Update 1:
------------------------
****
Setelah mencapai titik jenuh, akhirnya rapat pun selesai dan dilanjutkan persiapan menuju pulau kapuk. Lampu ruangan pun dimatikan, dan tanpa jeda yang lama iringan suara dengkuran mulai menghiasi heningnya malam itu. Waktu menunjukkan pukul 00.00 WIB lebih, dan semuanya telah terlelap. Hanya aku yang masih memiliki tanda-tanda kehidupan di waktu itu.
Perlahan ku lihat bayangan perempuan menuju ruang depan, tempat para Arjuna mengistirahatkan raganya. Lalu terdengar suara berbisik.
"Dik..., Dik..., kamu belum tidur kan?" bisik Rahma di pintu yang menghubungkan ruang tengah dan ruang depan.
"Iya belum, gimana? nggak bisa tidur ya? maaf ya kalo tempatnya kurang nyaman..." jawabku sekaligus berbasa-basi.
"Nggak gitu, aku kayak masuk angin nih... disini udaranya dingin banget rasanya, beda sama di kota. hehe... kamu punya minyak kayu putih nggak?" tanya Rahma padaku.
"Iya, kayaknya ada. Bentar aku cariin" jawabku menjanjikan.
Kebetulan di rumahku selalu tersedia minyak kayu putih, minyak gosok, balsem, dan sejenisnya. Karena kebiasaan orang tuaku yang hobi pijat ketika merasa lelah.
"Ini Mbak, silahkan... sekalian jasa pijatnya mbak?" godaku pada Rahma.
"Haha... bisa aja kamu, iya boleh... kalo nggak keberatan." jawab Rahma mengiyakan.
Jeduaaaarrrrr... serasa tersambar petir ketika ku mendengar jawabannya. Desiran nafsuku mulai berbisik-bisik. "Mungkinkah inilah saatnya?" gumamku dalam hati.
"Di sofa aja ya, biar mudah." pintaku pada Rahma.
"Terserah." jawabnya dengan singkat, padat, dan jelas, seperti jawaban kaum hawa pada umumnya.
Akhirnya kami berdua menuju sofa dengan keadaan yang gelap, karena kami tak enak jika nanti cahaya lampu membuat teman-teman yang sedang tidur menjadi terganggu. Rahma pun duduk selonjor di sofa, dengan ujung kaki di pangkuanku.
Ku baluri telapak kakinya dengan minyak kayu putih dan ku pijat perlahan. Sengaja ku letakkan di pangkuanku, tepat menempel di atas penisku. Semakin lama ku pijat, semakin tegang pula penisku. Dan... entah disengaja atau tidak, Rahma menggerakkan kakinya seakan-akan menggesek-gesekkan kakinya ke penisku yang menegang. Aku mencoba mulai berani, pijatanku yang semula hanya di telapak kaki, kini mulai berpindah ke betis dan lutut. Tiba-tiba aku mendengar Rahma mendesah, "Ahh... emmmhhh"
"Ehhh, malah keenakan ni anak..." celotehku pada Rahma
"Geli tauk..." jawabnya sok cuek.
Aku semakin berambisi untuk mendapatkan yang lebih di malam itu. Hingga aku pun mencoba tuk mewujudkannya.
"Perutnya sekalian nggak? tadi ditepuk kayak bedug bunyinya." ucapan nekatku kepada Rahma.
"Iya, tp dikit aja ya kayu putihnya..., kalo banyak-banyak malah kepanasan nanti perutku." jawab Rahma.
Jawaban yang begitu aku inginkan, namun tak pernah ku bayangkan. Detak jantung mulai tak karuan, perasaan yang campur aduk antara bahagia dan... apalah, aku juga tak tau. Seakan-akan setan mulai berbisik "Raba aja payudara sintalnya, kalo marah bilang aja maaf gelap nggak keliatan"
Aku mencoba menahan bisikan itu. Mulai ku teteskan minyak kayu putih ke telapak tanganku, lalu ku usapkan ke perutnya.
"Permisi ya..." izinku pada Rahma ketika mulai mengelus perutnya.
"Iya..." jawabnya lirih.
Entah apa karena memang dia juga terangsang, atau apa... aku tak tahu. Keadaan yang gelap, membuatku hanya bisa menduga-duga tanpa tahu bagaimana ekspresi yang sedang ditampakkan oleh Rahma.
Deru nafasku tak mampu ku sembunyikan, namun aku tetap berusaha diam dan menjaga rythme. Dalam keadaanku yang seperti itu, tiba-tiba Rahma berkata kepadaku.
"Lho..., sekarang malah kamu yang keenakan gitu... dari tadi ngelus-elus tapi diem. hayooo..."
Aku bingung harus berkata apa, lalu dengan asal kujawab "Enggak kok, biasa aja."
"Ih, nggak mau ngaku." tambahnya lagi.
Aku semakin bingung harus bagaimana. Dilepas sayang, tapi kalo enggak masa mau gini terus. Tiba-tiba naluri kejantananku yang menjawab.
"Iya deh, ngaku... aku keenakan. tapi kalo gini jadi sama-sama enak kan?" jawabku sambil mulai meremas gumpalan payudara Rahma.
"Aaahhhhh... Dik..." desah Rahma.
Masih menikmati alur yang baru aku dapatkan, aku dikagetkan dengan perkataan Rahma.
"Udah Dik, jangan kelewatan!" cegahnya sembari menjauhkan tanganku dari payudaranya.
"Aku mau tidur dulu" pungkas Rahma sembari berdiri dan kembali menuju ruang tengah.
Aku pun merasa tak enak dan aku hanya berkata "Iya, silahkan... maaf Rahma"
Rahma tak menjawab sedikitpun, hanya mengacungkan jempolnya yang terlihat samar di tengah remang-remang kegelapan.