praharabuana
Guru Besar Semprot
Maruyama Kōen, Kyoto, April 2009
“Sejujurnya, aku ingin tetap di sini, denganmu,” bisikku di telinga kirinya. “Tapi, aku tahu, itu tidak mungkin.”
“Aku juga menginginkan hal serupa,” balasnya, sambil tersenyum. “Tapi, jika kamu tetap di sini, aku tidak akan mendapatkan apa-apa.”
“Aku mengerti,” ucapku disertai anggukan kepala. “Tadi itu... hanyalah sekadar keinginanku, yang tak perlu diwujudkan.”
“Sabar, ya,” tanggapnya. “Sepuluh tahun itu...”
“Lama,” potongku. “Tapi, biarlah kita menunggu lama, sepuluh tahun, demi kebahagiaan yang kelak akan kita dapatkan setelahnya.”
Ia tersenyum.
“Sepuluh tahun lagi, kita berjumpa,” sambungku. “Di sini, di bawah naungan pohon sakura. Merayakan kembali kebersamaan kita.”
juunengo ni mata aou
kono basho de matteru yo
ima yori mo motto kagayaite...
(Let's meet again 10 years from now
I'll be waiting here
Shining brighter than I do right now...)
- AKB48 – 10nen Zakura –
kono basho de matteru yo
ima yori mo motto kagayaite...
(Let's meet again 10 years from now
I'll be waiting here
Shining brighter than I do right now...)
- AKB48 – 10nen Zakura –
+ + + + + + + + +
+ + + + + +
+ + + + + +
Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Januari 2018
“Ibu rindu Inaya,” gumam Ibu.
Hesti tersenyum. “Tahun depan Inaya pulang ke Indonesia, Bu.”
“Rasanya tidak sabar, harus menunggu dia pulang, setahun lagi,” ujar Ibu. “Tapi, apa mau dikata? Ibu hanya bisa menunggu.”
Hesti mengangguk.
“Untung ada kamu, Nak,” sambung Ibu. “Kalau kamu tidak ada, entah bagaimana nasib Ibu sepeninggal Bapak.”
Hesti kembali tersenyum, kali ini disertai semburat sendu pada sungging senyumnya tersebut. “Andai tidak ada aku, pasti ada orang lain yang akan memerhatikan Ibu.”
“Ibu tahu,” tanggap Ibu. “Tapi, adakah orang yang sudi memerhatikan Ibu, layaknya kamu memerhatikan Ibu?”
Lagi-lagi, Hesti tersenyum.
“Kamu memang anak baik,” lanjut Ibu. “Pantas jika Inaya menyayangimu.”
“Inaya juga baik, Bu,” timpal Hesti. “Karenanya aku nyaman berdekatan dengannya.”
“Kalau tidak karena dekat dengan Inaya, mungkin kamu tidak akan mau menemani Ibu, ya?” tebak Ibu.
Hesti hanya tertawa kecil.
Ketika Bapak meninggal, Inaya sudah bermukim di Jepang selama enam tahun. Kontrak kerja yang mengikat memaksa Inaya untuk bertahan di sana, tidak boleh pulang hingga empat tahun berikutnya, meski untuk alasan melayat ayahnya yang meninggal.
Hesti-lah yang menjadi ‘penghubung’ antara Inaya dan ibunya. Ibu yang gagap teknologi, tidak mampu berkomunikasi lewat dunia maya. Padahal, dunia maya itulah satu-satunya media yang mumpuni untuk dapat tetap menjaga komunikasi dengan seseorang nun jauh di seberang samudera.
Beruntung, Hesti selalu siap membantu Ibu dan Inaya. Kapan pun Inaya menghubunginya, untuk kemudian disambungkan dengan Ibu, Hesti akan siap sedia. Selain bertetangga, kedekatan antara dirinya dan Inaya membuat hal tersebut menjadi tidak terlalu sulit untuk dilakukan.
+ + + + + + + + +
+ + + + + +
+ + + + + +
Minato-ku, Tokyo, di hari yang sama,
Stres yang dialami orang-orang dari kelas pekerja, adalah hal yang wajar di Jepang. Hasil kerja yang harus sempurna, jam kerja yang terkadang panjang, hingga kurangnya waktu untuk refreshing, menjadi tiga hal saling berkaitan yang dialami para pekerja, dan jelas akan memicu stres.
Dulu, Inaya tidak mau memercayai fenomena itu. Yang ada di benaknya, Jepang adalah surga. Belakangan, setelah mulai bermukim dan mencari uang di Negeri Matahari Terbit tersebut, Inaya tahu bahwa yang berpendapat Jepang adalah surga, hanyalah para pelancong mancanegara.
Jepang menjadi surga bagi para pencari destinasi wisata. Namun tidak bagi para pencari harta.
Petang ini, sepulang kerja, di kepala Inaya terbersit niat untuk mencari pelarian atas stres yang membelitnya. Sekadar tekanan akibat pekerjaan, bukan yang lain. Sepanjang yang disadarinya, Inaya tidak memiliki masalah di luar pekerjaan, yang berpotensi membuatnya stres.
Ia tahu, bahwa niatnya tersebut sedikit melanggar nasihat sang ibunda di Tanah Air,
”Niatkan keberangkatanmu ke Jepang hanya untuk bekerja. Bukan untuk sekadar bersenang-senang, lalu kembali ke Indonesia tanpa membawa apa-apa. Kamu tentu ingin kembali dengan bahagia, bukan?”
Ya, Inaya ingin kembali ke Indonesia sebagai orang kaya. Bukan miliuner, namun dengan saldo tabungan dari menyisihkan sebagian penghasilan yang mumpuni untuk membuka sebentuk usaha. Tidak muluk-muluk, cukup untuk membuka kedai kopi kecil yang mempekerjakan dua orang barista pun Inaya sudah senang.
Niat tersebut membutuhkan komitmen kuat, di tengah gaya hidup hedonis yang menggodanya saat tinggal jauh dari pengawasan keluarga. Namun, stres yang melanda, memaksanya untuk melanggar nasihat Ibu.
Sekali saja, ya, Bu, batin Inaya. Malam ini saja, aku ingin menghibur diri. Bukan rutinitas, Bu...
Yang dipilih Inaya sebagai lokasi hangout adalah klub malam di Roppongi, sebuah distrik yang sepanjang petualangannya di Jepang belum pernah dijejakinya itu. Namun, sekali lagi, tekanan yang mendera dirinya berhasil membuatnya melakukan hal yang belum pernah dilakukannya.
Klub malam pilihannya dapat ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 350 meter dari Roppongi Station, atau yang dilafalkan warga lokal sebagai Roppongi-eki tersebut. Berbagi gedung dengan restoran bergaya Egyptian dan sebuah bar, klub malam tersebut berada di lantai tiga.
Dengan event ticket sebesar ¥1,000, ia pun memasukinya. Dentuman industrial music dengan beat cepat pun sontak menyeruak di kedua telinga Inaya.
sotto me wo tojite
Be quiet!
yume no sono iriguchi ga
mieru deshou?
PARTY!
subete wo wasurete!
PARTY!
karada ugokashichae!
PARTY!
saa tanoshimimashou!
PARTY!
yoru wa kore kara da yo!
(Quietly close your eyes
Be quiet!
Can you see
The entrance to the dream?
PARTY!
Forget everything!
PARTY!
Move your body!
PARTY!
Well, let's have fun!
PARTY!
Tonight, from here on out!)
- AKB48 – PARTY ga hajimaru yo -
Be quiet!
yume no sono iriguchi ga
mieru deshou?
PARTY!
subete wo wasurete!
PARTY!
karada ugokashichae!
PARTY!
saa tanoshimimashou!
PARTY!
yoru wa kore kara da yo!
(Quietly close your eyes
Be quiet!
Can you see
The entrance to the dream?
PARTY!
Forget everything!
PARTY!
Move your body!
PARTY!
Well, let's have fun!
PARTY!
Tonight, from here on out!)
- AKB48 – PARTY ga hajimaru yo -
Inaya tidak berniat untuk turun ke lantai dansa, seperti dilakukan sekira hamper seratusan orang yang telah berada di sana. Tujuan utamanya adalah mendatangi bar, dan memesan minuman.
Lalu, minuman apa yang dipesannya? Vodka based, banana margarita, Kir Royale atau Manhattan whisky? Bukan semuanya. Inaya memilih untuk minum cranberry juice, yang tidak memabukkan. Minuman tersebut bahkan masuk soft drink list, bersama coke, air mineral dan ice coffee.
Alasan pemilihan tersebut, adalah karena ia teringat ucapan salah seorang temannya, ketika di Indonesia,
”Kalau kamu ingin minum minuman keras, ajaklah minimal satu orang rekan yang tidak pernah mabuk. Jadi, ketika kamu akhirnya mabuk, rekanmulah yang akan mengantarmu pulang.”
Dan saat ini, Inaya memasuki klub malam tanpa seorang pun rekan. Tentu saja, mabuk bukanlah pilihan bijak.
Lalu, sepuluh menit kemudian, Inaya beranggapan bahwa semesta telah mengizinkannya untuk mabuk, dengan mengirim seorang rekan minum.
“Sumimasen,” sapa seseorang, sambil duduk di bangku sebelah kirinya. “Indonesian?”
Sontak Inaya menoleh, dan mendapati seorang lelaki berpakaian cukup rapi dan berwajah, ehm... tampan. “Hai, watashi wa Indonesia hito desu.”
“Senangnya...” gumam lelaki itu.
“Eh?” ujar Inaya. “Kamu... juga Indonesian?”
Lelaki itu mengangguk, sambil menyunggingkan senyum. Sejurus kemudian, tangan kanannya terjulur. “Heri.”
“Inaya,” balas Inaya, sambil menyambut ajakan berjabat tangan dari lelaki di sebelah kirinya itu.
Dari sudut matanya, Inaya dapat menangkap bahwa lelaki yang baru dikenalnya itu memerhatikan gelas berisi cranberry juice di hadapannya.
“Kalau untuk sekadar minum juice, cukup dengan mencari jidōhanbaiki,” seloroh Heri. Yang dimaksud dengan jidōhanbaiki, adalah mesin penjual otomatis, yang memang banyak sekali ditemukan di Jepang. “Tidak usah repot-repot masuk klub malam.”
Inaya merengut. “Kalau untuk sekadar ingin mengejek, tidak usah repot-repot berkenalan denganku.”
“Maaf jika ucapanku membuatmu tersinggung,” Heri menangkupkan kedua telapak tangan sebatas dadanya. “Tapi, aku tidak bercanda. Kamu sudah berada di sini, mubazir jika hanya memesan juice. Seribu yen bukanlah uang sedikit, lho!”
Inaya agak tertegun, meski akhirnya menganggukkan kepala.
“Bagaimana kalau dimulai dengan bir botol?” tawar Heri.
“Dimulai dengan bir botol?” ulang Inaya, dengan memberi penekanan pada kata ‘dimulai’. “Berarti, akan ada jenis minuman keras lainnya yang kuminum malam ini?”
Heri tertawa, sambil mengangkat bahu.
Pada akhirnya, Inaya memang memesan bir botol, setelah terlebih dahulu menghabiskan cranberry juice-nya. Bir yang dipesannya, adalah produk lokal merek terkenal, yang akhir-akhir ini breweries headquarter-nya di Sumida-ku kerap menjadi latar belakang foto para wisatawan. Dan itu pula alasan Inaya memilih merek tersebut: karena terkenal.
Sementara, Heri memilih merek yang berbeda. Bukan salah satu dari dua merek lokal yang tersedia di bar, melainkan produk mendunia yang pabrik pengolahannya berpusat di Zoeterwoude, Belanda. Ia mengaku, ini adalah merek bir favoritnya, bahkan sejak masih bermukim di Indonesia.
Yah... apapun itu, baik Inaya maupun Heri tentu punya alasan tersendiri terhadap pilihan mereka. Terkadang alasannya terdengar sepele, namun terkadang sarat romantisme bahkan sentimentil.
Inaya dan Heri saling menuangkan isi botol ke dalam gelas lawan minumnya. Kemudian, bersama-sama mengangkat gelas dan menyentuhkannya satu sama lain, berseru “Kanpai!” dan barulah meminumnya.
Heri menandaskan isi gelas di tangannya dalam sekali teguk. Namun, tidak dengan Inaya, yang butuh proses dan usaha untuk menghabiskan birnya.
“Sumimasen,” gumam Inaya. “Aku sudah lama tidak minum alkohol.”
“Tidak apa-apa,” Heri tersenyum. “Salahku sendiri yang memaksamu untuk minum bir. Kamu ingin berhenti?”
“Daijoubu desu,” jawab Inaya, juga ikut tersenyum. “Aku hanya butuh sedikit adaptasi saja.”
“Jangan memaksakan diri,” ingat Heri. “Kamu boleh berhenti minum, kapan pun kamu mau, kok!”
Inaya menganggukkan kepala, masih dengan disertai sungging senyuman di bibirnya.
+ + + + + + + + +
+ + + + + +
+ + + + + +
Inaya tidak memaksakan diri agar mampu mereguk berbotol-botol minuman beralkohol. Ia membiasakan diri, berusaha membuat tubuhnya toleran terhadap asupan alkohol yang agak berlebih. Berkali-kali Heri mencegah dan melarang Inaya untuk menambah minuman. Sebanyak itu pula usahanya mentah.
Maka, dua jam selepas tengah malam, Inaya keluar dari night club dalam keadaan mabuk. Tentu saja, Heri membarenginya.
“Sudah tidak ada layanan kereta api yang beroperasi, saat ini,” ujar Heri. “Terpaksa kita harus menumpangi taksi.”
“Patungan, ya,” gumam Inaya. “Ongkos taksi mahal.”
Heri tertawa renyah, meski akhirnya mengangguk pertanda setuju. Dijamin, ia merasa geli, karena wanita yang dipapahnya masih mampu mengingat soal mahalnya ongkos taksi, meskipun tengah mabuk.
Ya, ongkos taksi memang mahal, apalagi di Tokyo.
Total uang yang harus dikeluarkan seseorang untuk menempuh jarak antara Roppongi, Minato-ku dan Higashioi, Shinagawa-ku, dengan menggunakan Odeo Line dan Asakusa Line adalah ¥380. Dengan taksi, berdasarkan aplikasi taxi fare finder, ongkosnya adalah ¥4,820. Lebih dari dua belas kali lipat, Saudara-saudara!
Oh, ya, satu lagi. Tarif taksi pada pukul sepuluh malam hingga pukul lima pagi akan dikenakan sebanyak dua kali lipat. Nani?? Ya, dua kali lipat. Artinya, saat turun nanti, mereka harus membayar ¥9,640. Tarif yang mengajak miskin, tentunya.
Maka, pulanglah sebelum tengah malam, agar tidak ketinggalan jadwal kereta terakhir. Namun, dalam kasus ini, bar mulai beroperasi pukul sembilan malam, nyaris mustahil jika Inaya mesti keluar bar dua jam kemudian. Jadi, mau tidak mau, taksi adalah satu-satunya opsi transportasi publik. Berjalan kaki? Delapan kilometer bukan jarak yang sedikit.
Opsi berikutnya adalah menunggu berjam-jam di Roppongi-eki, hingga pukul lima pagi, saat kereta Odeo Line mulai beroperasi lagi. Tapi, keduanya tentu enggan melakukannya, di tengah suhu udara bulan Januari yang rendah.
Atau, --ini opsi yang agak ‘ekstrem’--, Inaya dan Heri menunggu di hotel seputaran stasiun, dengan sewa kamar ¥4,000. Ya, ekstrem. Karena opsi semacam ini berpotensi disertai bermacam ‘efek samping’, andai mereka berduaan saja di sebuah ruang tertutup.
Kesimpulannya, naik taksi dengan ongkos patungan adalah opsi terbaik yang dapat mereka ambil.
Layaknya area yang menjadi sentral hiburan malam, menemukan taksi kosong di sekitar bar bukanlah perkara sulit. Beberapa taksi parkir berjajar di seberang bar, dengan lampu di kap atas yang menyala. Heri menarik lengan kiri Inaya, dan mengajaknya menghampiri taksi yang parkir di posisi terdepan.
Pintu belakang terbuka otomatis. Heri mendorong pelan punggung Inaya, isyarat bagi wanita itu untuk masuk kabin taksi. Tak lupa, telapak tangan kanan Heri memegangi ubun-ubun Inaya, sebagai upaya berjaga-jaga andai kepalanya terantuk bingkai atas pintu.
“Terima kasih,” lirih Inaya, sembari menatap Heri.
Selanjutnya, Heri memasuki kabin taksi, dan duduk di sisi kiri Inaya.
“Higashioi no A**i apāto, onegaishimasu,” ucap Heri, menyebutkan nama apartemen, ditujukan kepada sang sopir taksi.
“Hai,” jawab si sopir pendek, sambil telunjuk tangan kirinya menekan tombol argometer di dashboard. Angka “¥420” langsung tertera pada display.
Mobil berjalan dengan cukup laju, karena dinihari begini, lalu lintas lengang. Setidaknya, perhitungan argometer tidak akan membengkak akibat angka yang terus berjalan padahal mobil sedang berhenti akibat terjebak macet. Estimasi tarif sudah sangat tinggi, apalagi jika harus bertambah lagi?
Oya, sebenarnya tarif bisa lebih rendah daripada yang dijelaskan di atas. Tapi, berhubung sedang ada pekerjaan perbaikan di dekat persimpangan Ninohashi, rute jadi harus memutar ke arah timur, melintasi distrik Shibaura. Jarak pun membengkak hingga 12,6 kilometer, padahal jika melewati area Azabu, jaraknya hanya 7,5 kilometer.
Inaya membaringkan kepalanya di bahu kanan Heri. Wanita itu terlihat tidur, tapi Heri tahu, Inaya tetap terjaga. Tingkat kesadaran yang jauh berkurang akibat asupan alkohol dalam jumlah cukup kolosal, membuat Inaya memilih untuk memejamkan matanya.
“Kamu bermalam di rumahku,” gumam Inaya.
“Tidak,” jawab Heri.
“Itu perintah, Heri,” ujar Inaya. “Bukan pertanyaan.”
“Tidak bisa, Inaya,” tolak Heri. “Kita tidak bisa melakukan itu.”
“Sekkususuru?” tanya Inaya, disambung dengan tawa kecil. “Kenapa kita tidak bisa melakukannya?”
“Kamu meracau,” tukas Heri. “Kamu sedang mabuk, dan mungkin tidak sepenuhnya menyadari apa yang...”
“Ya, aku mabuk,” sela Inaya. “Tapi, aku masih bisa secara sadar mengajakmu bermalam di apartemenku.”
“Kamu menyadari konsekuensinya?” tanya Heri lagi.
“Iya, Heri,” Inaya mengangguk lagi. “Aku menyadarinya.”
Heri menghela napas.
CHACHA
sukoshi yotta mitai
karada yosete aruku shiodome atari
CHACHA
yokaze ga kimochi ii
dokoka e tsuretette
kaeritakunai
sonna wagamama wo
yasashiku shikaru hito
omochikaeri shite choudai
(CHACHA
I think I'm a little tipsy
I walk close to you, near Shiodome
CHACHA
The night breeze feels nice
Take me somewhere
I don't want to go home
I want someone who will
gently scold that kind of selfishness
I want him to take me home)
- Ohori Megumi – Amai kokansetsu -
sukoshi yotta mitai
karada yosete aruku shiodome atari
CHACHA
yokaze ga kimochi ii
dokoka e tsuretette
kaeritakunai
sonna wagamama wo
yasashiku shikaru hito
omochikaeri shite choudai
(CHACHA
I think I'm a little tipsy
I walk close to you, near Shiodome
CHACHA
The night breeze feels nice
Take me somewhere
I don't want to go home
I want someone who will
gently scold that kind of selfishness
I want him to take me home)
- Ohori Megumi – Amai kokansetsu -
Ya, lagu yang merupakan solo single milik Ohori Megumi, member AKB48 dari generasi kedua itu, mendadak tersirat di kepala Heri. Di dalam kabin taksi, mengantarkan seorang wanita mabuk yang membaringkan kepala di bahu kanannya, melintas di dekat Shiodome.
Cukup relevan dengan lirik lagu berjudul “Amai kokansetsu” yang tengah diingatnya saat ini, bukan?
Mendadak pula, libido Heri beranjak naik. Karena teringat busana serta dance seksi Meetan di video klip “Amai kokansetsu”? Ataukah karena... membayangkan apa yang akan dilakukannya bersama Inaya, di Higashioi? Entahlah.
Wanita di sebelahnya ini tidak tergolong sebagai wanita dengan kategori atraktif. Bukan pula wanita berpenampilan seksi. Ia cantik, dan sekilas Heri dapat melihat, tubuhnya pun menarik. Inaya punya cukup modal untuk dapat membuatnya dilirik pria.
Namun, tampaknya Inaya lebih memilih untuk menyembunyikan kelebihan tersebut, di balik sapuan makeup dan busana yang sederhana. Selain itu, kesederhanaan pun ditunjukkan Inaya dari pembawaannya yang cenderung kalem. Wanita itu tidak banyak bicara, terkesan seperlunya.
Lalu, setelah segala kesederhanaan yang selama berjam-jam ditampilkannya itu, mendadak Inaya mengajaknya untuk bermalam di apartemennya. Tentu saja, Heri terkejut.
+ + + + + + + + +
+ + + + + +
+ + + + + +
Heri membaringkan tubuh Inaya di atas ranjang. Wanita itu hanya bergumam tak jelas, dengan kelopak mata yang tetap terpejam. Mungkin, pengaruh alkohol membuatnya nyaris tak punya daya untuk sekadar membuka mata.
Inaya minum banyak. Untuk seseorang yang mengaku sudah lama tidak mengonsumsi minuman beralkohol, porsi yang ditenggaknya memang berlebihan. Heri sudah menduga, bahwa pada akhirnya, dirinyalah yang harus mengantarkan Inaya pulang.
Yang tidak sempat ia duga, adalah ajakan Inaya untuk bermalam di apartemen tersebut.
Heri bangkit, dan beranjak menjauhi ranjang.
“Jangan pergi,” ujar Inaya, memaksa Heri untuk menghentikan langkahnya. “Sini...”
Heri kembali naik ke atas ranjang, kemudian mendekatkan bibirnya dengan telinga kiri Inaya. “Aku tidak akan pergi.”
“Jangan bohongi aku,” tegas Inaya. “Janji?”
Heri mengangguk.
“Awas...” lirih Inaya.
“Aku berjanji, tidak akan pergi,” ucap Heri. “Aku hanya ingin membersihkan tubuh, sebelum beristirahat.”
Inaya bergumam, dengan kata-kata yang tak mampu ditangkap telinga Heri.
“Boleh kupakai kamar mandinya?” tanya Heri.
Inaya hanya mengangguk, sebagai bentuk jawaban.
Sepuluh menit kemudian, Heri telah selesai membersihkan tubuh. Dilihatnya Inaya tertidur. Atau berpura-pura tidur? Entahlah.
Ia duduk di tepi ranjang, sembari memerhatikan Inaya. Sesaat, ia teringat pada adegan film porno yang pernah ditontonnya. Adegan yang menggambarkan seorang wanita tertidur pulas dalam kondisi mabuk, kemudian seluruh busana yukata di tubuhnya dilucuti hingga telanjang, dan akhirnya disetubuhi.
Di hadapannya kini tergeletak tubuh seorang wanita mabuk, meskipun tidak mengenakan yukata. Dan tadi, di dalam kabin taksi, wanita itu telah melontarkan sinyal bahwa dirinya siap untuk disenggamai. Kapan pun, Heri dapat melakukan ‘reka ulang’ atas adegan porno yang pernah ditontonnya tersebut.
Namun, ia memilih untuk tidak melakukannya. Heri malah turut membaringkan tubuhnya di atas ranjang, dengan menyisakan jarak dengan tubuh Inaya. Beruntung, ranjang tersebut cukup lapang, queen size, hingga keduanya tidak perlu berhimpitan untuk dapat berbaring di atas ranjang yang sama.
Hmm... padahal, segera saja kautindih tubuh Inaya, Heri! Tidak harus tersedia ruang yang lapang untuk bersetubuh, ‘kan? Tanggung, wanita itu sudah menyalakan lampu hijau.
Jika hanya untuk sekadar memejamkan mata bersama, tanpa melakukan hal-hal yang ‘membahayakan’, camping saja di Kamikochi bareng nenekmu!
+ + + + + + + + +
+ + + + + +
+ + + + + +
Pagi hari, Inaya terjaga. Dilihatnya sosok Heri terbaring di sebelah kanannya, dengan terdapat jarak puluhan sentimeter di antara mereka. Lalu, sontak ia memeriksa kondisi tubuh dan pakaiannya. Tak ada yang berubah.
Heri tidur sepanjang malam? terkanya di dalam hati.
Cukup penasaran, ia pun merogohkan telapak tangan kirinya ke dalam busana bawahnya. Menyentuh area selangkangannya, dan mendapatinya dalam keadaan yang tak berubah. Sama sekali tidak terasa sesuatu yang lengket pada kemaluannya, apalagi rasa ngilu atau pegal, layaknya dirasakan setelah dipenetrasi alat kelamin lelaki.
Inaya bangkit dan turun dari ranjang. Tujuannya adalah kamar mandi. Semalaman ia membiarkan tubuhnya yang cukup berkeringat, tanpa dibasuh air, lalu tidur begitu saja. Rasanya risih sekali.
Padahal, semenjak bermukim di Tokyo, ia sudah terbiasa mandi pada malam hari, seusai beraktivitas. Seperti halnya para warga Jepang, yang tidak selalu mandi pagi, namun bisa menghabiskan waktu yang lama saat mandi di malam hari.
Lagi-lagi, kelopak mata yang berat untuk terbuka akibat pengaruh alkohol, menjadi alasannya.
Itukah yang membuat Heri enggan menyentuhku? hatinya menduga. Karena dia lebih menyukai bersetubuh dengan wanita yang sudah wangi?
Mungkin saja. Yaa... meskipun tubuh manusia cenderung bersimbah keringat usai bercinta, namun, alangkah nyamannya jika memulai semuanya dengan tubuh resik dan wangi, bukan?
Karenanya, hal pertama yang dilakukan Inaya setelah turun dari ranjang, adalah memasuki kamar mandi. Ia jengah dengan kondisi kebersihan tubuhnya yang berada di titik nadir itu.
Cukup lama, Inaya berada di kamar mandi. Menyabuni dan menempatkan tubuhnya di bawah guyuran shower dengan air hangat. Tanpa alasan yang spesifik, ia tidak mengisi bath tub untuk berendam di dalamnya. Membersihkan tubuhnya dengan siraman shower pun sudah cukup untuk membuatnya nyaman.
Terkadang, jika sedang ingin mandi di pagi hari, sebelum berangkat kerja, Inaya hanya menggunakan shower. Alasannya hanya satu: efisiensi waktu. Berendam di bath tub terasa melenakan, dan sontak membuatnya lupa waktu, dan dapat berujung pada keterlambatan dirinya tiba di tempat kerja.
Pagi ini, di hari libur kerja ini, Inaya bisa leluasa memanjakan tubuh di kamar mandi, tanpa perlu memikirkan waktu. Logisnya, hal tersebut dilakukan di dalam bath tub, bukan sambil berdiri.
Sayangnya, kepala Inaya terlalu malas untuk berpikir, hanya demi menentukan metode mandi yang logis atau tidak.
Saat keluar, Inaya dikejutkan dengan keberadaan Heri yang berada tepat di depan pintu kamar mandi, meskipun tubuhnya menghadap ke arah pintu keluar apartemen. Lelaki itu pun tampak sama terkejutnya.
“Sedang apa?” tegur Inaya.
Heri menatap Inaya, lalu menggeleng sembari tersenyum.
“Kenapa?” tanya Inaya lagi.
“Tidak,” Heri menggeleng lagi. “Kamu akan tertawa, jika kujelaskan.”
“Jelaskan,” minta Inaya. “Kamu akan kuhargai, karena telah sukses membuatku tertawa, sepagi ini.”
Heri tergelak.
“Jelaskan,” ulang Inaya, dengan nada yang terdengar lebih tegas.
“Aku terbiasa untuk memeriksa keadaan di luar tempat tinggalku, segera setelah terbangun,” jelas Heri. “Hmm... kebiasaan sejak masih tinggal di Indonesia. Karenanya, aku langsung mendekati pintu, setelah bangun tidur.”
Inaya hanya mengangguk.
“Kamu tidak berniat untuk tertawa?” tanya Heri.
“Apakah kebiasaanmu itu merupakan hal yang lucu?” Inaya balik bertanya.
Heri mengedikkan bahu. “Menurutku, akan terasa lucu jika hal itu juga kulakukan itu di tempat tinggalmu.”
“Sedikit absurd, sih,” gumam Inaya. “Tapi, tidak cukup layak untuk ditertawakan.”
“Kamu sendiri,” ujar Heri. “Baru selesai menunaikan hutang mandi semalam?”
Inaya tertawa, sembari mengangguk.
“Cantik,” puji Heri. “Wajahmu segar, terlihat jauh lebih baik dibandingkan ketika tertutupi makeup.”
“Kamu...” Inaya sedikit menundukkan wajah. “Bilang saja, ’Lebih baik dibandingkan ketika sedang mabuk’!”
Heri tertawa.
“Itukah yang membuatmu enggan menyentuhku?” lanjut Inaya. “Karena semalam aku terlihat menjijikkan?”
“Aku menyentuhmu, ‘kan?” tanggap Heri. “Kamu tidak ingat, aku yang memapah dan membaringkanmu di atas ranjang?”
“Bukan itu,” ucap Inaya pelan. “Kamu tidak... menyentuhku. Tidak melakukan sesu...”
“Menggerayangi dan menyetubuhimu?” cetus Heri lugas. “Aku tidak mau bersenggama dengan wanita yang tak berdaya di bawah pengaruh alkohol. Lalu, di pagi hari, kamu tidak mampu mengingat semua yang kulakukan.”
Inaya tertawa kecil. “Ya, aku hanya akan tahu, dari jejak air mani yang tertinggal di selangkanganku.”
“Kaulakukan itu setelah terbangun, ya?” tebak Heri. “Memeriksa selangkanganmu?”
Inaya tertawa lagi, sambil mengangguk.
“Aku ingin membersihkan tubuh,” ujar Heri. “Boleh kupakai kamar mandinya?”
Inaya mengangguk. “Silakan. Mau kupinjamkan handuk?”
“Aku punya,” jawab Heri, seraya mengeluarkan compact towel dari saku kanan celananya.
“Saking compact-nya, sampai bisa kamu masukkan saku, ya,” seloroh Inaya.
Heri tertawa.
“Ya sudah,” putus Inaya. “Mandi dulu, sana. Kutunggu di meja makan.”
Heri mengangguk.
Inaya membalikkan tubuh, melangkah ke arah meja makan yang terletak di dekat area tidur itu. Dari sudut matanya, ia melihat Heri juga berbalik, memasuki kamar mandi.
Eh... aku lupa! batinnya. Aku harus membuang sampah.
Ia pun kembali berbalik ke arah dapur, yang letaknya bersebelahan dengan kamar mandi, tepat setelah pintu apartemen. Dan tubuhnya bertumbukan dengan tubuh Heri, yang entah mengapa, justru berada di sana, alih-alih di dalam kamar mandi.
Adegan selanjutnya, mirip adegan di film televisi. Tubuh Inaya yang mengarah ke lantai, berusaha dicegah lengan kanan Heri. Namun tidak berhasil, karena pada akhirnya, keduanya malah terjatuh, meski tidak terlalu keras.
Posisi Inaya telentang, sementara Heri tepat di atas tubuhnya, dengan tangan kanan melingkari punggung si wanita. Dan... ini yang ganjil. Telapak tangan kiri Heri hinggap di buah dada kanan Inaya.
Adegan pun berubah menjadi mirip adegan film semi porno.
“Sumimasen,” ucap Heri spontan.
Inaya menjawab dengan anggukan. “Iie.”
Namun, beberapa detik selanjutnya, keduanya sama-sama tidak beranjak dari posisi tersebut. Inaya malah sedikit mendesah lirih, karena merasakan telapak tangan kiri Heri menekan payudara kanannya, seperti disengaja. Membuat permintaan maaf dari bibir Heri menjadi terkesan ambigu.
Lelaki yang tengah menindihnya itu meminta maaf karena tanpa sengaja menjatuhkan Inaya? Atau meminta maaf karena telah lancang menyentuh salah satu bagian vital di tubuh sang wanita?
Sejurus kemudian, Heri mencumbu bibir Inaya. Sebentar saja. Namun sudah cukup untuk membuat Inaya tahu, apa maksud dari ‘Sumimasen’ yang barusan diucapkan lelaki itu.
“Bukankah kamu akan membersihkan tubuh?” tanya Inaya, sembari tangan kirinya melakukan gerakan dorongan terhadap dada Heri.
“Sebaiknya ditunda,” jawab Heri. “Nanti saja, selesai bercinta.”
Inaya menelan ludah. “Sekarang, Heri?”
“Nanti saja, selesai bercinta,” Heri mengulangi jawabannya.
“Maksudku, sekarang kita... bercinta?” Inaya memperjelas pertanyaannya.
Heri menyunggingkan senyum, sebagai bentuk jawaban.
Heri kembali mengecup bibir Inaya, kali ini disertai remasan tangan kirinya yang lebih intens terhadap payudara kanan wanitanya.
“Heri...” gumam Inaya, sambil kembali berusaha mendorong dada Heri.
“Kenapa?” tanya Heri. “Kamu menolak?”
“Bukan,” Inaya menggeleng. “Jangan di sini. Nanti aku sakit punggung.”
Heri tertawa geli.
+ + + + + + + + +
+ + + + + +
+ + + + + +
Perangai Heri yang lembut saat bercinta, sungguh membuat Inaya terbuai. Memang, sangat sedikit pria yang pernah mencicipi tubuhnya, karena ia bukanlah wanita yang terbiasa ‘mengobral’ diri. Inaya terbilang minim pengalaman soal persetubuhan, yang artinya, minim pula pengalaman dirinya perihal gaya bercinta lelaki.
Namun, bukan hanya Inaya, rasanya wanita mana pun di dunia ini akan tersanjung dengan perlakuan Heri yang terkesan penuh penghargaan itu.
Percumbuan Inaya dan Heri berlangsung dengan tempo lambat. Tak ada ketergesaan dalam setiap rangsangan yang dilancarkan pihak lelaki. Dimulai dari melucuti yukata di tubuh Inaya dengan sopan, hingga akhirnya telanjang. Lalu, ia mengecupi area kepala, turun ke dada, perut, dan berakhir di pangkal paha.
Dan Heri selalu berlama-lama pada setiap masing-masing area tersebut. Gaya lambat tersebut disukai Inaya. Ia justru merasa ngeri jika lawan mainnya bersikap agresif, apalagi cenderung kasar. Heri tidak begitu, karenanya Inaya merasa sangat menikmati percumbuan ini.
Bagi Inaya, esensi dari bersenggama adalah merasakan kenikmatan. Mungkinkah dirinya akan meraih kenikmatan bercinta, andai hatinya diselimuti kekhawatiran atas kekasaran gaya bercinta pasangannya?
Maka, adalah wajar jika Inaya sudah berhasil mengalami orgasme, ketika belum sampai sepuluh menit lidah dan bibir Heri mencumbui area genitalnya. Perlakuan lembut sang lelaki telah menuntun otaknya untuk mencapai puncak kenikmatan secara psikis, sebelum diakhiri dengan orgasme fisis.
“Cepat sekali, Inaya,” ucap Heri.
“Enak, sih...” gumam Inaya, tersipu. “Aku tidak mampu menahannya lagi.”
“Mau orgasme lagi?” goda Heri.
Inaya mengangguk, masih dengan sipu di wajahnya.
Kali ini, Heri menggunakan jari tengah tangan kirinya untuk menstimulasi rongga kemaluan Inaya. Sementara, organ oralnya yang semula menggelitiki pangkal paha sang wanita, kini bertugas merangsang area buah dada Inaya.
“Pelan-pelan...” ingat Inaya, ketika menurutnya jemari Heri bergerak sedikit kasar.
Heri menatap Inaya, sejenak berhenti menggerakkan jari tengahnya tersebut. “Kamu sudah tidak virgin, ‘kan?”
“Iya,” jawab Inaya, sambil menganggukkan kepala lirih. “Tapi... sudah sembilan tahun aku tidak bersenggama.”
“Wakatta,” Heri tersenyum. “Butuh adaptasi lagi, ya.”
Inaya kembali mengangguk. “Setelah beberapa menit, mungkin aku sudah bisa membiasakan diri lagi.”
Dan, ya, tensi gerakan jari tengah Heri mendadak jadi lambat.
“Iya... begitu, Heri,” lirih Inaya. “Itu terasa.”
“Enak?” tanya Heri.
Inaya hanya mengangguk pelan.
Memang lambat. Sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan gerakan serupa pada adegan film porno, yang bertempo cepat, cenderung kasar dan terkesan brutal. Namun, hal itu tetap berhasil membuat Inaya merintih menahan kenikmatan.
Heri menyasar titik-titik rangsang terbaik pada dinding vagina Inaya, tidak sekadar mengandalkan tempo cepat dan torsi tinggi. So, meskipun gerakan jarinya lambat, dijamin Inaya akan terangsang hebat.
Terlebih, pada waktu bersamaan, rangsangan pun diterima kedua puting dada Inaya, masing-masing oleh bibir dan jari tangan kanan Heri. Alhasil, baru sebentar saja menerima finger f*ck, gelinjang tubuhnya makin liar. Kemudian mendadak terdiam, sebelum akhirnya melepaskan desah napas panjang.
Inaya tergolek lemas. Dua kali orgasme dengan jarak cukup berdekatan, lumayan menguras tenaga. Terlebih, sudah sekian lama dirinya tidak bercinta.
Sementara, Heri berbaring miring menghadapi Inaya, di sisi kanannya. Seolah memberi waktu bagi sang wanita untuk rehat sejenak.
“Aku mudah orgasme,” bisik Inaya di telinga kiri Heri.
“Mau lagi?” tanya Heri.
“Nanti,” jawab Inaya. “Sekarang giliran kamu.”
Heri menggeleng.
“Kenapa?” tanya Inaya.
“Wanita bisa segera turn on kembali, setelah orgasme,” jelas Heri. “Tidak semudah itu untuk lelaki, ‘kan?”
“Aku tidak tahu,” tanggap Inaya, menahan senyum. “Aku belum pernah menjadi laki-laki.”
Heri melotot. Tangan kanannya terulur cepat ke arah buah dada kiri Inaya, kemudian tiba-tiba mencubit puting tegak di tengahnya. Pemiliknya mendesah.
“Jadi, kusimpan orgasmeku untuk nanti,” lanjut Heri. “Sekali saja.”
“Aku saja yang berkali-kali orgasme, ya?” kelakar Inaya.
Heri menatap Inaya lekat-lekat. “Bisa?”
“Disentuh sedemikian rupa olehmu,” jawab Inaya. “Siapa yang tidak akan berkali-kali orgasme?”
Heri tertawa.
Keduanya saling tatap, tanpa sedikit pun bicara. Ya, hanya saling tatap. Namun, justru tatapan mata itulah yang membuat Inaya dan Heri seolah tengah berbincang.
Lalu, saling diam itu usai, seiring pertanyaan Heri,
“Sekarang?”
“Boleh,” Inaya mengangguk. “Tapi, jangan langsung main kasar, ya.”
“Iya,” giliran Heri yang mengangguk, sambil tersenyum. “Kalau sentuhan lembut saja bisa membuatmu dua kali orgasme, untuk apa aku membuang energi dengan seks kasar, apalagi brutal?”
“Terima kasih pengertiannya,” tanggap Inaya. Kedua tangannya terulur, untuk memegangi kedua pipi Heri. “You are so gentle.”
Heri kembali tersenyum.
Inaya mendorong dada Heri dengan kedua telapak tangannya, hingga lelaki itu kini telentang. Lalu, ia duduk di atas perut bawah Heri, kemudian melengkungkan punggung agar dapat mencumbui wajah sang lelaki. Seiring hal tersebut, jemari kedua tangannya melucuti dua buah kancing poloshirt Heri.
Selanjutnya, Heri justru melepaskan sendiri poloshirt-nya, dan kini ia pun telanjang dada. Tubuhnya tidak bidang layaknya binaragawan. Bahkan otot perut pun nyaris tak terlihat. Sedikit lemaklah yang tampak, menandakan bahwa tubuh Heri cukup berisi, meskipun tidak sampai obesitas.
“Boleh kulucuti celanamu?” tanya Inaya, sembari sedikit beringsut, hingga kini ia bersimpuh di antara kedua tungkai kaki Heri.
“Silakan,” Heri mengangguk. “Aku tidak mungkin menyetubuhimu sambil mengenakan celana, ‘kan?”
“Jangan bercelana,” Inaya tertawa pendek. “Yang penting berkondom.”
“Setuju,” tanggap Heri, juga tertawa. “Kamu punya?”
Inaya mengangguk.
Di Jepang, seorang wanita menyimpan persediaan kondom di tas atau lemari di tempat tinggalnya adalah hal yang wajar. Juga merupakan hal yang wajar jika seorang wanita di Jepang terpaksa membuang kondom yang belum sempat dipakai, akibat kedaluarsa.
Seperti Inaya, yang selalu menyimpan stok kondom di tas atau lemari pakaian. Dan entah sudah berapa buah kondom yang terpaksa dibuangnya saat kedaluarsa. Maklum, sembilan tahun dirinya nihil bercinta.
Cukup sekian intermezzo tentang kondom. Kita kembali ke suasana ruang tinggal Inaya.
Ada perasaan khawatir yang dirasakan Inaya, mengingat ini adalah momen yang sudah lama tidak dialaminya. Sembilan tahun. Dan kali ini, ia berkesempatan untuk melihat kembali organ tubuh lelaki bernama penis, meskipun sejak belasan menit lalu, alat vital tersebut sudah dapat ia rasakan ketegangannya, berkali-kali menyentuh perut dan pahanya.
Namun, di balik rasa khawatir, tersembul perasaan excited dalam menyambut persetubuhan ini. Karena ia tahu, bersenggama itu nikmat, terlebih jika dilakukan dengan penuh kerelaan, seperti pagi ini.
Sambil berusaha bersikap toleran terhadap berbagai perasaan yang hadir di hatinya, Inaya mulai memelorotkan celana jeans Heri hingga tanggal, kemudian melemparkannya secara sembarang. Sembulan batang kemaluan yang mengeras di balik helai cawat hitam, cukup untuk membuatnya tertegun.
Lalu, sejurus kemudian, Inaya menarik lepas cawat hitam tersebut. Batang penis yang sejauh ini ditutupinya, sontak mencelat. Inaya menelan ludah. Bukan. Bukan soal dimensinya yang membuat dirinya menelan ludah, melainkan karena itu adalah alat kelamin lelaki.
Baik besar ataupun kecil, panjang ataupun pendek, penis tetaplah penis.
Kini, Heri sudah sepenuhnya tanpa busana. Sama seperti Inaya, yang telah bugil sejak belasan menit sebelumnya. Cerita apa lagi yang diharapkan terjadi di antara dua insan berlawanan jenis kelamin, telanjang di sebuah ruangan tertutup, selain persenggamaan?
Inaya mengempaskan tubuhnya hingga telentang di sisi kiri Heri. Kemudian, tangan kanannya menarik bahu kiri sang lelaki. Gesturnya jelas: mempersilakan Heri untuk mulai menyebadaninya.
“Kamu di atas,” ujar Heri, sambil berusaha menarik tubuh Inaya.
“Nani?” cetus Inaya. “Aku malu, Heri...”
“Kamu di atas,” ulang Heri. “Maka kamu bisa mengatur tensi sesuai keinginanmu. Disesuaikan dengan kemampuan vaginamu. Kamu tidak ingin merasa kesakitan, ‘kan?”
Inaya terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
Ya, pada akhirnya, Inaya memosisikan tubuhnya di posisi woman on top, meskipun sambil menahan rasa malu dan risih. Setelah penis Heri melesak masuk ke dalam rongga vaginanya, ia menggoyangkan tubuhnya, naik turun, dengan tempo sedang. Namun, Inaya sama sekali enggan menatap Heri.
“Tatap aku, Inaya,” ucap Heri.
Inaya menggeleng.
“Kenapa?” tanya Heri.
“Kore wa hazukashīdesu,” lirih Inaya. “Ini memalukan, Heri.”
“Enjoy it, Inaya,” Heri tersenyum. “Tidak ada yang bilang jika ini memalukan.”
Inaya hanya mengangguk.
Seiring waktu, Inaya mulai merasakan sensasi kenikmatan. Suatu hal yang lebih mudah dicapai wanita saat memosisikan diri di atas tubuh lelaki, karena memiliki kontrol penuh atas semuanya.
Dan deraan rasa nikmat tersebut membuat Inaya dapat melupakan rasa malunya. Terbukti, gerakan tubuhnya mulai meningkat, yang praktis membuat batang kemaluan Heri menghunjam liang vaginanya dengan tensi yang makin cepat dan keras pula.
Tubuh dan hati Inaya mulai mampu bersikap adaptatif terhadap persetubuhan pertama dalam sembilan tahun terakhir tersebut.
Sementara itu, di bawah, Heri menyaksikan pemandangan yang sangat menggairahkan. Tubuh Inaya yang terbilang indah, bergerak erotik, memadukan gerakan antara maju dan mundur serta naik dan turun, sekehendak wanita itu. Seirama dengan kedua bongkah buah dadanya yang bergoyang sensual.
Meski ukuran buah dada Inaya tidaklah seatraktif milik Matsushita Saeko, Himeno Yuuri, apalagi Tanaka Hitomi, namun payudara tetaplah payudara. Salah satu organ tubuh wanita favorit mata lelaki, termasuk di mata Heri.
Lalu, desah dan rintihan dari bibir Inaya yang terdengar makin intens dan nyaring, seiring rasa risih wanita itu yang makin memudar, ditangkap telinga Heri sebagai rangsangan erotis nan kolosal. Dan semua tahu, bahwa terkadang rangsangan auditif bisa menjadi pemicu hebat terhadap gairah seks seseorang.
Semua itu berbaur menjadi sebuah kesatuan yang serasi. Kesimpulannya sederhana saja: Inaya seksi. Dan kesimpulan tersebut berimbas pada libido Heri yang makin menggelegak. Jujur, ia kepayahan. Heri tidak mengira, Inaya yang di sesi foreplay terkesan malu-malu dan tampak memendam kekhawatiran, nyatanya mampu pula mendominasi.
Hanya itu? Tidak.
Puncak pesona Inaya adalah ketika wanita itu tengah menyambut orgasme. Gerakan pinggulnya menjadi makin cepat dan liar, begitu pula rintihan yang makin nyaring. Sejenak Heri mengucap syukur, bahwa persetubuhan ini terjadi di sebuah apartemen di Shinagawa, bukan kamar kost di Gegerkalong. Maka, tak usahlah keduanya menahan jeritan nikmat.
Ketika orgasme benar-benar tiba, sesaat tubuh Inaya menggeliat binal, sebelum kemudian mendadak terdiam. Hanya kedutan-kedutan ringan. Dan sama sekali tak ada suara yang terlantun dari bibirnya. Hanya sengal napas tak beraturan.
Di mata Heri, proses meraih puncak kenikmatan yang dialami Inaya, adalah pemandangan yang indah tak terperi.
Inaya menjatuhkan tubuhnya ke arah depan hingga dadanya bersentuhan erat dengan dada Heri. Sang lelaki segera mendekap tubuh indah tersebut.
“Enak, Sayang?” bisik Heri.
Inaya hanya mengangguk.
“Mau lagi?” tanya Heri lagi.
Kembali Inaya mengangguk.
Lalu, secara mendadak, tanpa melepaskan lingkaran tangannya terhadap tubuh Inaya, Heri menggoyangkan pinggulnya, dan berimbas pada penisnya yang masih bersarang di dalam vagina wanita itu, bergerak keluar dan masuk dengan tempo sedang. Rintihan erotis Inaya pun terdengar lagi.
“Mau kupenetrasi lebih cepat?” tanya Heri.
Inaya mengangguk lirih. “Tapi, please... jangan kasar, ya.”
“Iya, Sayang,” tanggap Heri. “Kamu tenang...”
“Jangan pakai ‘Sayang’,” protes Inaya. “Nanti hatiku kena.”
“Itulah yang kuharapkan, Inaya,” balas Heri. “Hatimu kena, dan akhirnya meleleh.”
Inaya mengerang manja.
Perlahan, intensitas penetrasi penis Heri pada rongga kemaluan Inaya meningkat. Tidak secara drastis, tentunya. Bertahap saja, sambil memberikan ruang bagi si wanita untuk beradaptasi terhadap gaya bercinta yang lebih liar.
Namun, peningkatan intensitas tersebut berjalan secara pasti. Mungkin Inaya tidak menyadarinya, betapa kini rongga kemaluannya telah dihunjam cukup kasar. Tampaknya, rasa nikmat yang melanda sekujur tubuhnya mengalahkan rasa sakit yang ada.
Hingga akhirnya Inaya berujar, cukup tegas, “Yamete kudasai.”
“Kenapa?” Heri menghentikan gerakan pinggulnya.
“Itai,” lirih Inaya. “Kamu terlalu kasar. Sakit, Heri...”
“Tahan sakitnya, sebentar saja,” Heri merapikan rambut-rambut liar di kening Inaya. “Sesaat lagi, kamu pasti terbiasa.”
Inaya tidak menjawab.
Heri melanjutkan penetrasinya yang sejenak tertunda itu. Dan ia mempertahankan torsi cepat, seperti sebelumnya. Rintihan kesakitan terdengar lagi, dilantunkan Inaya. Tapi kali ini, Heri bergeming. Ia bertahan dengan gaya bercintanya saat ini.
‘Keteguhan’ Heri pun menunjukkan hasil. Lambat laun, gestur dari rintih kesakitan itu berubah, menjadi lebih mirip rintih nikmat. Lagi-lagi, Inaya berhasil beradaptasi dengan gaya bercinta yang berbeda. Beradaptasi dengan gaya yang sejak awal dikhawatirkannya.
“Enak?” tanya Heri.
“Sakit,” jawab Inaya.
“Tapi enak, ‘kan?” tanya Heri lagi.
“Enak, tapi sakit,” Inaya keukeuh.
“Pikirkan enaknya, jangan rasa sakitnya,” minta Heri. “Kamu kepingin orgasme lagi, ‘kan?”
Inaya mengangguk pelan.
“Maka, nikmatilah rasa sakit itu,” pungkas Heri, sebelum kembali menggoyangkan pinggulnya.
+ + + + + + + + +
+ + + + + +
+ + + + + +
Orgasme terakhir Inaya pagi ini, alias yang keempat, dialaminya hampir bersamaan dengan ejakulasi yang diraih Heri. Posisinya standar saja, missionary style. Namun efeknya tidak sestandar posisi tersebut.
Inaya lebih dulu mencapai puncak. Lalu, kedutan-kedutan erat di dinding vaginanya, imbas dari orgasme tersebut, membuat Heri tak kuasa lagi membendung deraan rasa nikmat. Ia bergegas mencabut batang penisnya, membuka kondom dan melepaskan ejakulasinya. Seputar buah dada Inaya menjadi area tersemburnya cairan sperma sang lelaki.
Nah, puncak kenikmatan bercinta alias orgasme telah diraih keduanya. Lalu apa lagi?
Selanjutnya, adalah kepuasan batin.
Ini terjadi karena tak ada satu pun di antara mereka yang lantas bangkit dari tempat tidur, selepas pergumulan tersebut. Bahkan, menyaput lelehan sperma di dada Inaya pun dilakukan Heri menggunakan poloshirt-nya.
“Nanti kucuci kilat, supaya bisa dikenakan ketika kamu pulang,” ujar Inaya. “Sementara, pakai bajuku saja, ya.”
“Tidak berpakaian pun sah-sah saja,” canda Heri. “Tokh, kita memang akan telanjang seharian ini.”
Inaya melotot.
Peneliti bilang, konon, salah satu momen di mana manusia berada pada tingkatan paling jujur adalah setelah bercinta dan orgasme. Dan dalam kasus antara Inaya dan Heri, yang melakukan seks pranikah, fase selepas orgasme dapat menjadi penentu ke mana hubungan mereka akan berlanjut, meskipun tidak mutlak seperti itu.
Riset yang sama juga menjelaskan bahwa jika setelah bercinta, si lelaki tidur sebelum pasangannya, hal itu mungkin merupakan taktik untuk menghindari percakapan mengenai komitmen dan masa depan hubungan.
Sebaliknya, pihak wanita merasakan kebutuhan yang kuat untuk tidur di sisi pasangannya, sebagai sebuah strategi untuk mengurangi risiko dirinya akan ditinggalkan demi wanita lain, suatu saat nanti.
Sebagai catatan, riset mungkin tidak berlaku bagi pasangan yang sejak awal memang berniat untuk melakukan sex for fun atau one night stand.
Yang terjadi pada Inaya dan Heri, justru sebaliknya. Keduanya sama-sama membuka perbincangan, selepas bercinta. Bukan hanya itu, mereka pun saling tatap begitu lekat. Yang tak mereka lakukan adalah berpelukan, mungkin akibat merasa tak nyaman dengan basah keringat di tubuh masing-masing.
“Heri,” gumam Inaya. “Kamu sudah membuatku orgasme sampai empat kali. Tapi, aku tidak pernah tahu, di mana kamu berdomisili.”
Heri tertawa. “Apakah itu penting?”
“Jelas,” jawab Inaya. “Karena aku harus tahu, ke mana aku bisa mencarimu, untuk minta pertanggungjawaban.”
“Aku pakai kondom,” tegas Heri. “Kamu tidak akan hamil, kecuali ada lubang sebesar peniti.”
Inaya tertawa.
“Jadi, pertanggungjawaban apa yang kamu minta?” lanjut Heri.
“Pertanggungjawaban,” ucap Inaya. “Kalau ternyata, selepas malam ini, aku ingin berjumpa lagi denganmu.”
Heri terlihat terkejut.
“Bukan melulu demi seks, ya,” ujar Inaya. “Camkan itu. Kita bisa berjumpa untuk... berbincang atau berjalan santai ke suatu tempat. Atau apapun.”
“Aku berharap hal yang sama,” tanggap Heri. “Tapi, aku terlalu segan untuk mengucapkan itu. Beruntung, kamu lebih dulu mengutarakannya.”
“Sekadar mengucapkan saja kamu segan,” timpal Inaya. “Menelanjangiku, kamu tidak merasa segan, ya?”
Heri tertawa. “Tidak sengaja, Inaya. Kita bertabrakan, lalu jatuh. Dan…”
“Uso!” umpat Inaya. “Ketika kita terjatuh, tidak ada bagian yukata-ku yang tersingkap, lho!”
“Iya, sih…” Heri terkekeh. “Kamu tetap menggairahkan, meskipun yukata-mu masih rapi. Apalagi kalau ditelanjangi.”
Inaya melotot, meski tak urung tertawa juga.
“Aku ingin tahu,” ucap Inaya. “Selama tadi menyetubuhiku, apakah kamu sempat membayangkan sosok wanita lain?”
Heri tercekat. “Pertanyaanmu ganjil.”
“Mungkin,” ujar Inaya. “Tapi, jawab saja, Heri. Jujur, tak usah ditutupi. Aku tidak… aku akan berusaha untuk tidak marah, apapun jawabanmu.”
“Aneh,” Heri menggelengkan kepala. “Aku tidak mengerti, apa esensi dari pertanyaanmu.”
Inaya hanya tersenyum.
“Sebentar,” Heri menatap Inaya dalam-dalam. “Seorang lelaki di masa lalumu yang membayangkan sosok wanita lain saat sedang menyetubuhimu?”
“Membayangkan sosok lelaki lain,” ralat Inaya.
“I see,” gumam Heri, sembari menganggukkan kepala. Lalu, mendadak ia tertegun. “Nani?”
Inaya menatap Heri dengan gestur bertanya.
“Lelaki lain?” Heri mempertegas pertanyaannya. “Lelaki itu membayangkan sosok lelaki lain, saat sedang menyetubuhimu?”
Inaya mengangguk lirih. “Ternyata dia seorang gay. Coba kamu pikir, Heri. Mengetahui bahwa kekasih kita berfantasi dengan wanita lain saja sudah cukup menyakitkan hati. Apalagi kalau…”
“Jangan dilanjutkan, andai itu menyakitkan,” sela Heri.
Ponsel berdering, menghentikan perbincangan mereka.
“Punyamu?” tanya Inaya, menatap Heri.
Heri mengangguk. “Pasti teman se-dormitory, sesama WNI. Sebenarnya, kami berniat untuk jogging bersama.”
“Dasar...” Inaya tertawa kecil. Ditepuknya bahu kanan Heri. “Yosh, cepat jawab panggilan itu.”
Heri bangkit, setengah tergesa memburu ke arah meja makan, di mana ponselnya tergeletak selama semalaman tadi.
“Nya engké heula, atuh!” seru lelaki itu, ditujukan pada ponsel yang terus berdering. “Teu sabaran pisan!”
“Nani?” ujar Inaya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. “Ternyata dia…?”
Tak sampai lima menit, Heri kembali ke area tidur.
“Sesuai tebakan,” lelaki itu nyengir, sambil duduk bersila menghadapi Inaya yang masih berbaring di atas ranjang. “Yang meneleponku adalah teman se-dormitory, yang awalnya akan jogging bersamaku. Kubilang saja, kalau aku batal jogging karena sedang bersama...”
“Kamu Sundanese?” tanya Inaya, tak menggubris penjelasan Heri.
Heri menatap Inaya, kemudian mengangguk. “Kenapa?”
“Bandung?” tanya Inaya lagi.
Heri kembali mengangguk.
“Daerah mana?” kejar Inaya.
“Chotto matte,” Heri menatap Inaya, makin lekat. “Jangan bilang, kamu juga berasal dari Bandung.”
“Bojongsoang,” beritahu Inaya.
“Yokatta,” gumam Heri. “Aku dari Cihampelas. Kita tidak berasal dari daerah yang sama. Kalau kita sedaerah, mungkin sudah sejak belasan tahun lalu, kita berjumpa dan berkenalan. Lalu ML di kamar tidurmu.”
Inaya melotot. “Kamu tidak takut digeruduk Pak RT?”
“Ya sudah, di kamarku saja,” balas Heri. “Aku tinggal bersama nenekku. Dan beliau sudah pikun.”
Inaya menggelengkan kepala.
Jodoh seseorang sudah digariskan, bahkan sebelum roh dihembuskan ke dalam jasadnya. Nah, meski sudah digariskan, namun jalan cerita yang dialami seseorang untuk dapat berjumpa dengan jodohnya, selalu menarik untuk disimak. Entah sudah berapa juta kisah yang terinspirasi dari tema dasar bernama ‘jodoh’.
Tentu saja, kisah yang terjalin di antara Inaya dan Heri pun menarik. Mereka berasal dari kota yang sama, Bandung. Namun, nyatanya butuh cerita yang panjang untuk membuat mereka berjumpa, di tempat yang sangat jauh dari tempat asalnya.
Apakah mereka memang berjodoh, seperti yang sudah digariskan bahkan sebelum roh dihembuskan ke dalam jasad masing-masing? Sampai detik ini, ya, mereka berjodoh. Tapi, tidak ada yang tahu, bentuk perjodohan seperti apa yang terjalin di antara mereka.
Sekadar teman dekat, tanpa ikatan, namun intens bercinta? Atau saling mengikat komitmen untuk membawa hubungan ke arah pelaminan, lalu bubar jalan di ujung cerita? Atau… benar-benar menikah dan cerai lagi, satu setengah tahun kemudian?
Tapi, hingga detik ini, kisah perjumpaan mereka memang unik dan kental aroma kebetulan.
Lazimnya, Inaya dan Heri dipertemukan dalam sebuah acara yang diinisiasi staf KBRI untuk Jepang, misalnya. Atau berjumpa di acara buka puasa bersama yang digelar pentolan-pentolan paguyuban TKI, misalnya. Atau, jika mesti mengambil contoh di luar dunia TKI, Inaya dan Heri bertemu di sebuah toko seratus Yen di Shibuya, misalnya.
Yang terjadi, mereka malah berjumpa di sebuah night club. Sebuah tempat yang, mungkin, merupakan prioritas paling buncit untuk dikunjungi para TKI. Tempat yang kurang lazim.
Namun, jika jodoh sudah bicara, tak ada lagi hal yang tak lazim, bukan? Semua menjadi mungkin.
Tanpa sengaja, Inaya memergoki Heri yang tersenyum sendiri. Rasa ingin tahunya sontak tergelitik.
“Dō shita no?” selidiknya.
Heri menggelengkan kepala. “Takjub, mungkin. Mmh… jauh merantau ke Jepang, berjumpa seorang wanita, yang ternyata berasal dari negara yang sama. Bahkan kota yang sama. Kenapa kita tidak berjumpa dan berkenalan di kota asal kita saja, ya?”
“Tidak ada yang tahu, jalan hidup seseorang,” tanggap Inaya, sambil tersenyum. “Taruhlah kita berjumpa di Bandung, tanpa disengaja. Di sebuah mal elektronik, misalnya. Akankah perjumpaan itu berujung seperti yang kita alami pagi ini?”
Heri mengedikkan bahu.
“Bisa jadi, kita berjumpa di tengah situasi pelik,” lanjut Inaya. “Di pos sekuriti mal elektronik. Aku melaporkan dompet yang dicopet, dan kamu sebagai copet yang tertangkap.”
Heri mendelik.
“Sorry…” gumam Inaya, sambil menahan senyum. “Itu hanya sekadar contoh.”
“Dengan aku sebagai tokoh antagonisnya, begitu?” timpal Heri.
Inaya terkekeh.
“Yah… meskipun sebenarnya contoh tersebut tidaklah mustahil terjadi, kok,” sambung Heri, lalu tertawa getir. “Kalau tidak memaksakan diri untuk mendaftar dan berjuang lolos seleksi keberangkatan ke Jepang, mungkin saat ini aku benar-benar menjadi copet.”
“Kita punya alasan serupa sebagai latar belakang keberangkatan ke Jepang,” tutur Inaya. “Meningkatkan kualitas hidup.”
“Meskipun untuk itu, kita mesti kehilangan kebersamaan dengan keluarga,” timpal Heri.
Inaya mengangguk lirih.
Selanjutnya, suasana menjadi sendu. Mungkin, inilah yang dirasakan oleh semua tenaga kerja Indonesia yang mencari nafkah di negeri orang, ketika teringat keluarga di Tanah Air. Inaya dan Heri terbilang beruntung, karena belum berkeluarga. Bayangkan, bagaimana perasaan mereka yang harus meninggalkan pasangan hidup dan putra-putrinya, selama bertahun-tahun.
“Kenapa kamu menangis?” ucap Heri lembut, sembari tangan kanannya menyentuh wajah manis Inaya.
“Aku rindu ibuku,” jawab Inaya, di sela isak tangis lirihnya.
“Semua orang Indonesia yang bekerja di sini, merasakan hal serupa, Inaya,” tanggap Heri. “Bahkan juga aku, yang sudah tak punya ibu.”
“Beda, Heri,” gumam Inaya. “Semalam, aku baru saja melanggar peringatan ibuku. Beliau berpesan, bahwa aku harus fokus bekerja. Fokus dengan tujuanku berangkat ke Jepang. Kemarin, aku bertindak liar.”
“Wakatta,” tanggap Heri. “Tapi, tentu kamu punya alasan kuat, hingga memutuskan untuk datang ke night club, ‘kan?”
“Aku stres,” jawab Inaya. “Tekanan di tempat kerja itu berat, mungkin kamu juga merasakannya. Yaa... aku tahu, bekerja di mana pun akan selalu ada tekanan. Tapi, ketika tekanan itu terasa berat, aku bisa mencurahkannya pada ibuku. Di sini?”
Heri menanggapi dengan senyuman.
“Akhirnya, aku memutuskan untuk refreshing ke night club,” sambung Inaya. “Stresku memang berkurang, tapi aku jadi merasa bersalah pada ibuku. Aku rindu ibuku.”
Heri menarik kepala Inaya, dan membenamkannya di bahu kirinya. Imbasnya, isak tangis wanita itu pun jadi makin nyaring.
“Aku akan menjagamu, Inaya,” bisik Heri. “Aku akan selalu bersamamu.”
Inaya hanya mengangguk.
“Aku akan membuatmu tak lagi menyesali tindakanmu datang ke night club, semalam,” janji Heri lagi.
Kembali, Inaya hanya mengangguk.
Suasana memang melankolis dan sendu. Namun, pada hakikatnya, Inaya dan Heri masih dalam kondisi sama-sama tanpa busana. Kapan pun gairah keduanya dapat terpantik, seperti apapun suasana yang melingkupinya.
Terbukti, diawali dengan dekapan terhadap kepala Inaya, selanjutnya Heri malah mencumbui wajah sang wanita. Lalu, adegan berkembang menjadi makin panas. Hingga akhirnya Inaya tersadar, ketika bibir Heri hinggap di puting dada kanannya.
“Aku yang rindu ibuku,” ujarnya. “Kenapa justru kamu yang nyusu?”
Heri pun menghentikan aksinya, dan menatap Inaya.
“Puting susu wanita yang belum jadi seorang ibu, lagi,” tambah Inaya.
“Suatu hari, kamu akan menjadi seorang ibu, kok,” tanggap Heri, sambil tersenyum. “Ibu dari anakku.”
Inaya mengerang manja.
+ + + + + + + + +
+ + + + + +
+ + + + + +