Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Kisah Seratus Susu ~ Tamat

Pasang tenda di page 1

Bagus sih ini, mangat ngetiknya gan

Asik nih si budi, moga lancar updatenya yaa

pasang tenda baru

Mantap semeoga updetnya lancar

Nyeduh kopi dulu ☕

Ok lanjut trrus sampai tamat

Ijin bangun tenda di marih hu

Nitip sendal ah

Aduhh ada yang baru nih

jadi penasaran nih ..

Tinggalin jejak dulu gan...
.......... ane

nyimak :baca: bareng sesepuh diatas 👆

Wah seru ini cerita baru... Keep update gan.

Simak dulu. Mudah mudahan lancar dan ga macet

Terima kasih untuk semua yang sudah komen.




Mantep langsung 2 part satu page

Sebenarnya sudah jadi 10 part, tapi ditahan dulu, buat backup takutnya ntar sibuk dan ngga sempat nulis. ✌

Seru bgt cerita nye gan, terus update gan jangan kendor

Profile picture-nya mantap. 😄

Pokoke nyimak

Semoga suka ya hu. Saya nubi yang masih belajar. 🙏
 
Di suatu pagi yang cerah, langit tampak biru dan terdengar kicauan burung kenari peliharaan ayahku. Tapi aku merasa malas untuk keluar rumah dan hanya tiduran di ruang tamu sambil menonton TV.

Kegiatan yang semakin hari semakin banyak membuatku jarang dirumah dan lupa dengan keberadaan Susi. Aku biasanya pergi pagi dan pulang malam, sampai pada titik dimana badanku lelah dan ingin bermalas-malasan saja dirumah.

Bagiku tidak ada acara TV yang menarik, aku hanya ingin rebahan.

Susi berjongkok mengepel lantai menggunakan tangannya seperti biasanya dan aku memperhatikan gerakan susunya yang menyembul-nyembul. Aku mulai merasa bosan melihat pemandangan ini, tapi aku tetap melirik susunya.

Aku berpura-pura mengganti saluran setiap beberapa detik, agar dia berpikiran kalau pandanganku tertuju ke arah TV. Sampai pada salah satu tayangan telenovela, Susi berkata, "Ini saja bang, seru soalnya."

"Serunya apa film begini?" gumamku. Sejujurnya aku tidak perduli juga dengan tayangan TV apapun, jadi aku berhenti menggantinya lagi.

Susi terlihat terburu-buru mengepel dengan ngasal, dan rumah yang kecil tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya. Dia kembali dan duduk di sofa yang berseberangan dengan sofa tempatku tiduran.

Di TV terlihat adegan seorang pria dengan bulu dada yang lebat sedang merayu seorang wanita cantik. Susi nyeletuk, "Bule tuh bang, gede, punya abang pasti kecil kan?" sambil menjulurkan kelingking jari tangannya.

Aku kaget mendengar bercandaan Susi sudah seblak-blakan itu. "Baguslah... kedepannya aku akan blak-blakan juga..."

Aku menjawabnya dengan bercanda, "Aku nggak tahu kalau dibandingkan sama bule, tapi aku yakin punyaku lebih gede dari mantan suami kamu... Kamu aku tusuk juga bakalan menjerit."

Tidak terasa si joni berontak, dan aku sempat meliriknya sekilas. Tidak memakai celana dalam membuat ada gundukan memanjang di celana training berwarna putih yang kupakai, lengkap dengan lekukan lingkaran kepala joni.

Dia menekuk bibirnya kebawah dan menimpali gurauanku, "Hmmm... Mimpi ah..." sambil menengok ke si joni.

Dia lalu bengong dengan mulut yang sedikit terbuka, dan pandangan matanya terpaku ke si joni. Aku menggerakan si joni menggunakan otot pangkalnya, sehingga terlihat gundukan yang bergerak keatas dan kebawah. Raut wajahnya hanya diam tidak bergerak.

Aku: "Penasaran ya? Mau lihat nggak?"

Matanya lalu berkedip, mulutnya menutup, dan kepalanya bergerak seakan tersadar dari imajinasinya.

Susi: "iiihhhhh... Abang nggak pakai celana dalam. Gimana nanti kalau burungnya terbang?" dengan ekspresi wajah dan gestur tubuh yang agak centil.

Dia menggerakan tangan kanannya seperti ingin menepis si joni tapi tidak sampai kena.

Jalannya sudah terbuka lebar dan aku bisa saja merayunya untuk enak-enak saat itu juga, tapi jadi tidak seru jika segampang ini. Lebih baik aku membuatnya penasaran saja dulu. Lagian masih ada pacarku untuk menyalurkan hasratku.

Aku: "Kalau bisa terbang, akan kusuruh terbang ke mulut kamu... hahaha..."
Susi: "Aku gigit nanti."

Aku: "Boleh, tapi gigit manja ya..."
"Kamu mau lihat nggak?"

Susi: "Coba lihat."

Aku menekan kain celana disamping batang si joni, sambil menggerakan jariku bolak-balik dari pangkal ke arah kepala si joni, membuat lekukannya semakin terlihat jelas.

Aku: "Lebih gede mana sama mantanmu?"
Susi: "Ah... Paling kelihatan gede karena kainnya tebal... Coba buka kalau berani."

Aku turunkan karet celanaku sedikit sampai terlihat bulu-bulu selangkangan, lalu aku tarik kembali celanaku.

Aku: "Nggak boleh ah," sambil mengambil bantal kursi dan menutupi si joni.
Susi: "Payah nggak berani... Ya sudah, Susi juga cuman bercanda," jawabnya sambil memalingkan wajahnya ke arah TV.

Aku suka wanita STW yang sesekali bertingkah centil seperti Susi, tapi bukan kecentilan setiap saat, kegatelan atau murahan. Umur yang matang, sedikit guratan keriput, dan paras yang keibuan, bertolak belakang saat dia melakukan ekspresi atau gestur yang centil. Sangat menggemaskan bagiku.

Tidak lama kemudian, kutinggalkan Susi dan pergi ke kamar untuk mendengarkan radio.

Sejak saat itu, Susi sering melihat ke si joni dengan terang-terangan setiap ada kesempatan, yang lama kelamaan membuatku tidak nyaman. Tidak masalah jika momennya pas, tapi agak menyebalkan saat kami mengobrol topik serius dan tidak menjurus, dan Susi menjawab pertanyaanku sambil terus melihat ke si joni.

Aku akhirnya menegurnya.

"Susi! Tolong lihat mataku kalau diajak ngobrol."

"Aku yang mengajak ngobrol, kepalaku di atas sini," sambil menunjuk ke kepalaku.
"Bukan kepala yang ini," sambil menunjuk ke si joni.

"Rasanya aneh tahu kalau orang yang diajak ngobrol malah melototin burungku."

"Iya... Maaf ya bang..." jawabnya.

Teguranku tidak didengarnya. Setelah itu dia tetap sering melihat ke si joni tanpa melihat situasinya. Aku mulai terbiasa dan tidak mempermasalahkannya lagi.

"Aku yang membuat dia penasaran, jadi aku tidak bisa komplain banyak tentang itu."
 
Beberapa hari kemudian aku kecelakaan motor yang lumayan parah. Kakiku terjepit oleh motor dan menggesek aspal sampai daging di dekat mata kaki kananku terkoyak. Kata dokter, syaraf kaki kananku rusak dan membuatku kesulitan berjalan.

Setiap menjejakan kaki kanan, terasa dari tumit ke paha seperti tersetrum kuat dan kaki kanan langsung lemas. Kecelakaan ini membuatku lebih sering menghabiskan waktu di tempat tidur.

Yang paling repot adalah untuk pergi ke kamar mandi, karena kamarku di lantai dua dan kamar mandi ada di lantai satu. Untuk turun tangga, aku harus ngesot duduk ditangga, dan turun setingkat demi setingkat menggunakan bokongku, dengan kaki kanan yang diangkat keatas. Setelah sampai bawah aku meminta susi membantuku.

Saat pertama kali dia membantuku, aku melingkarkan tangan kanan ke bahunya dan menyenggol susunya dengan jariku. Dia sedikit berteriak, "Heh!" sambil menyenggol kaki kananku dengan kaki kirinya. Aku sampai terdiam karena kesakitan.

Karena perbedaan postur tubuh, aku sulit bersender di tubuhnya dengan cara itu. Lalu aku melepaskan tangan kananku, menyuruh dia memeluk lenganku sambil menuntunku ke kamar mandi.

Terasa tekanan susunya yang untuk sejenak membuatku lupa dengan rasa sakit. Sebenarnya lebih cepat kalau aku sendirian lompat satu kaki, tapi aku lebih menikmati saat Susi membantuku. Belum lagi aku bisa mengintip dari celah bagian atas dasternya.

Aku merasa tidak berdaya, hanya bisa tiduran sepanjang hari. Beberapa kali sahabat-sahabatku datang menjenguk. Tapi pacarku lah yang paling rajin, setiap hari datang walau hanya sejam atau dua jam.

Sekitar jam 4 sore dan pacarku sudah pulang, terdengar suara Susi sedang menyapu depan lorong kamarku, rutinitasnya di sore hari.

Kaki kananku yang berjam-jam hanya lurus dan tidak digerakan terasa sangat pegal. Aku mengubah posisi tubuhku menjadi duduk dengan maksud ingin menekuknya. Tiba-tiba kakiku keram!!! Jari kaki bergerak dengan sendirinya karena otot yang kaku tertarik.

Aku terdiam sambil memegangi betis kananku.

Susi yang sedang menyapu melewati depan kamar, melihatku dan bertanya, "Abang kenapa?"

"Keram..." jawabku singkat.

Dia lalu menyandarkan sapunya di tembok dan naik keatas ranjang lalu berlutut dan berkata, "Sini Susi pijat agar lancar peredaran darahnya."

Aku menggeser kedua tanganku ke belakang untuk menopang badanku, dan membiarkan dia memijatku.

"Memang kamu bisa memijat ya?"
"Bisa, dulu sering memijat mantan suami," jawabnya.

Kedua tangannya memijat dari pertengahan betisku sampai pertengahan paha. Walau memakai daster longgar, kedua susu yang terhimpit kedua lengan terlihat menonjol dan bergoyang-goyang. Setelah beberapa saat, matanya seperti diam menatap ke satu titik, dan aku mengikuti arah pandangannya karena penasaran.

Aku sedang memakai celana pendek yang saat kaki tertekuk seperti ini lubang kakinya akan tertarik sampai keatas. Kemungkinan besar dari sudut pandang dia, ada palkon yang nongol, karena aku tidak memakai celana dalam.

Aku lupa kalau si joni terkadang punya pemikiran sendiri dan sudah tegang. Aku pura-pura tidak tahu dan tidak menutupinya, anggaplah ini bayaran untuk pijatan Susi.

Aku tidak membuka percakapan menjurus, rasa sakit menghilangkan semua nafsuku. Susi juga hanya diam saja, mungkin dia tidak enak untuk bercanda disaat aku kesakitan. Tidak lama kemudian kakiku mulai normal kembali, dan aku dapat menggerakan jari kakiku.

"Sudah Susi, terima kasih, lain kali pijat badanku ya."
"Iya bang," jawabnya sambil meninggalkan ranjang dan melanjutkan menyapu.

Keesokan paginya...

Aku setengah terbangun dari tidur karena mendengar pintu kamarku yang tidak pernah dikunci terbuka. Terdengar suara kecil dari gagang sapu yang beradu dengan pintu kayu.

"Oh ini pasti Susi, tapi aneh biasanya jika tidak disuruh, dia tidak menyapu sampai ke dalam kamar," pikirku.

Di lantai bawah terdengar sepi yang artinya orangtuaku sudah pergi bekerja. Masih mengantuk membuatku dalam kondisi antara sadar dan tidak, dan aku berniat untuk melanjutkan tidurku.

Aku yang sedang terlentang merasakan selimutku ditarik, "Mungkin mau dilipat," pikirku. Lalu aku merasakan Susi menarik karet depan celanaku dengan perlahan.

Kondisi si joni sedang tegang, asik sendiri dengan ritualnya setiap pagi. Aku membuka sedikit mataku, terasa sulit dan hanya terbuka sedikit. Nampak Susi sedang memperhatikan si Joni. Sepertinya dia masih penasaran karena kemarin hanya melihat palkon saja.

Aku kembali menutup mata, dan tidak lama kemudian Susi mengembalikan posisi karet celanaku dengan perlahan, lalu menyapu kamar dan keluar. Aku berpura-pura tidak tahu dan tidak pernah membahasnya.

Beberapa hari kemudian...

Aku sedang asik SMS-an dengan pacarku, tiba-tiba ada pemadaman listrik yang selalu mendadak tanpa pemberitahuan. Biasanya pemadaman ini terjadi sekitar jam satu atau dua malam, tapi jam di layar HP-ku menunjukan pukul 23:15.

Aku menurunkan tingkat keterangan layar HP dan melihat status baterai yang tertera masih banyak, jadi aku tidak memperdulikan listrik yang mati. Lagian sebentar lagi juga aku mau tidur.

Beberapa menit kemudian, dari pintu yang belum aku tutup terlihat ada cahaya lilin diiringi dengan suara sendal jepit. Ternyata itu adalah Susi yang membawa lilin yang menyala dan satu lilin cadangan. Dia menaruh kedua lilin itu diatas meja kamarku.

"Bang, Susi nggak bisa tidur dan takut di kamar... Bapak ibu juga nggak bangun."
"Kita ngobrol saja di ruang tamu yuk."

Setelah tarik ulur yang cukup lama, aku merasakan bahwa ini adalah momen yang sangat tepat untuk mendapatkan Susi. Di depanku ada seorang wanita berparas ayu alami tipikal kembang desa. Kulitnya yang sawo matang nan eksotis, tersinari oleh cahaya lilin di tengah kegelapan.

Siapa cowok yang akan menolak itu?

Aku: "Ya ampun Susi, kamu umur berapa masih takut sama gelap?"
"Malas turunnya ah, repot dengan kaki begini."

Susi: "Ayolah bang, nanti Susi bantu turun..."

Aku: "Sudah... Kamu disini saja sampai listrik hidup."

"Tapi kamu yakin ibu dan bapak sudah tidur?"

Susi: "Yakin bang, ini saja sunyi sekali, kalau mereka bangun pasti terdengar suara pintu dan langkah kaki."
"Tapi gimana kalau bapak dan ibu tahu kalau Susi ada disini?"

Aku: "Kamu tadi menutup pintu kamarmu nggak?"
Susi: "Sudah ditutup, tapi nggak dikunci."

Aku: "Yang penting sudah ditutup."
"Misalnya bapak dan ibu mencari kamu, mereka pasti mengetok pintu kamarmu dulu, tidak mungkin langsung membukanya."
"Kalau tidak ada jawaban, mereka pasti mengira kamu sudah tidur."

"Sudah... Tenang saja... Tutup pintunya, kunci perlahan, dan jangan membuat suara."

Susi menutup pintu kamarku dan memutar kuncinya dengan perlahan, ada suara kecil dari besi yang beradu. Aku terdiam mendengarkan apakah orangtuaku terbangun, sambil melihat Susi duduk di pinggir ranjangku.
 
Kutarik lengan Susi dengan lembut dan mengarahkan badannya untuk tiduran di sebelahku. Aku menggeser badanku menjadi menyamping sambil membelakangi dan menyentuh tembok, dan Susi tidur terlentang disampingku.

Dari lubang atas dasternya, tampak lekukan susu yang menyembul. Tapi pandanganku teralihkan ke wajahnya. Terlihat mata kiri Susi berkedip-kedip tidak nyaman karena ada beberapa helai rambut diatasnya. Aku menyibakan beberapa helai rambutnya itu dengan lembut.

Kulanjutkan dengan membelai kepalanya lalu menatap matanya.

"Kamu cantik ya... Wajahmu awet muda, seperti masih 20 tahun..."

Aku mengatakan itu hanya untuk membuat dia senang. Pada kenyataannya, wajahnya tidak terlihat semuda itu.

"Cantik apanya, dekil begini," balasnya dengan cemberut dan gerakan mata yang centil.

Walau dia berusaha menutupinya, raut wajahnya menyiratkan bahwa dia senang dipuji. Firasatku mengatakan bahwa dia sedang memancingku untuk memujinya lagi.

Aku genggam telapak tangan kirinya dan menariknya keatas, agar lebih jelas tersinari oleh cahaya lilin.

Sambil melihat kearah tangannya, aku berkata, "Ini nggak dekil. Coba kamu lihat, kulitmu cantik dan mulus."

"Terlihat eksotis apalagi dibawah cahaya lilin seperti ini."

"Aku justru lebih suka dengan kulit hitam manis seperti kamu," lanjutku dilanjutkan dengan mengecup keningnya.

Dia hanya terdiam, tidak menjawab. Aku juga tidak membuka pembicaraan lagi, karena aku memang tidak suka kebanyakan berdialog saat bercinta. Aku lebih suka menikmati sensasi kulit yang bersentuhan, gerakan tubuh, dan ekspresi lawan mainku.

Dengan perlahan kugerakan jari telunjukku diatas lekukan susunya yang menyembul. Dimulai dari susu kiri, perlahan mengikuti lekukannya ke susu kanan, lalu kugerakan berputar dengan lambat. Nafasnya semakin cepat, terlihat dari gerakan naik turun dadanya. Aku melumat bibirnya sambil tanganku meremas susunya. Dia membalas melumat bibirku sambil kami sesekali memainkan lidah.

Aku membimbing tangan kanannya ke arah si Joni yang sudah tegang, lalu dia memasukan tangannya ke dalam celana dan mengocok si joni. Aku menarik bagian bawah dasternya sampai ke atas lalu mengusap belahan lubangnya yang terbungkus celana dalam. Ciumannya semakin ganas, sesekali bibirku di gigitnya.

Beberapa saat kemudian, Susi menempelkan tangannya di dadaku dan aku menghentikan ciumanku. Dia lalu merubah posisinya menjadi duduk bersila dan membuka dasternya melewati kepalanya. Adu duduk juga didepannya sehingga kami berhadap-hadapan. Tampak susu kembar yang indah ditopang oleh bra hitam, dan celana dalam berwarna hitam bergaris putih di bagian atasnya.

Bentuk susunya yang sebenarnya seperti pepaya, tampak bulat saat masih memakai bra. Aku lebih suka bentuknya seperti ini, tapi aku tidak bisa menahan hasrat ingin membuka bra-nya.

Aku membuka bra itu dan melemparnya perlahan ke lantai. Nampak dua susu yang lonjong memanjang kebawah. Putingnya besar menonjol, seakan menantangku untuk menghisapnya.

Kulitnya yang sawo matang terlihat eksotis diterangi cahaya lilin ditengah kegelapan.


Aku membuka baju dan celanaku dan kami kembali duduk berhadapan. Kedua susunya terlihat agak menggantung kedepan karena Susi mencondongkan tubuhnya untuk mendekat kearahku.


Dia berbisik di kupingku, "Bang, aku sudah lama nggak begituan, takut sakit..."

"Susi mau nggak?" tanyaku.
"Kalau nggak mau... Nggak apa-apa... Kita ngobrol saja."

Dia lalu mengangguk kecil sambil menjawab, "Mau bang..."

Aku mengelus kepalanya dan berkata, "Kamu tenang saja ya, aku akan pelan-pelan."

Susi dengan inisiatif membuka celana dalamnya dan melebarkan kakinya. Cahaya lilin yang berpijar dalam kegelapan membantuku melihat dengan samar, bulu yang lebat dan gelambir tipis yang berwarna hitam. Aku mendekatkan kepalaku dan membuka bibir itu dengan kedua jariku, dan apa yang aku lihat membuatku tertegun.

Lubang kenikmatan Susi ternyata masih rapat, sempit, dan rapih. Mungkin karena dia sudah lama melahirkan dan lama tidak bercinta.


Tangan kanannya mencoba menahan tanganku sedangkan tangan kirinya menutupi lubangnya, dan berbisik, "Jangan buka Bang, aku malu."

Sambil jempolku memainkan kacangnya, aku membalasnya, "Malu kenapa Susi, ini lubang kamu masih bagus banget seperti yang belum pernah melahirkan."

Matanya terpejam, tubuhnya menggeliat, dan dia berbisik sambil mengerang kecil, "Ugghh.... ma.. luu... bang... ugghh..." sambil meremas kedua susunya dengan tangannya. Aku mengingatkannya untuk tidak bersuara, "Ppssstttttt... Pelan-pelan Susi, nanti ayah dan ibu bangun..."

Aku lanjutkan dengan menjilat kacangnya. Aroma khas wanita yang tidak menyengat dan tidak mengganggu membuatku semakin bernafsu. Aku buka bagian bibir dalamnya dengan lidahku sambil menjilati sekitarnya.

Tidak lama kemudian... Terasa lubang itu berkedut sambil mengeluarkan banyak cairan. Susi mengerang dan badannya menggeliat, dan aku menghentikan jilatanku.

Namun Susi melingkarkan kedua kakinya ke punggungku dan menariknya, sehingga kepalaku kembali ke depan lubangnya. Aku lanjutkan menjilatnya sesekali dengan lembut. Sekitar mulutku sampai basah semua karena lendir itu. Nafasnya terlihat tidak beraturan dan sesekali dia membuang nafas.

Setelah tubuhnya berhenti menggeliat dan kembali santai, dia membuka percakapan kecil.

Susi: "... Aku belum pernah dijilat, ternyata enak bang."
Aku: "Masa? Dulu ngapain saja sama mantan suamimu?"

Susi: "Dia selalu langsung masukin, jadinya sakit karena belum basah."
"Sesudah keluar juga dia biasanya langsung tidur, tanpa memperdulikanku."

Aku: "Aduh kasihan kamu baru tahu rasanya dijilat," sambil aku elus rambut dan pipinya dengan punggung jariku.

Dia lalu berkata, "Ayo bang masukin."

Aku daritadi menahan rasa senat-senut di luka kakiku, dan terus mengganti posisinya agar terasa nyaman dan tidak tersenggol. Dengan kondisi kaki ini, aku tidak bisa ngewe dengan pose aneh-aneh, jadi aku bilang padanya, "Aku yang tiduran ya." Susi lalu keluar tempat tidur dan aku merebahkan tubuh sambil membuka kakiku.

Kemudian dia naik ke ranjang, duduk di depan selangkanganku dan mulai menghisap si joni. Hisapannya standar tidak ada yang spesial. Setelah beberapa saat, dia berhenti sambil masih memegang batang si joni.

Susi: "Ini ada sedikit cairan yang keluar dan asin bang."

(Yang dia maksud adalah cairan precum.)

Aku: "Nggak apa-apa, ayo teruskan."
Susi: "Pegal bang," sambil cemberut manja.

Sepertinya dia tidak suka dengan cairan asin itu, atau mungkin sudah bosan menghisap dan ingin ngewe saja.

Jadi aku membalasnya, "Ya sudah... Kita masukan ya, tapi kamu diatas."

Aku agak merapatkan kakiku dan dia merubah posisi badannya diatas si joni dan kedua kakinya berada di samping pinggulku. Dia menaruh tangan kirinya diatas pahaku untuk menopang tubuhnya. Sambil merendahkan tubuhnya, dia memegang si joni dengan tangan kanannya dan mengarahkan ke lubangnya.

Dia menaik-turunkan tubuhnya beberapa kali, dan lubangnya terasa sangat sempit. Kepala si joni saja belum masuk semua tapi dia sudah mengerang kecil sambil sesekali menghentikan gerakannya, lalu membuang nafas. Terlihat badannya mulai berkeringat, membuatnya terlihat sedikit mengkilap.

Andaikan kakiku tidak sakit, aku akan yang diatas dan dia yang tiduran agar tubuhnya lebih santai dan nyaman. Aku bantu dia dengan menaruh tanganku di bawah pahanya untuk menopang berat tubuhnya. Lalu aku menggerakan pinggulku keatas dan bawah dengan perlahan.

Lendir yang licin dan sedikit kesat sangat membantu di momen ini. Akhirnya kepala joni bisa masuk semua. Aku gerakan pinggulku lebih jauh dengan kaki kiri dan kedua siku tangan sebagai tumpuan, agar si joni masuk semua sampai ke pangkalnya. Setelah beberapa saat, kaki kiri dan pinggangku rasanya pegal sekali.

Susi tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya dan duduk di badanku, aku pun akhirnya dapat merilekskan tubuhku ke atas ranjang. Dia menaruh tangan kanannya diatas perutku dan berkata.

Susi: "Sebentar bang."
Aku: "Kenapa? Sakit kah?"
Susi: "Sakit dikit bang..."

Beberapa saat kemudian, dia mulai menaik-turunkan tubuhnya. Nampaknya lubang Susi sudah beradaptasi dan lebih rileks. Terasa dari kepala sampai pangkal si joni sudah lebih lancar masuknya. Walau begitu, lubang yang hangat itu masih terasa mencengkram erat si Joni.

Susi lalu menjatuhkan badannya diatas badanku sambil tetap menggoyangkan pinggulnya. Dia menjilati dan menghisap putingku, dilanjutkan dengan kami berdua berciuman dengan liar. Terasa kedua susunya yang empuk menekan-nekan badanku.

Tidak butuh waktu lama untuk dia mendapatkan orgasme keduanya. Suatu hal yang wajar karena dia sudah lama tidak bercinta.

Dia menghentikan gerakannya, merebahkan badan dan kepalanya di atas badanku. Nafasnya terengah-engah. Terasa lubangnya mengempot, dan meremas-remas si joni yang masih di dalamnya.

Cengkraman lubang yang sempit dan hangat itu membuat si joni merasakan kegelian yang luar biasa. Ingin rasanya orgasme didalam lubang itu, tapi aku masih sempat berpikir tentang resikonya jika Susi sampai hamil.

Aku menguatkan otot selangkanganku sekuat-kuatnya untuk menahan orgasme. Aku menahan peredaran darah si joni untuk beberapa saat sampai rasa ingin orgasme itu hilang.

Setelah nafas Susi kembali normal dan lubangnya berhenti berkedut, dia berkata "Sekarang giliran abang ya."

Dia mengangkat badannya. Aku hisap pentol putingnya, sambil sesekali kugigit-gigit manja. Lalu aku remas kedua susunya sambil menikmati goyangan pinggulnya. Selangkangan dan bijiku sudah basah dengan lendir, terdengar suara becek setiap kali kulit kami beradu.

Setelah beberapa lama, aku merasakan akan keluar. Aku bilang pada Susi agar mencabut lubangnya, lalu dia duduk di depan si joni sambil mengocoknya. Si joni akhirnya memuntahkan cairan putihnya.

Susi menggerakan tubuhnya hendak tiduran di sebelahku. Aku menggeser posisi tubuhku menjadi menyamping dan menopang kepalaku dengan tangan. Ranjang ukuran satu orang memang agak ribet untuk tidur berdua. Posisi tubuhnya sekarang berhadapan denganku. Dia lalu memelukku dengan tangan kirinya.

Aku: "Enak tidak Susi?"
Susi: "Awalnya sakit dikit bang, selanjutnya enak."
Aku: "Gimana, punyaku sama mantan suami kamu lebih enak mana?"
Susi: "Lebih enak yang bang Budi, terasa penuh di lubangku."

Setelah percakapan-percakapan kecil selesai, aku membersihkan bekas cairan yang berceceran di tubuhku dan sprei dengan tissue, lalu mengenakan pakaianku kembali. Susi pun mengenakan pakaiannya dan kembali ke kamarnya. Listrik masih belum menyala sampai aku terlelap.

Sejak saat itu aku beberapa kali ngewe dengan Susi lagi, tapi tidak setiap hari, hanya saat diantara kami berdua kepingin saja. Lebih seringnya dia yang mengajak, karena aku sebenarnya sudah puas melampiaskan rasa penasaranku.

Dalam keseharianku, aku lebih sering bercinta dengan pacarku Putri. Dia adalah pacar tercantik seumur hidupku.
Kelakuan centil dan manjanya, selalu bisa menceriakan hariku.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd