Part 62
Darkened River in My Head
By: Trickst∆r
Babe Piscok? Ayolah jangan bilang kamu percaya begitu saja kepada orang itu. Kamu bahkan belum tahu nama aslinya. Sama seperti dirimu, rahasianya bahkan memiliki rahasia.
Alien dari Planet Pisang hanyalah persona, sama seperti ketika kamu pertama kali menciptakan saya.
Jangan hanya karena
feromon lawan jenis dan perut yang berbuah-buah membuat kamu takluk kepada bibirnya yang ranum dan merah muda. Hihihi. Saya tahu itu. Karena diam-diam kamu membayangkan sedang mengulum dan melumatnya. Lihatlah, sudut matamu diam-diam melirik, dan bibir bawahmu sesekali kau gigit ketika membayangkan pemandangan apa yang berada di dinding satunya.
Orang itu berdiri di balik kaca
tempered. Kamu bisa melihat siluet tubuhnya yang telanjang dari balik dinding yang menerawang. Kamar mandi itu hanya dipisahkan satu bidang dinding semi-tembus pandang yang menyekatnya dengan ruang makan. Kau bisa melihatnya walau samar. Otot-otot lencir yang terbungkus oleh uap panas. Kulit sawo matang yang dilelehi bulir-bulir air. Jangan bilang kau tidak sedang membayangkan menyusul masuk ke dalam bilik mandi. Dan kau menciumi dadanya yang bidang. Lalu tubuhmu ─yang sama-sama telanjang─ direngkuh dan dikasari di lantai kamar mandi dalam persetubuhan liar seperti yang kau tulis dalam cerita-cerita erotismu.
Hahaha! Gara-gara saya kini kau terpaksa bergumam-gumam kecil, hanya untuk mengusir pikiran-pikiran gila yang melintas di dalam kepala. Tapi suara
shower yang terdengar mengguyur deras justru membuat aliran hangat yang bermuara di bawah sana juga terasa semakin jelas. Ayolah, kamu tidak bisa membohongi apa yang diinginkan tubuhmu.
"
Diam! Dan jangan bicara yang aneh-aneh!" kau mengecam dengan wajah merah padam.
Hahaha! Kenapa? Bukankah saya hanya cermin yang menyuarakan isi hatimu?
Tanpa saya, kamu hanyalah Starla, anak pemalu yang bersembunyi di balik buku-buku dan kaca mata. Tapi di dalam kepalamu, kamu menghidupkan saya, Trickst∆r, Sang
Mirage of Deceit, Sang Maestro cerita erotis yang karya-karyanya digila-gilai oleh ribuan orang. Hanya dengan menjadi saya kamu bisa mengeluarkan semua imajinasimu yang paling liar. Tanpa saya, kamu tidak akan bisa bertahan menghadapi tekanan dari keluarga dan teman-temanmu sampai saat ini. Karena kamu adalah saya. Dan saya adalah kamu.
Kita adalah dua sisi koin yang saling balik-membalik.
Kita adalah
Recto dan
Verso....
˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚
Suara
shower yang dimatikan menyentakmu tiba-tiba. Lalu kau kembali berpaling pada layar komputer jinjing di pangkuanmu untuk menyembunyikan warna pipimu yang sedikit merona.
Terdengar suara pintu kaca yang dibuka. Bayangan tubuhnya muncul dari balik pintu kaca, telanjang dan hanya dibungkus selembar handuk yang membebat bagian bawah. Kau membuang pandang, pura-pura tak melihat guratan guratan-guratan otot abdomennya yang mengerucut membentuk huruf 'v' ketika ia melintas di depanmu.
Suaranya terdengar lembut dan menggoda. Menawarimu untuk bermalam di tempat itu. Wajahmu sedikit tersipu sebelum kau mengangguk malu-malu. 'Kamu bisa menempati kamar yang satunya,' ia berkata. 'Kalau kamu mau mandi, saya memiliki pakaian dan handuk kering.'
'Terima kasih,' dan kamu menjawab pelan seperti anak kucing.
Lalu tubuhnya menghilang di balik daun pintu yang dibiarkan setengah terbuka. Kamu tahu apa itu artinya. Jangan pura-pura. Kita sudah sama-sama dewasa untuk mengira apa yang akan terjadi ketika memutuskan untuk datang di tempat ini.
'
Sebenarnya saya mau pulang, saya takut," bisikmu pada saya. '
lagipula, sepertinya dia terlihat berbahaya.'
Saya pun tak percaya dia sepenuhnya. Tapi apa lagi pilihan kita? Dia adalah aliansi terbaik yang kita punya. Terkadang diperlukan bersekutu dengan iblis hanya demi mengalahkan iblis yang satunya:
The Godkiller, Sang Jenius yang telah berhasil menghentikan langkahmu berkali-kali. Dewa Perang yang selalu berada satu langkah di depanmu.
Kamu tahu, cuma orang itu yang bisa. Tapi saya kira bersekutu dengan iblis pasti memerlukan imbalan. Kalau itu yang diperlukan, saya bahkan rela menyerahkan jiwa dan tubuh saya sebagai kurban. Saya harap kamu juga.
˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚
Maafkan. Saya tahu kamu segan. Tapi kamu memasuki kamar mandi dan melepas satu persatu penutup tubuhmu dalam ekspresi malu yang tidak bisa disembunyikan. Bayangannya terlihat dari balik dinding transparan, menyetel beberapa piringan hitam di ruang tengah. Wajahmu dipenuhi rona-rona merah muda menyadari dia juga bisa melihatmu dari sisi dinding yang satunya. Saya tahu kamu bukan Miss Flo yang gemar mengumbar aurat. Jo adalah satu-satunya orang pernah melihatmu dalam keadaan nirbusana. Saya tahu kamu merasa malu, tapi saya juga tahu kalau kita sama-sama berbagi rasa erotis yang hadir bersamaan dengan pandangan orang asing yang jatuh di atas kulitmu yang telanjang.
Suara
shower air hangat terdengar deras, sejelas tanganmu yang bergerak mengusapkan buih-buih sabun cair di atas dadamu yang ranum dan ceruk hangat di bawah sana yang kini menuntut belaian yang sama. Matamu memejam. Menikmati setruman-setruman nikmat yang membuat sekujur tubuhmu menegang hingga kau terpaksa berpegangan pada dinding granit. Kamu nakal. Tidakkah dia melihat tubuhmu yang limbung?
Tungkai-tungkaimu masih gemetar ketika kau melangkah keluar dari kamar mandi. Tubuhmu hanya ditutupi selembar kaus longgar miliknya yang tampak seperti daster kedodoran di atas tubuhmu yang mungil. Di baliknya kau tidak mengenakan apa-apa lagi seperti yang saya perintahkan. Jantungmu berdegup kencang. Tajuk-tajukmu mulai mengeras. Dan kamu tidak bisa memungkiri lagi aliran hangat yang terasa semakin deras di antara lembah-lembah cintamu....
Kamu telah siap....
Alunan biola Chopin terdengar sayup dari dalam pemutar piringan hitam miliknya. Ia sengaja menemaramkan lampu, menyisakan satu-dua lampu
halogen kecil yang menerangi lukisan Walter Spies besar yang dipajang di ruang tengah. Ia berada di ujung satunya, berdiri menghadapi lanskap kota dari ketinggian. Kamu bisa melihat pantulannya pada dinding kaca terbungkus dalam
house coat warna kelabu dari bahan satin.
Jari-jarinya yang lentik bergerak menuang dua gelas
Red Wine dari botol bertahun 1972, satu disodorkannya kepadamu.
"
To our masterpiece," ia berkata dingin.
Satu tegukan, dan kepalamu mulai terasa ringan.
"
Do you sastified?" suranya terdengar membisik dari belakang telinga, dan kamu rasai napasnya yang menghembus di atas tengkukmu.
Tangannya melingkar di dada atasmu dan kamu bisa melihat pantulan tubuhnya yang tegap kini membungkus tubuhmu yang mungil. Telapak tanganmu bergerak menyambut. Lihat. Kamu hanya tersenyum kikuk dan membiarkan tubuhmu dipeluk dari belakang.
Kalian berdua berdiri menghadapi ambang jendela. Mendung dan matahari yang mulai condong ke barat perlahan menggelapkan cakrawala. Sesekali terdengar gemuruh mengikuti kilatan-kilatan keunguan menyerupai pembuluh darah di ketinggian.
"Ratu... dan sekarang Miss Flo... siapa berikutnya? Jo? Iko? Nanas? Saya bahkan bisa melenyapkan A-J jika kamu mau, " dikecupnya punggung tanganku. "
I am your death dealer. Your wish is my command."
"Tapi kenapa harus melibatkan Meiji...?" kamu berkata pelan.
"Saya bisa bilang apa. Ini keinginan Meiji sendiri," dan ia menjawab nyaris tanpa simpati.
Sikap tubuhmu berubah tak nyaman.
Saya tahu. Selain Flo, Meiji adalah sahabatmu yang paling tulus. Saya pun menyukai Meiji. Tapi kita tidak memiliki waktu untuk bermelankoli, saya bilang begitu, tapi hati nuranimu sepertinya terdengar menggugat.
Lucu. Karena saya pikir kamu sudah tidak punya hati nurani.
"Lagipula. Kamu yang meminta saya melakukan semua ini," orang itu berkata lagi.
Dan tangannya semakin erat melingkar di pinggang, dan bibirnya semakin dalam terbenam di antara susunan belikatmu. Kamu membenamkan wajahmu di ketiaknya. Dan Indera penciumanmu segera dimanjakan oleh odor maskulin dan
feromon lawan jenis.
'
Beginikah rasanya?' bisikmu kepada saya.
Kamu melengguh sayup ketika telapak tangannya yang besar menangkup sempurna di atas buah dadamu yang mungil, lalu jari-jarinya bergerak lembut-memilin tajuk-tajukmu yang mengeras. Kamu bisa mendengar suara rintihan tertahan dari bibirmu sendiri. Tangannya yang satu kini bergerak jauh menjelajah, meremas pantatmu yang telanjang, lalu dengan ujung jari dibelainya belahanmu yang telah basah sempurna hingga kau hanya bisa termegap-megap tak berdaya ketika dia memainkan lubang analmu. Tidak perlu sungkan. Saya tahu kamu suka dirangsang pada bagian itu.
Tapi sama seperti Starla yang manis dan pemalu, kamu hanya mampu tersipu-sipu ketika kamu ditelanjangi dan tubuh polosmu dibopong ke atas ranjang yang empuk. Lalu dia pun terbuka seutuhnya. Kulupnya tak berkhatan dan zakarnya mengeras indah di depan matamu. Kamu menelan ludah, tiba-tiba kerongkonganmu terasa kering....
Jika saya jadi kamu, saya akan langsung menerkam dan melumat batangan yang mengeras di antara dua pahanya itu ke dalam bibir saya. Lalu menjambaknya dan memaksa menjilati lubang anus saya sambil menduduki wajahnya dalam posisi 69.
Tapi kali ini saja, saya biarkan kamu yang memegang kendali....
Karena saya tahu, bagimu ini adalah yang pertama. Maka saya biarkan malam ini menjadi istimewa....
Ia tersenyum melihat wajahmu yang merona, lalu dikecupnya kamu di kening, di pipi, dan ia mulai menciumi wajahmu mesra. Sebelum perlahan ciumannya bergerak menuruni leher dan menyusu pada putik-putikmu yang ranum....
"Pelan-pelan...," kamu mendesah tak berdaya, lalu membiarkan tubuh mungilmu lumat dalam rengkuhan otot-ototnya yang padat dan tubuhmu yang mungil mulai dimasuki oleh tubuhnya... Dan benda keras itu... Ya Tuhan... lihatlah bagaimana matamu membeliak nanar ketika ujung tumpulnya menyentuh mulut rahimmu. Bibir mungilmu termegap sekali, membiarkan batangan keras itu berkedut-kedut panas pada dinding-dinding rahimmu yang liat. Lalu bibirmu kembali dilumat, dan buah dadamu diremas kasar hingga yang kau rasakan kini hanyalah rasa nikmat yang menghujam berkali-kali dan kau tidak bisa mendengar apa-apa lagi selain suara rintihanmu sendiri....
Dan hujan turun deras....
Semakin deras....
˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚
Kamu terbangun dengan kepala pening dan tubuh yang tak terutup apapun selain sehelai selimut tipis ─persis seperti adegan klise dalam cerita bergenre CEO. Cahaya terang menyusup dari jendela. Hari sudah pagi dan kepalamu masih terasa seperti dihantam godam. Saya yakin ada zat adiktif yang dicampurkan dalam minumanmu semalam, hingga kau tak mengingat jelas apa yang terjadi selain rasa perih dan sekujur tubuh yang dipenuhi bekas cupang...
Ia sudah tidak ada di sampingmu, tapi kamu bisa mendengar suara air pancuran dan pemutar piringan hitam yang terdengar dari luar kamar. Siluetnya terlihat dari dalam kamar mandi di antara uap panas yang mengepul. Sebenarnya kamu tergoda menyusul. Tapi hari terlalu pagi untuk menjadi gila. Lagipula selangkanganmu masih terasa perih.
Ia sudah menyiapkan sarapan. Romantisnya.
English Breakfast yang terdiri dari sosis bakar,
ommelete, dan roti tawar. Kopi berada dalam satu termos berpemanas. Dan susu segar di dalam teko kaca. Kamu mengambil segelas. Mengoleskan madu pada roti dan melamun memandangi titik-titik hujan di kaca jendela. Beginikah rasanya, Jo? Bercinta dengan orang asing?
Tapi kamu hanya tersenyum kecil, sepertinya tak benar-benar menyesali.
Kamu sedang mengenang persetubuhan multiorgasme semalam ketika perhatianmu tiba-tiba tersita oleh warta berita yang terdengar dari televisi di ruang tengah yang dibiarkan menyala. Sama seperti komputer
AiO di meja kerja yang sepertinya dari semalam belum dimatikan.
Matamu melirik cemas. Sebenarnya kamu menunggu berita pagi tentang mayat Miss Flo yang ditemukan tak bernyawa.
Atau malah, ─kamu tak mengharapkannya sama sekali? Karena dudukmu semakin cemas ketika televisi menayangkan berita tentang perampokan sebuah kamar hotel di daerah Gowokan Lor.
Dua tahun persahabatan tidak bisa lekang dalam sehari. Kamu akan menjadi orang yang paling merasa bersalah jika Miss Flo benar-benar mati...
'
Siapa bilang? Saya benar-benar ingin Miss Flo mati,' bisikmu kepada saya.
Tentu saja saya tahu kamu berbohong. Karena tiba-tiba saja air matamu menggenang....
°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•