Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Yona dan hal majestik bernama Cinta (2nd Majestic)

Status
Please reply by conversation.
Bang updatenya jadi ya... kalo gak update di hukum mbak-mbak berkuatan bulan
DMUVEcAV4AAdqNK.jpg:large
 
PART 6
One Step​
DUJmbbJVwAA83qb

Pecundang.
Kamu telah membuat seseorang menyukaimu Rehan, kenapa kamu lari?
Kenapa kamu tak katakan yang sebenarnya kamu juga rasakan?
Esensi sebagai fans itu hanya alasan bodoh belaka yang kau gunakan untuk menutupi kenyataan pahit yang sebenarnya bukan?
Apa kamu ingat Rehan, alasan mu mendatangi kuil suci wota itu ?
Apa kamu ingat alasan kenapa kamu memilih Yona untuk menjadi idola yang kamu dukung?

Tidak? Biar ku ingatkan kalau begitu!
Karena kau hampir menyerah dengan dunia!
Karena kau gagal menjaga cinta dari orang yang kau kasihi dengan utuh!
Karena cintamu ditentang orang tua dari wanita yang kau pilih untuk jadi yang terakhir!
Karena cinta dulu telah mempermalukanmu!
Lalu kau melarikan diri ke kuil suci wota dan bertemu Si Pemimpi yang pantang menyerah, Si Gadis Bulan yang kau anggap menyelamatkanmu dari cekikan Dunia yang sudah enggan dengan keberadaanmu.

Apa apaan, pemimpi yang pantang menyerah?
Jangan bercanda, aku juga seorang pemimpi dulunya, sebelum mimpi itu dihancurkan oleh cinta yang tak direstui.
Sebelum mimpi itu dipermalukan di depan keluarga ku dan juga keluarga mantan ku.
Aku ingin mati.

Lalu muncul si gadis kecil yang nampak rapuh tapi berteriak lantang
"Hai, Aku Si Pemimpi yang pantang menyerah! Namaku Yona!"
Kau pun tertarik padanya Rehan, ingatkah?
Seberapa gencarnya kamu mencari tahu alasan kenapa dia bisa dengan percaya diri mengatakan hal yang kau sendiri tak bisa lakukan dengan suaranya yang penuh keyakinan.
Ingatkah? Ketika semakin dalam kamu larut dalam perjalanannya kamu merasa dia telah memberimu alasan untuk tetap hidup Rehan. Ingatkah?

Dan kini orang yang telah membuatmu melupakan apa itu cinta, malah menyimpan perasaan itu padamu.
Kau takut Rehan ? Dasar pecundang!


Kopi yang kuseruput dari cangkir porselen bermotif bunga ajisai menampar kesadaran dari lamunanku.

"Ahh...berengsek.."
Kedua tanganku menutup seluruh wajahku. Aku malu pada dunia yang dulu pernah aku hendak tinggalkan, kini dia menantangku lagi tapi aku lagi lagi menghindar dan lari darinya.

Kopi telah habis, hanya tersisa ampasnya yang gelap, artinya hari sudah semakin siang dan menyuruhku untuk bersiap.
Aku pun bergegas menaiki motor ku untuk segera berangkat ke cafe.

Di cafe, suasana belum begitu ramai. Hanya ada empat lima pengunjung yang tersebar di beberapa meja.
Di salah satu meja terlihat seorang pemuda berhadapan dengan dua orang pria berpakaian formal, dia nampak asik mempresentasikan sesuatu yang terpampang di laptopnya.
Pemuda itu mengingatkanku pada saat aku mencari modal dari investor untuk membuka cafe ku ini.

"Pagi Pak Rehan..."

Aku menoleh ke sumber suara.
Rupanya Sinta, menyapaku dengan sebuah senyuman tersungging dari bibirnya.

"Nah gitu, senyum... Kan enak diliatnya"
ujarku.

Sinta yang biasanya hampir tak pernah tersenyum kecuali ku suruh, kini bisa menyapa sambil tersenyum dengan sendirinya.
Sebuah kemajuan yang cukup bagus, mengingat Sinta merupakan front desk nya cafe ku.
Dengan modal kecantikan, dan sekarang keramahannya mungkin bisa menarik lebih banyak pelanggan lagi.

"Sinta udah bisa senyum sekarang Nto.."
ujarku saat memasuki ruangan Santo.

Santo yang melihat kedatanganku nampak buru buru merapikan beberapa berkas, kemudian menyerahkannya padaku.

"Iya, bebannya udah keangkat..
Ini laporan buat bulan ini, sama beberapa berkas ada yang perlu ditanda tangani"
sahut Santo.

"Beban?" selidikku.

Santo nampak tersipu, dia kembali ke mejanya dan pura pura sibuk dengan komputernya.

"Lu tau lah, yang malam itu..."

Aku berpikir sejenak dan mengingat malam yang dimaksud Santo.
Malam seminggu yang lalu saat aku tak sengaja memergoki dia menggauli Sinta di ruangannya.

"Loh jadi dia jutek begitu gara gara ngga pernah digarap lagi?" ujarku menduga.

Santo mengangguk dan tersenyum bangga.
"Siapa yang nyangka kan?"

"Ngga usah nyengir lu kampret, kalo gue yang tau duluan juga bakalan gue yang garap"

Santo tertawa, yang justru membuatku kesal. Ingin rasanya ku lempar wajah bangganya itu dengan bantalan sofa yang sekarang ku duduki.

"Ya tapi gue juga ngga asal ngegarap dia gitu aja sih..."
Santo menghentikan tawanya, mimik wajahnya berubah serius.

"Ngga asal ?" selidik ku.

"Gue sama Sinta udah jadian Han..."

"Sebelum atau sesudah?" kataku mempertanyakan kejadian malam itu.

"Lebih tepatnya selagi, ya... Kalo soal perasaan gue mendemnya dari sejak dia curhat soal mantannya sih" ujar Santo.

Aku tak pernah menduga sebelumnya. Karena bagiku Sinta adalah sosok yang dingin. Aku tau dia hormat padaku, tapi aku tak tahu jika dia ternyata cukup dekat dengan Santo sampai mengobrol ranah yang cukup pribadi.
Dan mungkin mereka memang lebih dekat dari yang ku duga hanya saja aku tak begitu memperhatikan.

"Ngga apa apa kan?" tanya Santo

"Ya lu harusnya jujur sih waktu itu.
Ngga apa apa kok, gue juga ngga pernah bikin peraturan kaku soal larangan memiliki hubungan antar karyawan"
jelasku kemudian.

Santo tersenyum senang.
Seingatku ini berarti kali keduanya dia jatuh cinta pada seorang gadis. Terakhir itu saat kami sama sama masih duduk di bangku SMA.
Dia menyukai sahabat baik pacarku saat itu, wajar sih.
Dulu semasa SMA aku dan Santo kemana mana selalu berdua, ada Rehan ada Santo pokoknya, udah kayak titit sama biji.
Pacarku saat itu bernama Nita, sama halnya denganku, Nita ini punya sahabat namanya Ria, ada Nita pasti ada Ria, udah kayak tetek.

Otomatis ketika aku sedang bersama dengan Nita, maka Santo dan Ria pun ada disitu. Jadi kaya titit sama biji ketemu tetek. Nyambung.

"Lu sendiri gimana Han?
tanya Santo mengembalikan ku dari kenangan masa lalu.

"Gimana apanya?"

Santo berjalan ke depan meja meninggalkan layar komputernya, dia duduk di tepian meja seraya menatapku dengan mimik muka serius.

"Udah lima tahun kan? Masa belum move on..." ujarnya lurus.

"Gue udah move on" kilah ku ketus, sejujurnya aku tak begitu suka arah pembicaraan ini.

Santo menghela nafasnya pelan, alisnya ikut turun seiring keluarnya karbon dioksida dari mulutnya.

"Oke lu move on, tapi lu belum bangkit my friend...
Lu masih jiwa yang kosong semenjak Nita pergi dari kehidupan lu"

Aku mendelik jijik saat nama Nita disebut oleh Santo.
Semua memori buruk tentangnya langsung terputar di kepalaku.
Terutama saat dia ikut membuangku dihadapan orang tuanya saat aku memperjuangkan hubungan kami yang tak direstui hanya karena saat itu aku seorang pengangguran yang bermimpi besar.

"Ngga usah nyebut nama dia lah, geleuh gue"
ujarku sambil bergidik geli.

Tentu saja aku jijik.
Nita adalah apa yang biasa kalian sebut dengan cinta pertama.
Dia adalah adik kelasku semasa SMA, hanya terpaut satu tahun denganku.
Dia adalah orang yang pertama kali mengajariku apa itu cinta.
Tentang indahnya dan juga pahit manisnya cinta.
Kami berpacaran cukup lama, dan tentu kami juga sering melakukan hubungan badan, terutama karena Nita cukup terobsesi dengan seks. Tapi itu bukan hal yang penting untuk dibahas.

Hubungan kami yang manis itu mulai retak saat aku lulus dan memilih untuk tidak meneruskan ke jenjang kuliah.
Aku lebih memilih untuk mencoba mewujudkan mimpi kecilku yaitu menciptakan lapangan kerja sendiri.
Awalnya dia masih oke oke saja, dan dia mengerti bahwa untuk mewujudkan impianku memang butuh waktu yang tidak sebentar.
Dia pun lulus dari SMA dan melanjutkan kuliah untuk menjadi Guru.
Disinilah awal mula segalanya menjadi runyam.
Orang tua Nita ternyata orang yang sangat menjunjung tinggi titel dan martabat.
Mereka tak ingin anaknya yang nanti lulus memiliki gelar sarjana bermain cinta dengan seorang pengangguran.
Nita, awalnya menentang apa yang dikatakan orang tuanya dan membela keberadaanku, dia bilang dia tidak mau hidup selain denganku.
Entah setan mana yang merasukinya, beberapa bulan kemudian tiba tiba dia berubah drastis.
Malam itu tiba saat dimana aku mengunjungi rumahnya, bermaksud menunjukan keseriusan ku dengan membawa mimpi kecilku yang selangkah lagi terwujud.
Tau apa yang orang tuanya bilang?
Mereka bilang
"Percuma kamu sukses juga, anak saya nanti punya gelar sarjana... Lah kamu?"
Aku tak mengerti jalan pikiran mereka yang sempit itu, saat itu aku mengharap pembelaan dari Nita tapi, tahu apa yang kudapat?
"Maaf Rehan, aku realistis saja...
Aku pilih bahagia, ada pria yang sedang menjalani S2 juga berniat meminang aku"
Ingin rasanya saat itu aku menampar mulutnya dengan tinju yang sudah mengepal akibat kemarahanku, beruntung aku masih memiliki akal sehat dan memilih pergi dengan hati yang hancur.
Sejak saat itulah aku benci Cinta dan juga dunia yang menurut pandanganku berlaku tidak adil.

"Okay, sorry..." ucap Santo menyesal.

Aku menggenggam berkas berkas yang tadi diserahkan Santo, berniat membawanya ke ruang kerjaku.

"Tapi setidaknya pikirkanlah Rehan...
Pasti ada wanita yang tertarik sama lu"

Aku lagi lagi menatapnya dengan mimik wajah tidak senang.

"Nto, lu baru jadian lagi ajah udah bawel ya? Gimana kalo udah nikah lu"

Aku meninggalkan Santo yang masih tertegun dengan ucapanku barusan.
Mood ku sedang tidak bagus, setidaknya keluar dari ruangan ini untuk mengganti suasana bukan pilihan yang salah.

Di ruanganku aku berjibaku dengan laporan laporan yang tadi diberikan Santo.
Syukurnya aku tinggal menyelesaikan pekerjaan mudahnya saja, aku tinggal memeriksa bahwa selama sebulan ini cafe ku sudah berjalan sesuai target, seimbang antara pengeluaran dan pendapatan.
Jika sampai akhir tahun tetap lancar seperti ini mungkin aku bisa mempertimbangkan untuk membuka cabang di Jakarta.

Tak terasa hari sudah mulai siang, mentari sudah bergeser dari titik tertingginya.
Baru saja aku hendak keluar untuk mencari makan, tiba tiba pintu ruangan ku diketuk.

"Masuk..." kataku mempersilahkan.

Daun pintu terbuka, sosok anggun itu melangkah masuk disertai aura dingin yang segera membuat cekam ruangan ku.

"Shania...?"

Shania masuk dengan langkah yang pasti, bibirnya yang terkatup rapat dan matanya yang menyorot tajam membuatku merasa harus menyiapkan mental.
Aku menghenyakkan punggungku di senderan kursi hitam, sementara Shania sudah duduk di kursi seberang meja kerjaku.

"Harusnya gue emang ngga ngizinin lu buat ketemu Kak Yona kan?" ujarnya dingin.

Aku terdiam karena ku tahu betul Shania belum selesai dengan ucapannya.

"Kak Yona seminggu ini gak pernah bisa menyelesaikan show teaternya,
Meski gue tanya kenapa dia gak pernah bisa jawab, tapi gue tau pasti ada hubungannya sama lu"

Shania menatapku dengan matanya yang penuh dengan api amarah.

"Tunggu, gue ambilin minum..."

"Siapa yang suruh lu berdiri? Duduk!"
Bentak Shania.

Aku mengurungkan niatku, padahal aku hanya ingin membuatnya sedikit tenang.

"Gue ngebiarin lo berdua selama itu ga mengganggu aktifitas kak Yona di JKT48,
dan lu tau kan kak Yona punya penggemar yang gak sedikit? Apa jadinya ketika mereka datang tapi kak Yona ngga perform dengan optimal?
Lu ngerti kan?" ujar Shania panjang.

"Sekarang gue mau tau apa yang lu lakuin ke kak Yona sampai dia down kaya gitu"
tambahnya.

Aku memutar bola mataku. Agak malas menjelaskan apa yang terjadi. Tapi tekanan dari sorot mata Shania membuatku merasa mau tak mau ya aku harus bicara.

"Gue ngga ngelakuin apa apa Shan..."

Shania mendelik begitu mendengar apa yang barusan ku ucapkan. Alisnya mengkerut dan berkumpul di tengah dahinya.

"Tunggu, tenang, jangan marah dulu
Justru karena gue ngga ngapa ngapain itulah yang mungkin bikin Yona down..."
lanjutku sebelum Shania melancarkan kata kata dari mulutnya.

Sebelah alisnya naik, mungkin dia bingung dengan ucapanku yang belum selesai itu.

"Dia nyatain perasaannya ke gue Shan, gue belum bisa respon... Seminggu ini dia gak berhenti nelpon,chat dan segala macem tapi semuanya ngga gue respon...
Gue masih ragu sama diri gue sendiri"

Aku tak bisa membaca ekspresi Shania kali ini. Entah marah atau bingung, mungkin keduanya.

"Lu inget ngga sih yang waktu itu pernah gue tanyain di rumah sakit?" tanya Shania.

Aku memutar otakku ke memori hari itu, Shania yang marah seperti biasanya bertanya tentang hubunganku dengan Yona. Bertanya tentang siapa diriku bagi Yona.

"Iya gue inget... Terus kenapa?"
Aku balik bertanya.

Shania sepertinya sudah sedikit tenang, otot otot tegang di dahinya mulai mengendur. Cara duduknya pun mulai terlihat santai.

"Aku pikir semenjak aku ngizinin kalian bebas ketemuan bakal ada kelanjutannya dari situ, ternyata aku salah... Sampai saat ini pun kamu ngga bisa menjawab siapa kamu buat Yona ya?" ujar Shania.

"Tapi lu ga sepenuhnya salah Shan, setidaknya Yona bisa lebih jujur daripada gue
Dia mungkin ingin bisa menjawab pertanyaan lu itu
Tapi ya disinilah gue sekarang" tukasku.

Shania menghela nafasnya, lalu kembali menatapku dengan sorot matanya yang seperti biasa, tajam.

"Kamu terlalu naif kak Rehan..."

"Naif?" ujarku heran.

"Iya naif, aku masih banyak keperluan...
Jadi aku harus pergi sekarang.
By the way, soal Yona... Management ngasih dia waktu seminggu untuk nenangin pikiran.
Gunakan kesempatan itu dengan baik ya"
berkata demikian Shania bangkit dari kursinya, lalu berjalan menjauh dari tempat ku duduk.

"Yona udah cerita semuanya kan sebenernya?"
ucapanku membuat langkah Shania terhenti, tepat disaat dia memutar kenop pintu.

Shania tersenyum tipis, tidak... Lebih tepat jika aku menyebutnya seringai. Mengingatkanku akan bulan sabit di malam ketika dia menginterogasi ku di taman rumah sakit.

"Tepat...
Ngga usah marah, aku hanya ingin memastikan. Dan sedikit memberikan dorongan pada si tuan maha tidak peka ini"

Seperti dugaanku, caranya berubah tenang dari marahnya yang meledak ledak tadi itu sangat tidak alami.
Aku tahu dia pasti datang dengan sebuah misi. Tapi caranya menyebut diriku barusan itu sedikit menjengkelkan.
Maha tidak peka apanya?

Shania kini melenggang pergi, namun dibalik pintu yang dia buka rupanya sudah berdiri Santo.
Terlihat Shania membisikkan sesuatu yang tak dapat ku terka apa itu kepada Santo.

Pintu ditutup, Shania benar benar pergi sementara Santo telah duduk di kursi yang tadi di duduki Shania.

"Gadis itu menyeramkan ya Han?"
ucap Santo, jempol kirinya menunjuk ke arah belakang melalui bahunya. Gadis yang dia maksud sudah tak berada di sana padahal.

"Kenapa?"

"Sebelum ke ruangan lu dia masuk ke ruangan gue, dia nanya nanya soal lu"
Santo menjelaskan dengan setengah berbisik, entah kenapa.

"Dan ?"

"Gue ga ngomong banyak, tapi dia bisa ambil kesimpulan kalo gue disini bukan pemilik asli... Dan dia tau kalo owner sebenarnya itu lu" jelasnya lagi.

"Nto...
Itu ngga penting,
Sekarang... Lu ngapain disini?"

Santo baru menyadari keberadaan nya di sini bukan untuk membahas Shania, tapi untuk membahas sesuatu yang baru saja dia ketahui. Dia menopang dagunya dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja kerjaku, menatapku dengan rasa ingin tahu yang besar.

"Yona yang kalian bicarakan tadi itu, siapa dia?" selidiknya.

Rupanya Santo mencuri dengar pembicaraan ku dengan Shania tadi.
Pantas saja dia tadi berdiri tepat di depan pintu. Mungkin awalnya dia penasaran dengan tujuan Shania yang tiba tiba datang mencariku.

"Ah... Dia teman Shania, satu tim di idol group JKT48" kataku

"Kalo itu gue udah tau, maksud gue hubungan dia sama lu Han..." tukas Santo.

"Hmm... Jadi Shania sempat cerita soal Yona juga sama lu... Apa lagi yang lu tau dari dia?" sergahku.

Santo mengubah posisi duduknya menjadi lebih santai, seakan bersiap untuk pembicaraan yang panjang. Biasanya dia akan menyulut sebatang rokok, tapi di ruanganku hal itu dilarang.

"Gue tahu kalian punya hubungan khusus, dan kini hubungan itu sedikit renggang"

"Sebelum lu berpikir lebih jauh, gue sama Yona cuman partner seks aja" kilahku.

Mendengar itu Santo tercengang, seakan tidak ingin percaya pada apa yang barusan dia dengar.

"Pa..partner seks...? Apa maksudnya itu?"
ucap Santo gugup.

Aku menghela nafas dalam, kemudian mulai bercerita mengenai Yona dan pertemuanku dengannya.
Santo mendengarkan dengan khidmat, sesekali tertunduk segan mendengar betapa liarnya hubungan seks ku dengan Yona.
Terbawa suasana aku bahkan menceritakan saat saat Yona mulai berubah sikap terhadapku, saat saat dimana perasaan itu mulai tumbuh. Bahkan aku juga menceritakan malam dimana aku meninggalkan Yona tanpa jawaban.

"Gue masih ngga paham Han, masalahnya dimana sampai lu kebingungan buat jawab perasaan dia?"
Santo menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Huft... gara gara Shania dan sekarang lu, gue kali ini bakal berterus terang...
Ada dua alasan, alasan bohong dan alasan yang sebenarnya"

Santo memajukan duduknya semakin dekat dengan meja.

"Alasan bohongnya karena status gue sebagai fans dan dia adalah seorang idola" ujarku

Santo terlihat mengernyitkan keningnya.
"Lu terlalu naif Han, idola itu hanya status... Aslinya dia cuman cewek biasa seperti cewek cewek pada umumnya, ya kan?"

Mataku membuka lebar. Ucapan Santo barusan berhasil menjawab kata naif yang dimaksud oleh Shania tadi.
Jadi begitu, ada saat dimana aku melihat Yona terlalu tinggi. Seperti sesuatu yang terlalu jauh untuk dijangkau, padahal sebenarnya dia, Yona selalu menempatkan dirinya sederajat di hadapanku.

"Lalu, alasan yang sebenarnya?" tegur Santo kemudian.

"Gue... Masih ragu buat memulai kembali mengalami hal semajestik Cinta..."
Aku mengalihkan pandanganku dari Santo.

"Kan..." ujar Santo singkat.

Menjengkelkan.
Aku tidak mengucapkannya, tapi pasti tertulis jelas di wajahku itulah kenapa aku tak mau melihat wajah Santo yang pasti bangga karena dugaannya tepat.

"Kalo lu takut berarti lu juga punya perasaan yang sama kan?"

Aku berdehem kecil, kemudian mengangguk.
Senyum di wajah Santo terkembang, aku tak tahu apa yang membuatnya seperti itu.
Dia berdiri, kemudian melangkah mendekatiku yang memutar kursiku berbalik ke arah jendela yang menghadap ke luar ruangan.

"Lima tahun sudah cukup untuk menyembuhkan luka lama itu Rehan, sekarang ada seseorang yang semesta datangkan buat lu...
Lu mesti menyambutnya dengan baik, biarkan takdir itu mengalir sebagaimana mestinya" ujar Santo sambil menepuk pundakku.

"Tua lu Nto"

"Tapi gue bener kan?"

Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku, kemudian mengusapnya ke atas hingga ke rambut bagian belakangku. Aku mencoba menyegarkan pikiranku yang masih sedikit berawan.

"Kalo lu masih ragu, izinkan gue meminjam kata kata yang pernah lu ucapkan ke gue dulu..."
Santo menerawang jauh, mungkin dia kembali mengingat saat dimana aku mengajaknya berkolaborasi demi menciptakan cafe yang kini kami kelola berdua.

Saat itu dia ragu dengan ajakanku, dipikirannya kerja kantoran lebih menjamin masa depannya, tapi berkali kali dia mencari kesempatan itu yang tak kunjung datang, karena persaingan dunia kerja yang begitu ketat.
Aku yang mengetahui kepiawaian Santo dalam berorganisasi tentu tak ingin menyia nyiakan bakatnya itu, mereka yang menolaknya pasti karena hanya menilai dari penampilan dan data data di atas kertas saja.

"Udah lu gabung gue ajah, meski sedikit bertaruh gue yakin kalo sama lu kita pasti bisa berhasil" ujarku saat itu melihat Santo yang hampir putus asa karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan yang diidamkannya.

Santo yang masih diliputi keraguan saat itu meragukan ajakanku.
Dia tak berani mengambil resiko yang terlalu besar.
"Tapi kalau gagal di tengah jalan gimana?
Yang kita pertaruhkan itu bukan cuma materi, tapi juga waktu yang ngga bisa kembali"

Aku menepuk pundaknya, persis seperti yang Santo lakukan saat ini kepadaku.

"Lu cuman butuh satu langkah maju untuk memulai dan itu yang membuka jalan ke kemungkinan selanjutnya."
Ucap Santo persis seperti yang ku ucapkan padanya waktu itu.

Aku terenyuh, bagaimana bisa aku melupakan kata kataku sendiri. Benar sekali, jika aku terus berdiam diri tentu selamanya aku tak akan tahu kemungkinan kemungkinan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Cinta pun seperti itu, tak ada gunanya aku terus terusan terpuruk dengan masa lalu yang buruk itu.
Bukankah masa depan itu misteri, tak selamanya hanya ada kemungkinan yang buruk, pasti ada juga kemungkinan yang
baiknya, tidak... Aku hanya perlu yakin semuanya akan menjadi baik.

Tunggu, aku sepertinya melupakan sesuatu yang fatal.
Ah, iya. Aku telah mengabaikan Yona...

"Gue udah bertindak buruk Nto...
Gue udah bertingkah seperti bumi yang membiarkan bulan perlahan lahan menjauh..
Apa dia masih mau nemuin gue?"

"Dia masih nyariin lu kan?" tukas Santo

Aku mengangguk mengiyakan, mengingat ratusan notifikasi di handphone ku hampir semuanya berasal dari Yona.

"Kalau gitu lu harusnya udah ngerti.
Ada perbedaan signifikan antara bumi dengan bulan dan lu dengan Yona ini.."

"Apa itu?"

"Lu punya pilihan untuk mendekat"
jawab Santo singkat.

Lagi lagi aku tersadar. Benar, tak seperti Bumi dan Bulan yang sudah ditakdirkan selamanya berselisih pendapat. Ketika itu terjadi padaku, aku punya pilihan untuk mendekat, aku punya pilihan untuk membuatnya tetap berada di dekatku, sesederhana itu.

Aku merogoh handphone dari saku celana ku, daftar panggilan teratas adalah nama yang memang ingin ku tuju saat ini.

"Halo... Yona?"

"Hmmm?" suara diseberang terdengar ketus, tapi aku hafal betul itu suara Yona.

"Maaf...
Apa aku masih punya kesempatan?"

"Hmmm.." hanya itu respon yang ku dapat

"Gue mau ngomong..
Besok jam 9 pagi gue jemput di rumah ya?"

"Hmm...
Kak Rehan?"
Ah, akhirnya ada kata yang keluar selain suara hmmm.

"Iya yon?"

"BEGOOOO!"

Teriakkan Yona membuatku secara reflek menjauhkan handphone dari telingaku, meski sedikit terlambat karena kupingku sudah pengang karenanya.
Saat ku lihat layar handphone ku kembali rupanya sambungan telepon telah diputus.
Aku menatap heran Santo yang tengah tertawa terbahak bahak.

"Apaan sih maksudnya?" tanyaku polos.

Santo bersusah payah menghentikan tawanya, dia menyeka airmata yang keluar dari sudut matanya.
"Dasar Tuan Maha Tidak Peka"
Ledeknya sambil berlalu pergi keluar ruangan, masih dengan menahan tawa.

Apa apaan, kenapa itu jadi semacam jargon... Siapa pula yang mengizinkan mereka seenaknya menyebutku dengan panggilan itu.

Tinung!

Handphone ku berbunyi tanda ada pesan yang masuk.

"Jam 9?
Ok"

Hanya itu bunyi pesan yang kudapat dari Yona.
Tapi sudah lebih dari cukup untuk membuatku yakin bahwa aku bisa berharap pada hari esok.

 
Nah kan kena trauma, ada quote dari seseorang " Biarkanlah masa lalu terus menghantui dan memburu mu, karena hal itu akan membuat mu semakin kuat"
eeh maaf malah oot, Nice suhu, konfliknya ngena banget.
 
there is a will there is a way tuan tidak peka, idgad deh kalo ngga ada exe nya yg penting hati tentrem bacanya wkk nice conflict broth
 
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd