Salam kenal suhu semua. Ane mau berbagi cerita ane n sahabat ane nih soal perjalanan kita yang bisa dibilang berwarna. Silakan disimak dan dikomen kalo berkenan.
Ini true story btw dengan nama disamarkan dan beberapa adegan diplesetin dan dihiperbola buat jaga-jaga kalo ada yang kenal sama ane or Adelaide.
Monggo
1-Adelaide
Sebut saja namanya Adelaide. Sekarang umurnya 28 dan bekerja sebagai auditor di kantor konsultan akuntansi. Saya kenal dengannya sewaktu umurnya 19. Waktu itu saya yang setahun lebih muda sedang cinta-cintanya sama dunia teater. Saya suka akting dan buat cerita untuk pertunjukan. Hobi yang awalnya cuma dilakukan di kampus jadi melebar waktu saya diajak gabung ke perkumpulan teater yang kita sebut namanya Teater Underground. Dari lima orang anak baru yang bergabung, saya dan Adelaide salah satunya.
Adelaide menjadi satu-satunya anak yang mencolok di antara kami karena bentuk fisiknya yang sedikit berbeda. Sesuai namanya, dia blasteran negara tetangga. Rambutnya sebahu dan berwarna kecokelatan. Kulitnya putih dengan bintik-bintik merah dan cokelat di sana sini. Tingginya juga melebihi cewek-cewek kebanyakan di sana. Bentukan luarnya sudah beda dengan orang Indonesia kebanyakan, ditambah dengan pakaiannya yang minimalis. Sementara cewek-cewek Jawa Barat yang tinggal di kota sebelah selatan Jakarta jarang pakai tank top, Adelaide malah sepertinya tidak punya baju lain selain tank top.
Kesan pertama kali saya lihat Adelaide itu adalah: tua. Sementara kesan dari salah satu anak baru yang gabung bareng saya adalah: anjir, pengin gue garap tuh bule.
Dan ternyata bukan cuma teman saya itu yang horny lihat Adelaide. Separuh dari cowok-cowok di Teater Underground suka sama Adelaide. Waktu itu saya yang orangnya konservatif dan cinta barang lokal enggak tertarik sama sekali sama dia.
"Gue mah mau melestarikan khasanah nusantara, ah. Nikah sama pribumi supaya ras lokal enggak habis," kata saya dulu.
"Bah, gue mah kalo jadi cewek ogah sama lu. Ntar anak gue idungnya minimalis terus kulitnya enggak putih-putih biar disemprot pake pylox juga," sambut teman saya yang sebut saja namanya Orgil.
Dua hari kemudian, yang empunya teater bilang kalau enam bulan lagi bakal ada pertunjukan jadi latihan rutin bakal dimulai. Yang senior antusias, yang junior lebih antusias. Hari itu adalah hari pertama saya dan Adelaide tegur sapa.
"Kira-kira anak baru bakal dapat peran enggak, ya?" tanya Adelaide waktu kami sama-sama ambil air minum di meja samping panggung tempat kami biasa kumpul-kumpul.
"Enggak tahu," kata saya. Itu pertama kalinya saya lihat Adelaide dari dekat dan alamakjang, ternyata dia lebih tinggi dari kelihatannya. Dan dia ternyata gemuk. Perutnya menonjol. Saya baru ngeh sekarang karena badan dia tinggi jadi tonjolan perut itu tidak kelihatan kentara.
"Bakal sering pulang malam kita nanti. Soalnya latihannya bakal panjang banget. Tahu enggak, katanya teater ini terkenal sama itunya," kata Adelaide sambil menggerakkan dua jari kayak tanda peace.
"Apaan?"
"Itu."
"Apaan?"
"ML."
Saya sempat syok dengar cewek ngomong kata itu. Seumur hidup saya yang baru 18 tahun waktu itu belum pernah dengar ada cewek bilang begitu.
"Aslinya?"
Adelaide cuma senyum dan bilang saya harus lihat besok. Dan jengjengjeng, besok malamnya, mata perjaka saya ternodai sama sepasang anggota teater yang sibuk ciuman sambil grepe-grepe di kursi penonton. Celana si cowok sudah terbuka ritsletingnya dan baju yang cewek sudah terangkat sampai kedua toketnya ada di kondisi full view saya.
Yang bikin saya sempat lupa napas adalah: dua orang itu begituan di depan orang-orang yang lagi istirahat latihan di panggung. Rupanya sudah lumrah di teater itu kalau pas break pada ML kilat. Dan pasangannya bebas sebebas-bebasnya. Mau sama yang single, punya pacar, punya suami/istri, selama yang bersangkutan masih anggota dan mau, hajar bleh saja aturannya.
Saya yang dulu lugu merasa kotor.
Adelaide yang sama tidak kebagian peran duduk di samping saya. "Kan. Kamu enggak ada kerjaan, kan? Mulai besok gue mau bawa kamera. Kita bikin dokumenter soal perilaku orang-orang di sini, yuk. Mau?"
Saya tidak kenal sama kata dokumenter waktu itu tapi karena diajak Adelaide dan memang senggang, saya bilang iya. Adelaide senyum senang dan mengajak saya salaman. Malam itu saya baru sadar kalau mata Adelaide bukan cokelat seperti orang Indonesia kebanyakan, tapi ada sedikit warna hijaunya.
Setelah Adelaide pergi ke belakang, saya baru berpikir bahwa saya tidak tertarik pada cewek itu karena jelas-jelas dia bukan level saya. Cewek begitu harus punya pacar blasteran juga, bukan rakyat jelata macam saya.
Tapi setelah malam itu saya jadi lebih dekat dengan Adelaide. Sangat dekat malah sampai-sampai diary miliknya yang bersambung sampai 5 buku ada di rumah saya sekarang. Dari buku-buku dan pengalaman pribadi yang langsung saya alami dengan Adelaide cerita ini ditulis. Cerita soal pertemanan kami yang diselingi aktivitas ngintip orang ML buat film dokumenter, bikin video porno sendiri, merasakan orgy dan pengakuan Adelaide yang bikin saya jantungan.
Bersambung dulu. Kalau komen rame dan tertarik, saya lanjut lagi.
Ini true story btw dengan nama disamarkan dan beberapa adegan diplesetin dan dihiperbola buat jaga-jaga kalo ada yang kenal sama ane or Adelaide.
Monggo
1-Adelaide
Sebut saja namanya Adelaide. Sekarang umurnya 28 dan bekerja sebagai auditor di kantor konsultan akuntansi. Saya kenal dengannya sewaktu umurnya 19. Waktu itu saya yang setahun lebih muda sedang cinta-cintanya sama dunia teater. Saya suka akting dan buat cerita untuk pertunjukan. Hobi yang awalnya cuma dilakukan di kampus jadi melebar waktu saya diajak gabung ke perkumpulan teater yang kita sebut namanya Teater Underground. Dari lima orang anak baru yang bergabung, saya dan Adelaide salah satunya.
Adelaide menjadi satu-satunya anak yang mencolok di antara kami karena bentuk fisiknya yang sedikit berbeda. Sesuai namanya, dia blasteran negara tetangga. Rambutnya sebahu dan berwarna kecokelatan. Kulitnya putih dengan bintik-bintik merah dan cokelat di sana sini. Tingginya juga melebihi cewek-cewek kebanyakan di sana. Bentukan luarnya sudah beda dengan orang Indonesia kebanyakan, ditambah dengan pakaiannya yang minimalis. Sementara cewek-cewek Jawa Barat yang tinggal di kota sebelah selatan Jakarta jarang pakai tank top, Adelaide malah sepertinya tidak punya baju lain selain tank top.
Kesan pertama kali saya lihat Adelaide itu adalah: tua. Sementara kesan dari salah satu anak baru yang gabung bareng saya adalah: anjir, pengin gue garap tuh bule.
Dan ternyata bukan cuma teman saya itu yang horny lihat Adelaide. Separuh dari cowok-cowok di Teater Underground suka sama Adelaide. Waktu itu saya yang orangnya konservatif dan cinta barang lokal enggak tertarik sama sekali sama dia.
"Gue mah mau melestarikan khasanah nusantara, ah. Nikah sama pribumi supaya ras lokal enggak habis," kata saya dulu.
"Bah, gue mah kalo jadi cewek ogah sama lu. Ntar anak gue idungnya minimalis terus kulitnya enggak putih-putih biar disemprot pake pylox juga," sambut teman saya yang sebut saja namanya Orgil.
Dua hari kemudian, yang empunya teater bilang kalau enam bulan lagi bakal ada pertunjukan jadi latihan rutin bakal dimulai. Yang senior antusias, yang junior lebih antusias. Hari itu adalah hari pertama saya dan Adelaide tegur sapa.
"Kira-kira anak baru bakal dapat peran enggak, ya?" tanya Adelaide waktu kami sama-sama ambil air minum di meja samping panggung tempat kami biasa kumpul-kumpul.
"Enggak tahu," kata saya. Itu pertama kalinya saya lihat Adelaide dari dekat dan alamakjang, ternyata dia lebih tinggi dari kelihatannya. Dan dia ternyata gemuk. Perutnya menonjol. Saya baru ngeh sekarang karena badan dia tinggi jadi tonjolan perut itu tidak kelihatan kentara.
"Bakal sering pulang malam kita nanti. Soalnya latihannya bakal panjang banget. Tahu enggak, katanya teater ini terkenal sama itunya," kata Adelaide sambil menggerakkan dua jari kayak tanda peace.
"Apaan?"
"Itu."
"Apaan?"
"ML."
Saya sempat syok dengar cewek ngomong kata itu. Seumur hidup saya yang baru 18 tahun waktu itu belum pernah dengar ada cewek bilang begitu.
"Aslinya?"
Adelaide cuma senyum dan bilang saya harus lihat besok. Dan jengjengjeng, besok malamnya, mata perjaka saya ternodai sama sepasang anggota teater yang sibuk ciuman sambil grepe-grepe di kursi penonton. Celana si cowok sudah terbuka ritsletingnya dan baju yang cewek sudah terangkat sampai kedua toketnya ada di kondisi full view saya.
Yang bikin saya sempat lupa napas adalah: dua orang itu begituan di depan orang-orang yang lagi istirahat latihan di panggung. Rupanya sudah lumrah di teater itu kalau pas break pada ML kilat. Dan pasangannya bebas sebebas-bebasnya. Mau sama yang single, punya pacar, punya suami/istri, selama yang bersangkutan masih anggota dan mau, hajar bleh saja aturannya.
Saya yang dulu lugu merasa kotor.
Adelaide yang sama tidak kebagian peran duduk di samping saya. "Kan. Kamu enggak ada kerjaan, kan? Mulai besok gue mau bawa kamera. Kita bikin dokumenter soal perilaku orang-orang di sini, yuk. Mau?"
Saya tidak kenal sama kata dokumenter waktu itu tapi karena diajak Adelaide dan memang senggang, saya bilang iya. Adelaide senyum senang dan mengajak saya salaman. Malam itu saya baru sadar kalau mata Adelaide bukan cokelat seperti orang Indonesia kebanyakan, tapi ada sedikit warna hijaunya.
Setelah Adelaide pergi ke belakang, saya baru berpikir bahwa saya tidak tertarik pada cewek itu karena jelas-jelas dia bukan level saya. Cewek begitu harus punya pacar blasteran juga, bukan rakyat jelata macam saya.
Tapi setelah malam itu saya jadi lebih dekat dengan Adelaide. Sangat dekat malah sampai-sampai diary miliknya yang bersambung sampai 5 buku ada di rumah saya sekarang. Dari buku-buku dan pengalaman pribadi yang langsung saya alami dengan Adelaide cerita ini ditulis. Cerita soal pertemanan kami yang diselingi aktivitas ngintip orang ML buat film dokumenter, bikin video porno sendiri, merasakan orgy dan pengakuan Adelaide yang bikin saya jantungan.
Bersambung dulu. Kalau komen rame dan tertarik, saya lanjut lagi.