Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

JUARA LOMBA BERHALASENJAKALA [2019]

Status
Please reply by conversation.
Satu-satunya hal yang terpikirkan oleh Radja adalah para sekuriti, sopir maupun pembantu sudah angkat kaki tanpa pamit. Radja tentu saja langsung naik pitam karena merasa tidak di anggap. Baiklah! Radja langsung meraih remote TV dan di lemparkan ke arah layar TV. Radja yang belum puas melampiaskan amarah lalu lari ke dalam garasi dan mengambil satu stik golf milik Ayahnya yang di biarkan teronggok di dalam garasi karena rusak berkarat. Yang terjadi selanjutnya adalah Radja memukuli, menghancurkan barang-barang yang ada di dalam posko sekurity mulai dari loker, lemari kecil, PC, dispenser, kursi hingga meja.

“TAIK LO SEMUA ! TIDAK TAHU DI UNTUNG ! JANGAN PERNAH KALIAN KEMBALI KE RUMAH INI LAGI!” teriak Radja histeris sembari mengamuk.

Selesai memporak-porandakan isi posko, Radja kembali ke dalam rumah sambil terengah-engah. Ia merasa sedikit lega karena bisa menumpahkan kemarahan, kekesalan yang terpendam selama satu minggu terakhir bisa di keluarkan. Radja sudah tidak peduli jika ada tetangga yang mendengar keributan yang terjadi.

“Jika semua orang sudah pergi dari rumah ini, tidak ada gunanya buat gue tetap ada di rumah terkutuk ini,” gumam Radja sambil duduk di meja dapur. Karena sudah lapar dan semakin lapar, Radja menenangkan diri sambil mengunyah roti tawar di oles margarin dan selai kacang.

Radja lalu menyusun rencana. Pagi ini juga, setelah mandi, ia akan mengemasi barang-barang mahal lalu pergi membawa mobil Jazz. Radja tidak tahu hendak kemana, yang pasti ia akan menjual barang-barang dulu yang mudah di angkut dengan mobil. Kalau semua barang sudah jadi uang, setidaknya ia bisa tenang karena punya duit pegangan yang lumayan banyak.

“Selanjutnya gue pikirin nanti saja, yang penting gue perlu mandi dan segera berkemas. Lebih cepat pergi, lebih baik.”

Manusia adalah perencana yang baik, namun adakalanya kenyataan tidaklah semanis harapan.



***​



Sofyan Malik menatap benda mengkilat yang berhasil ia selundupkan ke dalam kaus kakinya. Benda kecil yang menjadi jalan satu-satunya atas semua permasalahan yang menimpanya. Dunianya seakan runtuh ketika ia tertangkap KPK. Sofyan mengakui ia teledor dan meremehkan cengkeraman KPK. Rekannya sudah memperingatkan untuk main aman dan jangan main api ambil duit receh karena Teuku Rafli Ketua KPK yang baru, bukan cuma modal nyali dan mengumbar pepesan kosong.

“Backing dia kuat, jauh lebih kuat daripada ketua KPK sebelum-sebelumnya. Presiden juga menyatakan 100 % akan melindungi dan menjaga KPK. Presiden nothing to lose karena ini periode terakhirnya sebagai presiden. Celah untuk ambil uang saku tetap ada, tapi mesti benar-benar aman. Sebaiknya kalau pun mau kue, pastikan kue-nya sebanding dengan resiko. ”

Perkataan salah satu rekan dalam lingkaran korupnya sangat membekas dalam benak Sofyan. Namun pada waktu itu ia hanya menganggap angin lalu saja.

Kepongahan dan ketamakan dalam diri Sofyan, membuat Sofyan akhirnya terpeleset, tidak menyadari bahwa namanya sudah menjadi bidikan KPK. KPK menunggu Sofyan lengah dan akhirnya kesempatan untuk meringkus sang ketua Komisi VIII DRR-RI pun muncul.

Sofyan teringat ketika di konferensi pers pertama sebagai Ketua KPK terpilih periode 2019-2024, Teuku Rafli dengan lantang bersumpah di depan semua orang termasuk Presiden dan para pejabat negara, ia akan memburu setiap koruptor di negeri. Jika terbukti mengambil uang negara, Teuku Rafli bukan hanya siap memenjarakan pelaku tapi ia juga berniat membuat para pelaku pencuri uang negara, uang rakyat jatuh miskin dengan menyita semua asetnya.

“Saya dan pimpinan KPK lainnya juga sedang membuat kajian judicial review tentang hukuman mati bagi para korupstor. Tentu hukuman mati ini tidak bisa sembarang di berlakukan. Si pelaku harus memenuhi beberapa aspek terlebih dahulu. Karena menurut saya pribadi, hukuman penjara tidak bisa lagi memberikan efek jera kepada pelaku. Bahkan kalau boleh jujur, hati saya terasa perih dan tidak terima, ketika melihat para pelaku koruptor yang memakai rompi orange, masih bisa ketawa-tawa, senyum-senyum bahkan melambaikan tangan di depan wartawan. Mereka seolah tidak punya rasa malu, bahwa mereka itu sama derajatnya dengan pencuri ayam ! Coba jika seandainya di terapkan hukuman mati bagi para pelaku korupsi uang negara, apakah mereka masih bisa tersenyum jika tiang gantungan sudah menunggu di depan mata?”

Badan Sofyan Malik bergidik mengingat itu semua. Dari semua ancaman hukuman yang menanti dirinya, cuma hukuman sosial yang tidak sanggup ia terima. Terutama perasaan luar biasa malu karena sebentar lagi dia akan terseret kasus korupsi pengadaan kitab suci. Mantan guru besar bidang Ilmu Kajian Agama malah korupsi dana untuk kitab suci, ironis. Sofyan juga pasrah jika seandainya KPK merilis detail penangkapan dirinya yang tengah berada di kamar hotel bersama dua perempuan muda. Bukan dua perempuan muda sembarangan karena mereka adalah PSK yang ia sewa untuk menemaninya bersenang-senang setelah transaksi jual-beli jabatan sukses. Rasa malu yang sedemikian besar sungguh tidak tertahankan. Tidak sanggup rasanya Sofyan Malik menatap semua teman, almameternya di kampus, lingkungan organisasi keagamaan dan koleganya di Senayan. Radja, ia juga sepertinya tidak akan sanggup menatap putra tunggalnya tersebut. Anak semata-wayang yang tidak ia berikan kasih sayang dengan benar demi mengejar ambisi jadi wakil rakyat, menjadi orang yang punya kuasa.

“Tidak, aku tidak akan sanggup menanggung perasaan malu ini....” Sofyan bergumam sembari mengepalkan tangan kirinya kuat-kuat. Lalu selanjutnya ia menempelkan potongan silet tepat di atas nadinya.

“Cuma ini caranya agar aku lepas dari rasa malu dan terhindar hukum manusia...Tuhan, maafkan hamba-Mu ini...”

Crass !!

Darah menyembur dari pergelangan tangan kiri Sofyan ketika ia mulai mengiris kuat-kuat urat nadinya dengan silet yang ia selundupkan dari kantor penyidik KPK memanfaatkan kelengahan petugas. Rasa pedih panas sakit luar biasa dirasakan oleh Sofyan, namun sebelum ia semakin kesakitan dan kehilangan keberanian, Sofyan kembali nekat mengiris dalam-dalam urat nadinya. Sofyan sudah kehilangan akal, yang ada di otaknya adalah memastikan ia segera mati bunuh diri, ia tidak ingin nyawanya terselamatkan. Darah mengucur makin deras, membuat Sofyan yang tadinya berdiri, kini terduduk bersandar dinding kamar mandi. Darah mengucur semakin deras ke lantai kamar mandi dan membasahi tangan kirinya yang mulai gemetar. Sofyan yang mulai kehilangan kesadaran berniat menuntaskan pekerjaan terakhirnya dengan memposisikan ujung pisau di atas nadinya yang sudah putus, tersayat menimbulkan luka menganga.

JLEB!

Ujung silet kini menancap di pergelangan tangan kiri Sofyan. Badan Sofyan mulai kedinginan dan lemas karena berkurangnya jumlah darah secara drastis. Sofyan merasa kepalanya sakit tak tertahankan. Sakit di kepala yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Setelah beberapa menit, Sofyan merasa nyawanya masih susah keluar dari raganya. Ia lalu kembali mengiris-iris pergelangan tangan kirinya yang sudah koyak banjir darah. Ketika melakukannya, Sofyan sudah tidak sanggup menahan rasa sakit. Ia pun mengerang kesakitan sekaligus menangisi nasibnya.

Sementara itu di luar kamar mandi, Jojo petugas yang mengawal Sofyan mulai curiga karena selain merasa Sofyan sudah terlalu lama berada di kamar mandi, ia tidak mendengar suara gemericik air atau apapun. Jojo mengetuk pintu kamar mandi sembari memanggil nama Sofyan.

“Pak..Pak Sofyan...” Jojo yang semakin khawatir, kembali mengetuk pintu semakin keras.

Karena tidak ada jawaban dari dalam, membuat Jojo mulai panik. Dari ketukan kini berubah menjadi gedoran. Gedoran semakin kencang saat samar-samar Jojo mendengar erang kesakitan dari dalam kamar mandi. Jojo langsung tanggap hal nekat yang mungkin di lakukan oleh Sofyan Jojo langsung berlari keluar dari kamar mandi dan meminta teman-teman untuk membantu mendobrak pintu dari luar. Jojo lalu kembali ke kamar mandi yang dikunci rapat dari dalam oleh Sofyan bersama teman-temannya. Mereka mulai mendobrak ramai-ramai sambil memanggil-manggil nama Sofyan.

“Pak Sofyan, tolong buka pintunya Pak! Jangan nekat pak !”

Suara teriakan, keributan dan gedoran di pintu semakin kencang membuat Sofyan mulai panik. Ia tidak ingin terselamatkan, ia mau secepatnya mati. Mengiris urat nadi memang bisa membunuhnya tetapi perlu waktu beberapa jam lagi. Sofyan lalu berdiri susah payah sambil merambat ke dinding, pergelangan tangan kirinya sudah mati rasa, darah menetes tiada henti membuat lantai putih kini berwarna merah darah. Sofyan mencabut silet yang tertancap di pergelangan tangan kiri lalu ia pegang dan dekatkan di lehernya.

Sofyan berdiri menghunus silet sepanjang 10 cm di depan bak mandi yang penuh dengan air. Matanya nanar menatap bayangan dirinya yang terpantul dari permukaan air.

Sofyan tidak menyadari sebelum ia melakukan aksi terakhirnya, ada dua bayangan hitam muncul dari bawah dan kini berdiri di belakangnya. Sofyan sebenarnya juga merasa merinding, namun sudah terlambat untuk merasa takut.

Setelah mendobrak beberapa kali dan tentu saja mengundang kehebohan, engsel pintu kamar mandi mulai kendor. Lewat satu gedoran yang kuat, pintu kamar mandi akhirnya roboh ke dalam, satu orang dengan sigap langsung memegang handle pintu dibantu yang lain memegang sisi pintu, agar tidak menimpa orang yang berada di dalam kamar mandi. Lalu pintu tersebut di sandarkan ke samping. Semua orang termasuk Jojo kini melihat pemandangan mengejutkan sekaligus memprihatinkan di dalam kamar mandi. Kedua kaki Sofyan sudah tidak menapak ke lantai yang penuh ceceran darah karena posisi badannya tertelungkup ke dalam bak mandi yang sempit dengan kepala terperosok berada di dasar bak mandi. Air di bak mandi kini juga berwarna kemerahan. Di bawah bak mandi tergeletak silet yang berlumur darah. Tidak ada gerakan atau rontaan.

Tanpa perlu mengecek tanda vital di badan Sofyan, Jojo dan semua orang tahu bahwa Sofyan Malik sudah tidak bernyawa karena nekat melakukan aksi bunuh diri.

“Astagfirulllah, Pak Sofyan.”

“Innalilahi Wa inailaihi rojiun....”

“Naudzubillah min dhalik..”



***​



Saat Radja sedang mengganti baju di atas kamarnya, dari balik kaca kamar, ia melihat dua mobil sedan berhenti di depan rumahnya. Dari dalam mobil, keluar petugas Kepolisian. Radja panik, ia sebenarnya tidak tahu kenapa ia panik dan takut. Tetapi ia punya feeling jelek, instingnya mengatakan sebaiknya ia segera kabur sebelum di interograsi para petugas. Radja langsung menyambar jaket yang tergeletak di tempat tidur dan yang paling penting tas Eiger lusuh yang berisi uang Rp 22 juta. Ia sudah tidak sempat lagi mengemasi barang atau mengambil apapun yang bisa ia jual karena ia mendengar ribut-ribut di depan rumahnya. Radja berdoa, pintu gerbang depan masih terkunci, sehingga ia masih punya waktu beberapa menit untuk kabur dari rumah. Radja berlari menuruni tangga dan langsung menuju ke halaman belakang, lebih tepatnya pintu darurat yang persis berada di belakang gazebo. Dari depan pintu ini tidak akan terlihat karena tertutup tanaman sulur. Radja merasa beruntung karena masih mengantungi kunci kamarnya yang juga bisa digunakan membuka pintu darurat ini.

Pintu yang terbuat dari besi di cat senada dengan warna dinding, segera ia buka. Pintu darurat ini membawa Radja ke belakang tembok rumahnya yang tinggi, berbatasan dengan areal persawahan. Radja sempat berlari beberapa meter namun balik untuk mengunci pintu darurat dari luar. Ia tidak ingin para Polisi mengetahui ia lari dari pintu ini. Radja berharap Polisi mengira bahwa bahwa sejak semalam ia dan para penghuni rumahnya sudah angkat kaki sehingga tidak perlu ada adegan pengejaran tehadap dirinya.

Setelah berhasil mengunci pintu dari luar, Radja yang hanya mengenakan sandal, berlari menyusuri pinggiran sawah menuju ke jalan aspal kecil yang mengarah ke desa yang tidak jauh dari rumah Radja. Setelah sampai di jalan beraspal, Radja menaikkan tudung jaket hitamnya dan berjalan cepat menuju ke arah desa.

Tanpa alasan yang jelas, Radja menangis sesenggukan, ia sedih, bingung atas apa yang telah terjadi. Ia tidak tahu apa yang mesti ia lakukan selanjutnya setelah ia bisa kabur dari rumah. Radja kemudian berhenti berjalan mengusap air matanya, ia hendak menengok rumahnya, rumah yang bagaimanapun punya banyak kenangan terutama kenangan bersama Ibunya. Tetapi, Radja menepuk kedua pipinya dengan keras, Radja meneguhkan tekad, ia sudah tidak boleh menoleh ke belakang. Ia pun kembali berjalan sambil menunduk, ia tidak ingin menarik perhatian siapapun. Sambil berjalan, Radja mau tidak mau mesti berpikir apa yang mesti ia lakukan selanjutnya. Setelah berjalan kurang lebih 10 menit, Radja berhenti di depan toko kecil yang menjual minuman. Radja merogoh kantung, ia lega karena ia mengambil celana jeans panjang yang di saku kantungnya ada ponsel yang sudah seminggu ia matikan dan dompet yang berisi 5 lembar uang Rp 100 ribu serta kartu identitanya seperti KTP, SIM serta Kartu Mahasiswa.

Setelah membeli air mineral dingin dan beberapa Sari Roti, Radja duduk di kursi plastik kecil depan toko. Ia merogoh kantung amplop berisi uang tunai Rp 22 juta dari dalam tas, masih aman. Dengan uang sebesar ini pun, Radja masih bingung ia mesti kemana. Ia teringat dengan paman dan bibinya. Tapi Radja segera menepis kemungkinan meminta bantuan kepada mereka kerabat dari keluarga Ibunya. Ayahnya, Sofyan Malik sama seperti Radja, seorang putra semata wayang. Kakek dan Nenek dari pihak Ayah, sudah lama meninggal. Sama halnya dengan kakek nenek dari pihak Ibu. Pokoknya meminta bantuan ke kerabat jauh, langsung Radja coret dari opis. Sebenarnya, Radja tahu beberapa temannya masih memiliki hutang dengannya. Kalau di total mungkin ada 30 jutaan. Tapi rasa gengsi, malu membuat Radja mengurungkan niat untuk menagih uangnya ke mereka. Apalagi Radja ketika meminjamkan uang selalu bilang santai ketika si peminjam uang bilang akan mengembalikan secepatnya.

Radja bukan orang bodoh, ia tidak masalah jika seandainya uang yang ia pinjamkan lama balik atau bahkan tidak di bayar, Radja menuntut kompensasi lain kepada para teman , kenalan yang meminjam uang kepadanya.

Dengan memanfaatkan piutang yang ia punya dan mengungkit-ungkit kemurahan hatinya, Radja memposisikan mereka sebagai pembantu dan semena-mena memberikan perintah. Bahkan ada satu contoh ekstrem ketika ia pernah meminta Firman, teman yang pinjam uang kepadanya, untuk memukuli Boni, Ketua CIVILIAN klub mobil khusus pemilik mobil Honda Civic. Radja menyimpan dendam kepada Boni karena ia pernah menyerempet mobil CRV-nya. Meski Boni sudah meminta maaf dan mengganti kerusakan, Radja tetap menaruh dendam. Firman awalnya menolak, bukan karena ia takut dengan Boni tetapi ia tahu tindakannya akan membuat keributan antar dua komunitas klub mobil. Namun Radja dengan enteng bilang.

“Gue gak maksa elo sih Man, gue kan minta tolong. Ya kalau elo gak bisa nolongin gue seperti halnya gue nolongin elo tempo hari, sekarang juga balikin duit gue yang lo pinjam 8 juta. Uang itu mau gue pakai buat anak-anak lain yang bisa bantuin gue,” sindir Radja.

Firman masih diam mikir, ia gak pegang duit sebanyak itu sekarang. Duit 8 juta yang ia pinjam dari Radja sebenarnya buat lunasin hutang ke bandar judi bola. Ya, sebenarnya Firman cuma gali lubang tutup lubang. Lebih baik ia terlibat hutang dengan Radja daripada berurusan dengan para bandar bola yang preman beneran.

Radja melihat Firman masih ragu-ragu lalu memberikan satu tambahan kalimat yang kali ini membuat Firman mau tak mau mesti menuruti perkataan Radja.

“Man, kalau elo gak bisa balikin duit gue sekarang. Gue bakalan tagih ke bokap elo lengkap dengan buktinya. Gimana ya seandainya bokap lo tahu kalau anaknya punya hutang 8 juta dari bandar bola. Pinjem uang temannya untup nutup hutang lagi. Lucu ya, bokap lo kan Polisi tapi elo malah suka main judi bola, sering kalah besar pula. Untung gue masih ada sisa duit pulsa yang bisa gue pinjemin ke elo ya Man.”

Firman tidak bisa menolak lagi. Ia bisa di hajar habis sama bokapnya yang Polisi jika ketahuan terlibat judi bola. Akhirnya Firman menyanggupi namun dengan sedikit syarat.

“Besok gue hajar si Boni, tapi potong hutang gue 50%.”

Radja tertawa dan mendekati Firman.

“Kalau elo bisa sekalian patahin kedua tangan si Boni, hutang lo gue anggap lunas.”

Firman agak terkejut namun tetapi resiko sebanding dengan hasilnya.

“Deal.”

Beberapa hari kemudian tersiar kabar, Boni masuk rumah sakit dengan kondisi luka berat, selain luka lebam di wajah, kedua tulang tangannya patah akibat di serang orang tidak di kenal saat pulang dari kampus. Bukan hanya itu saja, mobil Boni juga habis terbakar. Tidak jelas seperti apa kronologi penyerangan, apakah Boni memang di incar orang-orang tertentu atau Boni terlibat perkelahian dengan orang asing yang berujung cedera parah.

Radja tertawa mendengar berita tersebut. Ia tahu benar ini pekerjaan si Firman.

Ya begitulah sifat Radja, ia sering mempermainkan, memanfaatkan uang yang ia punya untuk kesenangannya.

Sifat kejam Radja ini membuat Radja sekarang tidak berani menagih ke teman-teman yang meminjam uangnya, padahal sekarang ini ia sangat membutuhkan uang. Setelah menimamg-nimang dan memikirkan berbagai cara, Radja memutuskan mengkontak Dion. Puluhan pesan WA, Miscall masuk ke dalam ponsel saat Radja menyalakannya. Radja pusing melihat banyaknya pesan di Whatsapp. Ia lalu meng-uninstall Whatsapp tanpa membuka satu pun pesan. Setelah beres, ia lalu menelepon Dion.

Setelah beberapa kali nada dering, Dion mengangkat.

“Bro ! Elo gak apa-apa! Lo di mana sekarang? Gue tu-”

Radja langsung menyela perkataan Dion. “Lo di rumah ? Kalau iya, gue ke rumah lo sekarang.”

Dion berpikir Radja pasti butuh tempat untuk melampiaskan kesedihan karena berita kematian Ayahnya, maka ia pun tidak ada masalah saat Radja ingin ke rumahnya sekarang. Dion yang sedang masturbasi sambil menonton film porno saat dirinya sedang menyetubuhi Novita yang ia rekam diam-diam di rumah Radja, langsung menghentikan kesenangan pribadinya dan beres-beres kamar. Sembari menunggu kedatangan Radja, Dion mau tak mau mesti muter otak, mencari alasan logis kenapa dia, Kiki, Ryan dan bahkan Novita tidak ada yang datang ke rumahnya pasca berita penangkapan Ayah Radja tersiar, seminggu yang lalu.

Radja menuju rumah Dion naik Go-Car. Dari sekian temannya, pergi ke rumah Dion adalah yang paling mudah karena kedua orang tua Dion adalah pegawai negeri di Balaikota, adiknya juga masih sekolah sehingga Dion di jam-jam segini paling bolos kuliah dan main game sendirian di rumahnya.

Ketenangan yang di harapkan Radja minimal untuk beberapa hari sekalian meminta pendapat Dion, apa yang mesti ia lakukan selanjutnya, tidak terlaksana. Bahkan Radja menerima kabar yang membuat sadar bahwa ia kini hanya hidup sebatang kara.

“Dja, gue turut berduka cita Bro.”

Perkataan pertama Dion saat ia menyambut Radja yang datang ke rumahnya, membuat Radja kebingungan.

Radja jelas saja bingung, ia tidak tahu sama sekali berita tentang Ayahnya yang bunuh diri di kamar mandi gedung KPK pagi tadi jadi breaking news di mana-mana. Jika saja Radja tidak lari saat melihat petugas datang ke rumahnya untuk memberikan kabar duka, Radja akan tahu dan bahkan mendapat kesempatan untuk melihat jenazah Ayahnya untuk terakhr kalinya sebelum di makamkan siang ini di TPU.

“Turut berduka cita? Maksud lo apaan?”

Kini Dion jadi bingung sendiri. “Ya berduka cita atas meninggalnya Ayah elo lah, Om Sofyan.”

Radja tidak langsung mempercayai kalimat yang ia dengar barusan meski ia mendengar dengar jelas ucapan Dion.

..atas meninggalnya Ayah elo lah, Om Sofyan..

“Coba lo ulangi lagi perkataan elo,” ujar Radja sambil menatap Dion yang lebih tinggi daripada dirinya.

Dion merasakan sikap Radja yang aneh, masak iya Radja gak tahu bokapnya yang ternyata koruptor itu mati bunuh diri pagi tadi?

Dion tidak langsung menjawab pertanyaan dari Radja. Ia mengajak Radja untuk masuk ke dalam rumah. Setelah Radja duduk di sofa ruang tamu, Dion menyalakan TV.

“Semua saluran TV sedang menayangkan berita ini sedari pagi,” ujar Dion sambil memberikan remote TV kepada Radja.

“Gue buatin kopi dulu, tunggu.”

Radja diam saja dan mulai memindah-mindahkan saluran di TV saat Dion pergi ke dapur. Air mata Radja meleleh setelah meliha sendiri beritanya di TV. Cara Ayahnya meninggal yakni dengan cara bunuh diri membuat Radja shock berat. Dia memang tidak pernah dekat bahkan hampir tidak mempunyai keterikatan emosi dengan Ayahnya. Tetapi hubungan darah tetap tidak bisa bohong, Radja sedih mendengar Ayahnya meninggal dengan cara seperti itu. Bahkan saat ini saluran TV sedang menayangkan berita prosesi pemakaman Ayahnya di TPU tanpa di iringi sanak-saudara, sahabat maupun kolega. Pemakaman Ayahnya hanya di dampingi oleh beberapa petugas saja, ironis sekaligus menyesakkan bain Radja. Sang Reporter Meta TV lalu memberitakan bahwa putra Sofyan Malik menghilang tidak di ketahui keberadaannya saat petugas datang ke rumahnya pagi ini untuk memberikan kabar duka secara langsung.

Radja langsung lemas mendengarnya. Sempat ada harapan ia bisa kembali ke rumahnya, namun dari sang Reporter, Radja mendengar meskipun Ayahnya sudah meninggal, proses persidangan tetap berjalan karena kasus jual-beli jabatan dan korupsi pengadaan kitab Suci yang melibatkan Ayahnya juga meluas dan membelit beberapa nama baru. Bahkan nama Sofyan Malik juga muncul dalam fakta terbaru persidangan kasus korupsi mega proyek E-KTP sebagai salah satu nama penerima aliran dana yang di taksir total kerugian negara akibat kasus korupsi ini mencapai angka Rp 2,2 triliun. Sehingga sampai menunggu proses persidangan selesai dan muncul angka yang mesti di bayar para tersangka sebagai pengganti kerugian uang negara karena korupsi, surat berharga dan berbagai aset milik mendiang Sofyan Malik dan ahli warisnya akan di bekukan.

Pada momen inilah, Radja menyadari hidupnya tidak akan pernah sama lagi.



***​



Radja terbangun dan sempat bingung melihat sekelilingnya. Radja melihat Dion sedang asyik main PS4 di kamarnya. Radja mengingat bahwa tadi siang setelah makan, ia tidur di kamar Dion. Ia benar-benar kecapekan setelah beberapa hari terakhir susah tidur. Lelah fisik dan psikis membuat Radja membutuhkan tidur. Ia berharap semua hal buruk yang ia alami seminggu ini adalah mimpi. Tetapi terkadang kenyataan atau realita jauh lebih buruk daripada bunga tidur. Ayahnya sudah mati berkalang tanah dan seluruh hartanya di sita oleh Negara sebagai jaminan.

Dion yang tidak tahu Radja sudah bangun, langsung keluar kamar saat mendengar ia di panggil Mamanya untuk makan. Radja kemudian bangun dan melanjutkan permainan FIFA 19 yang sedang di-pause dalam keadaan 2-0. Dion yang memakai tim favoritnya AC Milan tertinggal dari tim Real Madrid. Radja tersenyum, Dion memang goblog kalau main FIFA. Lawan komputer saja kalah. 10 menit berikutnya Radja asyik bermain PS4. Radja yang memang jago main FIFA19 dengan mudah membalikkan keadaan menjadi 6-2 untuk keunggulan AC Milan.

Bahagia itu sederhana, bisa bermain PS4 meski hanya sebentar, batin Radja. Ia lalu meletakkan stik dan kemudian menyambar sebotol air mineral yang ada di meja belajar. Saat Radja sedang membuka tutup botol minum, Radja tak sengaja mendengar percakapan kedua orang tua Dion dengan Dion di ruang tengah. Radja bisa mendengar jelas pembicaraan mereka karena pintu kamar di biarkan terbuka.

“Sudah korupsi, mati bunuh diri pula. Ya ampun gak kebayang gimana beratnya azab yang terima Pak Sofyan di akhirat.”

Radja mengenali suara tersebut. Itu suara Om Hadi, Ayah Dion.

“Uhuk...uhuhkkk.” Itu suara Dion yang tengah tersedak.

“Minum dulu Di, Makan kok tersedak. Iya ya Pa, ngeri ya. Masih gak nyangka Mama, dia sampe nekat begitu. Mungkin beliau saking malu kali ya Pak. Mosok, Guru Besar Bidang Kajian Agama malah nekat korupsi pengadaan Kitab Suci. Itu pasti makin pedih azabnya. Beruntung si Esti meninggal terlebih dahulu, jadi dia gak perlu mendengar kabar suaminya kena OTT KPK ketika sedang berzina di dalam kamar hotel dengan dua cewek sekaligus. Terus di akhiri dengan berita bunuh diri suaminya, Oia, Di. Mama senang kamu gak dekat-dekat lagi sama Radja. Seperti yang kamu cerita ke Mama, si Radja itu kurang kasih sayang. Anak kurang kasih sayang tapi terus-menerus di kasih duit haram pasti ujungnya gak baik loh.”

Itu suara Tante Rosi, Ibu Dion. Tante Rosi berteman baik dengan mendiang Ibunya. Radja tahu bahwa Tante Rosi dulu seringkali minta bantuan alias pinjam uang ke Ibunya dengan alasan untuk tambah-tambah modal usaha Toko Sembako. Entah utang Tante Rosi sudah di bayar belum, namun kedua orang tua Dion kini dengan entengnya membicarakan aib keluarga Radja di meja makan membuat darah Radja mendidih.

Saat Radja berdiri, pada saat yang sama Dion masuk ke kamar untuk menutup pintu. Dion mungkin khawatir pembicaraan di meja makan akan terdengar oleh Radja yang Dion kira masih tidur. Jadi begitu Dion menyadari Radja sudah bangun dan menunjukkan ekspresi marah, Dion tertegun.

Speechless.

Dion yakin Radja sudah mendengar percakapan kedua orangtuanya. Rupanya orang tua Dion tidak tahu bahwa Radja ada di dalam kamar anak mereka dan telah mendengar dengan jelas isi percakapan. Satu-satunya hal yang membuat Radja tidak mengamuk sekarang ini adalah ia mengingat kebaikan Dion hari ini yang menyambut dengan tangan terbuka kedatangannya di rumah, memberinya makan dan tempat untuk beristirahat.

Radja mengambil nafas panjang lalu menyambar ponsel dan tas Eiger.

“Dja, sori kalau kata-kata....” dengan terbata-bata Dion meminta maaf kepada Radja. Radja menepuk pelan pundak Dion saat ia melewatinya. Kedua orangtua Dion terperanjat kaget bahkan mulut keduanya menganga saat mereka melihat Radja tiba-tiba keluar dari kamar Dion. Radja menatap kedua orangtua Dion dengan tatapan tajam. Kemudian Radja pergi dari rumah Dion tanpa mengucapkan sepatah-kata.

Ketika Radja meninggalkan rumah Dion, Radja melupakan satu hal kecil yang akan membuat hidupnya makin sengsara. Tanpa disadari oleh Radja, ia lupa bahwa rumah Dion hanya berjarak lima rumah dari rumah Firman. Pada saat yang sama Firman sedang ngopi di teras depan rumah bersama dua temannya , Rudi dan Bayu. Ketika Radja lewat, Firman sempat mengira ia salah lihat. Namun setelah di perhatikan dengan seksama, pemuda yang lewat depan rumahnya adalah Radja!

Firman langsung menyeringai, ia masih sakit hati dan menyimpan dendam kepada Radja karena perlakuannya saat ia masih berhutang kepada Radja. Beruntung kasus penyerangan Boni berhenti karena tidak ada saksi mata di tempat kejadian sehingga kasus di peti es kan. Firman pun bisa menghirup nafas karena aksinya tidak terungkap. Meski kedok Firman tidak terbongkar, ia tetap menyalahkan Radja sebagai sumber masalahnya. Saat mendengar berita yang menimpa keluarga Radja, Firman senang bukan kepalang. Firman punya niat memberikan pelajaran kepada si anak papa. Tetapi kabar dari TV bahwa Radja sudah menghilang, membuat Firman pasrah tidak bisa membalas sakit hatinya.

Namun nasib baik berpihak kepada Firman kali ini saat dia melihat Radja melintas sendirian di depan rumahnya dengan langkah gontai. Tidak ada Dion atau Ryan yang Firman takuti.

Radja benar-benar sendirian sekarang, terusir dari rumah dan mungkin tidak punya apa-apa.

“How lucky i am,” desis Firman sembari menghisap kuat-kuat rokoknya yang nyaris habis.

Firman lalu mengajak Rudi dan Bayu untuk mengikuti Radja dari belakang. Jalan yang di lalui Radja akan melewati satu lahan kosong yang agak sepi, sehingga Radja meminta Rudi, satu temannya untuk tetap mengikuti Radja dari belakang, sementara ia dan Bayu masuk ke dalam gang dan secepatya mendahului dan berniat mencegat Radja di kebun kosong, yang sama sekali tidak tahu bahaya besar tengah mengintainya.

Ketika Radja sudah melewati gapura perumahan, ia kini berada di jalan sepi minim peneranga yang hanya ada lahan kosong di kiri-kanannya. Radja mendesah, karena terbawa emosi dia salah ambil jalan. Radja kini berada di jalan kecil yang memang menuju ke jalan raya yang ramai namun sebelumnya ia akan melewati areal sepi. Karena tanggung mau puter arah, Radja pun melanjutkan jalan kaki. Sambil berjalan Radja memikirkan apa yang mesti ia lakukan sekarang.

paling tidak untuk malam ini saja. Sesampai di jalan besar, ia akan naik Go-Car menuju ke hotel murah untuk ia beristirahat malam ini. Apa rencana selanjutnya, Radja masih belum kepikiran.

Well, gak gue sangka bisa ketemu sama anak koruptor di sini. Halo Radja...”

Radja kaget karena di depan ia melihat dua orang seumuran dengannya berdiri di tengah jalan. Radja langsung mengenali Firman dan satu teman Firman yang tidak ia kenal namun menunjukan ekspresi tidak bersahabat. Alarm tanda bahaya langsung berbunyi nyaring di dalam kepala Radja. Radja berbalik badan hendak menghindari konfrontasi namun rupanya di belakang Radja ada satu orang berbadan besar, menatapnya sambil menyeringai.

Radja terjepit, di antara ketiga orang yang memancarkan aura permusuhan.

“Mau kemana lo Dja? Udah di usir lo ya dari rumah? Haha,” lanjut Firman sambil menghisap rokok.

Radja bukanlah orang yang pandai berkelahi, bahkan terakhir Radja terlibat kontak fisik langsung adalah saat ia di hajar oleh salah satu teman SMP yang tidak tahan terus di-bully oleh Radja dan kawan-kawan. Berkat pengaruh orang tua Radja, Radja di anggap sebagai korban, sementara anak yang sudah menghajar Radja tanpa ampun dianggap melakukan kesalahan besar dan akhirnya di keluarkan dari sekolah. Semenjak itu, Radja tidak pernah mau lagi terlibat perkelahian langsung. Ia lebih suka memanfaatkan uangnya untuk menyuruh orang lain memberikan pelajaran kepada orang yang tidak Radja suka.

Ketika uang yang menjadi satu-satunya “kekuatan” Radja telah di lucuti, maka Radja tak ubahnya seperti cowok biasa saja. Radja dan Firman tahu benar hal ini. Radja yang mencium niat busuk Firman dan teman-temannya sempat terpikir memberikan uang 1-2 juta kepada kepada mereka agar ia lepas. Namun itu ide buruk. Karena bisa saja mereka malah merampas semua uang di dalam tas, satu-satunya uang yang Radja miliki.

Maka jalan satu-satunya adalah.....

Firman membuang puntung rokoknya dan mulai mengepalkan kedua tangan.

“Ayo guys, olahraga malam! Sergap dia!” perintah Firman.

Radja boleh jadi memang lemah tidak mungkin bisa menang adu pukul melawan tiga orang sekaligus, tapi akal Radja masih bisa berjalan. Radja berlari berbalik arah, seolah ingin adu nekat melawan Rudi yang sudah menunggungnya. Rudi tertawa dan membentangkan kedua tangannya.

“Ayo sini, gue bikin pepes !”

Firman dan Bayu berlari mengepung Radja, mendesaknya. Radja di untungkan dengan posisi Rudi yang hanya berdiri diam, jadi tepat sebelum Rudi menyergapnya, Radja memutar haluan alias dengan tiba-tiba mengubah arah lari. Radja kini berlari menyampingg, mereka berdua tidak menyangka Radja akan berlari ke arah lahan yang gelap tanpa penerangan. Jalanan yang cukup lebar di apit dua lahan kosong membuat Radja punya ruang luas untuk meloloskan diri. Rudi yang kaget berusaha mengapai Radja. Namun ia kalah cepat, sehingga ia hanya bisa menyambar gantungan kunci di tas punggung Radja yang berbentuk papan selancar terbuat dari kayu. Karena gantungan kunci tersebut licin, sekali kibas, Radja berhasil meloloskan diri. Radja berlari kembali ke jalan berbatako dan selanjutnya berlari sekuat tenaga menuju jalan besar karena di belakangnya, Rudi, Bayu dan Firman mengejarnya.

“Jangan sampai dia lolos ke jalan besar!” teriak Firman kepada kedua temannya.

Namun langkah kaki Radja lebih cepat dan gesit. Radja bersyukur tadi siang ia sempat makan banyak dan tidur siang 6-7 jam di rumah Dion sehingga ia punya tenaga cukup untuk berlari kencang meninggalkan ketiga orang yang ternyata tidak bisa lari kencang.

Hanya saja, Radja tidak menyadari jika tarikan Rudi yang mengenai gantungan kunci tas, membuat risliting tas terbuka dan mengguncang isi tas. Satu map besar berisi uang Rp 22 juta pun terjatuh dari dalam tas saat Radja berlari tunggang-langgang. Radja fokus terus berlari hingga akhirnya ia sampai di jalan raya dan nekat menyeberang di jalan raya yang padat. Radja nyaris tertabrak mobil karena pengendara mobil tidak melihat Radja menyeberang. Untung Radja melompat sehingga tidak terserempet. Radja memang selamat namun ia tidak bisa selamat dari sasaran kemarahan dari para pengendara motor dan mobil karena aksi sembrono Radja.

Radja cuek dan sempat terduduk di pinggir trotoar, ia benar-benar capek. Baru kali ini Radja berlari sedemikian kencang. Dan Radja yakin Firman cs tidak akan berani nekat menyeberang. Jadi Radja santai saja saat melihat Firman berjalan keluar dari dalam gang bersama kedua temannya.

Radja langsung berdiri dan mengacungkan kedua jari tengahnya ke arah mereka.

“Fuck youuuuuu!!!” teriak Radja sambil tertawa penuh kemenangan.

Namun Radja merasa ada yang aneh karena Firman yang ia tahu sangat emosian, malah senyum-senyum. Dan situasi menjadi terbalik saat Radja melihat Firman memamerkan satu map besar sambil tersenyum lebar. Radja reflek melihat ke arah tas Eiger.

Tas Eiger terbuka lebar, isi di dalamnya tidak ada sama sekali. Radja langsung pucat pasi melihat tas kosong melompong. Saat Radja melihat ke arah Firman, dia dan kedua temannya melambai-lambaikan tangan ke arahnya sambil tertawa lebar. Mereka gembira luar biasa mendapat rejeki nomplok! Sementara sang empunya uang, lemas dan terduduk begitu saja di pinggir jalan, pasrah melihat di seberang jalan, Firman sudah menghilang bersama satu map berisi uang Rp 22 juta.

Uang terakhirnya. Radja berteriak keras sekali, tidak memperdulikan tatapan orang-orang di sekitarnya. Radja meluapkan kemarahan sekaligus ketakutan akan nasibnya. Tas Eiger ia banting-banting di tanah, di pijak-pijak dan ia tarik sehingga jebol sudah risltingnya tas. Kotor dan berdebu. Tas jelek yang dari kemarin ia jaga benar-benar karena isinya yang jadi harapan terakhirnya, kini tak ubahnya jadi tas tidak berharga. Sudah tidak ada apa-apa lagi di dalamnya. Yang di punyai Radja kini hanya semua yang menempel di badannya.

Badai kesialan belum selesai menghantam Radja.

Saat mencoba memeriksa apa saja yang ada di kantung jaket dan celananya, Radja baru sadar, ponselnya tertinggal di rumah Dion. Sehingga benda berharga yang Radja punya saat ini jam tangan murahan yang ia beli dengan harga Rp 1 juta dan dompet kulit seharga Rp 1,2 juta berisi uang 487.200. Saking parahnya kesialan yang terus mengikuti dirinya, Radja sudah tidak sanggup menangis lagi.

Satu-satunya alat komunikasi sudah hilang, Radja menganggap ponselnya hilang karena ia tidak sudi datang ke rumah Dion untuk mengambil ponsel. Tidak ada satupun nomor ponsel yang Radja hafal. Otomatis Radja benar-benar sendirian. Radja memutuskan menenangkan diri dengan membeli teh manis hangat di angkringan yang tidak jauh dari situ.

“Ada apa toh Mas kok kayaknya lagi stres?” ujar Pak Kiman pemikik angkringan saat meletakkan segelas teh hangat di depan Radja yang lesu.

Radja menghembuskan nafas dengan berat. “Uang gue di dalam tas jatuh terus di ambil orang Pak. Lalu orang itu pergi.”

“Oalahh Yang sabar Mas, mungkin belum rejeki. Semoga mas cepat dapat gantinya.”

Radja males untuk bercerita dengan detail. Ia pun merasa lapar dan mengambil bungkusan nasi. Radja selama ini belum pernah makan di angkringan pinggir jalan. Selama ini Radja berpikir, hanya orang miskin yang makan di angkringan yang menyajikan makanan kampung. Untuk kali ini Radja, setuju karena sekarang ini dia sama seperti oranng miskin yang biasa ia pandang sebelah mata. Saat mulai menyantap nasi porsi kecil dengan bandeng dan sambel, Radja menarik kata-katanya tentang makanan di angkringan. Rasanya enak. Radja pun makan dengan lahap hingga habis empat bungkus nasi, sesekali Radja mengambil tahu bacem manis yang langsung jadi makanan kesukaannya.

Sambil membuatkan minuman ke beberapa pembeli yang mampir di angkringannya, Pak Kiman tersenyum melihat Radja makan dengan lahap. Pak Kiman langsung tahu bahwa Radja dari keluarga berada dan sepertinya baru kali makan di angkringan. Setelah kenyang, Radja mengambil sebatang rokok yang di letakkan di toples kecil dekat tempat sendok.

Entah apa merk rokok ini, tetapi setelah melewati hari terberat yang pernah Radja jalani, setiap hisapan dan hembusan asapnya terasa nikmat sekali. Bahkan menurut Radja, rokok putih ini jauh lebih nikmat dari pada rokok lintingan ***** yan sering ia hisap sebelum tidur.

“Gue mesti kemana sekarang. Gue udah jadi gembel. Satu yang pasti, gue gak aman berkeliaran di kota ini, karena gue punya banyak musuh dan orang-orang tidak suka dengan gue,” gumam Radja.

Radja menoleh ke arah jalan raya, melihat bus-bus besar lalu-lalang. Melihat deretan bus ini membuat Radja berpikir untuk naik ke salah satu bus secara acak dan ikut saja terserah bus tersebut pergi ke arah mana. Setelah rokok habis, tekad Radja sudah bulat, malam ini juga ia mesti pergi dari Kota ini. Karena ia tidak punya tujuan lagi di tempat ini.

“Pak, nasi empat, teh angat satu, rokok satu, tahu bacem tiga. Berapa?” tanya Radja sembari berdiri dan mengeluarkan dompet.

Namun Pak Kiman menggeleng. “Simpan saja mas uangnya, gak usah di bayar.”

Radja kaget, “Lho kok gitu Pak?”

“Ya gak apa-apa mas, mas kan abis dapat musibah. Bapak turut prihatin, jadi cuma ini yang bisa Bapak bantu.”

Radja tertunduk, ia tidak sanggup berkata-kata. Orang asing yang baru di jumpainya sungguh murah hati bahkan ikut berempati dengan situasi berat yang sedang ia alami. Radja menyalami tangan Pak Kiman yang kasar, “Pak, makasih, makasih banyak Pak.”

“Iya Mas, sama-sama. Mas ini mau kemana sekarang?”

“Gue mau ke luar kota pak naik bus dari sini.”

“Oh gitu, mau kemana?”
Pak Kiman menyebutkan satu nama kota kecil dan Radja mengiyakan saja serta menambahka dengan satu kebohongan kecil. “Saya ada saudara di sana. Yadah Pak, terimakasih.”

“Hati-hati mas, dompet dan ponsel jangan di taruh di kantung celana belakang. Di kantungin di kantung saku depan saja, lebih aman” ujar Pak Kiman.

Radja langsung mengikuti saran Pak Kiman dan memindahkan dompet ke saku depan. Setelah bersalaman sekali lagi, Radja langsung berlari kecil saat melihat bus berhenti, menaikkan satu penumpang seraya berkata, “Waringin, Waringin.”

Radja memutuskan pergi ke Kota yang tadi Pak Kiman sebut dan kebetulan ada bus yang mengarah ke sana. Sang Kondektur melambai-lambai ke arah Radja. Radja segera naik dari pintu depan bus. Bus terisi setengah. Radja langsung menyusuri lorong bus dan menempati bangku paling belakang dekat dengan kaca sebelah kanan. Bus kembali melaju, dari kaca belakang, Radja menatap kembali ke arah angkringan dan penjualnya yang sangat baik. Radja berjanji, satu hari nanti dia akan kembali lagi ke sini dan membalas kebaikan Pak Kiman.

“Tujuan?” tanya kondektur yang menghampiri Radja.

“Wa...Waringin,” jawab Radja pelan karena ia pun tak tahu.

“Terminal-nya?” ah si kondektur membantunya. Radja mengangguk.

“Sini ke Terminal berapa jam Pak?” tanya Radja.

“3-4 jam paling.”

Lumayan jauh berarti Kota bernama Waringin. Tapi kini Radja deg-degan karena ia belum pernah naik bus besar antar kota, Radja mengira ongkosnya ratusan ribu, apalagi jaraknya cukup jauh.

“Rp 35 ribu,” kata si kondektur sambil menyerahkan potongan tiket bus.

Radja malah kaget, murah bangett, batin Radja. Radja langsung mengeluarkan uang pas dari dompetnya. “Pak, boleh minta tolong nanti di bangunkan kalau sudah sampai terminalnya?” pinta Radja.

“Yas mas, tenang saja. Itu pemberhentian terakhir. Semua penumpang pasti diberitahu kalau sudah sampai.”

Radja menarik nafas lega. Bus ini terasa dingin sekali karena ACnya di setelah cukup kencang. Namun Radja bersyukur ia masih mengenakan jaket jumper yang lumayan melindunginya dari hawa dingin.

Bus yang melaju kencang dan mulus, di tambah dengan rasa lelah dibungkus dengan hawa dingin dan perut kenyang, membuat Radja perlahan terlelap ketika bus kota ini masuk ke jalan tol dan berjalan dengan tenang, membawa Radja menuju ke babak kehidupannya yang baru di sebuah kota yang benar-benar baru.



[cente]***[/center]



Amin, 60 tahun, sedang duduk-duduk menikmati secangkir kopi hitam di wadah gelas plastik di area emperan kios di dalam arean terminal Kota Waringin, ketika melihat seseorang dengan gerakan sengaja menabrakkan diri ke salah satu penumpang cowok yang baru turun dari bus, masih dalam keadaan mengantuk. Si penumpang tidak menyadari bahwa barang berharga yang di simpang di kantung saku depan sudah berpindah tangan. Amin melihat si penumpang masuk ke dalam toilet umum. Amin geleng-geleng kepala karena ia mengenali pemuda yang belum juga kapok jadi pencopet. Setelah menghabiskan sisa kopinya, Amin segera menyusul si pencopet yang berjalan cepat keluar dari area terminal.

Si pencopet, Ableh, 25 tahun, baru saja hendak menghitung uang yang ada di dalam dompet hasil ia mencopet, di bawah jembatan penyeberangan orang ketika tiba-tiba ada orang yang merangkul lehernya dari belakang. Reflek Ableh menoleh ke belakang.

“Bleh, bleh. Katanya mo tobat lo jadi pencopet? Baru juga puasa nyopet seminggu, udah gatel lagi lho. Untung gue yang mergokkin elo. Kalau orang terminal yang mergokin elo, boro-boro elo di bawa kantor polisi, setelah di gebukkin lo pasti di bakar sama massa. Mau lo mati di bakar massa kayak teman lo si Nurdin?”

Ableh langsung minta ampun, karena orang yang sudah memergoki dia adalah Abah Amin, teman bapaknya yang juga berprofesi sebagai pemulung.

“Ampun Be, ampun. Gue lagi butuh duit be buat bayar hutang ke Rusli.”

PLAK !

Abah Amin memukul pelan kepala Ableh yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri.

“Bego! Kalah judi lagi lo?”

Ableh mengangguk cepat. Ableh mengerang karena Abah Amin mengeratkan dekapan lengannya. Ableh pun menepuk-nepuk lengan Abah Amin yang kecil tapi otot semua. Usia boleh jadi semakin uzur, namun bekas otot-otot yang terbentuk alami karena sedari kecil terbiasa jadi kuli bangunan tetap tidak bisa bohong.

“Siniin dompet yang lo ambil!” hardik Abah Amin.

Setelah Ableh memberikan dompet kepada Abah Amin, beliau mendorong punggung Abeh ke depan. Abah Amin atau Amin memeriksa sebentar isi dalam dompet yang berisi empat lembar uang Rp 100 ribu dan beberapa lembar uang puluhan ribu. Amin juga memeriksa identis pemilik dompet dan lengkap ternyata.

“Utang berapa lo?”

“Rp 50 ribu bah.”

Amin merogoh kantong celananya. Ia ingat masih ada uang 50 ribu di kantung celana. Uang untuk makan besok namun Amin ikhlas saja, ia yakin besok bisa dapat ganti yang lebih banyak dari hasil jual gelas plastic bekas.

“Nih, bayar hutang lo ke Rusli, jangan urusan lagi sama dia. Daripada lo buang-buang umur cuma buat mabuk, judi, nyopet, mending lo kerja mulung. Mulung jauh lebih baik daripada nyuri duit orang. Dah sana lo pulang, awas sekali lagi gue tahu lo nyopet, gue sendiri yang akan potong tangan lo pake parang, ngerti lo?”

“I-Iya, bah.”

Ableh langsung ambil langkah seribu, sementara Amin kembali ke dalam terminal karena khawatir yang punya dompet keburu pergi karena tidak ngeh dompetnya hilang. Amin merasa lega karena melihat si pemilik dompet nampak mondar-mandir sambil mengedarkan pandangan ke bawah. Air muka pemuda tersebut sudah sedemikian kusut.

Tentu saja Radja di pemilik dompet sedang gelisah dan lemas saat hendak membayar kopi di warung dalam terminal, namun kantung sakunya kosong. Dompet sudah tidak ada di tempat. Karena dompet tersebut berisi uang terakhir Radja. Di saat Radja yang semakin pucat karena dompet, Amin menyapa Radja.

“Maaf mas, nyari dompet ini? Tadi terjatuh waktu Mas turun dari bus. Bapak langsung amankan dompetnya. Maaf agak lama balikinnya karena ada urusan. Silahkan di cek isinya Mas.”

Radja yang tadinya sudah nyaris menangis, langsung memeriksa isi dompet. Uang dan kartu identitas masih lengkap, uangnya memang tidak seberapa, namun itu nyawa terakhir Radja. Setelah dompet dan isinya lengkap, reflek Radja memeluk Amin. Wajar jika Radja terlihat emosional karena dua kali secara berturut-turut, ia merasakan kebaikan orang asing yang belum pernah ia temui sebelumnya.

“Siapa nama lo?” tanya Amin.

“Nama gue Rad. Senja. Nama gue Senja pak.”

“Baru kali ini gue ketemu cowok yang namanya Senja, seperti anak cewek.”

Radja sudah terbiasa mendengar kometar orang yang pertama kali mendengar nama belakangnya.



Radja Senjakala.

Itulah nama lengkap Radja, sebuah nama yang diberikan dan dipilih khusus oleh mendiang Ibunya.

“Bu, kenapa Ibu memberi nama Radja, Radja Senjakala, apa artinya Bu,” tanya Radja ketika berusia 7 Tahun.

Esti sudah menyiapkan jawaban jika satu hari nanti, putra kesayangannya ini bertanya tentang arti namanya yang sedikit unik.

“Nama depan kamu Radja. Kenapa Radja? Karena kamu akan jadi pangerannya Ibu dan Bapak. Maaf ya karena kondisi kesehatan Ibu, Ibu tidak akan bisa memberikan kamu seorang adik. Radja akanjadi anak tunggal.”

Radja kecil hanya mengangguk-angguk saja tanpa mengerti dan paham bahwa Ibunya sudah terdeteksi punya gejala kanker.

“Kalau nama belakang Radja bu. Senjakala, apa artinya?”

“Karena kamu lahir tepat jam 6 sore, sesaat sebelum matahari terbenam. Waktu senja menjadi penanda peralihan dari terang menuju gelap. Waktu yang benar-benar magis.”

Mungkin Radja sudah lupa dengan detail percakapannya dengan Ibunda, namun setiap Radja menyebutkan nama lengkapnya, seolah ia merasa dekat lagi dengan Ibunya yang sudah lama tiada.



“Saya biasa di panggil dengan Abah, Abah Amin,” ujar Amin memperkenalkan diri.

Sekarang hampir tengah malam dan Amin bisa membaca dari gesture Radja yang Nampak seperti orang yang bingung mau kemana. Amin merasa kasihan karena orang seperti dia akan jadi sasaran empuk orang jahat yang jumlahnya tidak sedikit di sekitaran terminal. Dan benar saja, Radja yang kini di ingin di panggil dengan nama Senja, tidak tahu mesti kemana saat di tanya Amin apa tujuannya datang kemari.

Amin sempat memberikan rekomendasi hotel melati murah di sekitaran terminal, namun Senja menggeleng. Uangnya terbatas. Karena Amin kasihan, ia pun menawari Senja untuk tidur di bedengnya.

Senja sempat bingung apa maksud dari bedeng. Namun ia bisa merasakan ketulusan dan kebaikan dari Amin. Akhirnya Senja mengikuti Amin menuju sebuah perkampungan kumuh tidak jauh dari terminal yang di tinggali oleh warga miskin yang mayoritas berprofesi sebagai pemulung yang mengais rejeki di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cendana.

Sebenarnya perasaan Senja sudah tidak enak, karena semakin ke tengah. Rumah-rumah yang ia lewati pun tidak layak untuk di sebut dengan rumah karena hanya bangunan berukuan 3 x 3 meter yang disekat dari triplek bekas, atapnya dari seng. Sementara sebagai pengganti pintu, hanya tumpukan kayu, dan di tambah dengan terpal atau plastik. Sangat memprihatinkan.

Amin menyadari bahwa Senja tidak akan bisa tinggal di sini, lingkungannnya terlalu ekstrem bagi orang yang tidak terbiasa hidup susah atau di bawah, sangat di bawah garis kemiskinan.

“Mas, ini rumah bedeng gue. Yakin mau tidur di sini? Siap tidur dengan panas-panasan dan jadi makan malam para nyamuk. Gak usah sungkan sama gue. Itu hotel melati dekat terminal ada yang Rp 75 ribu semalam. Meski sederhana namun jauh lebih baik di bandingkan bedeng gue. Gak usah sungkan kalau gak jadi tidur di sini.”

Senja sempat ragu, namun ia mesti meninggalkan Radja yang manja.Ia mesti jadi Senja yang harus siap beradaptasi dengan hal baru. Dengan ikut tidur di sini, itulah cara Senja membalas budi kebaikan Abah Amin.

“Gue di sini saja pak, gak apa-apa.”

Amin cukup tersentuh dengan pendirian anak muda yang ia kenal. Amin memberikan tumpukan jaket yang di lipat dan di jadikan bantal.

“Mas,besok kalau gak ada pekerjaan, bisa ikut saya cari-cari barang bekas, lumayan lho, “ kata Amin sebelum ia tidur.

“Baik Pak, saya coba.”

“Yadah, semoga bisa istirahat ya. Tapi kalau memang gak bisa tidur, Mas Senja langsung pergi saja tidak usah pamit ke saya gak apa-apa.”



Seharusnya Senja menuruti perkataan Abah Amin, karena tidak jauh dari bedeng, ada beberapa orang yang berpakaian serba hitam, memiliki niat jahat. Mereka membawa beberapa drum kecil berisi bensi dan menyiramkan ke beberapa bedeng kosong dan tumpukan sampah.

Setelah drum kosong , satu orang menyalakan korek api gas. Lalu tanpa ragu, ia melemparkan korek api.

Pemukiman tersebut habis di lalap si jago merah, menewaskan ratusan warga yang tinggal di pemukiman kumuh tersebut. Mereka terjebak di kelilingi api.

Termasuk Senja. Abah Amin.



“Karena kamu lahir tepat jam 6 sore, sesaat sebelum matahari terbenam. Waktu senja menjadi penanda peralihan dari terang menuju gelap..”



= selesai=
Dan gw kolaps..klimaksnya nyebelin bgt padahal ceritanya bagus. Bikin lg please gan, gw ngerasa kayak ngewe tapi ga jadi klimaks kerana digrebek mantan yang hamil, wkwkwkw
 
Permainan elit atas. Menunggu polesan dri mbah bajindul master suhu dewa serpanth
 
Cerita yg berisi kritik sosial yg badass... Lanjutkan suhu....

Ditunggu LPH nya...
 
Jadi si adi di prolog ini manager hotel tempat sofyan kena OTT suhu @djcisse ??
 
Waduh.....akhir yg tragis.

Kalo tidak ada batasan dlm lomba ini, bisa diperpanjang lagi. Endingnya dibuat happy hehe...

Siap vote.
 
Semoga ada lanjutannya setelah penjurian.
G mungkin auhu mau mengecewakan fans nya.. vote done..
 
Mantap ceritanya, alur cerita dan scene ss nya rapi sekali,
Tapi ada 2 misteri di dalam cerita :
1. Sosok Adi di awal cerita, ga di sebut2 lagi di cerita full nya (apakah ane ada yg miss saat baca?)
2. Siapa yg bakar rumah pemukiman pemulung? Apakah ableh yg sakit hati karena ketauan nyopet sama Abah Amin?
 
Demi LPH pasti aq vote cerita yg bkin sesek ini smoga ada 200 suhu2 reader yg spendapat dg saya
 
Satu-satunya hal yang terpikirkan oleh Radja adalah para sekuriti, sopir maupun pembantu sudah angkat kaki tanpa pamit. Radja tentu saja langsung naik pitam karena merasa tidak di anggap. Baiklah! Radja langsung meraih remote TV dan di lemparkan ke arah layar TV. Radja yang belum puas melampiaskan amarah lalu lari ke dalam garasi dan mengambil satu stik golf milik Ayahnya yang di biarkan teronggok di dalam garasi karena rusak berkarat. Yang terjadi selanjutnya adalah Radja memukuli, menghancurkan barang-barang yang ada di dalam posko sekurity mulai dari loker, lemari kecil, PC, dispenser, kursi hingga meja.

“TAIK LO SEMUA ! TIDAK TAHU DI UNTUNG ! JANGAN PERNAH KALIAN KEMBALI KE RUMAH INI LAGI!” teriak Radja histeris sembari mengamuk.

Selesai memporak-porandakan isi posko, Radja kembali ke dalam rumah sambil terengah-engah. Ia merasa sedikit lega karena bisa menumpahkan kemarahan, kekesalan yang terpendam selama satu minggu terakhir bisa di keluarkan. Radja sudah tidak peduli jika ada tetangga yang mendengar keributan yang terjadi.

“Jika semua orang sudah pergi dari rumah ini, tidak ada gunanya buat gue tetap ada di rumah terkutuk ini,” gumam Radja sambil duduk di meja dapur. Karena sudah lapar dan semakin lapar, Radja menenangkan diri sambil mengunyah roti tawar di oles margarin dan selai kacang.

Radja lalu menyusun rencana. Pagi ini juga, setelah mandi, ia akan mengemasi barang-barang mahal lalu pergi membawa mobil Jazz. Radja tidak tahu hendak kemana, yang pasti ia akan menjual barang-barang dulu yang mudah di angkut dengan mobil. Kalau semua barang sudah jadi uang, setidaknya ia bisa tenang karena punya duit pegangan yang lumayan banyak.

“Selanjutnya gue pikirin nanti saja, yang penting gue perlu mandi dan segera berkemas. Lebih cepat pergi, lebih baik.”

Manusia adalah perencana yang baik, namun adakalanya kenyataan tidaklah semanis harapan.



***​



Sofyan Malik menatap benda mengkilat yang berhasil ia selundupkan ke dalam kaus kakinya. Benda kecil yang menjadi jalan satu-satunya atas semua permasalahan yang menimpanya. Dunianya seakan runtuh ketika ia tertangkap KPK. Sofyan mengakui ia teledor dan meremehkan cengkeraman KPK. Rekannya sudah memperingatkan untuk main aman dan jangan main api ambil duit receh karena Teuku Rafli Ketua KPK yang baru, bukan cuma modal nyali dan mengumbar pepesan kosong.

“Backing dia kuat, jauh lebih kuat daripada ketua KPK sebelum-sebelumnya. Presiden juga menyatakan 100 % akan melindungi dan menjaga KPK. Presiden nothing to lose karena ini periode terakhirnya sebagai presiden. Celah untuk ambil uang saku tetap ada, tapi mesti benar-benar aman. Sebaiknya kalau pun mau kue, pastikan kue-nya sebanding dengan resiko. ”

Perkataan salah satu rekan dalam lingkaran korupnya sangat membekas dalam benak Sofyan. Namun pada waktu itu ia hanya menganggap angin lalu saja.

Kepongahan dan ketamakan dalam diri Sofyan, membuat Sofyan akhirnya terpeleset, tidak menyadari bahwa namanya sudah menjadi bidikan KPK. KPK menunggu Sofyan lengah dan akhirnya kesempatan untuk meringkus sang ketua Komisi VIII DRR-RI pun muncul.

Sofyan teringat ketika di konferensi pers pertama sebagai Ketua KPK terpilih periode 2019-2024, Teuku Rafli dengan lantang bersumpah di depan semua orang termasuk Presiden dan para pejabat negara, ia akan memburu setiap koruptor di negeri. Jika terbukti mengambil uang negara, Teuku Rafli bukan hanya siap memenjarakan pelaku tapi ia juga berniat membuat para pelaku pencuri uang negara, uang rakyat jatuh miskin dengan menyita semua asetnya.

“Saya dan pimpinan KPK lainnya juga sedang membuat kajian judicial review tentang hukuman mati bagi para korupstor. Tentu hukuman mati ini tidak bisa sembarang di berlakukan. Si pelaku harus memenuhi beberapa aspek terlebih dahulu. Karena menurut saya pribadi, hukuman penjara tidak bisa lagi memberikan efek jera kepada pelaku. Bahkan kalau boleh jujur, hati saya terasa perih dan tidak terima, ketika melihat para pelaku koruptor yang memakai rompi orange, masih bisa ketawa-tawa, senyum-senyum bahkan melambaikan tangan di depan wartawan. Mereka seolah tidak punya rasa malu, bahwa mereka itu sama derajatnya dengan pencuri ayam ! Coba jika seandainya di terapkan hukuman mati bagi para pelaku korupsi uang negara, apakah mereka masih bisa tersenyum jika tiang gantungan sudah menunggu di depan mata?”

Badan Sofyan Malik bergidik mengingat itu semua. Dari semua ancaman hukuman yang menanti dirinya, cuma hukuman sosial yang tidak sanggup ia terima. Terutama perasaan luar biasa malu karena sebentar lagi dia akan terseret kasus korupsi pengadaan kitab suci. Mantan guru besar bidang Ilmu Kajian Agama malah korupsi dana untuk kitab suci, ironis. Sofyan juga pasrah jika seandainya KPK merilis detail penangkapan dirinya yang tengah berada di kamar hotel bersama dua perempuan muda. Bukan dua perempuan muda sembarangan karena mereka adalah PSK yang ia sewa untuk menemaninya bersenang-senang setelah transaksi jual-beli jabatan sukses. Rasa malu yang sedemikian besar sungguh tidak tertahankan. Tidak sanggup rasanya Sofyan Malik menatap semua teman, almameternya di kampus, lingkungan organisasi keagamaan dan koleganya di Senayan. Radja, ia juga sepertinya tidak akan sanggup menatap putra tunggalnya tersebut. Anak semata-wayang yang tidak ia berikan kasih sayang dengan benar demi mengejar ambisi jadi wakil rakyat, menjadi orang yang punya kuasa.

“Tidak, aku tidak akan sanggup menanggung perasaan malu ini....” Sofyan bergumam sembari mengepalkan tangan kirinya kuat-kuat. Lalu selanjutnya ia menempelkan potongan silet tepat di atas nadinya.

“Cuma ini caranya agar aku lepas dari rasa malu dan terhindar hukum manusia...Tuhan, maafkan hamba-Mu ini...”

Crass !!

Darah menyembur dari pergelangan tangan kiri Sofyan ketika ia mulai mengiris kuat-kuat urat nadinya dengan silet yang ia selundupkan dari kantor penyidik KPK memanfaatkan kelengahan petugas. Rasa pedih panas sakit luar biasa dirasakan oleh Sofyan, namun sebelum ia semakin kesakitan dan kehilangan keberanian, Sofyan kembali nekat mengiris dalam-dalam urat nadinya. Sofyan sudah kehilangan akal, yang ada di otaknya adalah memastikan ia segera mati bunuh diri, ia tidak ingin nyawanya terselamatkan. Darah mengucur makin deras, membuat Sofyan yang tadinya berdiri, kini terduduk bersandar dinding kamar mandi. Darah mengucur semakin deras ke lantai kamar mandi dan membasahi tangan kirinya yang mulai gemetar. Sofyan yang mulai kehilangan kesadaran berniat menuntaskan pekerjaan terakhirnya dengan memposisikan ujung pisau di atas nadinya yang sudah putus, tersayat menimbulkan luka menganga.

JLEB!

Ujung silet kini menancap di pergelangan tangan kiri Sofyan. Badan Sofyan mulai kedinginan dan lemas karena berkurangnya jumlah darah secara drastis. Sofyan merasa kepalanya sakit tak tertahankan. Sakit di kepala yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Setelah beberapa menit, Sofyan merasa nyawanya masih susah keluar dari raganya. Ia lalu kembali mengiris-iris pergelangan tangan kirinya yang sudah koyak banjir darah. Ketika melakukannya, Sofyan sudah tidak sanggup menahan rasa sakit. Ia pun mengerang kesakitan sekaligus menangisi nasibnya.

Sementara itu di luar kamar mandi, Jojo petugas yang mengawal Sofyan mulai curiga karena selain merasa Sofyan sudah terlalu lama berada di kamar mandi, ia tidak mendengar suara gemericik air atau apapun. Jojo mengetuk pintu kamar mandi sembari memanggil nama Sofyan.

“Pak..Pak Sofyan...” Jojo yang semakin khawatir, kembali mengetuk pintu semakin keras.

Karena tidak ada jawaban dari dalam, membuat Jojo mulai panik. Dari ketukan kini berubah menjadi gedoran. Gedoran semakin kencang saat samar-samar Jojo mendengar erang kesakitan dari dalam kamar mandi. Jojo langsung tanggap hal nekat yang mungkin di lakukan oleh Sofyan Jojo langsung berlari keluar dari kamar mandi dan meminta teman-teman untuk membantu mendobrak pintu dari luar. Jojo lalu kembali ke kamar mandi yang dikunci rapat dari dalam oleh Sofyan bersama teman-temannya. Mereka mulai mendobrak ramai-ramai sambil memanggil-manggil nama Sofyan.

“Pak Sofyan, tolong buka pintunya Pak! Jangan nekat pak !”

Suara teriakan, keributan dan gedoran di pintu semakin kencang membuat Sofyan mulai panik. Ia tidak ingin terselamatkan, ia mau secepatnya mati. Mengiris urat nadi memang bisa membunuhnya tetapi perlu waktu beberapa jam lagi. Sofyan lalu berdiri susah payah sambil merambat ke dinding, pergelangan tangan kirinya sudah mati rasa, darah menetes tiada henti membuat lantai putih kini berwarna merah darah. Sofyan mencabut silet yang tertancap di pergelangan tangan kiri lalu ia pegang dan dekatkan di lehernya.

Sofyan berdiri menghunus silet sepanjang 10 cm di depan bak mandi yang penuh dengan air. Matanya nanar menatap bayangan dirinya yang terpantul dari permukaan air.

Sofyan tidak menyadari sebelum ia melakukan aksi terakhirnya, ada dua bayangan hitam muncul dari bawah dan kini berdiri di belakangnya. Sofyan sebenarnya juga merasa merinding, namun sudah terlambat untuk merasa takut.

Setelah mendobrak beberapa kali dan tentu saja mengundang kehebohan, engsel pintu kamar mandi mulai kendor. Lewat satu gedoran yang kuat, pintu kamar mandi akhirnya roboh ke dalam, satu orang dengan sigap langsung memegang handle pintu dibantu yang lain memegang sisi pintu, agar tidak menimpa orang yang berada di dalam kamar mandi. Lalu pintu tersebut di sandarkan ke samping. Semua orang termasuk Jojo kini melihat pemandangan mengejutkan sekaligus memprihatinkan di dalam kamar mandi. Kedua kaki Sofyan sudah tidak menapak ke lantai yang penuh ceceran darah karena posisi badannya tertelungkup ke dalam bak mandi yang sempit dengan kepala terperosok berada di dasar bak mandi. Air di bak mandi kini juga berwarna kemerahan. Di bawah bak mandi tergeletak silet yang berlumur darah. Tidak ada gerakan atau rontaan.

Tanpa perlu mengecek tanda vital di badan Sofyan, Jojo dan semua orang tahu bahwa Sofyan Malik sudah tidak bernyawa karena nekat melakukan aksi bunuh diri.

“Astagfirulllah, Pak Sofyan.”

“Innalilahi Wa inailaihi rojiun....”

“Naudzubillah min dhalik..”



***​



Saat Radja sedang mengganti baju di atas kamarnya, dari balik kaca kamar, ia melihat dua mobil sedan berhenti di depan rumahnya. Dari dalam mobil, keluar petugas Kepolisian. Radja panik, ia sebenarnya tidak tahu kenapa ia panik dan takut. Tetapi ia punya feeling jelek, instingnya mengatakan sebaiknya ia segera kabur sebelum di interograsi para petugas. Radja langsung menyambar jaket yang tergeletak di tempat tidur dan yang paling penting tas Eiger lusuh yang berisi uang Rp 22 juta. Ia sudah tidak sempat lagi mengemasi barang atau mengambil apapun yang bisa ia jual karena ia mendengar ribut-ribut di depan rumahnya. Radja berdoa, pintu gerbang depan masih terkunci, sehingga ia masih punya waktu beberapa menit untuk kabur dari rumah. Radja berlari menuruni tangga dan langsung menuju ke halaman belakang, lebih tepatnya pintu darurat yang persis berada di belakang gazebo. Dari depan pintu ini tidak akan terlihat karena tertutup tanaman sulur. Radja merasa beruntung karena masih mengantungi kunci kamarnya yang juga bisa digunakan membuka pintu darurat ini.

Pintu yang terbuat dari besi di cat senada dengan warna dinding, segera ia buka. Pintu darurat ini membawa Radja ke belakang tembok rumahnya yang tinggi, berbatasan dengan areal persawahan. Radja sempat berlari beberapa meter namun balik untuk mengunci pintu darurat dari luar. Ia tidak ingin para Polisi mengetahui ia lari dari pintu ini. Radja berharap Polisi mengira bahwa bahwa sejak semalam ia dan para penghuni rumahnya sudah angkat kaki sehingga tidak perlu ada adegan pengejaran tehadap dirinya.

Setelah berhasil mengunci pintu dari luar, Radja yang hanya mengenakan sandal, berlari menyusuri pinggiran sawah menuju ke jalan aspal kecil yang mengarah ke desa yang tidak jauh dari rumah Radja. Setelah sampai di jalan beraspal, Radja menaikkan tudung jaket hitamnya dan berjalan cepat menuju ke arah desa.

Tanpa alasan yang jelas, Radja menangis sesenggukan, ia sedih, bingung atas apa yang telah terjadi. Ia tidak tahu apa yang mesti ia lakukan selanjutnya setelah ia bisa kabur dari rumah. Radja kemudian berhenti berjalan mengusap air matanya, ia hendak menengok rumahnya, rumah yang bagaimanapun punya banyak kenangan terutama kenangan bersama Ibunya. Tetapi, Radja menepuk kedua pipinya dengan keras, Radja meneguhkan tekad, ia sudah tidak boleh menoleh ke belakang. Ia pun kembali berjalan sambil menunduk, ia tidak ingin menarik perhatian siapapun. Sambil berjalan, Radja mau tidak mau mesti berpikir apa yang mesti ia lakukan selanjutnya. Setelah berjalan kurang lebih 10 menit, Radja berhenti di depan toko kecil yang menjual minuman. Radja merogoh kantung, ia lega karena ia mengambil celana jeans panjang yang di saku kantungnya ada ponsel yang sudah seminggu ia matikan dan dompet yang berisi 5 lembar uang Rp 100 ribu serta kartu identitanya seperti KTP, SIM serta Kartu Mahasiswa.

Setelah membeli air mineral dingin dan beberapa Sari Roti, Radja duduk di kursi plastik kecil depan toko. Ia merogoh kantung amplop berisi uang tunai Rp 22 juta dari dalam tas, masih aman. Dengan uang sebesar ini pun, Radja masih bingung ia mesti kemana. Ia teringat dengan paman dan bibinya. Tapi Radja segera menepis kemungkinan meminta bantuan kepada mereka kerabat dari keluarga Ibunya. Ayahnya, Sofyan Malik sama seperti Radja, seorang putra semata wayang. Kakek dan Nenek dari pihak Ayah, sudah lama meninggal. Sama halnya dengan kakek nenek dari pihak Ibu. Pokoknya meminta bantuan ke kerabat jauh, langsung Radja coret dari opis. Sebenarnya, Radja tahu beberapa temannya masih memiliki hutang dengannya. Kalau di total mungkin ada 30 jutaan. Tapi rasa gengsi, malu membuat Radja mengurungkan niat untuk menagih uangnya ke mereka. Apalagi Radja ketika meminjamkan uang selalu bilang santai ketika si peminjam uang bilang akan mengembalikan secepatnya.

Radja bukan orang bodoh, ia tidak masalah jika seandainya uang yang ia pinjamkan lama balik atau bahkan tidak di bayar, Radja menuntut kompensasi lain kepada para teman , kenalan yang meminjam uang kepadanya.

Dengan memanfaatkan piutang yang ia punya dan mengungkit-ungkit kemurahan hatinya, Radja memposisikan mereka sebagai pembantu dan semena-mena memberikan perintah. Bahkan ada satu contoh ekstrem ketika ia pernah meminta Firman, teman yang pinjam uang kepadanya, untuk memukuli Boni, Ketua CIVILIAN klub mobil khusus pemilik mobil Honda Civic. Radja menyimpan dendam kepada Boni karena ia pernah menyerempet mobil CRV-nya. Meski Boni sudah meminta maaf dan mengganti kerusakan, Radja tetap menaruh dendam. Firman awalnya menolak, bukan karena ia takut dengan Boni tetapi ia tahu tindakannya akan membuat keributan antar dua komunitas klub mobil. Namun Radja dengan enteng bilang.

“Gue gak maksa elo sih Man, gue kan minta tolong. Ya kalau elo gak bisa nolongin gue seperti halnya gue nolongin elo tempo hari, sekarang juga balikin duit gue yang lo pinjam 8 juta. Uang itu mau gue pakai buat anak-anak lain yang bisa bantuin gue,” sindir Radja.

Firman masih diam mikir, ia gak pegang duit sebanyak itu sekarang. Duit 8 juta yang ia pinjam dari Radja sebenarnya buat lunasin hutang ke bandar judi bola. Ya, sebenarnya Firman cuma gali lubang tutup lubang. Lebih baik ia terlibat hutang dengan Radja daripada berurusan dengan para bandar bola yang preman beneran.

Radja melihat Firman masih ragu-ragu lalu memberikan satu tambahan kalimat yang kali ini membuat Firman mau tak mau mesti menuruti perkataan Radja.

“Man, kalau elo gak bisa balikin duit gue sekarang. Gue bakalan tagih ke bokap elo lengkap dengan buktinya. Gimana ya seandainya bokap lo tahu kalau anaknya punya hutang 8 juta dari bandar bola. Pinjem uang temannya untup nutup hutang lagi. Lucu ya, bokap lo kan Polisi tapi elo malah suka main judi bola, sering kalah besar pula. Untung gue masih ada sisa duit pulsa yang bisa gue pinjemin ke elo ya Man.”

Firman tidak bisa menolak lagi. Ia bisa di hajar habis sama bokapnya yang Polisi jika ketahuan terlibat judi bola. Akhirnya Firman menyanggupi namun dengan sedikit syarat.

“Besok gue hajar si Boni, tapi potong hutang gue 50%.”

Radja tertawa dan mendekati Firman.

“Kalau elo bisa sekalian patahin kedua tangan si Boni, hutang lo gue anggap lunas.”

Firman agak terkejut namun tetapi resiko sebanding dengan hasilnya.

“Deal.”

Beberapa hari kemudian tersiar kabar, Boni masuk rumah sakit dengan kondisi luka berat, selain luka lebam di wajah, kedua tulang tangannya patah akibat di serang orang tidak di kenal saat pulang dari kampus. Bukan hanya itu saja, mobil Boni juga habis terbakar. Tidak jelas seperti apa kronologi penyerangan, apakah Boni memang di incar orang-orang tertentu atau Boni terlibat perkelahian dengan orang asing yang berujung cedera parah.

Radja tertawa mendengar berita tersebut. Ia tahu benar ini pekerjaan si Firman.

Ya begitulah sifat Radja, ia sering mempermainkan, memanfaatkan uang yang ia punya untuk kesenangannya.

Sifat kejam Radja ini membuat Radja sekarang tidak berani menagih ke teman-teman yang meminjam uangnya, padahal sekarang ini ia sangat membutuhkan uang. Setelah menimamg-nimang dan memikirkan berbagai cara, Radja memutuskan mengkontak Dion. Puluhan pesan WA, Miscall masuk ke dalam ponsel saat Radja menyalakannya. Radja pusing melihat banyaknya pesan di Whatsapp. Ia lalu meng-uninstall Whatsapp tanpa membuka satu pun pesan. Setelah beres, ia lalu menelepon Dion.

Setelah beberapa kali nada dering, Dion mengangkat.

“Bro ! Elo gak apa-apa! Lo di mana sekarang? Gue tu-”

Radja langsung menyela perkataan Dion. “Lo di rumah ? Kalau iya, gue ke rumah lo sekarang.”

Dion berpikir Radja pasti butuh tempat untuk melampiaskan kesedihan karena berita kematian Ayahnya, maka ia pun tidak ada masalah saat Radja ingin ke rumahnya sekarang. Dion yang sedang masturbasi sambil menonton film porno saat dirinya sedang menyetubuhi Novita yang ia rekam diam-diam di rumah Radja, langsung menghentikan kesenangan pribadinya dan beres-beres kamar. Sembari menunggu kedatangan Radja, Dion mau tak mau mesti muter otak, mencari alasan logis kenapa dia, Kiki, Ryan dan bahkan Novita tidak ada yang datang ke rumahnya pasca berita penangkapan Ayah Radja tersiar, seminggu yang lalu.

Radja menuju rumah Dion naik Go-Car. Dari sekian temannya, pergi ke rumah Dion adalah yang paling mudah karena kedua orang tua Dion adalah pegawai negeri di Balaikota, adiknya juga masih sekolah sehingga Dion di jam-jam segini paling bolos kuliah dan main game sendirian di rumahnya.

Ketenangan yang di harapkan Radja minimal untuk beberapa hari sekalian meminta pendapat Dion, apa yang mesti ia lakukan selanjutnya, tidak terlaksana. Bahkan Radja menerima kabar yang membuat sadar bahwa ia kini hanya hidup sebatang kara.

“Dja, gue turut berduka cita Bro.”

Perkataan pertama Dion saat ia menyambut Radja yang datang ke rumahnya, membuat Radja kebingungan.

Radja jelas saja bingung, ia tidak tahu sama sekali berita tentang Ayahnya yang bunuh diri di kamar mandi gedung KPK pagi tadi jadi breaking news di mana-mana. Jika saja Radja tidak lari saat melihat petugas datang ke rumahnya untuk memberikan kabar duka, Radja akan tahu dan bahkan mendapat kesempatan untuk melihat jenazah Ayahnya untuk terakhr kalinya sebelum di makamkan siang ini di TPU.

“Turut berduka cita? Maksud lo apaan?”

Kini Dion jadi bingung sendiri. “Ya berduka cita atas meninggalnya Ayah elo lah, Om Sofyan.”

Radja tidak langsung mempercayai kalimat yang ia dengar barusan meski ia mendengar dengar jelas ucapan Dion.

..atas meninggalnya Ayah elo lah, Om Sofyan..

“Coba lo ulangi lagi perkataan elo,” ujar Radja sambil menatap Dion yang lebih tinggi daripada dirinya.

Dion merasakan sikap Radja yang aneh, masak iya Radja gak tahu bokapnya yang ternyata koruptor itu mati bunuh diri pagi tadi?

Dion tidak langsung menjawab pertanyaan dari Radja. Ia mengajak Radja untuk masuk ke dalam rumah. Setelah Radja duduk di sofa ruang tamu, Dion menyalakan TV.

“Semua saluran TV sedang menayangkan berita ini sedari pagi,” ujar Dion sambil memberikan remote TV kepada Radja.

“Gue buatin kopi dulu, tunggu.”

Radja diam saja dan mulai memindah-mindahkan saluran di TV saat Dion pergi ke dapur. Air mata Radja meleleh setelah meliha sendiri beritanya di TV. Cara Ayahnya meninggal yakni dengan cara bunuh diri membuat Radja shock berat. Dia memang tidak pernah dekat bahkan hampir tidak mempunyai keterikatan emosi dengan Ayahnya. Tetapi hubungan darah tetap tidak bisa bohong, Radja sedih mendengar Ayahnya meninggal dengan cara seperti itu. Bahkan saat ini saluran TV sedang menayangkan berita prosesi pemakaman Ayahnya di TPU tanpa di iringi sanak-saudara, sahabat maupun kolega. Pemakaman Ayahnya hanya di dampingi oleh beberapa petugas saja, ironis sekaligus menyesakkan bain Radja. Sang Reporter Meta TV lalu memberitakan bahwa putra Sofyan Malik menghilang tidak di ketahui keberadaannya saat petugas datang ke rumahnya pagi ini untuk memberikan kabar duka secara langsung.

Radja langsung lemas mendengarnya. Sempat ada harapan ia bisa kembali ke rumahnya, namun dari sang Reporter, Radja mendengar meskipun Ayahnya sudah meninggal, proses persidangan tetap berjalan karena kasus jual-beli jabatan dan korupsi pengadaan kitab Suci yang melibatkan Ayahnya juga meluas dan membelit beberapa nama baru. Bahkan nama Sofyan Malik juga muncul dalam fakta terbaru persidangan kasus korupsi mega proyek E-KTP sebagai salah satu nama penerima aliran dana yang di taksir total kerugian negara akibat kasus korupsi ini mencapai angka Rp 2,2 triliun. Sehingga sampai menunggu proses persidangan selesai dan muncul angka yang mesti di bayar para tersangka sebagai pengganti kerugian uang negara karena korupsi, surat berharga dan berbagai aset milik mendiang Sofyan Malik dan ahli warisnya akan di bekukan.

Pada momen inilah, Radja menyadari hidupnya tidak akan pernah sama lagi.



***​



Radja terbangun dan sempat bingung melihat sekelilingnya. Radja melihat Dion sedang asyik main PS4 di kamarnya. Radja mengingat bahwa tadi siang setelah makan, ia tidur di kamar Dion. Ia benar-benar kecapekan setelah beberapa hari terakhir susah tidur. Lelah fisik dan psikis membuat Radja membutuhkan tidur. Ia berharap semua hal buruk yang ia alami seminggu ini adalah mimpi. Tetapi terkadang kenyataan atau realita jauh lebih buruk daripada bunga tidur. Ayahnya sudah mati berkalang tanah dan seluruh hartanya di sita oleh Negara sebagai jaminan.

Dion yang tidak tahu Radja sudah bangun, langsung keluar kamar saat mendengar ia di panggil Mamanya untuk makan. Radja kemudian bangun dan melanjutkan permainan FIFA 19 yang sedang di-pause dalam keadaan 2-0. Dion yang memakai tim favoritnya AC Milan tertinggal dari tim Real Madrid. Radja tersenyum, Dion memang goblog kalau main FIFA. Lawan komputer saja kalah. 10 menit berikutnya Radja asyik bermain PS4. Radja yang memang jago main FIFA19 dengan mudah membalikkan keadaan menjadi 6-2 untuk keunggulan AC Milan.

Bahagia itu sederhana, bisa bermain PS4 meski hanya sebentar, batin Radja. Ia lalu meletakkan stik dan kemudian menyambar sebotol air mineral yang ada di meja belajar. Saat Radja sedang membuka tutup botol minum, Radja tak sengaja mendengar percakapan kedua orang tua Dion dengan Dion di ruang tengah. Radja bisa mendengar jelas pembicaraan mereka karena pintu kamar di biarkan terbuka.

“Sudah korupsi, mati bunuh diri pula. Ya ampun gak kebayang gimana beratnya azab yang terima Pak Sofyan di akhirat.”

Radja mengenali suara tersebut. Itu suara Om Hadi, Ayah Dion.

“Uhuk...uhuhkkk.” Itu suara Dion yang tengah tersedak.

“Minum dulu Di, Makan kok tersedak. Iya ya Pa, ngeri ya. Masih gak nyangka Mama, dia sampe nekat begitu. Mungkin beliau saking malu kali ya Pak. Mosok, Guru Besar Bidang Kajian Agama malah nekat korupsi pengadaan Kitab Suci. Itu pasti makin pedih azabnya. Beruntung si Esti meninggal terlebih dahulu, jadi dia gak perlu mendengar kabar suaminya kena OTT KPK ketika sedang berzina di dalam kamar hotel dengan dua cewek sekaligus. Terus di akhiri dengan berita bunuh diri suaminya, Oia, Di. Mama senang kamu gak dekat-dekat lagi sama Radja. Seperti yang kamu cerita ke Mama, si Radja itu kurang kasih sayang. Anak kurang kasih sayang tapi terus-menerus di kasih duit haram pasti ujungnya gak baik loh.”

Itu suara Tante Rosi, Ibu Dion. Tante Rosi berteman baik dengan mendiang Ibunya. Radja tahu bahwa Tante Rosi dulu seringkali minta bantuan alias pinjam uang ke Ibunya dengan alasan untuk tambah-tambah modal usaha Toko Sembako. Entah utang Tante Rosi sudah di bayar belum, namun kedua orang tua Dion kini dengan entengnya membicarakan aib keluarga Radja di meja makan membuat darah Radja mendidih.

Saat Radja berdiri, pada saat yang sama Dion masuk ke kamar untuk menutup pintu. Dion mungkin khawatir pembicaraan di meja makan akan terdengar oleh Radja yang Dion kira masih tidur. Jadi begitu Dion menyadari Radja sudah bangun dan menunjukkan ekspresi marah, Dion tertegun.

Speechless.

Dion yakin Radja sudah mendengar percakapan kedua orangtuanya. Rupanya orang tua Dion tidak tahu bahwa Radja ada di dalam kamar anak mereka dan telah mendengar dengan jelas isi percakapan. Satu-satunya hal yang membuat Radja tidak mengamuk sekarang ini adalah ia mengingat kebaikan Dion hari ini yang menyambut dengan tangan terbuka kedatangannya di rumah, memberinya makan dan tempat untuk beristirahat.

Radja mengambil nafas panjang lalu menyambar ponsel dan tas Eiger.

“Dja, sori kalau kata-kata....” dengan terbata-bata Dion meminta maaf kepada Radja. Radja menepuk pelan pundak Dion saat ia melewatinya. Kedua orangtua Dion terperanjat kaget bahkan mulut keduanya menganga saat mereka melihat Radja tiba-tiba keluar dari kamar Dion. Radja menatap kedua orangtua Dion dengan tatapan tajam. Kemudian Radja pergi dari rumah Dion tanpa mengucapkan sepatah-kata.

Ketika Radja meninggalkan rumah Dion, Radja melupakan satu hal kecil yang akan membuat hidupnya makin sengsara. Tanpa disadari oleh Radja, ia lupa bahwa rumah Dion hanya berjarak lima rumah dari rumah Firman. Pada saat yang sama Firman sedang ngopi di teras depan rumah bersama dua temannya , Rudi dan Bayu. Ketika Radja lewat, Firman sempat mengira ia salah lihat. Namun setelah di perhatikan dengan seksama, pemuda yang lewat depan rumahnya adalah Radja!

Firman langsung menyeringai, ia masih sakit hati dan menyimpan dendam kepada Radja karena perlakuannya saat ia masih berhutang kepada Radja. Beruntung kasus penyerangan Boni berhenti karena tidak ada saksi mata di tempat kejadian sehingga kasus di peti es kan. Firman pun bisa menghirup nafas karena aksinya tidak terungkap. Meski kedok Firman tidak terbongkar, ia tetap menyalahkan Radja sebagai sumber masalahnya. Saat mendengar berita yang menimpa keluarga Radja, Firman senang bukan kepalang. Firman punya niat memberikan pelajaran kepada si anak papa. Tetapi kabar dari TV bahwa Radja sudah menghilang, membuat Firman pasrah tidak bisa membalas sakit hatinya.

Namun nasib baik berpihak kepada Firman kali ini saat dia melihat Radja melintas sendirian di depan rumahnya dengan langkah gontai. Tidak ada Dion atau Ryan yang Firman takuti.

Radja benar-benar sendirian sekarang, terusir dari rumah dan mungkin tidak punya apa-apa.

“How lucky i am,” desis Firman sembari menghisap kuat-kuat rokoknya yang nyaris habis.

Firman lalu mengajak Rudi dan Bayu untuk mengikuti Radja dari belakang. Jalan yang di lalui Radja akan melewati satu lahan kosong yang agak sepi, sehingga Radja meminta Rudi, satu temannya untuk tetap mengikuti Radja dari belakang, sementara ia dan Bayu masuk ke dalam gang dan secepatya mendahului dan berniat mencegat Radja di kebun kosong, yang sama sekali tidak tahu bahaya besar tengah mengintainya.

Ketika Radja sudah melewati gapura perumahan, ia kini berada di jalan sepi minim peneranga yang hanya ada lahan kosong di kiri-kanannya. Radja mendesah, karena terbawa emosi dia salah ambil jalan. Radja kini berada di jalan kecil yang memang menuju ke jalan raya yang ramai namun sebelumnya ia akan melewati areal sepi. Karena tanggung mau puter arah, Radja pun melanjutkan jalan kaki. Sambil berjalan Radja memikirkan apa yang mesti ia lakukan sekarang.

paling tidak untuk malam ini saja. Sesampai di jalan besar, ia akan naik Go-Car menuju ke hotel murah untuk ia beristirahat malam ini. Apa rencana selanjutnya, Radja masih belum kepikiran.

Well, gak gue sangka bisa ketemu sama anak koruptor di sini. Halo Radja...”

Radja kaget karena di depan ia melihat dua orang seumuran dengannya berdiri di tengah jalan. Radja langsung mengenali Firman dan satu teman Firman yang tidak ia kenal namun menunjukan ekspresi tidak bersahabat. Alarm tanda bahaya langsung berbunyi nyaring di dalam kepala Radja. Radja berbalik badan hendak menghindari konfrontasi namun rupanya di belakang Radja ada satu orang berbadan besar, menatapnya sambil menyeringai.

Radja terjepit, di antara ketiga orang yang memancarkan aura permusuhan.

“Mau kemana lo Dja? Udah di usir lo ya dari rumah? Haha,” lanjut Firman sambil menghisap rokok.

Radja bukanlah orang yang pandai berkelahi, bahkan terakhir Radja terlibat kontak fisik langsung adalah saat ia di hajar oleh salah satu teman SMP yang tidak tahan terus di-bully oleh Radja dan kawan-kawan. Berkat pengaruh orang tua Radja, Radja di anggap sebagai korban, sementara anak yang sudah menghajar Radja tanpa ampun dianggap melakukan kesalahan besar dan akhirnya di keluarkan dari sekolah. Semenjak itu, Radja tidak pernah mau lagi terlibat perkelahian langsung. Ia lebih suka memanfaatkan uangnya untuk menyuruh orang lain memberikan pelajaran kepada orang yang tidak Radja suka.

Ketika uang yang menjadi satu-satunya “kekuatan” Radja telah di lucuti, maka Radja tak ubahnya seperti cowok biasa saja. Radja dan Firman tahu benar hal ini. Radja yang mencium niat busuk Firman dan teman-temannya sempat terpikir memberikan uang 1-2 juta kepada kepada mereka agar ia lepas. Namun itu ide buruk. Karena bisa saja mereka malah merampas semua uang di dalam tas, satu-satunya uang yang Radja miliki.

Maka jalan satu-satunya adalah.....

Firman membuang puntung rokoknya dan mulai mengepalkan kedua tangan.

“Ayo guys, olahraga malam! Sergap dia!” perintah Firman.

Radja boleh jadi memang lemah tidak mungkin bisa menang adu pukul melawan tiga orang sekaligus, tapi akal Radja masih bisa berjalan. Radja berlari berbalik arah, seolah ingin adu nekat melawan Rudi yang sudah menunggungnya. Rudi tertawa dan membentangkan kedua tangannya.

“Ayo sini, gue bikin pepes !”

Firman dan Bayu berlari mengepung Radja, mendesaknya. Radja di untungkan dengan posisi Rudi yang hanya berdiri diam, jadi tepat sebelum Rudi menyergapnya, Radja memutar haluan alias dengan tiba-tiba mengubah arah lari. Radja kini berlari menyampingg, mereka berdua tidak menyangka Radja akan berlari ke arah lahan yang gelap tanpa penerangan. Jalanan yang cukup lebar di apit dua lahan kosong membuat Radja punya ruang luas untuk meloloskan diri. Rudi yang kaget berusaha mengapai Radja. Namun ia kalah cepat, sehingga ia hanya bisa menyambar gantungan kunci di tas punggung Radja yang berbentuk papan selancar terbuat dari kayu. Karena gantungan kunci tersebut licin, sekali kibas, Radja berhasil meloloskan diri. Radja berlari kembali ke jalan berbatako dan selanjutnya berlari sekuat tenaga menuju jalan besar karena di belakangnya, Rudi, Bayu dan Firman mengejarnya.

“Jangan sampai dia lolos ke jalan besar!” teriak Firman kepada kedua temannya.

Namun langkah kaki Radja lebih cepat dan gesit. Radja bersyukur tadi siang ia sempat makan banyak dan tidur siang 6-7 jam di rumah Dion sehingga ia punya tenaga cukup untuk berlari kencang meninggalkan ketiga orang yang ternyata tidak bisa lari kencang.

Hanya saja, Radja tidak menyadari jika tarikan Rudi yang mengenai gantungan kunci tas, membuat risliting tas terbuka dan mengguncang isi tas. Satu map besar berisi uang Rp 22 juta pun terjatuh dari dalam tas saat Radja berlari tunggang-langgang. Radja fokus terus berlari hingga akhirnya ia sampai di jalan raya dan nekat menyeberang di jalan raya yang padat. Radja nyaris tertabrak mobil karena pengendara mobil tidak melihat Radja menyeberang. Untung Radja melompat sehingga tidak terserempet. Radja memang selamat namun ia tidak bisa selamat dari sasaran kemarahan dari para pengendara motor dan mobil karena aksi sembrono Radja.

Radja cuek dan sempat terduduk di pinggir trotoar, ia benar-benar capek. Baru kali ini Radja berlari sedemikian kencang. Dan Radja yakin Firman cs tidak akan berani nekat menyeberang. Jadi Radja santai saja saat melihat Firman berjalan keluar dari dalam gang bersama kedua temannya.

Radja langsung berdiri dan mengacungkan kedua jari tengahnya ke arah mereka.

“Fuck youuuuuu!!!” teriak Radja sambil tertawa penuh kemenangan.

Namun Radja merasa ada yang aneh karena Firman yang ia tahu sangat emosian, malah senyum-senyum. Dan situasi menjadi terbalik saat Radja melihat Firman memamerkan satu map besar sambil tersenyum lebar. Radja reflek melihat ke arah tas Eiger.

Tas Eiger terbuka lebar, isi di dalamnya tidak ada sama sekali. Radja langsung pucat pasi melihat tas kosong melompong. Saat Radja melihat ke arah Firman, dia dan kedua temannya melambai-lambaikan tangan ke arahnya sambil tertawa lebar. Mereka gembira luar biasa mendapat rejeki nomplok! Sementara sang empunya uang, lemas dan terduduk begitu saja di pinggir jalan, pasrah melihat di seberang jalan, Firman sudah menghilang bersama satu map berisi uang Rp 22 juta.

Uang terakhirnya. Radja berteriak keras sekali, tidak memperdulikan tatapan orang-orang di sekitarnya. Radja meluapkan kemarahan sekaligus ketakutan akan nasibnya. Tas Eiger ia banting-banting di tanah, di pijak-pijak dan ia tarik sehingga jebol sudah risltingnya tas. Kotor dan berdebu. Tas jelek yang dari kemarin ia jaga benar-benar karena isinya yang jadi harapan terakhirnya, kini tak ubahnya jadi tas tidak berharga. Sudah tidak ada apa-apa lagi di dalamnya. Yang di punyai Radja kini hanya semua yang menempel di badannya.

Badai kesialan belum selesai menghantam Radja.

Saat mencoba memeriksa apa saja yang ada di kantung jaket dan celananya, Radja baru sadar, ponselnya tertinggal di rumah Dion. Sehingga benda berharga yang Radja punya saat ini jam tangan murahan yang ia beli dengan harga Rp 1 juta dan dompet kulit seharga Rp 1,2 juta berisi uang 487.200. Saking parahnya kesialan yang terus mengikuti dirinya, Radja sudah tidak sanggup menangis lagi.

Satu-satunya alat komunikasi sudah hilang, Radja menganggap ponselnya hilang karena ia tidak sudi datang ke rumah Dion untuk mengambil ponsel. Tidak ada satupun nomor ponsel yang Radja hafal. Otomatis Radja benar-benar sendirian. Radja memutuskan menenangkan diri dengan membeli teh manis hangat di angkringan yang tidak jauh dari situ.

“Ada apa toh Mas kok kayaknya lagi stres?” ujar Pak Kiman pemikik angkringan saat meletakkan segelas teh hangat di depan Radja yang lesu.

Radja menghembuskan nafas dengan berat. “Uang gue di dalam tas jatuh terus di ambil orang Pak. Lalu orang itu pergi.”

“Oalahh Yang sabar Mas, mungkin belum rejeki. Semoga mas cepat dapat gantinya.”

Radja males untuk bercerita dengan detail. Ia pun merasa lapar dan mengambil bungkusan nasi. Radja selama ini belum pernah makan di angkringan pinggir jalan. Selama ini Radja berpikir, hanya orang miskin yang makan di angkringan yang menyajikan makanan kampung. Untuk kali ini Radja, setuju karena sekarang ini dia sama seperti oranng miskin yang biasa ia pandang sebelah mata. Saat mulai menyantap nasi porsi kecil dengan bandeng dan sambel, Radja menarik kata-katanya tentang makanan di angkringan. Rasanya enak. Radja pun makan dengan lahap hingga habis empat bungkus nasi, sesekali Radja mengambil tahu bacem manis yang langsung jadi makanan kesukaannya.

Sambil membuatkan minuman ke beberapa pembeli yang mampir di angkringannya, Pak Kiman tersenyum melihat Radja makan dengan lahap. Pak Kiman langsung tahu bahwa Radja dari keluarga berada dan sepertinya baru kali makan di angkringan. Setelah kenyang, Radja mengambil sebatang rokok yang di letakkan di toples kecil dekat tempat sendok.

Entah apa merk rokok ini, tetapi setelah melewati hari terberat yang pernah Radja jalani, setiap hisapan dan hembusan asapnya terasa nikmat sekali. Bahkan menurut Radja, rokok putih ini jauh lebih nikmat dari pada rokok lintingan ***** yan sering ia hisap sebelum tidur.

“Gue mesti kemana sekarang. Gue udah jadi gembel. Satu yang pasti, gue gak aman berkeliaran di kota ini, karena gue punya banyak musuh dan orang-orang tidak suka dengan gue,” gumam Radja.

Radja menoleh ke arah jalan raya, melihat bus-bus besar lalu-lalang. Melihat deretan bus ini membuat Radja berpikir untuk naik ke salah satu bus secara acak dan ikut saja terserah bus tersebut pergi ke arah mana. Setelah rokok habis, tekad Radja sudah bulat, malam ini juga ia mesti pergi dari Kota ini. Karena ia tidak punya tujuan lagi di tempat ini.

“Pak, nasi empat, teh angat satu, rokok satu, tahu bacem tiga. Berapa?” tanya Radja sembari berdiri dan mengeluarkan dompet.

Namun Pak Kiman menggeleng. “Simpan saja mas uangnya, gak usah di bayar.”

Radja kaget, “Lho kok gitu Pak?”

“Ya gak apa-apa mas, mas kan abis dapat musibah. Bapak turut prihatin, jadi cuma ini yang bisa Bapak bantu.”

Radja tertunduk, ia tidak sanggup berkata-kata. Orang asing yang baru di jumpainya sungguh murah hati bahkan ikut berempati dengan situasi berat yang sedang ia alami. Radja menyalami tangan Pak Kiman yang kasar, “Pak, makasih, makasih banyak Pak.”

“Iya Mas, sama-sama. Mas ini mau kemana sekarang?”

“Gue mau ke luar kota pak naik bus dari sini.”

“Oh gitu, mau kemana?”
Pak Kiman menyebutkan satu nama kota kecil dan Radja mengiyakan saja serta menambahka dengan satu kebohongan kecil. “Saya ada saudara di sana. Yadah Pak, terimakasih.”

“Hati-hati mas, dompet dan ponsel jangan di taruh di kantung celana belakang. Di kantungin di kantung saku depan saja, lebih aman” ujar Pak Kiman.

Radja langsung mengikuti saran Pak Kiman dan memindahkan dompet ke saku depan. Setelah bersalaman sekali lagi, Radja langsung berlari kecil saat melihat bus berhenti, menaikkan satu penumpang seraya berkata, “Waringin, Waringin.”

Radja memutuskan pergi ke Kota yang tadi Pak Kiman sebut dan kebetulan ada bus yang mengarah ke sana. Sang Kondektur melambai-lambai ke arah Radja. Radja segera naik dari pintu depan bus. Bus terisi setengah. Radja langsung menyusuri lorong bus dan menempati bangku paling belakang dekat dengan kaca sebelah kanan. Bus kembali melaju, dari kaca belakang, Radja menatap kembali ke arah angkringan dan penjualnya yang sangat baik. Radja berjanji, satu hari nanti dia akan kembali lagi ke sini dan membalas kebaikan Pak Kiman.

“Tujuan?” tanya kondektur yang menghampiri Radja.

“Wa...Waringin,” jawab Radja pelan karena ia pun tak tahu.

“Terminal-nya?” ah si kondektur membantunya. Radja mengangguk.

“Sini ke Terminal berapa jam Pak?” tanya Radja.

“3-4 jam paling.”

Lumayan jauh berarti Kota bernama Waringin. Tapi kini Radja deg-degan karena ia belum pernah naik bus besar antar kota, Radja mengira ongkosnya ratusan ribu, apalagi jaraknya cukup jauh.

“Rp 35 ribu,” kata si kondektur sambil menyerahkan potongan tiket bus.

Radja malah kaget, murah bangett, batin Radja. Radja langsung mengeluarkan uang pas dari dompetnya. “Pak, boleh minta tolong nanti di bangunkan kalau sudah sampai terminalnya?” pinta Radja.

“Yas mas, tenang saja. Itu pemberhentian terakhir. Semua penumpang pasti diberitahu kalau sudah sampai.”

Radja menarik nafas lega. Bus ini terasa dingin sekali karena ACnya di setelah cukup kencang. Namun Radja bersyukur ia masih mengenakan jaket jumper yang lumayan melindunginya dari hawa dingin.

Bus yang melaju kencang dan mulus, di tambah dengan rasa lelah dibungkus dengan hawa dingin dan perut kenyang, membuat Radja perlahan terlelap ketika bus kota ini masuk ke jalan tol dan berjalan dengan tenang, membawa Radja menuju ke babak kehidupannya yang baru di sebuah kota yang benar-benar baru.



[cente]***[/center]



Amin, 60 tahun, sedang duduk-duduk menikmati secangkir kopi hitam di wadah gelas plastik di area emperan kios di dalam arean terminal Kota Waringin, ketika melihat seseorang dengan gerakan sengaja menabrakkan diri ke salah satu penumpang cowok yang baru turun dari bus, masih dalam keadaan mengantuk. Si penumpang tidak menyadari bahwa barang berharga yang di simpang di kantung saku depan sudah berpindah tangan. Amin melihat si penumpang masuk ke dalam toilet umum. Amin geleng-geleng kepala karena ia mengenali pemuda yang belum juga kapok jadi pencopet. Setelah menghabiskan sisa kopinya, Amin segera menyusul si pencopet yang berjalan cepat keluar dari area terminal.

Si pencopet, Ableh, 25 tahun, baru saja hendak menghitung uang yang ada di dalam dompet hasil ia mencopet, di bawah jembatan penyeberangan orang ketika tiba-tiba ada orang yang merangkul lehernya dari belakang. Reflek Ableh menoleh ke belakang.

“Bleh, bleh. Katanya mo tobat lo jadi pencopet? Baru juga puasa nyopet seminggu, udah gatel lagi lho. Untung gue yang mergokkin elo. Kalau orang terminal yang mergokin elo, boro-boro elo di bawa kantor polisi, setelah di gebukkin lo pasti di bakar sama massa. Mau lo mati di bakar massa kayak teman lo si Nurdin?”

Ableh langsung minta ampun, karena orang yang sudah memergoki dia adalah Abah Amin, teman bapaknya yang juga berprofesi sebagai pemulung.

“Ampun Be, ampun. Gue lagi butuh duit be buat bayar hutang ke Rusli.”

PLAK !

Abah Amin memukul pelan kepala Ableh yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri.

“Bego! Kalah judi lagi lo?”

Ableh mengangguk cepat. Ableh mengerang karena Abah Amin mengeratkan dekapan lengannya. Ableh pun menepuk-nepuk lengan Abah Amin yang kecil tapi otot semua. Usia boleh jadi semakin uzur, namun bekas otot-otot yang terbentuk alami karena sedari kecil terbiasa jadi kuli bangunan tetap tidak bisa bohong.

“Siniin dompet yang lo ambil!” hardik Abah Amin.

Setelah Ableh memberikan dompet kepada Abah Amin, beliau mendorong punggung Abeh ke depan. Abah Amin atau Amin memeriksa sebentar isi dalam dompet yang berisi empat lembar uang Rp 100 ribu dan beberapa lembar uang puluhan ribu. Amin juga memeriksa identis pemilik dompet dan lengkap ternyata.

“Utang berapa lo?”

“Rp 50 ribu bah.”

Amin merogoh kantong celananya. Ia ingat masih ada uang 50 ribu di kantung celana. Uang untuk makan besok namun Amin ikhlas saja, ia yakin besok bisa dapat ganti yang lebih banyak dari hasil jual gelas plastic bekas.

“Nih, bayar hutang lo ke Rusli, jangan urusan lagi sama dia. Daripada lo buang-buang umur cuma buat mabuk, judi, nyopet, mending lo kerja mulung. Mulung jauh lebih baik daripada nyuri duit orang. Dah sana lo pulang, awas sekali lagi gue tahu lo nyopet, gue sendiri yang akan potong tangan lo pake parang, ngerti lo?”

“I-Iya, bah.”

Ableh langsung ambil langkah seribu, sementara Amin kembali ke dalam terminal karena khawatir yang punya dompet keburu pergi karena tidak ngeh dompetnya hilang. Amin merasa lega karena melihat si pemilik dompet nampak mondar-mandir sambil mengedarkan pandangan ke bawah. Air muka pemuda tersebut sudah sedemikian kusut.

Tentu saja Radja di pemilik dompet sedang gelisah dan lemas saat hendak membayar kopi di warung dalam terminal, namun kantung sakunya kosong. Dompet sudah tidak ada di tempat. Karena dompet tersebut berisi uang terakhir Radja. Di saat Radja yang semakin pucat karena dompet, Amin menyapa Radja.

“Maaf mas, nyari dompet ini? Tadi terjatuh waktu Mas turun dari bus. Bapak langsung amankan dompetnya. Maaf agak lama balikinnya karena ada urusan. Silahkan di cek isinya Mas.”

Radja yang tadinya sudah nyaris menangis, langsung memeriksa isi dompet. Uang dan kartu identitas masih lengkap, uangnya memang tidak seberapa, namun itu nyawa terakhir Radja. Setelah dompet dan isinya lengkap, reflek Radja memeluk Amin. Wajar jika Radja terlihat emosional karena dua kali secara berturut-turut, ia merasakan kebaikan orang asing yang belum pernah ia temui sebelumnya.

“Siapa nama lo?” tanya Amin.

“Nama gue Rad. Senja. Nama gue Senja pak.”

“Baru kali ini gue ketemu cowok yang namanya Senja, seperti anak cewek.”

Radja sudah terbiasa mendengar kometar orang yang pertama kali mendengar nama belakangnya.



Radja Senjakala.

Itulah nama lengkap Radja, sebuah nama yang diberikan dan dipilih khusus oleh mendiang Ibunya.

“Bu, kenapa Ibu memberi nama Radja, Radja Senjakala, apa artinya Bu,” tanya Radja ketika berusia 7 Tahun.

Esti sudah menyiapkan jawaban jika satu hari nanti, putra kesayangannya ini bertanya tentang arti namanya yang sedikit unik.

“Nama depan kamu Radja. Kenapa Radja? Karena kamu akan jadi pangerannya Ibu dan Bapak. Maaf ya karena kondisi kesehatan Ibu, Ibu tidak akan bisa memberikan kamu seorang adik. Radja akanjadi anak tunggal.”

Radja kecil hanya mengangguk-angguk saja tanpa mengerti dan paham bahwa Ibunya sudah terdeteksi punya gejala kanker.

“Kalau nama belakang Radja bu. Senjakala, apa artinya?”

“Karena kamu lahir tepat jam 6 sore, sesaat sebelum matahari terbenam. Waktu senja menjadi penanda peralihan dari terang menuju gelap. Waktu yang benar-benar magis.”

Mungkin Radja sudah lupa dengan detail percakapannya dengan Ibunda, namun setiap Radja menyebutkan nama lengkapnya, seolah ia merasa dekat lagi dengan Ibunya yang sudah lama tiada.



“Saya biasa di panggil dengan Abah, Abah Amin,” ujar Amin memperkenalkan diri.

Sekarang hampir tengah malam dan Amin bisa membaca dari gesture Radja yang Nampak seperti orang yang bingung mau kemana. Amin merasa kasihan karena orang seperti dia akan jadi sasaran empuk orang jahat yang jumlahnya tidak sedikit di sekitaran terminal. Dan benar saja, Radja yang kini di ingin di panggil dengan nama Senja, tidak tahu mesti kemana saat di tanya Amin apa tujuannya datang kemari.

Amin sempat memberikan rekomendasi hotel melati murah di sekitaran terminal, namun Senja menggeleng. Uangnya terbatas. Karena Amin kasihan, ia pun menawari Senja untuk tidur di bedengnya.

Senja sempat bingung apa maksud dari bedeng. Namun ia bisa merasakan ketulusan dan kebaikan dari Amin. Akhirnya Senja mengikuti Amin menuju sebuah perkampungan kumuh tidak jauh dari terminal yang di tinggali oleh warga miskin yang mayoritas berprofesi sebagai pemulung yang mengais rejeki di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cendana.

Sebenarnya perasaan Senja sudah tidak enak, karena semakin ke tengah. Rumah-rumah yang ia lewati pun tidak layak untuk di sebut dengan rumah karena hanya bangunan berukuan 3 x 3 meter yang disekat dari triplek bekas, atapnya dari seng. Sementara sebagai pengganti pintu, hanya tumpukan kayu, dan di tambah dengan terpal atau plastik. Sangat memprihatinkan.

Amin menyadari bahwa Senja tidak akan bisa tinggal di sini, lingkungannnya terlalu ekstrem bagi orang yang tidak terbiasa hidup susah atau di bawah, sangat di bawah garis kemiskinan.

“Mas, ini rumah bedeng gue. Yakin mau tidur di sini? Siap tidur dengan panas-panasan dan jadi makan malam para nyamuk. Gak usah sungkan sama gue. Itu hotel melati dekat terminal ada yang Rp 75 ribu semalam. Meski sederhana namun jauh lebih baik di bandingkan bedeng gue. Gak usah sungkan kalau gak jadi tidur di sini.”

Senja sempat ragu, namun ia mesti meninggalkan Radja yang manja.Ia mesti jadi Senja yang harus siap beradaptasi dengan hal baru. Dengan ikut tidur di sini, itulah cara Senja membalas budi kebaikan Abah Amin.

“Gue di sini saja pak, gak apa-apa.”

Amin cukup tersentuh dengan pendirian anak muda yang ia kenal. Amin memberikan tumpukan jaket yang di lipat dan di jadikan bantal.

“Mas,besok kalau gak ada pekerjaan, bisa ikut saya cari-cari barang bekas, lumayan lho, “ kata Amin sebelum ia tidur.

“Baik Pak, saya coba.”

“Yadah, semoga bisa istirahat ya. Tapi kalau memang gak bisa tidur, Mas Senja langsung pergi saja tidak usah pamit ke saya gak apa-apa.”



Seharusnya Senja menuruti perkataan Abah Amin, karena tidak jauh dari bedeng, ada beberapa orang yang berpakaian serba hitam, memiliki niat jahat. Mereka membawa beberapa drum kecil berisi bensi dan menyiramkan ke beberapa bedeng kosong dan tumpukan sampah.

Setelah drum kosong , satu orang menyalakan korek api gas. Lalu tanpa ragu, ia melemparkan korek api.

Pemukiman tersebut habis di lalap si jago merah, menewaskan ratusan warga yang tinggal di pemukiman kumuh tersebut. Mereka terjebak di kelilingi api.

Termasuk Senja. Abah Amin.



“Karena kamu lahir tepat jam 6 sore, sesaat sebelum matahari terbenam. Waktu senja menjadi penanda peralihan dari terang menuju gelap..”



= selesai=
keren om..... pas lah dpt quote yg banyak
 
Sukses untuk ceritanya Om Pant
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd