Kutarik lengan Susi dengan lembut dan mengarahkan badannya untuk tiduran di sebelahku. Aku menggeser badanku menjadi menyamping sambil membelakangi dan menyentuh tembok, dan Susi tidur terlentang disampingku.
Dari lubang atas dasternya, tampak lekukan susu yang menyembul. Tapi pandanganku teralihkan ke wajahnya. Terlihat mata kiri Susi berkedip-kedip tidak nyaman karena ada beberapa helai rambut diatasnya. Aku menyibakan beberapa helai rambutnya itu dengan lembut.
Kulanjutkan dengan membelai kepalanya lalu menatap matanya.
"Kamu cantik ya... Wajahmu awet muda, seperti masih 20 tahun..."
Aku mengatakan itu hanya untuk membuat dia senang. Pada kenyataannya, wajahnya tidak terlihat semuda itu.
"Cantik apanya, dekil begini," balasnya dengan cemberut dan gerakan mata yang centil.
Walau dia berusaha menutupinya, raut wajahnya menyiratkan bahwa dia senang dipuji. Firasatku mengatakan bahwa dia sedang memancingku untuk memujinya lagi.
Aku genggam telapak tangan kirinya dan menariknya keatas, agar lebih jelas tersinari oleh cahaya lilin.
Sambil melihat kearah tangannya, aku berkata, "Ini nggak dekil. Coba kamu lihat, kulitmu cantik dan mulus."
"Terlihat eksotis apalagi dibawah cahaya lilin seperti ini."
"Aku justru lebih suka dengan kulit hitam manis seperti kamu," lanjutku dilanjutkan dengan mengecup keningnya.
Dia hanya terdiam, tidak menjawab. Aku juga tidak membuka pembicaraan lagi, karena aku memang tidak suka kebanyakan berdialog saat bercinta. Aku lebih suka menikmati sensasi kulit yang bersentuhan, gerakan tubuh, dan ekspresi lawan mainku.
Dengan perlahan kugerakan jari telunjukku diatas lekukan susunya yang menyembul. Dimulai dari susu kiri, perlahan mengikuti lekukannya ke susu kanan, lalu kugerakan berputar dengan lambat. Nafasnya semakin cepat, terlihat dari gerakan naik turun dadanya. Aku melumat bibirnya sambil tanganku meremas susunya. Dia membalas melumat bibirku sambil kami sesekali memainkan lidah.
Aku membimbing tangan kanannya ke arah si Joni yang sudah tegang, lalu dia memasukan tangannya ke dalam celana dan mengocok si joni. Aku menarik bagian bawah dasternya sampai ke atas lalu mengusap belahan lubangnya yang terbungkus celana dalam. Ciumannya semakin ganas, sesekali bibirku di gigitnya.
Beberapa saat kemudian, Susi menempelkan tangannya di dadaku dan aku menghentikan ciumanku. Dia lalu merubah posisinya menjadi duduk bersila dan membuka dasternya melewati kepalanya. Adu duduk juga didepannya sehingga kami berhadap-hadapan. Tampak susu kembar yang indah ditopang oleh bra hitam, dan celana dalam berwarna hitam bergaris putih di bagian atasnya.
Bentuk susunya yang sebenarnya seperti pepaya, tampak bulat saat masih memakai bra. Aku lebih suka bentuknya seperti ini, tapi aku tidak bisa menahan hasrat ingin membuka bra-nya.
Aku membuka bra itu dan melemparnya perlahan ke lantai. Nampak dua susu yang lonjong memanjang kebawah. Putingnya besar menonjol, seakan menantangku untuk menghisapnya.
Kulitnya yang sawo matang terlihat eksotis diterangi cahaya lilin ditengah kegelapan.
Aku membuka baju dan celanaku dan kami kembali duduk berhadapan. Kedua susunya terlihat agak menggantung kedepan karena Susi mencondongkan tubuhnya untuk mendekat kearahku.
Dia berbisik di kupingku, "Bang, aku sudah lama nggak begituan, takut sakit..."
"Susi mau nggak?" tanyaku.
"Kalau nggak mau... Nggak apa-apa... Kita ngobrol saja."
Dia lalu mengangguk kecil sambil menjawab, "Mau bang..."
Aku mengelus kepalanya dan berkata, "Kamu tenang saja ya, aku akan pelan-pelan."
Susi dengan inisiatif membuka celana dalamnya dan melebarkan kakinya. Cahaya lilin yang berpijar dalam kegelapan membantuku melihat dengan samar, bulu yang lebat dan gelambir tipis yang berwarna hitam. Aku mendekatkan kepalaku dan membuka bibir itu dengan kedua jariku, dan apa yang aku lihat membuatku tertegun.
Lubang kenikmatan Susi ternyata masih rapat, sempit, dan rapih. Mungkin karena dia sudah lama melahirkan dan lama tidak bercinta.
Tangan kanannya mencoba menahan tanganku sedangkan tangan kirinya menutupi lubangnya, dan berbisik, "Jangan buka Bang, aku malu."
Sambil jempolku memainkan kacangnya, aku membalasnya, "Malu kenapa Susi, ini lubang kamu masih bagus banget seperti yang belum pernah melahirkan."
Matanya terpejam, tubuhnya menggeliat, dan dia berbisik sambil mengerang kecil, "Ugghh.... ma.. luu... bang... ugghh..." sambil meremas kedua susunya dengan tangannya. Aku mengingatkannya untuk tidak bersuara, "Ppssstttttt... Pelan-pelan Susi, nanti ayah dan ibu bangun..."
Aku lanjutkan dengan menjilat kacangnya. Aroma khas wanita yang tidak menyengat dan tidak mengganggu membuatku semakin bernafsu. Aku buka bagian bibir dalamnya dengan lidahku sambil menjilati sekitarnya.
Tidak lama kemudian... Terasa lubang itu berkedut sambil mengeluarkan banyak cairan. Susi mengerang dan badannya menggeliat, dan aku menghentikan jilatanku.
Namun Susi melingkarkan kedua kakinya ke punggungku dan menariknya, sehingga kepalaku kembali ke depan lubangnya. Aku lanjutkan menjilatnya sesekali dengan lembut. Sekitar mulutku sampai basah semua karena lendir itu. Nafasnya terlihat tidak beraturan dan sesekali dia membuang nafas.
Setelah tubuhnya berhenti menggeliat dan kembali santai, dia membuka percakapan kecil.
Susi: "... Aku belum pernah dijilat, ternyata enak bang."
Aku: "Masa? Dulu ngapain saja sama mantan suamimu?"
Susi: "Dia selalu langsung masukin, jadinya sakit karena belum basah."
"Sesudah keluar juga dia biasanya langsung tidur, tanpa memperdulikanku."
Aku: "Aduh kasihan kamu baru tahu rasanya dijilat," sambil aku elus rambut dan pipinya dengan punggung jariku.
Dia lalu berkata, "Ayo bang masukin."
Aku daritadi menahan rasa senat-senut di luka kakiku, dan terus mengganti posisinya agar terasa nyaman dan tidak tersenggol. Dengan kondisi kaki ini, aku tidak bisa ngewe dengan pose aneh-aneh, jadi aku bilang padanya, "Aku yang tiduran ya." Susi lalu keluar tempat tidur dan aku merebahkan tubuh sambil membuka kakiku.
Kemudian dia naik ke ranjang, duduk di depan selangkanganku dan mulai menghisap si joni. Hisapannya standar tidak ada yang spesial. Setelah beberapa saat, dia berhenti sambil masih memegang batang si joni.
Susi: "Ini ada sedikit cairan yang keluar dan asin bang."
(Yang dia maksud adalah cairan precum.)
Aku: "Nggak apa-apa, ayo teruskan."
Susi: "Pegal bang," sambil cemberut manja.
Sepertinya dia tidak suka dengan cairan asin itu, atau mungkin sudah bosan menghisap dan ingin ngewe saja.
Jadi aku membalasnya, "Ya sudah... Kita masukan ya, tapi kamu diatas."
Aku agak merapatkan kakiku dan dia merubah posisi badannya diatas si joni dan kedua kakinya berada di samping pinggulku. Dia menaruh tangan kirinya diatas pahaku untuk menopang tubuhnya. Sambil merendahkan tubuhnya, dia memegang si joni dengan tangan kanannya dan mengarahkan ke lubangnya.
Dia menaik-turunkan tubuhnya beberapa kali, dan lubangnya terasa sangat sempit. Kepala si joni saja belum masuk semua tapi dia sudah mengerang kecil sambil sesekali menghentikan gerakannya, lalu membuang nafas. Terlihat badannya mulai berkeringat, membuatnya terlihat sedikit mengkilap.
Andaikan kakiku tidak sakit, aku akan yang diatas dan dia yang tiduran agar tubuhnya lebih santai dan nyaman. Aku bantu dia dengan menaruh tanganku di bawah pahanya untuk menopang berat tubuhnya. Lalu aku menggerakan pinggulku keatas dan bawah dengan perlahan.
Lendir yang licin dan sedikit kesat sangat membantu di momen ini. Akhirnya kepala joni bisa masuk semua. Aku gerakan pinggulku lebih jauh dengan kaki kiri dan kedua siku tangan sebagai tumpuan, agar si joni masuk semua sampai ke pangkalnya. Setelah beberapa saat, kaki kiri dan pinggangku rasanya pegal sekali.
Susi tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya dan duduk di badanku, aku pun akhirnya dapat merilekskan tubuhku ke atas ranjang. Dia menaruh tangan kanannya diatas perutku dan berkata.
Susi: "Sebentar bang."
Aku: "Kenapa? Sakit kah?"
Susi: "Sakit dikit bang..."
Beberapa saat kemudian, dia mulai menaik-turunkan tubuhnya. Nampaknya lubang Susi sudah beradaptasi dan lebih rileks. Terasa dari kepala sampai pangkal si joni sudah lebih lancar masuknya. Walau begitu, lubang yang hangat itu masih terasa mencengkram erat si Joni.
Susi lalu menjatuhkan badannya diatas badanku sambil tetap menggoyangkan pinggulnya. Dia menjilati dan menghisap putingku, dilanjutkan dengan kami berdua berciuman dengan liar. Terasa kedua susunya yang empuk menekan-nekan badanku.
Tidak butuh waktu lama untuk dia mendapatkan orgasme keduanya. Suatu hal yang wajar karena dia sudah lama tidak bercinta.
Dia menghentikan gerakannya, merebahkan badan dan kepalanya di atas badanku. Nafasnya terengah-engah. Terasa lubangnya mengempot, dan meremas-remas si joni yang masih di dalamnya.
Cengkraman lubang yang sempit dan hangat itu membuat si joni merasakan kegelian yang luar biasa. Ingin rasanya orgasme didalam lubang itu, tapi aku masih sempat berpikir tentang resikonya jika Susi sampai hamil.
Aku menguatkan otot selangkanganku sekuat-kuatnya untuk menahan orgasme. Aku menahan peredaran darah si joni untuk beberapa saat sampai rasa ingin orgasme itu hilang.
Setelah nafas Susi kembali normal dan lubangnya berhenti berkedut, dia berkata "Sekarang giliran abang ya."
Dia mengangkat badannya. Aku hisap pentol putingnya, sambil sesekali kugigit-gigit manja. Lalu aku remas kedua susunya sambil menikmati goyangan pinggulnya. Selangkangan dan bijiku sudah basah dengan lendir, terdengar suara becek setiap kali kulit kami beradu.
Setelah beberapa lama, aku merasakan akan keluar. Aku bilang pada Susi agar mencabut lubangnya, lalu dia duduk di depan si joni sambil mengocoknya. Si joni akhirnya memuntahkan cairan putihnya.
Susi menggerakan tubuhnya hendak tiduran di sebelahku. Aku menggeser posisi tubuhku menjadi menyamping dan menopang kepalaku dengan tangan. Ranjang ukuran satu orang memang agak ribet untuk tidur berdua. Posisi tubuhnya sekarang berhadapan denganku. Dia lalu memelukku dengan tangan kirinya.
Aku: "Enak tidak Susi?"
Susi: "Awalnya sakit dikit bang, selanjutnya enak."
Aku: "Gimana, punyaku sama mantan suami kamu lebih enak mana?"
Susi: "Lebih enak yang bang Budi, terasa penuh di lubangku."
Setelah percakapan-percakapan kecil selesai, aku membersihkan bekas cairan yang berceceran di tubuhku dan sprei dengan tissue, lalu mengenakan pakaianku kembali. Susi pun mengenakan pakaiannya dan kembali ke kamarnya. Listrik masih belum menyala sampai aku terlelap.
Sejak saat itu aku beberapa kali ngewe dengan Susi lagi, tapi tidak setiap hari, hanya saat diantara kami berdua kepingin saja. Lebih seringnya dia yang mengajak, karena aku sebenarnya sudah puas melampiaskan rasa penasaranku.
Dalam keseharianku, aku lebih sering bercinta dengan pacarku Putri. Dia adalah pacar tercantik seumur hidupku.
Kelakuan centil dan manjanya, selalu bisa menceriakan hariku.