- Daftar
- 11 Apr 2012
- Post
- 455
- Like diterima
- 719
Aku mempunyai sebuah keluarga kecil yang bahagia, aku merasa kami adalah salah satu keluarga paling bahagia di dunia ini. Istri cantik, dan gadis kecil yang cantiknya tak kalah dari ibunya. Aku adalah perantau yang hidup berkecukupan di kota besar Jakarta. Bekerja di salah satu perusahaan ternama di bidangnya, dan aku pun menikmati hasil yang ku kerjakan. Aku merasa adalah manusia yang sempurna melebihi superhero yang ku saksikan di TV sewaktu kecil. Hingga aku tak ingin kehilangan kebahagiaan sedikitpun dalam hidupku, sekecil apapun itu, aku tak ingin merasakan kesedihan.
Sampai suatu saat, aku mendengar kabar bahwa teman sekantorku bercerai dengan istrinya, padahal jika kulihat kehidupan keluarga temanku itu, mereka adalah keluarga yang tak kalah bahagianya---- sama sepertiku. Dan kini, keluarga temanku yang tadinya bahagia itu harus mengalami sisi pahit dalam hidupnya yang harus mereka kenang sampai nanti ajal menjemput mereka. Aku tidak tahu permasalahan apa yang menyebabkan mereka harus sampai berpisah, aku tidak perlu tahu, karena aku tidak ingin seperti itu.
Tapi kesedihan yang mereka alami berubah menjadi ketakutan dalam pikiranku, entahlah, semuanya datang begitu saja, hingga bayang-bayang kehancuran hidupku seakan-akan menggerogoti tulang ini hingga habis. Dalam beberapa hal, aku mulai kehilangan fokus. Aku tak bisa tidur nyenyak, aku menjadi lebih pendiam, dan aku mulai terlihat cuek. Termasuk keluargaku sendiri.
Aku menyadari itu semua, pekerjaan yang mulai melambat, hingga aku mendapat teguran dari Bos, lalu aku mulai sering berdebat dengan Istriku, dan aku menjadi lebih emosi saat aku tak bisa menunjukkan apa yang sedang kualami. Aku memilih untuk tidur agar bisa menenangkan pikiranku. Aku seakan ingin mencekam mimpiku sendiri.
Aku terbangun di pagi hari setelah semalaman aku bertengkar dengan Istriku, dari dalam kamar aku mendengar suara tawa yang riang di taman samping kamar. Aku berdiri menyingkirkan selimut tebal yang menutupi tubuhku, lalu berjalan kearah jendela dan membuka gorden bercorak bunga-bunga mawar. Sinar matahari menyongsong lembut ke arah mataku, dan aku dapat menyaksikan di luar sana, keceriaan yang sedang dilakukan oleh Istri dan Anakku. Mereka selalu terlihat bahagia, dan Istriku selalu bisa menutupi kekecewaannya pada diriku. Senyum keduanya begitu indah, ingin rasanya memeluk senyum itu. Aku tak ingin kehilangan mereka.
Hari itu aku libur dari kerjaku, karena Bos sebenarnya menyarankan aku untuk mengambil cuti setelah melihat kekalutan yang kualami, jadi aku memutuskan untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluargaku, agar bayang-bayang ketakutan ini hilang. Karena besok, aku dan keluarga kecilku ini akan berlibur ke kampung halamanku. Selain untuk menyegarkan pikiran dan menghabiskan waktu dengan Istri dan anakku, tentunya aku juga ingin bertemu dengan Ibuku yang sudah hampir tiga tahun ini belum sempat aku menengoknya.
"Morning, My Queen...," sapaku kepada gadis kecil yang bernama Mia Fritz.
"Hey, Daddy...,"ia membalas dengan suara lembut yang membuatku ingin terus mendengarnya di pagi hari.
"Mah, kau bisa membantuku membuatkan kopi?" kataku meminta tolong kepada Istriku, aku lalu menggendong Mia saat Istriku berjalan ke dapur tanpa menyapaku.
"Maaf...," ucapku pelan. Dan ia masih menghiraukanku.
Pagi itu kuhabiskan waktuku bersama Mia, walaupun Istriku Emily masih tidak mau bicara denganku, tapi aku tetap berusaha agar aku dapat mengembalikan senyum indahnya lagi.
Esoknya, pada jam delapan pagi, aku beserta keluargaku sudah berada di Bandara International Soekarno-Hatta, untuk penerbangan tujuan Jakarta-Manado. Tiga jam perjalanan, dan Istriku masih dalam keadaan menghukumku. Semoga ini bukan menjadi perjalanan yang paling menyedihkan dalam hidupku. Kalian tahu mengapa Istriku masih marah sampai saat ini? Ya, itu karena kebodohanku, yang menuduhnya telah berselingkuh dengan lelaki lain, tanpa bukti apapun. Jujur itu hanya buah kebodohan dari rasa ketakutanku. Dan aku sedang berusaha menghilangkannya, tapi aku tak tahu bagaimana caraku agar Istriku mau memaafkanku, mungkin nanti disana, setelah perjalanan ini, aku dapat menemukan cara meminta maaf kepadanya.
Hingga saat kami sudah berada di dalam pesawat, dan pesawat telah terbang, aku pun memutuskan untuk tidur sejenak, agar perjalanan ini dapat kurasakan lebih singkat.
Dalam tidurku, aku bermimpi buruk. Aku teringat saat aku memaki-maki Istriku, lalu setelah aku puas menuduhnya, aku pergi meninggalkannya, dan aku bertemu dengan mantan Istri temanku, hingga berakhir dengan sebuah perselingkuhan. Mimpi itu terasa nyata, aku seakan menikmati tubuh mantan Istri temanku itu, waktu berjalan terasa lambat, seakan mengizinkan kami untuk lebih saling memuaskan malam itu.
Dan saat percintaan itu semakin panas, aku melihat wajah Istriku di balik jendela sambil berteriak kepadaku. Dia begitu marah, sangat marah. Ia memukul-mukul kaca jendela hingga memberikan guncangan hebat di dalam hotel, aku ketakutan. dan saat itu juga, aku terbangun dari tidurku.
Keadaan pesawat yang saat berangkat terlihat tenang, kini mulai berisik karena teriakan panik para penumpang. Pesawat mengalami guncangan hebat. Aku melihat keluar dari jendela kecil. Cuaca mendung mengakibatkan hujan lebat, dan badai yang tak terduga. Aku melihat ke kursi disampingku, dan tidak mendapati Istri dan anakku, aku bertanya kepada orang-orang yang masih teriak-teriak ketakutan, dan itu adalah hal sia-sia yang kulakukan. Saat aku mencoba melangkah untuk mencari Istri dan anakku, guncangan pesawat melemparku. Aku terjatuh, pesawat ini akan jatuh. Dan aku belum menemukan dua orang yang teramat kucintai.
"Emil! Mia! Di mana kalian?!" teriakku sekencang-kencangnya. Dan aku sempat tersenyum saat dari kejauhan, aku melihat Emil yang sedang memeluk Mia, mengangkat tangannya yang meminta untuk kugapai.
Dan itu terlambat. Pesawat jatuh menabrak permukaan bumi, entah dimana, yang jelas kami tidak terjatuh di tengah laut. Kepalaku membentur benda keras yang membuatku berpikir inilah akhir kehidupanku, akhir kebahagiaan keluarga kecilku.
Aku terbangun saat air hujan membasahi wajahku, aku mengalami mimpi yang panjang. Saat ini aku berada di pinggir Danau besar di Tondano, Kampung halamanku. Langit mulai gelap, sepertinya sudah sore, dan hujan semakin deras. Aku masih dalam keadaan bingung, dan berdiri menatap tajam ke arah air hujan yang jatuh di tengah Danau. Mimpi apa yang baru ku alami. Kenapa mimpi itu begitu menakutkan, dan kenapa itu begitu tragis. Aku seperti telah mengalami kejadian itu. Tapi aku tidak bodoh, aku tahu itu mimpi. Sangat jelas itu mimpi, tapi?
"Lian! Ayo pulang, jangan sampai badai yang nanti menggendongmu!" teriak salah seorang warga kampung kepadaku.
Aku tak menjawabnya, aku hanya melambaikan tangan dan tersenyum kepadanya. Ia lalu kembali berlari bersama yang lain dan meninggalkan aku. Jika itu hanyalah mimpi, lalu mengapa saat ini. Disini. Aku tidak bersama Istri dan anakku.
"Kau sudah pulang?" tanya Pamanku saat aku sudah tiba di rumah panggung besar dengan keadaan basah kuyup. Ia tinggal bersama anak perempuan dan adik kandungnya. Ibuku.
"Mamah mana?" tanyaku.
"Masih di kebun, aku pulang sebelum hujan," jawabnya. "Lebih baik kau keringkan tubuhmu, ibumu sudah terbiasa dalam keadaan seperti ini, jadi kuyakin, ia bisa menjaga dirinya," jelasnya mencoba menenangkanku.
Aku pun menyetujuinya, dan tidak terlalu mengkhawatirkan keadaan ibuku, aku lebih mempertanyakan tentang apa yang baru saja kualami, mengapa mimpi itu datang, seperti memaksaku untuk mencoba mengingat yang sampai sekarang aku tak mengerti.
Aku segera mandi, lalu menghangatkan tubuhku di dalam kamar berdinding kayu. Teh hangat sudah ada di meja kamarku. Kuyakin Siska yang membuatnya. Anak perempuan Pamanku.
Aku terus membayangkan mimpi itu, tapi aku tak mendapatkan kesimpulan apapun. Hingga akhirnya aku memutuskan bertanya kepada pamanku.
"Paman," kataku memanggilnya. "Aku ingin bertanya sesuatu?" lanjutku.
"Apa?" jawab Pamanku dengan suara beratnya. Aku sempat berpikir untuk membatalkan niatku itu, karena aku yakin, Paman akan menganggapku aneh. Tapi....
"Kapan dan bersama siapa aku datang kesini?" tanyaku cepat, tanpa berani menatapnya.
"Hahahahaha! Kau sudah gila, Lian? Apa yang terjadi denganmu?" tepat dugaanku, pasti ia akan menganggap keponakannya ini gila.
"Tidak ada, aku hanya--, aku mengalami kejadian yang aneh, Paman!" jawabku terbata-bata.
"Apa itu?" jawabnya tegas. "Jelaskanlah!" pintanya.
"Aku bermimpi. Saat tadi siang aku tertidur di Danau, aku bermimpi buruk yang seolah-olah aku pernah mengalami kejadian itu, Paman!" kataku menjelaskan.
"Apa yang kau mimpikan?" tanyanya.
"Pesawat jatuh, entah dimana. Aku mati, begitupun Istri dan anakku...." aku mulai sedikit menjelaskan.
"Lalu siapa yang berbicara padaku, sekarang?" tanyanya lebih tegas dari sebelumnya. Matanya memandangku dengan cara yang aneh.
"Mungkin hantu." jawabku pelan.
"Hahahahaha!" ia kembali menertawakanku. "Kau becanda, Lian. Apa kau tidak ingat tujuanmu datang kesini?"
"Hilang. Mimpi itu menelan ingatanku," ucapku.
"Kau datang kesini, karena kau ingin menjernihkan pikiranmu pasca kegagalan pernikahanmu dengan Istrimu, kau begitu stress saat datang kesini, memeluk ibumu seperti anak kecil yang kehilangan mainannya," ia lebih gila, dan jelas kalau Paman sedang mengajakku becanda.
"Hahaha-" kini aku yang tertawa. "Kau becanda, Paman."
Sampai suatu saat, aku mendengar kabar bahwa teman sekantorku bercerai dengan istrinya, padahal jika kulihat kehidupan keluarga temanku itu, mereka adalah keluarga yang tak kalah bahagianya---- sama sepertiku. Dan kini, keluarga temanku yang tadinya bahagia itu harus mengalami sisi pahit dalam hidupnya yang harus mereka kenang sampai nanti ajal menjemput mereka. Aku tidak tahu permasalahan apa yang menyebabkan mereka harus sampai berpisah, aku tidak perlu tahu, karena aku tidak ingin seperti itu.
Tapi kesedihan yang mereka alami berubah menjadi ketakutan dalam pikiranku, entahlah, semuanya datang begitu saja, hingga bayang-bayang kehancuran hidupku seakan-akan menggerogoti tulang ini hingga habis. Dalam beberapa hal, aku mulai kehilangan fokus. Aku tak bisa tidur nyenyak, aku menjadi lebih pendiam, dan aku mulai terlihat cuek. Termasuk keluargaku sendiri.
Aku menyadari itu semua, pekerjaan yang mulai melambat, hingga aku mendapat teguran dari Bos, lalu aku mulai sering berdebat dengan Istriku, dan aku menjadi lebih emosi saat aku tak bisa menunjukkan apa yang sedang kualami. Aku memilih untuk tidur agar bisa menenangkan pikiranku. Aku seakan ingin mencekam mimpiku sendiri.
*****
Aku terbangun di pagi hari setelah semalaman aku bertengkar dengan Istriku, dari dalam kamar aku mendengar suara tawa yang riang di taman samping kamar. Aku berdiri menyingkirkan selimut tebal yang menutupi tubuhku, lalu berjalan kearah jendela dan membuka gorden bercorak bunga-bunga mawar. Sinar matahari menyongsong lembut ke arah mataku, dan aku dapat menyaksikan di luar sana, keceriaan yang sedang dilakukan oleh Istri dan Anakku. Mereka selalu terlihat bahagia, dan Istriku selalu bisa menutupi kekecewaannya pada diriku. Senyum keduanya begitu indah, ingin rasanya memeluk senyum itu. Aku tak ingin kehilangan mereka.
Hari itu aku libur dari kerjaku, karena Bos sebenarnya menyarankan aku untuk mengambil cuti setelah melihat kekalutan yang kualami, jadi aku memutuskan untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluargaku, agar bayang-bayang ketakutan ini hilang. Karena besok, aku dan keluarga kecilku ini akan berlibur ke kampung halamanku. Selain untuk menyegarkan pikiran dan menghabiskan waktu dengan Istri dan anakku, tentunya aku juga ingin bertemu dengan Ibuku yang sudah hampir tiga tahun ini belum sempat aku menengoknya.
"Morning, My Queen...," sapaku kepada gadis kecil yang bernama Mia Fritz.
"Hey, Daddy...,"ia membalas dengan suara lembut yang membuatku ingin terus mendengarnya di pagi hari.
"Mah, kau bisa membantuku membuatkan kopi?" kataku meminta tolong kepada Istriku, aku lalu menggendong Mia saat Istriku berjalan ke dapur tanpa menyapaku.
"Maaf...," ucapku pelan. Dan ia masih menghiraukanku.
Pagi itu kuhabiskan waktuku bersama Mia, walaupun Istriku Emily masih tidak mau bicara denganku, tapi aku tetap berusaha agar aku dapat mengembalikan senyum indahnya lagi.
*****
Esoknya, pada jam delapan pagi, aku beserta keluargaku sudah berada di Bandara International Soekarno-Hatta, untuk penerbangan tujuan Jakarta-Manado. Tiga jam perjalanan, dan Istriku masih dalam keadaan menghukumku. Semoga ini bukan menjadi perjalanan yang paling menyedihkan dalam hidupku. Kalian tahu mengapa Istriku masih marah sampai saat ini? Ya, itu karena kebodohanku, yang menuduhnya telah berselingkuh dengan lelaki lain, tanpa bukti apapun. Jujur itu hanya buah kebodohan dari rasa ketakutanku. Dan aku sedang berusaha menghilangkannya, tapi aku tak tahu bagaimana caraku agar Istriku mau memaafkanku, mungkin nanti disana, setelah perjalanan ini, aku dapat menemukan cara meminta maaf kepadanya.
Hingga saat kami sudah berada di dalam pesawat, dan pesawat telah terbang, aku pun memutuskan untuk tidur sejenak, agar perjalanan ini dapat kurasakan lebih singkat.
Dalam tidurku, aku bermimpi buruk. Aku teringat saat aku memaki-maki Istriku, lalu setelah aku puas menuduhnya, aku pergi meninggalkannya, dan aku bertemu dengan mantan Istri temanku, hingga berakhir dengan sebuah perselingkuhan. Mimpi itu terasa nyata, aku seakan menikmati tubuh mantan Istri temanku itu, waktu berjalan terasa lambat, seakan mengizinkan kami untuk lebih saling memuaskan malam itu.
Dan saat percintaan itu semakin panas, aku melihat wajah Istriku di balik jendela sambil berteriak kepadaku. Dia begitu marah, sangat marah. Ia memukul-mukul kaca jendela hingga memberikan guncangan hebat di dalam hotel, aku ketakutan. dan saat itu juga, aku terbangun dari tidurku.
Keadaan pesawat yang saat berangkat terlihat tenang, kini mulai berisik karena teriakan panik para penumpang. Pesawat mengalami guncangan hebat. Aku melihat keluar dari jendela kecil. Cuaca mendung mengakibatkan hujan lebat, dan badai yang tak terduga. Aku melihat ke kursi disampingku, dan tidak mendapati Istri dan anakku, aku bertanya kepada orang-orang yang masih teriak-teriak ketakutan, dan itu adalah hal sia-sia yang kulakukan. Saat aku mencoba melangkah untuk mencari Istri dan anakku, guncangan pesawat melemparku. Aku terjatuh, pesawat ini akan jatuh. Dan aku belum menemukan dua orang yang teramat kucintai.
"Emil! Mia! Di mana kalian?!" teriakku sekencang-kencangnya. Dan aku sempat tersenyum saat dari kejauhan, aku melihat Emil yang sedang memeluk Mia, mengangkat tangannya yang meminta untuk kugapai.
Dan itu terlambat. Pesawat jatuh menabrak permukaan bumi, entah dimana, yang jelas kami tidak terjatuh di tengah laut. Kepalaku membentur benda keras yang membuatku berpikir inilah akhir kehidupanku, akhir kebahagiaan keluarga kecilku.
*****
Aku terbangun saat air hujan membasahi wajahku, aku mengalami mimpi yang panjang. Saat ini aku berada di pinggir Danau besar di Tondano, Kampung halamanku. Langit mulai gelap, sepertinya sudah sore, dan hujan semakin deras. Aku masih dalam keadaan bingung, dan berdiri menatap tajam ke arah air hujan yang jatuh di tengah Danau. Mimpi apa yang baru ku alami. Kenapa mimpi itu begitu menakutkan, dan kenapa itu begitu tragis. Aku seperti telah mengalami kejadian itu. Tapi aku tidak bodoh, aku tahu itu mimpi. Sangat jelas itu mimpi, tapi?
"Lian! Ayo pulang, jangan sampai badai yang nanti menggendongmu!" teriak salah seorang warga kampung kepadaku.
Aku tak menjawabnya, aku hanya melambaikan tangan dan tersenyum kepadanya. Ia lalu kembali berlari bersama yang lain dan meninggalkan aku. Jika itu hanyalah mimpi, lalu mengapa saat ini. Disini. Aku tidak bersama Istri dan anakku.
"Kau sudah pulang?" tanya Pamanku saat aku sudah tiba di rumah panggung besar dengan keadaan basah kuyup. Ia tinggal bersama anak perempuan dan adik kandungnya. Ibuku.
"Mamah mana?" tanyaku.
"Masih di kebun, aku pulang sebelum hujan," jawabnya. "Lebih baik kau keringkan tubuhmu, ibumu sudah terbiasa dalam keadaan seperti ini, jadi kuyakin, ia bisa menjaga dirinya," jelasnya mencoba menenangkanku.
Aku pun menyetujuinya, dan tidak terlalu mengkhawatirkan keadaan ibuku, aku lebih mempertanyakan tentang apa yang baru saja kualami, mengapa mimpi itu datang, seperti memaksaku untuk mencoba mengingat yang sampai sekarang aku tak mengerti.
Aku segera mandi, lalu menghangatkan tubuhku di dalam kamar berdinding kayu. Teh hangat sudah ada di meja kamarku. Kuyakin Siska yang membuatnya. Anak perempuan Pamanku.
Aku terus membayangkan mimpi itu, tapi aku tak mendapatkan kesimpulan apapun. Hingga akhirnya aku memutuskan bertanya kepada pamanku.
"Paman," kataku memanggilnya. "Aku ingin bertanya sesuatu?" lanjutku.
"Apa?" jawab Pamanku dengan suara beratnya. Aku sempat berpikir untuk membatalkan niatku itu, karena aku yakin, Paman akan menganggapku aneh. Tapi....
"Kapan dan bersama siapa aku datang kesini?" tanyaku cepat, tanpa berani menatapnya.
"Hahahahaha! Kau sudah gila, Lian? Apa yang terjadi denganmu?" tepat dugaanku, pasti ia akan menganggap keponakannya ini gila.
"Tidak ada, aku hanya--, aku mengalami kejadian yang aneh, Paman!" jawabku terbata-bata.
"Apa itu?" jawabnya tegas. "Jelaskanlah!" pintanya.
"Aku bermimpi. Saat tadi siang aku tertidur di Danau, aku bermimpi buruk yang seolah-olah aku pernah mengalami kejadian itu, Paman!" kataku menjelaskan.
"Apa yang kau mimpikan?" tanyanya.
"Pesawat jatuh, entah dimana. Aku mati, begitupun Istri dan anakku...." aku mulai sedikit menjelaskan.
"Lalu siapa yang berbicara padaku, sekarang?" tanyanya lebih tegas dari sebelumnya. Matanya memandangku dengan cara yang aneh.
"Mungkin hantu." jawabku pelan.
"Hahahahaha!" ia kembali menertawakanku. "Kau becanda, Lian. Apa kau tidak ingat tujuanmu datang kesini?"
"Hilang. Mimpi itu menelan ingatanku," ucapku.
"Kau datang kesini, karena kau ingin menjernihkan pikiranmu pasca kegagalan pernikahanmu dengan Istrimu, kau begitu stress saat datang kesini, memeluk ibumu seperti anak kecil yang kehilangan mainannya," ia lebih gila, dan jelas kalau Paman sedang mengajakku becanda.
"Hahaha-" kini aku yang tertawa. "Kau becanda, Paman."