuat ia nampak lebih tenang.
“Kalian jangan mendekat! Hiiiks…” tiba-tiba Tea mengangkat muka, wajahnya bersimbah air mata. Tangan kanan menunjuk-nunjuk ke arah kami bertiga. Tampangnya sangat mengkhawatirkan, sinar hidupnya seolah sirna.
“Hei.. kamu jangan begitu. Ayo duduk.” Bu Sukma tidak menggubris, ia semakin mendekat dan menarik tangan Tea.
Gadis itu meronta dan beringsut mundur sampai ke pojokan. Sedih, marah, dan takut terbias dari raut wajah dan sorot matanya.
Kalau dalam keadaan normal mungkin Bu Sukma akan merangsek dan memaksa memeluk Tea, tapi tidak kali ini. Simpati dan empati bercampur dengan rasa takut. Kami akhirnya kebingungan sendiri dan hanya saling mematung sambil melihat Tea yang kembali menangis.
Kuputuskan menuju dapur dan membuat susu panas. Lalu kubawa dan kusodorkan pada Tea.
“Kamu minum dulu biar tenang.” ujarku.
“Jangan mendekat!” hardik Tea.
“Kamu jangan terlalu takut, Tea. Kami tidak menganggap kamu sebagai virus, tapi kamu adalah manusia, sesama kami, saudara kami.” Bu Sukma menyahut dari sampingku.
“Iya, Tea. Kalau kami tidak sayang kamu, kami tidak akan ada di sini.” Bu Yasinta menambahkan.
Tea menatap kami bertiga bergantian. Tangannya akhirnya terulur menerima gelas yang kusodorkan. Keadaannya sangatlah memprihatinkan, ingin rasanya aku mendekat untuk sekedar menggenggam tangannya dan memberi kekuatan. Tapi Tea malah semakin merapat ke tembok ketika salah satu dari kami mendekat.
Kami terdiam sambil menunggu Tea menghabiskan susunya. Setelah melihatnya lebih tenang, kuminta Tea berdiri dan duduk di atas kursi. Ia menurut, dan kami duduk berjauhan atas permintaan Tea sendiri.
“Tea, virus itu tidak akan menular melalui sentuhan.” ujarku. Kujelaskan kembali bagaimana cara kerja virus ini, sebuah informasi yang sebetulnya sudah saling kami tahu melalui penjelasan petugas yang menelpon, juga melalui berbagai informasi di internet.
“Iya, Tea. Maafkan kami kalau kami memakai masker, tapi ini adalah cara terbaik untuk saling melindungi. Tapi bukan berarti kita harus saling menghindari.” Bu Sukma ikut menenangkan Tea.
Setelah saling bersahut-sahutan menguatkan, akhirnya Tea bisa lebih tenang. Ia sebetulnya hanya kecewa atas hasil pemeriksaan labnya, bukan karena takut pada virus itu sendiri. Atas inisiatifnya, ia pun mengenakan masker dan nampak lebih rileks saling berbicara dari hati ke hati.
Namun drama kembali terjadi ketika Bu Yasinta menyampaikan bahwa ia dan Bu Sukma akan tetap tinggal sampai Tea dinyatakan boleh pulang ke Indonesia. Mereka mengalami nasib dan situasi yang sama, dan harus pulang ke Indonesia secara bersama-sama. Sementara Tea justru sebaliknya, ia meminta Bu Yasinta dan Bu Sukma segera pulang sebelum situasi di tanah air sendiri semakin tidak terkendali. Saat ini semuanya tidak bisa diprediksi. Perdebatan panjang terjadi, dan berakhir tanpa kesepakatan. Semua bertahan dengan pendapat masing-masing.
“Aku masih sendiri. Tapi Bu Sukma dan Bu Yasinta punya keluarga.” Tea masih bersikukuh.
Diam-diam aku semakin mengagumi gadis ini. Di balik keterpurukannya, ia masih memikirkan kepentingan orang lain.
Ucapan Tea tentu saja membuat Bu Yasinta dan Bu Sukma nampak bimbang kembali. Kebulatan hati mereka untuk tetap tinggal nampak goyah. Mulutku terbuka untuk menyampaikan pendapat, aku siap membantu Tea sampai ia dinyatakan negatif dan boleh pulang. Tapi Bu Sukma berujar lebih cepat, “Kalau saya sendiri belum bisa memutuskan sekarang, saya mau bicara dulu dengan keluarga saya dan perusahaan.”
“Alle, kamu bisa membantu menghubungi pihak KBRI dan meminta pendapat mereka?” kali ini ucapannya ditujukan padaku, dan kusanggupi dengan anggukan.
Sebetulnya kami masih ingin ngobrol dan tidak berniat meninggalkan Tea, tapi gadis itu meminta kami pergi. Ia butuh waktu untuk menyendiri, juga ingin berbagi kabar dengan keluarganya. Akhirnya kami pun bubar setelah menyakinkan bahwa Tea akan baik-baik saja. Bu Sukma menyanggupi untuk masak makan siang, dan akan mengantarnya ke kamar kami masing-masing.
“Tea..” aku yang keluar terakhir memanggil gadis itu.
“Iya, Le?”
“Ingat kamu bukan virus, kami sayang kamu.” ujarku.
Tea mengangguk sambil berusaha tersenyum. Dia tidak tahu saja bahwa jauh di dalam lubuk hatiku, aku ingin mengganti kata “kami” dengan “aku”.
Setibanya di kamar, aku menghubungi seorang pejabat KBRI. Kukabarkan situasi dan kondisi mereka bertiga, dan rupanya pihak kedutaan pun sudah memperoleh informasi. Hal ini semakin memudahkanku dalam memberikan penjelasan. Soal apakah Bu Sukma dan Bu Yasinta memutuskan pulang atau tidak, itu diserahkan kepada mereka berdua, yang pasti ada plus minusnya baik untuk pulang maupun untuk yang ditinggalkan. Intinya, pihak kedutaan sendiri yang akan menemui dan berbicara dengan mereka sehingga aku sangat lega mendengarnya.
*
*
*
Di depan kamar setiap apartemen ada balkon kecil yang disekat oleh tembok pembatas di bagian kiri dan kanannya. Sebetulnya balkon ini sangat sempit dan tidak berfungsi sebagai tempat nongkrong, melainkan hanya untuk mempermudah penghuni jika ingin membersihkan kaca bagian luar. Dua hari ini, aku sering berada di balkon untuk mengamati keadaan Tea. Aku tidak ingin ia menunjukan sikap tegar di depan orang lain, tapi terpuruk ketika sendiri. Lama-lama Tea tahu kalau aku sering “mengintip”, akhirnya ia sendiri sering berada di balkonnya dan ngobrol berdua dengan berbataskan tembok setinggi dada. Sudah dua hari ini Tea membentengi diri dan tidak mengijinkan kami berkunjung ke kamarnya.
Seperti senja ini, kami berdua ngobrol sambil menyantap spagheti masakanku. Menikmati birunya langit senja yang seolah datang menghibur manusia yang dirundung sepi dan takut. Aku senang, karena meskipun dinyatakan positif mengidap Covid19, Tea nampak baik-baik saja. Makan dan istirahat teratur membuatnya bertahan, ditambah olahraga setiap malam dengan melakukan yoga di kamarnya.
“Masakanmu enak juga, Le.” ujarnya sambil menghabiskan isi piring.
“Pasti donk.” sombongku.
“Nyesel muji!”
“Hehe…”
Tea masih melanjutkan makannya, kesempatan ini kupakai untuk menatapnya. Sungguh cantik. Keadaannya yang seperti sekarang malah tidak membuatku iba, melainkan semakin kagum. Masa karantina membuatnya nampak semakin dewasa, dan lebih santai menghadapi hidup. Itu kurasakan dari caranya berpendapat dan berbicara.
“Kamu tidak berencana pulang dulu ke Indo, Le?” tiba-tiba ia bertanya.
“Nggak, aku di sini aja sampai selesai kuliah. Itu pun gak tahu sampai kapan kami bisa masuk kampus lagi.”
“Loh kenapa? Walaupun sama-sama menghadapi wabah, bukannya akan lebih baik berada di negeri sendiri, berada di tengah keluarga?”
Aku tersenyum kecut mendengarnya. Jangankan punya uang untuk membeli tiket pesawat, bisa bertahan hidup sampai sebulan ke depan pun aku tidak yakin.
“Aku di sini aja, Tea.” ujarku sambil menatap ke kejauhan.
“Oh.” singkatnya.
Dari sudut mataku terlihat Tea menatapku lekat, tapi aku pura-pura tidak melihat. Aku malah merasa jengah, dan sebelum ia bertanya lagi, aku pura-pura mengembalikan piring sambil mengambil minum.
Tea masih berada di posisinya yang sama. Matanya jauh memandang pada kaki langit yang bersemburat merah. Rambutnya yang sedikit pirang berkibar diterpa angin senja, berkilau keemasan karena pantulan sinar surya yang tersisa. Wajah Tea yang aslinya sedikit pucat, kini nampak bercahaya. Memberi aura yang serasi dengan merah bibirnya.
Aku mematung, terus memandangnya. Mengagumi kecantikan yang ia miliki. Hatiku pun membatin, “Bahagia seorang Bagas bisa mendapatkan cintanya.”
“Kenapa ngeliatinnya kok gitu banget?” aku tergagap mendapat pertanyaannya.
Langsung kualihkan pandangan ke bawah, pura-pura menatap jalanan.
“Ngg.. hanya untuk memastikan kamu sehat dan baik-baik saja.” aku mencari alasan.
“Bener?” ia mendekat mepet ke tembok yang menjadi pembatas kami.
“Iya.” aku membalas tatapannya, tapi hanya sebentar.
“Kamu bisa lihat sendiri, kan? Aku baik-baik saja kok.” ujarnya.
“Iyah.. aku lihat kamu sehat, tapi hatinya sih kayaknya enggak.” aku memberanikan diri menggoda.
“Sok tahu! Huh!!”
“Hehe..”
“Iih malah ketawa dianya.”
“Iyah Onaaa.. aku percaya.” aku memang merasa salah tingkah karena terciduk mengaguminya, sekaligus merasa gemas karena sikapnya.
“Ona?”
“Yah.. kamu kan kena corona.”
Dugh.. dugh.. aku langsung tercekat. Tidak seharusnya aku berkata seperti itu. Aku langsung kembali menatap gadis itu dengan perasaan bersalah.
“Tuh mulut.. congornya pedes banget sih?!” Tea seperti sewot, tapi tertawa setelahnya.
“Maaf.. aku keceplosan tadi.” aku masih tidak enak hati, meskipun kulihat Tea malah tertawa.
“Hehe.. nyantai.. emang bener kan aku positif corona. Congormu juga positif pedes ternyata.”
“Tuh mulut!! Haha…” mau tidak mau aku pun ikut tertawa.
“Bodo!”
Jadilah.. aku dan Tea saling tertawa. Menertawakan kekonyolan, menertawakan situasi yang tidak bisa kami atasi.
“Kamu udah punya pacar, Le?” tanyanya ketika tawa kami reda.
“Nope. Aku memilih jomblo.”
“Haha.. bilang aja gak laku.”
“Mulutmu tuh yang pedes.”
“Hehe.. emang bener, kan? Sok-sokan jomblo itu pilihan… kalau memang gak laku ya bilang aja gak laku. Hahaha…”
Tawa Tea begitu lepas, ia nampak begitu senang karena telah berhasil membalas ledekanku. Aku malah kembali tertegun, bukan lagi sebuah tawa yang dibuat-buat, melainkan natural dan begitu lepas. Ini menampilkan sisi lain pribadinya, namun apapun itu, nada dasarnya selalu sama: ia cantik.
“Aku sudah putus, Tea, pacarku gak tahan LDR.” jiah.. aku malah curhat. Tapi kata-kata ini meluncur begitu saja, seolah membuka ruang bagi Tea agar bisa mengenalku lebih jauh.
“Wow.. sorry… tapi bukannya zaman sekarang mah LDR itu bukan masalah ya. Kalian kan masih bisa komunikasi setiap saat.” ujarnya.
“Halah.. kayak gak ngalami aja. Ini baru pisah beberapa hari dengan Bagas aja udah uring-uringan, padahal kan telponan hampir setiap saat.” aku menyahut.
“Hehe.. iya sih.”
Tea akhirnya banyak bertanya tentang kisah cintaku, dan aku menjawab tanpa beban. Mengingat masa lalu bukanlah sesuatu yang menggangu lagi bagiku, aku malah merasa lebih lega ketika akhirnya putus dengan pacar terakhirku.
“Jadi, sebenarnya pacarmu yang gak tahan LDR donk, jadi dia yang minta putus.” Tea menyimpulkan ceritaku.
“Yep. Aku selalu memulai suatu hubungan, tapi tidak pernah mengakhirinya.”
“Maksudmu?” Tea menyangga kedua dagunya dengan tangan yang ia tumpangkan di atas tembok pembatas.
“Ya.. aku selalu menyatakan perasaanku lebih dahulu, jika diterima dan akhirnya pacaran, aku tidak pernah memutuskan pacarku, kecuali dia yang meminta sendiri.”
“Oke. Aku paham, kamu mungkin tidak mau menyakiti hati pacarmu. Tapi kalau kamu sendiri merasa tidak cocok masa mau tetap mempertahankan hubungan?” Tea tidak sependapat denganku.
“Kita mungkin mudah sakit, tapi jangan mudah menyakiti.” jawabku.
“Sok bijak lu!!” ledek Tea.
Aku hanya tertawa kecil sambil mengangkat kedua bahu. Dan akhirnya.. tanpa diminta Tea pun banyak bercerita tentang hubungannya dengan Bagas. Ia merasa bersyukur bahwa bisa mendapatkan seorang kekasih yang baik, dewasa, dan mapan. Namun ia juga sedih, karena intensitas komunikasi mereka semakin berkurang, Bagas selalu punya alasan bahwa ia sibuk mengurus pekerjaan yang kini sudah mulai dilakukan di rumah alias work from home (WFH).
“Mungkin sebenarnya komunikasi kalian tidak berkurang, kamu aja yang merasa begitu karena kamu hanya di kamar dan tidak banyak kegiatan.” hiburku.
“Hmmm.. iya juga sih. Mungkin!” balasnya.
Aku dan Tea mengakhiri obrolan ketika matahari sudah benar-benar tenggelam, kami saling pamit dan masuk kamar masing-masing. Kuputuskan untuk langsung mandi.
Jam sepuluh malam bel kamarku berbunyi. Ternyata Bu Yasinta yang datang. Tanpa permisi untuk kedua kali, ia langsung nyelonong masuk dan meraih bungkus rokok di atas meja. Dibukanya maskernya, dan langsung menyulut sebatang rokok. Tampangnya nampak kusut pertanda sedang banyak pikiran.
Tanpa banyak kata aku menemaninya duduk berhadapan. Kusulut juga rokokku.
“Kamu umur berapa, Le?” tanyanya tiba-tiba.
“Dua puluh empat, hampir dua lima.”
“Hmm.. anak sulung ibu baru 17 tahun tapi sangat susah diatur.” gumamnya.
Tanpa diminta ia pun menceritakan kegelisahan hatinya. Rupanya ia sangat mengkhawatirkan anak tunggalnya yang -menurutnya- semakin sulit diatur. Namanya Supra. Hobinya keluar malam dan baru pulang dini hari, bahkan sering tidak pulang. Penerapan aturan supaya tetap tinggal di rumah pun ia abaikan.
Yang membuat Bu Yasinta semakin sedih, Supra seolah tidak peduli jika ibunya sedang tertahan di luar negeri. Suaminya sendiri ada di rumah, namun juga seolah tidak berdaya mengatur anak semata wayang mereka.
Aku hanya diam mendengarkan, sekali-kali bergumam untuk menunjukkan bahwa aku tetap menyimak. Setelah menyampaikan semua unek-uneknya, ia berjingkat membuka kulkas.
“Kok kosong, Le? Bukannya kemarin belanja?” tanyanya ketika melihat isi kulkasku hanya terdapat beberapa bungkus persediaan makanan dan apel.
“Kan belanja untuk keperluan kalian?” ujarku.
“Lah kamu sendiri?”
“Saya mah gampang, Bu, kan sudah tahu supermarket sekitar sini.” jawabku dengan sedikit berbohong.
“Ooh.. Minumannya juga gak ada ya?”
“Hehhe.. habis juga. Tapi kalau ibu mau, kita bisa keluar?”
“Memang boleh?”
“Ibu bawa saja surat keterangan dari dokter kemarin.”
“Nice. Saya ambil dulu ya.”
Tanpa banyak berpikir, ia pun langsung kembali ke apartemennya. Dengan enggan aku mengambil dompetku, juga surat ijin keluar. Kutunggu Bu Yasinta di depan kamar. Tak lama kemudian ia kembali, dan kami menuruni lift sambil tanpa lupa mengenakan masker. Karena supermarket hanya diijinkan buka sampai jam delapan malam, aku dan Bu Yasinta pun membeli beberapa kaleng beer pada mesin di depan sebuah toko. Untuk bisa membelinya tentu saja harus menggunakan kartu identitasku untuk mendeteksi umur.
Kami tidak langsung kembali ke apartemen, melainkan duduk di sebuah bangku taman yang sepi. Hanya ada sepasang muda-mudi yang sedang duduk di sebuah bangku, juga sambil minum dan merokok.
“Kenapa baru sekarang kamu ngajak saya keluar?” tanyanya sambil menyeruput isi kaleng. Ia nampak merasa senang karena akhirnya bisa keluar dari kamarnya dan menghirup udara luar.
“Hehe.. kemarin-kemarin kan masih nunggu hasil lab.” aku beralasan.
“Ini kan sudah dua hari sejak hasil labnya ada.”
“Hehe..”
“Bilang aja kamu sebenarnya gak mau ngajak saya keluar.”
“Bukan begitu, Bu..”
“Begitu juga gakpapa kok. Hehe…”
Obrolan tidak jelas kami sudah cukup membuat Bu Yasinta sedikit terhibur. Ia sudah tidak semurung kami. Semakin malam, semakin nampak beberapa warga dari gedung apartemen sebelah yang pada keluar untuk sekedar membawa binatang peliharaan mereka jalan-jalan. Tentu dengan mengenakan masker dan saling menjaga jarak. Sekali-kali aku saling sapa dengan orang yang dikenal.
“Eh.. itu.. kenapa sih kalau orang sini tidak malu-malu ciuman di tempat umum?” ujarnya sambil setengah menunjuk pada pasangan paruh baya yang sedang ciuman di bangku tak jauh dari kami berdua.
“Ya kultur mereka memang begitu.” jawabku. Aku melanjutkan, “Kalau di sini orang berciuman karena mengungkapkan kasih sayang, bukan mesum.”
“Tapi kalau saya sih lihatnya aja malah nafsu.” ia mulai menunjukan sisi nyablaknya.
Aku setengah tertawa mendengarnya, pikiranku mulai ngeres membayangkan bagaimana seorang wanita secantik Bu Yasinta mendesah di atas kasur.
“Ngomong-ngomong pesanan saya belum ada ya?” tanyanya lagi.
“Susah nyarinya, Bu. Sekarang toko-toko yang boleh buka hanya toko yang menyediakan kebutuhan primer, yang lain pada tutup semua.” jelasku.
Bu Yasinta memang pernah meminta tolong waktu minum di kamarku untuk mencarikan dildo, secara di eropa lebih murah dan lebih mudah mendapatkannya. Tapi dalam situasi sekarang, yang mudah pun berubah susah.
“Seks juga kan kebutuhan primer.” ujarnya, ucapannya semakin ngelantur dan mengundang pikiran mesum.
“Halah.. primer itu kalau ama pasangan, kalau ama dildo mah cuma nafsu doank.” aku berusaha mengimbangi gaya percakapannya.
“Kunyuk memang si Raksy.” ia mendumel.
Kalau tadi di apartemenku keluhannya berisi tentang anaknya, kini beralih tentang suaminya. Lima tahun lalu ia mendapati suaminya melakukan affair dengan wanita lain, dan sejak itu ia tidak pernah mau berhubungan badan lagi. Mereka memang tidak bercerai dan tetap tinggal serumah, namun semuanya langsung berubah seperti orang asing satu sama lain. Ketika kutanya kenapa mereka tetap mau bertahan, alasannya adalah Supra dan juga orangtua mereka masing-masing. Bu Yasinta dan Pak Raksy menikah karena dijodohkan orangtua mereka, dan mereka tidak mau mengecewakan kedua belah pihak jika bercerai.
Dari cerita Bu Yasinta aku langsung bisa menyimpulkan kenapa Supra bersifat seperti masa bodoh seperti itu. Rumah bukanlah tempat yang nyaman baginya. Salah satu alasan tidak bercerai adalah anak, tetapi situasi “dingin” di rumah malah membuat sang anak semakin tertekan.
“Kenapa sih orang harus selingkuh?” ia seolah bertanya pada dirinya sendiri.
Inginku mengatakan bahwa suaminya selingkuh mungkin karena sikap Bu Yasinta sendiri yang cenderung otoriter, tapi aku takut membuat wanita ini tersinggung dan moodnya jelek kembali. Jawab berbeda kuberikan.
“Mungkin karena ketagihan rasa nikmat. Dan nikmat itu tidak didapatkan dari pasangan. Ibu sendiri kenapa masih setia? Meski tidak bercerai, kan kalau mau, ibu juga bisa selingkuh.”
“Gak tahu. Menurut kamu, kenapa saya tidak selingkuh?” ia malah balik bertanya.
“Mungkin ibu setia karena ibu ketagihan rasa nyaman yang pernah didapatkan. Orang selingkuh karena ketagihan rasa nikmat, sedangkan yang memilih setia karena ketagihan rasa nyaman.” aku ngasal.
“Hahaha.. jadi intinya tetap aja karena sama-sama ketagihan ya, cuma objeknya yang berbeda.” Bu Yasinta tertawa tanpa menyangkal atau mengamini pendapatku.
Obrolan kami semakin tanpa arah, bukan hanya tentang keluarganya, tapi apapun bisa dikomentari. Aku semakin mengenal Bu Yasinta malam ini. Di balik semua kelebihan yang ia miliki sebagai seorang wanita karier, ternyata hatinya sangatlah rapuh.
Obrolan kami sekali-kali diselingi canda tawa untuk menghilangkan semua beban yang mengganggu pikiran, dan tanpa disadari duduk kami pun semakin rapat. Kaleng minuman kami akhirnya habis, dan berbatang-batang rokok sudah kami bakar. Hening.. kehabisan kata.
“Eh..?” aku kaget ketika Bu Yasinta tiba-tiba memeluk lenganku sambil menyenderkan kepala.
“Makasih, Le, udah mau mendengarkan saya. Haissh… kenapa juga saya harus terbuka seperti ini kepada kamu, padahal kita baru saling kenal.” ujarnya.
Aku hanya diam, fokusku bukan lagi pada ucapannya, melainkan pada kenyal payudaranya yang menyentuh lenganku.
“Saya kesepian, Le.” lirihnya.
“Saya paham.” gumamku pelan.
Bu Yasinta pun semakin mengeratkan pelukan, sedangkan aku masih duduk kaku. Aku belum tahu apakah sikap Bu Yasinta ini hanya sekedar untuk mencari ketenangan, atau memang kode yang menjadi peluang untuk membuat kami berdua mengerang.
Bu Yasinta memindahkan tanganku agar melingkari bahunya. Dengan sedikit berdebar kuikuti maunya, kupeluk wanita paruh baya yang tubuhnya masih memesona ini. Merasa aku memberi respon positif, ia malah mendekapku dan menangis tersedu dalam pelukanku.
Secara naluriah aku balik mendekap, dan spontan mengusapi punggungnya. Ia pun semakin menangis.
“Saya butuh pelampiasan, Le. Hiks.. hiks…”
“Maksud ibu?”
Dadaku langsung berdetak kencang. Rasa iba dan nafsu bercampur menjadi satu.
“Kamu jangan pikir aneh-aneh, saya hanya butuh kamarmu untuk masturbasi. Gak mungkin di kamarku karena ada si Sukma.” jawabnya, tangisnya mulai reda.
“Lalu.. ehem.. euuu.. lalu aku? Kenapa.. kenapa…?” aku malah tergagap.
“Saya belum siap kalau harus dijamah lelaki lain. Bukan tidak ingin, tapi saya benar-benar belum siap melakukan perbuatan yang sama, seperti yang pernah dilakukan suamiku. Hiiks…”
Aku hanya bisa menelan liur. Ternyata Bu Yasinta adalah seorang wanita yang tangguh, dan aku harus menghargai itu.
“Maksudku, kalau ibu pake kamarku, lalu aku gimana?” aku mengalihkan jawaban.
“Ya terserah kamu, mendengar boleh, nonton jangan. Hehehe.. hiiiksss…”
Kupret!!!
Bersambung…..
Mantap banget ceritanya suhuEMPAT
Drama tengah malam terjadi. Tea terbangun ketika kusentuh pipinya dan menjerit ketakutan. Ia langsung duduk di sudut ranjang sambil menutupi wajahnya dengan selimut. Aku tak kalah panik, tak menyangka bahwa Tea akan sehisteris itu. Berulangkali aku minta maaf dan menjelaskan bahwa aku tidak bermaksud mesum atau berniat jahat. Tetapi Tea tetap menunjuk-nunjuk mukaku supaya menjauhinya. Dan.. aku salah paham. Ia sama sekali tidak berpikir aku datang untuk berbuat mesum, tapi ia takut kalau aku tertular Covid.
Akhirnya aku menjauh dan mengambil persediaan masker dari laci meja. Setelahnya aku tertawa karena merasa geli sendiri.
“Lagian aku khawatir, Tea, makananmu masih utuh di luar. Aku takut kamu kenapa-napa.” ujarku sambil menyodorkan masker untuknya.
“Hehe.. Maaf, tadi abis kamu telpon aku langsung tidur. Bablas deh..” kekehnya.
“Tapi beneran kan kamu udah mendingan?” aku masih belum yakin.
“Bukan mendingan, Le, tapi udah sembuh. Aku udah gak ngerasa demam lagi kok.”
“Syukur deh.”
Aku langsung keluar kamar untuk mengambil makanan Tea, lalu kupanaskan pada microwave. Kubuatkan juga susu hangat.
“Makasih, Le.” ujarnya tulus.
“Nyantai.” singkatku.
Aku dan Tea duduk berhadapan di atas sofa. Ia menikmati makan malamnya yang sudah sangat telat, sedangkan aku menikmati paras cantiknya. Kuceritakan pula pengalaman konyolku dengan Bu Sukma membuat Tea sekali-kali menghentikan makannya. Ekspresi kaget, marah, dan lucu terpancar bergantian. Tentu saja aku tidak menyampaikan kalau aku dan Bu Sukma berciuman.
Waktu sudah menunjukan jam dua pagi, namun kantukku hilang. Berada bersama Tea membuatku selalu segar. Tea sendiri tentu saja tidak ngantuk lagi karena sudah tidur sejak sore. Akhirnya kami ngobrol ngalor-ngidul, sekali-kali diselingi canda dan tawa.
Pada titik tertentu, Tea berubah sendu dan obrolannya mulai serius.
“Aku kangen Bagas, Le.” keluhnya. Ia tidak tahu bahwa dengan menyebutkan nama itu, rasa gembiraku bersamanya langsung pudar.
“Sabar, ya Tea, semoga semuanya ini bisa berakhir dan kalian bisa bersama-sama lagi.” aku mencoba menghiburnya, walaupun sebetulnya sangat tidak berselera membahasnya.
Tea pun curhat. Di balik kerinduannya, ia juga sering merasa bete atas sikap Bagas. Ia tidak pernah menghubunginya duluan. Selalu saja Tea yang lebih dahulu menelpon atau mengirim pesan.
“Gimana gak kesel coba, Le, selalu saja aku yang menelpon lebih dulu. Chatting pun selalu aku yang duluan padahal sering kulihat WA-nya online.” keluh Tea.
“Ya mungkin dia sibuk, Tea. Kita kan gak tahu situasi di sana seperti apa, apalagi katanya Jakarta sendiri akan segera memberlakukan lockdown.”
“Ya sesibuk-sibuknya orang, masa sih gak ada inisiatif sama sekali untuk sekedar menyapa duluan.”
“Tapi kalau pas telponan kamu merasa ia berubah, gak?”
“Nggak sih.”
“Nah berarti memang Bagas tidak berubah. Mungkin karena kondisimu habis ngedrop, jadi kamu lebih sensitif.” ujarku.
“Jadi aku yang salah?” tiba-tiba nadanya meninggi.
“Bukan gitu, Teaaa.. maksudku…”
“Apa?”
“Iiya.. aku salah.”
“Kok kamu yang salah sih? Kan lagi ngomongin aku dan Bagas?!”
Buseet. Ni anak kesambet apa sih, tiba-tiba jadi bad mood seperti ini. Kutatap wajah Tea yang cemberut, matanya sedikit berkaca. Aku hanya menghela nafas. Kehilangan kata-kata.
“Alle..!! Aku kan nanya, kok malah diam?”
“Eh.. emang kamu nanya yah?” pentium otakku tiba-tiba menjadi 510 Mb.
“Iih kamu tuh! Kenapa jadi kamu yang salaah?!”
“Eh.. iya.. iya… Bagas salah.”
“Kok kamu jadi nyalahin pacarku sih? Dia itu baik tahu!”
Kupret!!
“Hmm.. kalau gitu kamu yang salah.”
“Apa?! Cowok tuh yah.. selalu saja cewek yang disalahin! Hiks…”
Bajindut!!!
Aku hanya bisa melongo sambil menatap Tea yang mulai menitikan air mata. Aku benar-benar serba salah, dan tidak tahu harus berkata apa. Setahuku corona itu menyerang saluran pernafasan dan organ paru-paru, tetapi kenapa pada gadis ini malah menyerang syaraf kewarasannya.
“Maaf, Tea, aku.. aku…”
“Selalu saja.. cowok tuh gampangin banget, selalu memakai jurus ‘minta maaf’ untuk melindungi diri.”
Setelah berkata begitu, Tea terisak. Air matanya berubah deras. Seorang wanita karier muda yang sukses, kini di depan mataku tak ada ubahnya dengan gadis ababil yang perubahan mood-nya bisa berubah drastis.
Aku pun pindah duduk di sampingnya.
“Tea, kamu kenapa? Maaf kalau aku salah omong ya.” aku mencoba menghiburnya, karena tidak tahu harus berbuat apa selain itu.
Tea tidak menggubris. Ia menutup mukanya dengan tangis yang semakin keras. Tubuhnya sedikit berguncang.
Tanganku terulur untuk menyentuh bahunya, namun berhenti ketika tinggal beberapa senti. Aku takut disangka kurang ajar, dan tangisnya menjadi marah kembali.
“Tea…”
“Hiks.. hiks… kenapa harus begini sih, Le? Aku ini punya dosa apa sehingga harus terdampar di negeri orang? Harus kena Corona? Harus jauh dari Bagas? Harus jauh dari keluargaku? Hiiiiiikssss.” litani tanya dan kemarahan membuncah di tengah tangisnya.
Mendengar itu, aku sungguh terenyuh. Tanganku benar-benar menyentuh, dan memberi tepukan-tepukan kecil.
“Tea, kamu tidak salah apa-apa. Kamu tenang dulu yah, kalau kamu hanya protes dan bersedih maka tidak akan bisa menyelesaikan apa-apa. Tangismu tidak akan membuatmu bisa bertemu Bagas seketika.” ujarku.
Tea membuka katupan tangannya, maskernya nampak kuyup karena cucuran air mata. Kedua bola matanya merah dan basah.
Kuraih kedua tangannya dan kugenggam. Tak apa dianggap kuang ajar, inginku saat ini adalah membuatnya tenang.
Tea tidak menepis, malah balas meremas dengan keras. Aku mencoba tersenyum tanpa kata-kata. Tea masih terisak, tetapi tidak lagi merintih penuh protes.
Aku masih diam sambil menggenggam, menunggu Tea lebih tenang. Inginku saat ini adalah ada bersamanya, dan membuat gadis ini tidak merasa seorang diri.
Aku dan Tea saling bertatapan, suasana malam yang sunyi membuat suasana terasa sendu. Hanya sisak isak tangisnya yang terdengar. Remasan tangan kami sudah berhenti, tetapi tetap bertautan seolah enggan dipisahkan. Jemarinya yang tadi terasa dingin dan kaku, kini berubah hangat dan lembut.
Setelah sekian lama, kulakukan sebuah remasan. Maksudku untuk memberi Tea kekuatan sebelum aku melepaskannya. Namun tanpa diduga, itu memberi efek yang berbeda bagi Tea. Tubuhnya nampak lemah, miring mendekat.
Ia menjatuhkan dirinya dalam pelukanku. Aku tercekat, jantungku sesaat seolah berhenti berdetak. Gantian aku yang merasa lemah, sebaliknya Tea memelukku erat.
“Aku takut, Le.” ia mengeluh. Lebih berupa ungkapan perih tanpa air mata.
Mendengar ucapannya, aku refleks membalas pelukan Tea. Kuusapi rambutnya yang bergelombang halus. Itu membuat kepalanya semakin terbenam di atas bahuku. Kini hati dan pikiranku berkecamuk. Kasihan dan iba memang ada, tetapi biar bagaimana pun gadis yang kini sedang berada dalam pelukanku ini adalah sosok yang diam-diam telah mencuri hatiku. Entah apa yang Tea pikirkan ketika ia memelukku, namun kini aku membalasnya bukan hanya karena ingin menguatkan rapuh hatinya. Aku mendekap dan membelainya terdorong oleh rasa sayang.
Aku dan Tea terbawa suasana. Abai pada keadaan. Aku malah melepaskan masker Tea dan mengusapi sisa air matanya, lantas kubenamkan kembali kepalanya. Kali ini pada dadaku.
Usapanku berubah menjadi belaian, dan Tea seolah merasa nyaman. Satu tangannya pindah memeluk pinggangku, matanya terpejam. Kulepas maskerku sendiri, dan kuhirup aroma wangi rambunya. Helaian-helaian halus menyentuh bibirku, dan aku mengecup tipis.
Aku tidak tahu apakah Tea menyadarinya atau tidak karena kecupanku hanya menempel pada permukaan rambutnya. Tapi aku sungguh terbuai, dan menikmatinya. Lupa bahwa Tea sudah menjadi kekasih orang.
“Kalau ini semua bukan karena karma, lalu kenapa aku harus menanggung semuanya ini, Le?” lirihnya.
Tea mendongak, sorot mata kami beradu. Dadaku terkesiap. Pancaran cantiknya tergambar begitu dekat, sorot matanya yang sedih terlihat sendu. Bibirnya yang pucat malah terlihat seksi. Aku mengerjap untuk membuang pikiran-pikiran yang tidak seharusnya.
“Aku tidak tahu, Tea. Kita baru akan tahu maknanya nanti setelah kita bisa melewatinya. Tapi…”
Aku menelan liur dan mengalihkan pandangan.
“…” Tea malah semakin mendongak menungguku melanjutkan ucapan. Sebisa mungkin aku mengatur nafas agar Tea tidak merasakan detak jantungku yang berdegup tak beraturan.
“… tergantung bagaimana kita menyikapinya sekarang ini. Peristiwa pahit ini akan menjadi trauma di masa depan kalau kita hanya melihat sisi gelapnya, tetapi bisa juga menjadi kisah indah ketika kita menjalani dengan ikhlas.”
“Allee…” lirinya terdengar begitu lembut, lebih berupa desahan.
Senyum Tea terpulas, pucat wajahnya perlahan pudar. Kami bukan hanya bertatapan, tetapi jarak wajah kami semakin dekat. Sorot matanya nampak sedikit redup. Sepertinya ia menggigit kecil bagian dalam bibirnya.
Ada magnet. Ada energi. Ada rasa. Aku abai pada virus yang sedang bersemayam dalam tubuhnya, begitu pula Tea. Tanpa minta persetujuan, perlahan aku merunduk. Sangat perlahan, tapi sebaliknya dadaku berdebar kencang.
Kecupan kudaratkan pada kening Tea. Gadis itu memejamkan mata, kurasakan pelukannya semakin erat. Gumpalan kenyal payudaranya bergerak seiring sesak nafas yang ia tahan.
Ciuman kedua kulakukan. Masih pada tempat yang sama, tetapi tidak langsung kulepaskan. Bibirku betah mendarat pada halus keningnya.
“Alle..”
“Tea..”
Bisik kami bersamaan. Mata Tea kembali terbuka, sorotnya sayu. Bibirnya sedikit terbuka untuk memberi ruang nafas. Hangat. Rasa sayangku tiba-tiba tercurah.
Aku merunduk, Tea tercekat. Aku mendekat, Tea menahan nafas. Aku memiringkan wajah, ia miring ke arah sebaliknya.
Cuuupp!!
Bukan kecupan lembut, melainkan sebuah lumatan panas. Kutahan kepala belakang Tea, sedangkan ia malah menangkup kedua pipiku. Ciuman ini bukan nafsu, tetapi seperti cumbuan rindu.
Bererapa lumatan panas kami lakukan, saling melilit lidah kemudian.
“Mmmmh…” Tea melepaskan gerah gairahnya, membuat ciumanku semakin dalam dan panas.
Permukaan lidah kami saling menyapu, dan menghisap pada ujung basahnya. Sekali-kali kuhisap juga bibir bawahnya, ia melakukan hal yang sama setelahnya.
Degh!!
Aku kaget ketika Tea tiba-tiba melepaskan ciuman dan mendorong pipiku agar menjauh. Aku tidak rela ciuman ini berakhir, tetapi juga takut kalau Tea sadar bahwa ini salah dan berbalik marah.
Aku menatap Tea dengan jantung berdebar. Pun pula ia menatapku dengan nafas tersengal. Dan… aku gelagapan. Tea tiba-tiba mencumbu kembali, lebih panas, lebih bergairah. Sedetik kemudian aku langsung membalas, takutku hilang, larut dan hanyut dalam kenikmatan.
Kepala kami sekali-kali saling berputar untuk memperdalam cumbuan. Tangan Tea meremas rambut belakangku, sedangkan usapanku pada punggungnya mulai turun ke arah pinggul.
“Shhh….” Tea mendesah resah.
Terdengar erotis dan semakin membangkitkan gairah. Panas dan panas.. batas kasih sayang dan nafsu menjadi tidak jelas. Bahkan aku tidak tahu arti semuanya ini, hubunganku dan Tea tanpalah status.
Tea sedikit mengejang ketika aku meremas bongkahan pinggulnya yang seksi dan kenyal, juluran lidahnya sedikit tegang.
“Mhhh…. Gas, aku kangen banget, sayang.”
Degh!!
Harga diriku terasa dijatuhkan. Ia membayangkan Bagas dibalik cumbuan panasnya. Aku ingin marah, tapi aku tidak punya hak untuk itu. Aku sakit hati dan mengutuki diri. Aku terlalu melibatkan perasaan, padahal Tea hanya butuh pelampiasan.
Langsung kudorong tubuh Tea. Aku sungguh tersinggung, marah, dan bahkan cemburu. Tea sendiri seolah sadar akan apa yang sudah kami lakukan.
Plaaak!!!
Tamparan keras kudapatkan.
*
*
*
Hari-hariku suram. Sudah tiga hari Bu Sukma tidak mau bertemu denganku. Sepertinya peristiwa malam itu cukup membuatnya terpukul. Aku sudah menjadi lelaki ‘terlarang’ yang mencumbu jatah suaminya. Hal yang sama terjadi dengan Tea. Sekalipun kami hanya dipisahkan sebuah dinding, tapi ia tidak mau lagi berjumpa. Jangankan bertemu, berbicara pun tidak mau.
Malam itu, di malam yang sama, seolah menjadi peristiwa laknat yang semua kesalahannya ditimpakan padaku. Kami pernah sama-sama terbuai, sama-sama hanyut dan menikmati, namun kemudian aku yang dijauhi dan diasingkan. Kini temanku di gedung ini hanyalah Bu Yasinta. Ia masih rutin datang ke kamarku, itu pun bukan melulu demi aku. Ia datang sekedar transit untuk mengantarkan makanan Tea. Ia datang untuk merokok. Ia datang hanya untuk meminjam kamar dan mendesah-desah sendirian.
Kupret!!!
Bu Yasinta tahu bahwa hubunganku dengan Bu Sukma dan Tea sudah renggang. Ia berusaha mencari jawabannya. Setelah terus didesak, akhirnya aku tidak menutupinya. Kuceritakan semuanya pada Bu Yasinta dengan syarat wanita itu harus bersikap seolah tidak tahu. Inginku, Bu Yasinta juga mendengar sendiri dari versi Bu Sukma dan Tea sendiri. Sepertinya Bu Sukma dan Tea sendiri belum mau terbuka pada Bu Yasinta. Aku bersedia untuk menyelesaikan masalah atas inisiatif Bu Yasinta, tapi baik Bu Sukma maupun Tea selalu menolak.
Bangke!!!
Pada titik puncak kesalku, aku tidak lagi mau peduli dan memikirkannya. Kalau mau jujur, merekalah yang menumpang, dan aku adalah tuan rumah walaupun gedung ini bukan milikku. Aku sudah lebih lama di sini. Aku bersedia membantu, tapi jika mereka tidak butuh ya untuk apa aku memaksa. Aku sudah tidak peduli.
Siang ini aku bersantai sambil menikmati secangkir kopi. Aku baru saja membersihkan kamar. Rasa tidak peduliku membuat bebanku berkurang, tidak lagi dipenuhi rasa marah dan kecewa. Cemburuku juga hilang, Tea bukanlah siapa-siapaku.
Aku beranjak ketika mendengar ketukan pada pintu. Bu Yasinta datang membawa kantong plastik berisi makan siang untuk Tea. Tetapi yang mengejutkan, ia tidak sendirian. Ada Bu Sukma di belakangnya.
“Bu..” aku langsung menyapa Bu Sukma dengan sedikit grogi.
Bu Yasinta sendiri nyelonong masuk dan langsung menuju balkon.
Bu Sukma tidak menjawab, selain mengangguk dan tersenyum kecut. Lalu aku mempersilakannya masuk dan duduk di atas sofa. Bu Sukma menunduk untuk menghindari bertatapan denganku, sedangkan aku berpaling keluar. Terdengar Bu Yasinta sedang berbicara dengan Tea.
Aku bernafas lega ketika Bu Yasinta masuk dan ikut duduk di antara kami, setidaknya aku bisa mengurai kekakuan.
“Ini buat kamu, Le. Bu Sukma yang masak loh.” Bu Yasinta menyodorkan kotak tupperware.
“Makasih, Bu. Makasih, Bu Sukma.” ujarku sambil melihat ke arah mereka bergantian. Keduanya tersenyum, bedanya yang satu nampak gembira, yang satu masih kikuk.
“Makanlah.” perintah Bu Yasinta.
Kubuka isi kotak, aroma nasi goreng langsung tercium dan menggugah selera. Aku langsung makan diselingi obrolan ringan antara aku dengan Bu Yasinta, atau antara Bu Yasinta dengan Bu Sukma.
Untung masakannya sangatlah lezat sehingga aku bisa fokus pada makanan. Aku pun makan dengan lahap, sudah sangat lama tidak menikmati masakan Indo yang lezat seperti ini. Bu Yasinta meledekku, Bu Sukma tertawa kecil. Suasana pun perlahan tapi pasti mulai cair.
Bu Sukma malah berjingkat menuju kulkas dan mengambilkan botol minum untukku.
“Makasih, Bu.” dengan mulut penuh.
“Hahahaa…” Bu Sukma dan Bu Yasinta menertawakan ulahku.
Fix. Suasana pun langsung cair. Aku cengengesan sambil meneruskan makan. Nasi goreng yang lezat pun terasa semakin nikmat seiring berubahnya suasana yang tadi kaku.
“Gini.. kalian sudah sama-sama dewasa, jadi tidak seharusnya diem-dieman. Semua masalah ada jalan keluarnya, semua kesalahan bisa diperbaiki kalau mau terbuka.” Bu Yasinta mengawali percakapan yang lebih serius di akhir makanku. Sikapnya cukup berwibawa layaknya seorang boss.
Kini aku mengerti kenapa mereka berdua datang. Rupanya Bu Yasinta berhasil membujuk Bu Sukma untuk menyelesaikan masalahnya denganku.
Bu Yasinta mengaku bahwa Bu Sukma sudah bercerita apa adanya, dan itu diamini anggukan Bu Sukma dengan pipi sedikit memerah. Aku diam menyimak sambil sekali-kali melirik Bu Sukma.
“Sekarang tidak ada lagi rahasia di antara kita. Bu Sukma sudah cerita semua tentang kejadian yang kalian alami malam itu. Saya juga sudah terbuka tentang kehidupan pribadi saya, dan juga alasan saya sering-sering datang ke apartemenmu.” lanjut Bu Yasinta.
“Bu Sukma, saya minta maaf atas sikap saya malam itu.” ujarku.
“Ibu juga minta maaf, Le. Beberapa hari ini ibu menghindar dari kamu bukan karena ibu benci kamu, tapi karena ibu merasa bersalah.” ujarnya.
“Nah kalau gini kan enak, kalian tuh kayak anak kecil aja.” sahut Bu Yasinta.
Kami pun terkekeh. Aku bernafas lega karena kebekuan relasiku dengan Bu Sukma kembali cair, entahlah nanti dengan Tea, apakah bisa kembali seperti semula atau tidak. Itu nanti saja. Kini perutku kenyang, beban hatiku perlahan terurai.
Obrolan selanjutnya mengalir seperti semula, sekali-kali dipenuhi canda tawa. Aku dan Bu Yasinta sambil merokok, dan Bu Sukma tidak keberatan.
Selain perjalanan kariernya yang terus menanjak, tak jarang juga Bu Yasinta juga mengungkapkan masalah keluarganya, kemarahannya, dan juga kesepiannya. Hal ini memancing Bu Sukma untuk juga bercerita. Tampaknya ia sudah merasa nyaman dan percaya pada kami berdua.
Mereka adalah dua wanita dari dunia batin yang berbeda. Bu Yasinta sukses dalam karier, tetapi keluarganya mendekati karam. Kepuasan seksual ia dapatkan dengan cara memuaskan diri sendiri disertai dengan fantasi-fantasinya. Bu Sukma lain cerita. Kariernya sukses, keluarganya harmonis, tapi ia minim mendapatkan kepuasan bercinta di atas ranjang.
Yeah.. setiap orang mempunyai kegembiraan yang berbeda, juga masalah yang tak pernah sama. Apapun itu, kami tak lagi sungkan saling mencari kelegaan dengan saling berbagi kisah kehidupan masing-masing. Di pihakku, aku juga mempercayakan kisah hidupku pada mereka berdua. Kuceritakan tentang hidupku, keluargaku, jatuh-bangunku berada di negeri orang, dan menjalani itu semua tanpa kekasih.
Hari pun semakin sore, dan kami masih enggan meninggalkan kebersamaan. Kami bertiga bagaikan sahabat baru, meski tentu saja aku memiliki rentang usia yang cukup jauh dengan mereka.
Bungkusan cemilan aku keluarkan, dan Bu Sukma menikmatinya sambil rebahan di sofa panjang. Bu Yasinta sudah mengeluarkan Blue Label dari dalam lemari yang ia beli beberapa hari yang lalu, beberapa botol beer juga ia letakan di atas meja. Bu Sukma penasaran dan ingin mencicipi, tapi Bu Yasinta melarang keras. “Memulai itu semudah memasukan dildo ke dalam vagina, namun mengakhirinya sesulit kamu (Bu Sukma) mendapatkan orgasme,” ujarnya pada Bu Sukma, dan kami pun tertawa.
Efek alkohol membuat Bu Yasinta semakin tanpa beban. Ia bicara apa adanya dan bahkan vulgar. Tak malu menyebut ‘vagina’, ‘kontol’, dan segala hal yang berkaitan dengan titik-titik erotik. Ia juga bercerita tentang tipe laki-laki yang sering ia fantasikan saat masturbasi, dan bahkan area-area sensitifnya yang bisa membuatnya cepat terangsang. Namun perlu dicatat, ia tidak sedang mabuk.
Bu Sukma nampak jengah, namun juga menikmati kekonyolan rekan kerjanya itu. Mukanya sering memerah karena malu, namun juga tertawa terbahak mendengar hal jorok yang keluar dari mulut Bu Yasinta.
Setengah enam sore Bu Sukma pamit untuk mandi, tetapi Bu Yasinta meminta pulang duluan. Ia ingin mandi duluan karena merasa gerah, mungkin karena efek alkohol. Diputuskan Bu Yasinta yang mandi duluan, sedangkan Bu Sukma tetap tinggal. Kami memutuskan untuk masak makan malam di apartemenku.
Bu Sukma mengeluarkan bahan masakan dari dalam kulkas, sementara aku membereskan ruangan yang kotor oleh kulit kacang dan remah-remah keripik.
“Masak apa, Bu?” seusai melakukan pekerjaanku, aku mendekati Bu Sukma.
“Sup daging.”
Aku bersemangat membantunya, dan menyediakan apa yang ia butuhkan.
“Makasih, ya Bu, ibu sudah tidak marah lagi. Aku juga minta maaf atas kejadian malam itu.” ujarku sambil membuka bungkusan daging yang beku karena baru dikeluarkan dari dalam freezer.
“Kok minta maaf lagi? Sudahlah tidak usah dibahas lagi.” ujarnya. Tidak ada ekspresi marah pada wajahnya, senyumnya terpulas indah.
Bu Sukma memang memintaku untuk tidak membahasnya kembali, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kami bernostalgia. Keseruan malam itu kami kenang kembali sambil diselingi tawa. Sebuah peristiwa mendebarkan yang akan selalu ia kenang. Ia sendiri tertawa ketika membayangkan seandainya kami tertangkap polisi malam itu.
Tik tok tik tok.
Pada titik tertentu kami kehabisan bahan cerita. Kami menyiapkan masakan sambil saling diam.
Aku melirik, ia pun sama. Kami berpaling, begitu juga dia. Sekali-kali lengan kami bersentuhan, saling menatap sebentar, lalu melanjutkan pekerjaan. Terus terulang.. dan kami tertawa. Entah berbicara ataupun diam, rasanya cukup lucu dan menggelikan.
“Boleh ibu jujur?” ia pada akhirnya.
“Jujur apa, Bu?”
“Sebenarnya selama ini ibu menjauh bukan karena marah ke kamu, tapi…”
“Tapi?”
“Karena ibu merasa bersalah pada suami ibu.”
“Iya, tadi kan ibu sudah bilang. Maaf, ya Bu.”
“Tuh kan minta maaf lagi. Bukan hanya itu…”
“…” aku berbalik menghadap ke arah Bu Sukma.
Kupandang paras ayunya yang bersemu merah, sementara ia berusaha menghindari tatapan mataku.
“Ibu memang merasa bersalah, tapi.. tapi.. eh kamu jangan bilang Bu Yasinta ya…”
“Iya, Bu. Apa?”
“Ibu memikirkannya.”
Usai berkata begitu, kedua pipi Bu Sukma langsung merah padam. Aku mengernyit heran dan tetap menatapnya untuk menunggu jawaban.
“Maksud ibu?” karena tak kunjung mendapat penjelasan, aku mendesaknya.
“Mmmm… memikirkan ciuman itu.”
Degh!
“Mmaksud ibu…” gantian aku yang tergagap sesaat. “Maksud ibu, ibu menikmatinya dan ibu takut terulang gitu? Atau…?”
“Iih Alleee.. kok malah dipertegas sih?!”
Ia cemberut. Pipinya masih merah. Lalu melengos. Aku tahu marahnya hanya dibuat-buat, sekedar menutupi rasa malu.
Pengakuan Bu Sukma membuat perasaanku berdesir, biar bagaimana pun aku sering memikirkan kelembutan bibir dan lidahnya.
“Yaa kalau boleh jujur, aku juga sering memikirkannya, kok Bu. Aku juga mau jujur, sebenarnya ciuman terakhir kita, aku sengaja melakukannya, bukan pura-pura.”
“Iya, ibu tahu! Dasar kamu..!!”
Ia mendelik sambil mencubit lenganku, padahal tangannya belepotan bumbu.
“Heheh… kok ibu bisa tahu?”
“Ya tahulah… beda…”
“Beda gimana?”
“Haish kamu tuh.. malah dibahas.. sudah-sudah…” ia kembali cemberut sambil meneruskan pekerjaannya.
“Tolong ambilkan pisau, Bu.” aku menunjuk ke sisi kanannya.
Ia pun sedikit membelakangiku. Segera aku merunduk dan mendekatkan wajahku, begitu ia kembali…
Cuuup!!
Pipinya mengenai bibirku yang memang sudah kuposisikan.
“Allee…!!”
Ia melotot kaget, tapi tidak nampak marah.
“Biar gak kepikiran lagi.” ujarku seolah tanpa dosa.
“Kamu!!”
Sikapnya berubah layaknya gadis belia yang sedang jatuh cinta. Ada senyum tersembunyi di balik gurat manis keibuannya. Ada binar gembira dibalik setiap delikan dan pelototannya.
Merasa ia tidak marah, aku semakin berani dan tidak lagi mencari-cari kesempatan. Kutunjukan kalau memang aku ingin menciumnya, dan ia selalu punya cara untuk menghindar. Berkelit bukan dalam kemarahan, tapi sambil tertawa manja. Ia seperti merpati yang menghendaki, tapi masih malu melakukannya.
Acara masak pun berubah menjadi penuh canda mesra. Kami bagaikan pasangan sejoli yang sedang digandrung asmara. Memang ia belum mau memberikan pipinya untuk kucium, tetapi ia tidak menghindar ketika aku dengan sengaja menyentuh lengannya.
“Alle, jangan ah.” tolaknya ketika aku mulai nekad memeluknya dari belakang. Ia sedang mencuci beras.
Itu penolakan ucap, tubuhnya sama sekali tak menghentak. Ia tetap melanjutkan mencuci, dan daguku menumpang pada pundaknya. Sekali-kali pipi kami menempel.
Kami harus mengakhiri kemesraan ketika terdengar ketukan pada pintu. Bu Yasinta datang. Wajahnya nampak segar dan hanya dipulas makeup tipis. Tubuh seksinya juga terpamer karena hanya mengenakan celana kain setengah lutut dan atasan baju bertali.
Dua wanita itu pun bergantian peran. Bu Yasinta melanjutkan memasak, dan Bu Sukma pamit untuk mandi. Bedanya, Bu Yasinta tidak mau kubantu.
Sebelum melangkah menuju pintu, aku dan Bu Sukma bertatapan berbagi senyum. Bu Yasinta sedang membelakagi kami.
Cuuuup!!
Tiba-tiba bibir lembut Bu Sukma mengecup pipiku, dan ia langsung berjingkat pergi, seperti malu dan tak mau melihat ke belakang lagi. Rasanya aku ingin mengejar dan memeluk pinggangnya dari belakang, tapi aku hanya terdiam sambil mengusap bekas ciumannya.
Bersambung….