Mbahghepenk
Semprot Kecil
Helow. MbahGhepenk di sini.
Sudah lama sebenarnya saya berkeinginan bikin post di sini, namun baru kesampaian sekarang.
Sebenarnya saya bukan orang baru dalam dunia perceritaan, sempat juga buat blog khusus cerita dewasa, sayangnya terus menerus tumbang.
Oke. Langsung saja. Cerita berikut merupakan salah satu cerita favorit saya yang telah lama beredar dalam berbagai situs, blog serta forum-forum dewasa. Sayang ending cerita terlalu menggantung. Karena alasan itu lah muncul ide saya untuk menyelesaikannya.
Bagian pertama merupakan cerita asli hasil copas dengan banyak editing meski saya berusaha untuk tak terlalu banyak mengubah.
Bagian selanjutnya merupakan rekaan saya yang berupa cerita lanjutan dengan akhir yang lebih memuaskan saya. Semoga pembaca berkenan dan sama-sama terpuaskan.
“Masak apa Yen?” kataku sedikit mengejutkan adik iparku, yang saat itu sedang berdiri sambil memotong-motong tempe kesukaanku di meja dapur.
“Ngagetin aja sih, hampir aja kena tangan nih,” katanya sambil menunjuk ibu jarinya dengan pisau yang dipegangnya.
“Tapi nggak sampe keiris kan?” tanyaku menggoda.
“Mbak Ratri mana Mas, kok nggak sama-sama pulangnya?” tanyanya tanpa menolehku.
“Dia lembur, nanti aku jemput lepas magrib,” jawabku.
“Kamu nggak ke kampus?” aku balik bertanya.
“Tadi sebentar, tapi nggak jadi kuliah. Jadinya pulang cepat.”
“Aauww,” teriak Yeyen tiba-tiba sambil memegangi salah satu jarinya. Aku langsung menghampirinya, dan kulihat memang ada darah menetes dari jari telunjuk kirinya.
“Sini aku bersihin,” kataku sambil membungkusnya dengan serbet yang aku raih begitu saja dari atas meja makan.
Yeyen nampak meringis saat aku menetesi lukanya dengan Betadine, walau sebenarnya hanya irisan kecil saja. Beberapa saat aku menetesi jarinya itu sambil kubersihkan sisa-sisa darahnya. Yeyen nampak terlihat canggung saat tanganku terus membelai-belai jarinya. “Udah ah Mas,” katanya berusaha menarik jarinya dari genggamanku.
Aku pura-pura tak mendengar, dan masih terus mengusapi jarinya dengan tanganku kemudian membimbing dia untuk duduk di kursi meja makan, sambil tanganku tak melepaskan tangannya. Sedangkan aku berdiri persis di sampingnya.
“Udah nggak apa-apa kok Mas, Makasih ya,” katanya sambil menarik tangannya dari genggamanku. Kali ini dia berhasil melepaskannya.
“Makanya jangan ngelamun dong. Kamu lagi inget Ma si Novan ya?” godaku sambil menepuk-nepuk lembut pundaknya.
“Yee, nggak ada hubungannya, tau,” jawabnya cepat sambil mencubit punggung lenganku yang masih berada dipundaknya.
Kami memang akrab, karena umurku dengan dia hanya terpaut 4 tahun saja. Aku saat ini 27 tahun, sedang istriku yang juga kakak dia 25 tahun.
“Mas boleh tanya nggak. Kalo cowok udah deket Ma temen cewek barunya, lupa nggak sih Ma pacarnya sendiri?” tanyanya tiba-tiba sambil menengadahkan mukanya ke arahku yang masih berdiri sejak tadi.Sambil tanganku tetap meminjat-mijat pelan pundaknya, aku hanya menjawab, “Tergantung.”
“Tergantung apa Mas?” desaknya seperti penasaran.
“Tergantung, kalo si cowok ngerasa temen barunya itu lebih cantik dari pacarnya, ya bisa aja dia lupa sama pacarnya,” jawabku sekenanya sambil terkekeh.
“Kalo Mas sendiri gimana? Umpamanya gini, Mas punya temen cewek baru, trus tu cewek ternyata lebih cantik dari pacar Mas. Mas bisa lupa nggak Ma cewek Mas?” tanya dia. Aku hanya ketawa kecil aja mendengar pertanyaan itu.
“Yee, malah ketawa sih,” katanya sedikit cemberut.
“Ya bisa aja dong. Buktinya sekarang aku deket Ma kamu, aku lupa deh kalo aku udah punya istri,” jawabku lagi sambil tertawa.
“Hah, awas lho ya. Ntar Yeyen bilangan lho Ma Mbak Ratri,” katanya sambil tertawa.
“Gih bilangin aja, emang kamu lebih cantik dari Mbak kamu kok,” kataku terbahak, sambil tanganku mengelus-ngelus kepalanya.
“Huu, Mas nih ditanya serius malah becanda.”
“Lho, aku emang serius kok Yen,” kataku serius. Kini belaian tanganku di rambutnya, sudah berubah sedikit menjadi semacam remasan-remasan gemas.
Yeyen tiba-tiba berdiri. “Yeyen mo lanjutin masak lagi nih Mas. Makasih ya dah diobatin.”
Aku hanya membiarkan saja dia pergi ke arah dapur kembali. Lama aku pandangi dia dari belakang, sungguh cantik dan sintal tubuh adik iparku ini. Aku mendekati dia, kali ini berpura-pura ingin membantu sambil meraih beberapa lembar tempe dari tangannya.
Tak mau dibantu, Yeyen berusaha tak melepaskan tempe dari tangannya. “Udah ah, nggak usah Mas,” katanya sambil menarik tempe yang sudah aku pegang sebagian.
Saat itu, tanpa kami sadari ternyata cukup lama tangan kami saling menggenggam. Yeyen nampak ragu untuk menarik tangannya dari genggamanku. Aku melihat mata dia, dan tanpa sengaja pandangan kami saling bertabrakan.
Lama kami saling berpandangan. Perlahan wajahku mendekat tanpa sedikit pun Yeyen berusaha menghindar. Kuraih kepalanya, dan kutarik agar lebih mendekat. Hanya hitungan detik saja, kini bibiku sudah menyentuh bibirnya.
“Maafin aku Yen,” bisiku sambil terus berusaha mengulum bibir adik iparku ini. Yeyen tak menjawab, tak juga memberi respon atas ciumanku itu. Kucoba terus melumati bibir tipisnya, dia belum juga memberikan respon.
Tanganku masih memegang bagian belakang kepala Yeyen sementara tangaku yang satu mulai kulingkarkan ke pinggul dan memeluknya.
“Sshh...hhhmmmm...” Yeyen seperti mulai terbuai dengan jilatan demi jilatan lidahku yang terus menyentuh dan menciumi bibirnya.
Tanpa Yeyen sadari, tangannya sudah melingkar di pinggulku. Dan lumatanku pun sudah mulai direspon olehnya, walau masih ragu-ragu.
Yeyen kembali mendesah. Mendengar itu, aku semakin ganas menjilati bibir Yeyen. Perlahan tapi pasti, dia pun mulai mengimbangi ciumanku itu. Sementara tanganku dengan liar meremas-remas rambutnya, sedang yang satunya mulai meremas-remas pantat sintal adik iparku itu.
Cukup lama kami berciuman sebelum akhirnya Yeyen berusaha menarik wajahnya sedikit menjauh dari wajahku, “Mas, udah ya Mas."
Aku menghentikan ciuman. Kuraih kedua tangan Yeyen, membimbingnya untuk melingkarkan di leherku. Meski terlihat ragu-ragu gadis itu pun melingkarkannya di leherku.
“Yeyen takut Mas,” bisiknya tak jauh dari ditelingaku.
“Takut kenapa, Yen?” kataku setengah berbisik.
“Yeyen nggak mau nyakitin hati Mbak Ratri Mas,” katanya lebih pelan.
Aku pandangi mata dia, ada keseriusan ketika ia mengatakan kalimat terakhir itu. Tapi, sepertinya aku tak lagi memperdulikan ketakutannya. Kuraih dagunya, dan kudekatkan lagi bibirku ke bibirnya. Yeyen dengan masih menatapku tajam, tak berusaha berontak ketika bibir kami mulai bersentuhan kembali.
Tanganku mulai meremas-remas kembali rambut Yeyen. Terus turun hingga berhenti persis di bagian pantatnya yang hanya terbalut celana pendek tipis lalu mulai meremas-remas dengan nakal.
“Aahh...Mas,” desahnya.
Salah satu tanganku mulai bergerak, berusaha mencari-cari payudara Yeyen dari balik kaos oblongnya. Akhirnya kudapati juga buah dada Yeyen yang mulai mengeras itu. Dengan posisi kami berdiri seperti itu, batang penisku yang sudah menegang dengan mudah kugesek-gesekan persis di mulut vagina Yeyen.
Kendati masih sama-sama terhalangi oleh celana kami masing-masing, tetapi aku yakin Yeyen dapat merasakan batang kemaluanku yang tegang.
“Oohhhh Mas."
Tanganku kembali bergerak, memegang bagian belakang celana pendeknya dan perlahan-lahan kuberanikan diri untuk mencoba melepaskan sekaligus beserta celana dalamnya tanpa perlawanan dari Yeyen.
Aku raih salah satu tangan Yeyen untuk memegang batang kontolku kendati masih terhalang oleh celana jeans. Perlahan tangannya terus kubimbing untuk membukakan kancing dan kemudian menurunkan resleting celana. Beberapa saat kemudian, aku membantu tangannya memerosotkan celana dan dalamanku. Kini, masih dalam posisi berdiri, bagian bawah tubuh kami telah telanjang.
Tanganku kembali membimbing tangan Yeyen agar memegangi batang kontolku yang sudah menegang. Gadis itu pun mulai memainkan dan mengocok-ngocoknya perlahan. Ada semacam tegangan tingi yang kurasakan saat ia mengocok dan sesekali meremas-remas kontolku itu.
“Oohh,” tanpa sadar aku mengerang karena nikmatnya diremas-remas seperti itu.
“Mas, udah Mas. Yeyen takut Mas,” katanya sambil sedikit merenggangkan genggamannya di batang kemaluanku yang sudah sangat menegang itu.
“Aahh,” tapi tiba-tiba dia mengerang sejadinya saat salah satu jariku menyentuh bibir kemaluannya. Membelai mengikuti belahan memek Yeyen. Kemudian dengan liar kukeluar-masukan salah satu jariku di lubang vaginanya.
“Aaooww, mass, eennaakk..” katanya mulai meracau.
Mendengar itu, birahiku semakin tak terkendali saja. Perlahan kuraih batang kemaluanku dari genggamannya, dan kuarahkan sedikit demi sedikit ke lubang kemaluan Yeyen yang sudah sangat basah. Penisku kugesekan persis di klitorisnya.
“Please, jangan dimasukin Mas,” pinta Yeyen, saat aku mencoba mendorong batang zakarku ke liang vaginanya.
“Nggak Papa Yen, sebentaar aja,” pintaku sedikit berbisik ditelinganya.
“Yeyen takut Mas,” katanya berbisik sambil tak sedikit pun ia berusaha menjauhkan vaginanya dari kepala kontolku yang sudah berada persis di mulut guanya.
Tangan kiri Yeyen mulai meremas-remas pantatku, Sementara tangan kanannya seperti tak mau lepas dari batang kemaluanku itu. Untuk sekedar membuatnya sedikit tenang, aku sengaja tak langsung memasukan batang kemaluanku. Aku hanya meminta ia memegangi saja.
Yeyen yang saat itu sebenarnya sudah terlihat bernafsu sekali, hanya mengangguk pelan sambil menatapku tajam. Remasan demi remasan jemari yeyen di batang zakarku, dan sesekali di buah zakarnya, membuatku kelojotan.
“Aku udah gak tahan banget Yen,” bisikku pelan.
“Yeyen takut banget Mas,” katanya sambil mengocok-ngocok lembut kemaluanku itu.
Kembali kami saling berciuman, sementara tangan kami sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Saat bersamaan dengan ciuman kami yang semakin memanas, aku mencoba kembali untuk mengarahkan kepala kontolku ke lubang vaginanya.
Yeyen tak berontak lagi. Kutekan pantat dia agar semakin maju, dan saat bersamaan tangan Yeyen yang sedang meremas-remas pantatku perlahan-lahan mulai mendorongnya maju pantatku.
“Kita sambil duduk, sayang.”
Merasa kesulitan dengan posisi berdiri, aku sambil membimbing Yeyen ke kursi meja makan. Aku mengambil posisi duduk sambil merapatkan kedua pahaku. Sementara Yeyen kududukan di atas kedua pahaku dengan posisi pahanya mengangkang sambil kutarik agar dia duduk di pahaku.
Tanganku kembali mengarahkan batang kemaluanku yang posisinya tegak berdiri itu agar pas dengan lubang vagina Yeyen. Dia sepertinya mengerti dengan maksudku, dengan lembut ia memegang batang kemaluanku sambil berupaya mengepaskan posisi lubang vaginanya dengan batang kemaluanku. Dan bless, perlahan-lahan batang kemaluanku menusuk lubang vagina Yeyen.
“Aahh..aaooww..mass,” Yeyen mengerang.
Kutekan pinggulnya agar dia benar-benar menekan pantatnya. Dengan demikian, batang kontolku pun melesak semuanya masuk ke lubang vaginanya.
“Aooww..teruss mass...aahh..”
Beberapa menit berlalu dengan Yeyen kini naik turun di pangkuanku, pantatnya terus memutar seperti inul sedang ngebor.
“Ohh..nikmat banget mass..” katanya lagi sambil bibirnya melumati mukaku.
Untuk mengimbangi dia, aku pun menjilati dan mengisap-isap puting susunya. Darahku semakin mendidih rasanya saat pantatnya terus memutar-mutar mengimbangi gerakan naik-turun pantatku.
“Mass..Yeeyeen mau.." kata-katanya terputus.
Aku semakin kencang menaik-turunkan gerakan pantatku. “Yeyeen mauu..kee..kkeeluaarr mass..” Yeyen semakin meracau.
Tiba-tiba, “Krriingg!"
“Aaooww, Mas ada yang datang Mas..” bisik Yeyen sambil tanpa hentinya mengoyang-goyangkan pantatnya.
“Yenn!" suara seseorang memanggil dari luar, “cepetan buka Yenn, aku kebelet nih."
Tak salah, itu adalah suara Ratri kakaknya sekaligus istriku. “Hah, Mbak Ratri Mas,” katanya terperanjat.
Yeyen seperti tersambar petir, ia langsung pucat dan berdiri melompat meraih celana dalam dan celana pendeknya yang tercecer di lantai dapur. Sementara aku tak lagi bisa berkata apa-apa, selain secepatnya meraih celana dan memakainya. Sementara itu suara bel dan teriakan istriku terus memanggil. “Yeenn, tolong dong cepet buka pintunya. Mbak pengen ke air nih,” teriak istriku dari luar sana.
Yeyen yang terlihat panik sekali, buru-buru memakai kembali celananya, sambil berteriak, “sebentar Mbak!!”
“Mas buruan dipake celananya,” Yeyen masih sempet menolehku dan mengingatkanku untuk secepatnya memakai celana. Dia terus berlari ke arah pintu depan, setelah dipastikan semuanya beres, iparku itu pun membuka pintu.
Aku buru-buru berlari ke arah ruang televisi dan langsung merebahkan badan di karpet agar terlihat seolah-olah sedang ketiduran. “Gila,” pikirku.
“Huu, lama banget sih buka pintunya? Orang dah kebelet kayak gini,” gerutu istriku kepada Yeyen sambil terus ke kamar mandi.
“Iya sori, aku ketiduran Mbak,” kata Yeyen begitu istriku sudah keluar dari kamar mandi.
“Haa, leganyaa,” katanya sambil meraih gelas dan meminum air yang disodorkan oleh adiknya.
“Mas Jeje mana Yen?”
“Tuh ketiduran dari tadi pulang ngantor di situ,” kata Yeyen sambil menunjuk aku yang sedang berpura-pura tidur di karpet depan televisi.
“Ya ampun, Mas kok belum ganti baju sih?” kata istriku sambil mengoyang-goyangkan tubuhku dengan maksud membangunkan.
“Pindah ke kamar gih Mas,” katanya lagi.
Aku berpura-pura ngucek-ngucek mata, agar kelihatan baru bangun beneran. Aku tak langsung masuk kamar, tapi menyolong ke dapur mengambil air minum.
“Lho katanya pulang ntar abis magrib, kok baru jam setengah lima udah pulang? Kamu pulang pake apa?” tanyaku berbasa-basi pada istriku.
“Nggak jadi rapatnya Mas. Pake taksi barusan,” jawab dia.
"Lho, kamu lagi masak toh Yen? Kok belum kelar gini dah ditinggal tidur sih?” kata istriku kepada Yeyen setelah melihat irisan-irisan tempe berserakan di meja dapur, “mana berantakan.” katanya lagi.
"Iya tadi emang lagi mo masak Tapi nggak tahan ngantuk. Jadi kutinggal tidur aja deh,” Yeyen berusaha menjawab sewajarnya sambil senyum-senyum.
Sore itu, tanpa mengganti pakaiannya dulu, akhirnya istriku yang melanjutkan masak. Yeyen membantu seperlunya. Sementara itu, aku hanya cengar-cengir sendiri saja sambil duduk di kursi yang baru saja kupakai berdua dengan Yeyen bersetubuh, walau belum sempat mencapai puncaknya.
“Waduh, kasihan Yeyen. Dia hampir aja sampai klimaksnya, eh keburu
datang nih mbaknya,” batinku sambil nyengir melihat mereka berdua yang lagi masak.
Sudah lama sebenarnya saya berkeinginan bikin post di sini, namun baru kesampaian sekarang.
Sebenarnya saya bukan orang baru dalam dunia perceritaan, sempat juga buat blog khusus cerita dewasa, sayangnya terus menerus tumbang.
Oke. Langsung saja. Cerita berikut merupakan salah satu cerita favorit saya yang telah lama beredar dalam berbagai situs, blog serta forum-forum dewasa. Sayang ending cerita terlalu menggantung. Karena alasan itu lah muncul ide saya untuk menyelesaikannya.
Bagian pertama merupakan cerita asli hasil copas dengan banyak editing meski saya berusaha untuk tak terlalu banyak mengubah.
Bagian selanjutnya merupakan rekaan saya yang berupa cerita lanjutan dengan akhir yang lebih memuaskan saya. Semoga pembaca berkenan dan sama-sama terpuaskan.
***
(Bagian Pertama)
(Bagian Pertama)
“Masak apa Yen?” kataku sedikit mengejutkan adik iparku, yang saat itu sedang berdiri sambil memotong-motong tempe kesukaanku di meja dapur.
“Ngagetin aja sih, hampir aja kena tangan nih,” katanya sambil menunjuk ibu jarinya dengan pisau yang dipegangnya.
“Tapi nggak sampe keiris kan?” tanyaku menggoda.
“Mbak Ratri mana Mas, kok nggak sama-sama pulangnya?” tanyanya tanpa menolehku.
“Dia lembur, nanti aku jemput lepas magrib,” jawabku.
“Kamu nggak ke kampus?” aku balik bertanya.
“Tadi sebentar, tapi nggak jadi kuliah. Jadinya pulang cepat.”
“Aauww,” teriak Yeyen tiba-tiba sambil memegangi salah satu jarinya. Aku langsung menghampirinya, dan kulihat memang ada darah menetes dari jari telunjuk kirinya.
“Sini aku bersihin,” kataku sambil membungkusnya dengan serbet yang aku raih begitu saja dari atas meja makan.
Yeyen nampak meringis saat aku menetesi lukanya dengan Betadine, walau sebenarnya hanya irisan kecil saja. Beberapa saat aku menetesi jarinya itu sambil kubersihkan sisa-sisa darahnya. Yeyen nampak terlihat canggung saat tanganku terus membelai-belai jarinya. “Udah ah Mas,” katanya berusaha menarik jarinya dari genggamanku.
Aku pura-pura tak mendengar, dan masih terus mengusapi jarinya dengan tanganku kemudian membimbing dia untuk duduk di kursi meja makan, sambil tanganku tak melepaskan tangannya. Sedangkan aku berdiri persis di sampingnya.
“Udah nggak apa-apa kok Mas, Makasih ya,” katanya sambil menarik tangannya dari genggamanku. Kali ini dia berhasil melepaskannya.
“Makanya jangan ngelamun dong. Kamu lagi inget Ma si Novan ya?” godaku sambil menepuk-nepuk lembut pundaknya.
“Yee, nggak ada hubungannya, tau,” jawabnya cepat sambil mencubit punggung lenganku yang masih berada dipundaknya.
Kami memang akrab, karena umurku dengan dia hanya terpaut 4 tahun saja. Aku saat ini 27 tahun, sedang istriku yang juga kakak dia 25 tahun.
“Mas boleh tanya nggak. Kalo cowok udah deket Ma temen cewek barunya, lupa nggak sih Ma pacarnya sendiri?” tanyanya tiba-tiba sambil menengadahkan mukanya ke arahku yang masih berdiri sejak tadi.Sambil tanganku tetap meminjat-mijat pelan pundaknya, aku hanya menjawab, “Tergantung.”
“Tergantung apa Mas?” desaknya seperti penasaran.
“Tergantung, kalo si cowok ngerasa temen barunya itu lebih cantik dari pacarnya, ya bisa aja dia lupa sama pacarnya,” jawabku sekenanya sambil terkekeh.
“Kalo Mas sendiri gimana? Umpamanya gini, Mas punya temen cewek baru, trus tu cewek ternyata lebih cantik dari pacar Mas. Mas bisa lupa nggak Ma cewek Mas?” tanya dia. Aku hanya ketawa kecil aja mendengar pertanyaan itu.
“Yee, malah ketawa sih,” katanya sedikit cemberut.
“Ya bisa aja dong. Buktinya sekarang aku deket Ma kamu, aku lupa deh kalo aku udah punya istri,” jawabku lagi sambil tertawa.
“Hah, awas lho ya. Ntar Yeyen bilangan lho Ma Mbak Ratri,” katanya sambil tertawa.
“Gih bilangin aja, emang kamu lebih cantik dari Mbak kamu kok,” kataku terbahak, sambil tanganku mengelus-ngelus kepalanya.
“Huu, Mas nih ditanya serius malah becanda.”
“Lho, aku emang serius kok Yen,” kataku serius. Kini belaian tanganku di rambutnya, sudah berubah sedikit menjadi semacam remasan-remasan gemas.
Yeyen tiba-tiba berdiri. “Yeyen mo lanjutin masak lagi nih Mas. Makasih ya dah diobatin.”
Aku hanya membiarkan saja dia pergi ke arah dapur kembali. Lama aku pandangi dia dari belakang, sungguh cantik dan sintal tubuh adik iparku ini. Aku mendekati dia, kali ini berpura-pura ingin membantu sambil meraih beberapa lembar tempe dari tangannya.
Tak mau dibantu, Yeyen berusaha tak melepaskan tempe dari tangannya. “Udah ah, nggak usah Mas,” katanya sambil menarik tempe yang sudah aku pegang sebagian.
Saat itu, tanpa kami sadari ternyata cukup lama tangan kami saling menggenggam. Yeyen nampak ragu untuk menarik tangannya dari genggamanku. Aku melihat mata dia, dan tanpa sengaja pandangan kami saling bertabrakan.
Lama kami saling berpandangan. Perlahan wajahku mendekat tanpa sedikit pun Yeyen berusaha menghindar. Kuraih kepalanya, dan kutarik agar lebih mendekat. Hanya hitungan detik saja, kini bibiku sudah menyentuh bibirnya.
“Maafin aku Yen,” bisiku sambil terus berusaha mengulum bibir adik iparku ini. Yeyen tak menjawab, tak juga memberi respon atas ciumanku itu. Kucoba terus melumati bibir tipisnya, dia belum juga memberikan respon.
Tanganku masih memegang bagian belakang kepala Yeyen sementara tangaku yang satu mulai kulingkarkan ke pinggul dan memeluknya.
“Sshh...hhhmmmm...” Yeyen seperti mulai terbuai dengan jilatan demi jilatan lidahku yang terus menyentuh dan menciumi bibirnya.
Tanpa Yeyen sadari, tangannya sudah melingkar di pinggulku. Dan lumatanku pun sudah mulai direspon olehnya, walau masih ragu-ragu.
Yeyen kembali mendesah. Mendengar itu, aku semakin ganas menjilati bibir Yeyen. Perlahan tapi pasti, dia pun mulai mengimbangi ciumanku itu. Sementara tanganku dengan liar meremas-remas rambutnya, sedang yang satunya mulai meremas-remas pantat sintal adik iparku itu.
Cukup lama kami berciuman sebelum akhirnya Yeyen berusaha menarik wajahnya sedikit menjauh dari wajahku, “Mas, udah ya Mas."
Aku menghentikan ciuman. Kuraih kedua tangan Yeyen, membimbingnya untuk melingkarkan di leherku. Meski terlihat ragu-ragu gadis itu pun melingkarkannya di leherku.
“Yeyen takut Mas,” bisiknya tak jauh dari ditelingaku.
“Takut kenapa, Yen?” kataku setengah berbisik.
“Yeyen nggak mau nyakitin hati Mbak Ratri Mas,” katanya lebih pelan.
Aku pandangi mata dia, ada keseriusan ketika ia mengatakan kalimat terakhir itu. Tapi, sepertinya aku tak lagi memperdulikan ketakutannya. Kuraih dagunya, dan kudekatkan lagi bibirku ke bibirnya. Yeyen dengan masih menatapku tajam, tak berusaha berontak ketika bibir kami mulai bersentuhan kembali.
Tanganku mulai meremas-remas kembali rambut Yeyen. Terus turun hingga berhenti persis di bagian pantatnya yang hanya terbalut celana pendek tipis lalu mulai meremas-remas dengan nakal.
“Aahh...Mas,” desahnya.
Salah satu tanganku mulai bergerak, berusaha mencari-cari payudara Yeyen dari balik kaos oblongnya. Akhirnya kudapati juga buah dada Yeyen yang mulai mengeras itu. Dengan posisi kami berdiri seperti itu, batang penisku yang sudah menegang dengan mudah kugesek-gesekan persis di mulut vagina Yeyen.
Kendati masih sama-sama terhalangi oleh celana kami masing-masing, tetapi aku yakin Yeyen dapat merasakan batang kemaluanku yang tegang.
“Oohhhh Mas."
Tanganku kembali bergerak, memegang bagian belakang celana pendeknya dan perlahan-lahan kuberanikan diri untuk mencoba melepaskan sekaligus beserta celana dalamnya tanpa perlawanan dari Yeyen.
Aku raih salah satu tangan Yeyen untuk memegang batang kontolku kendati masih terhalang oleh celana jeans. Perlahan tangannya terus kubimbing untuk membukakan kancing dan kemudian menurunkan resleting celana. Beberapa saat kemudian, aku membantu tangannya memerosotkan celana dan dalamanku. Kini, masih dalam posisi berdiri, bagian bawah tubuh kami telah telanjang.
Tanganku kembali membimbing tangan Yeyen agar memegangi batang kontolku yang sudah menegang. Gadis itu pun mulai memainkan dan mengocok-ngocoknya perlahan. Ada semacam tegangan tingi yang kurasakan saat ia mengocok dan sesekali meremas-remas kontolku itu.
“Oohh,” tanpa sadar aku mengerang karena nikmatnya diremas-remas seperti itu.
“Mas, udah Mas. Yeyen takut Mas,” katanya sambil sedikit merenggangkan genggamannya di batang kemaluanku yang sudah sangat menegang itu.
“Aahh,” tapi tiba-tiba dia mengerang sejadinya saat salah satu jariku menyentuh bibir kemaluannya. Membelai mengikuti belahan memek Yeyen. Kemudian dengan liar kukeluar-masukan salah satu jariku di lubang vaginanya.
“Aaooww, mass, eennaakk..” katanya mulai meracau.
Mendengar itu, birahiku semakin tak terkendali saja. Perlahan kuraih batang kemaluanku dari genggamannya, dan kuarahkan sedikit demi sedikit ke lubang kemaluan Yeyen yang sudah sangat basah. Penisku kugesekan persis di klitorisnya.
“Please, jangan dimasukin Mas,” pinta Yeyen, saat aku mencoba mendorong batang zakarku ke liang vaginanya.
“Nggak Papa Yen, sebentaar aja,” pintaku sedikit berbisik ditelinganya.
“Yeyen takut Mas,” katanya berbisik sambil tak sedikit pun ia berusaha menjauhkan vaginanya dari kepala kontolku yang sudah berada persis di mulut guanya.
Tangan kiri Yeyen mulai meremas-remas pantatku, Sementara tangan kanannya seperti tak mau lepas dari batang kemaluanku itu. Untuk sekedar membuatnya sedikit tenang, aku sengaja tak langsung memasukan batang kemaluanku. Aku hanya meminta ia memegangi saja.
Yeyen yang saat itu sebenarnya sudah terlihat bernafsu sekali, hanya mengangguk pelan sambil menatapku tajam. Remasan demi remasan jemari yeyen di batang zakarku, dan sesekali di buah zakarnya, membuatku kelojotan.
“Aku udah gak tahan banget Yen,” bisikku pelan.
“Yeyen takut banget Mas,” katanya sambil mengocok-ngocok lembut kemaluanku itu.
Kembali kami saling berciuman, sementara tangan kami sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Saat bersamaan dengan ciuman kami yang semakin memanas, aku mencoba kembali untuk mengarahkan kepala kontolku ke lubang vaginanya.
Yeyen tak berontak lagi. Kutekan pantat dia agar semakin maju, dan saat bersamaan tangan Yeyen yang sedang meremas-remas pantatku perlahan-lahan mulai mendorongnya maju pantatku.
“Kita sambil duduk, sayang.”
Merasa kesulitan dengan posisi berdiri, aku sambil membimbing Yeyen ke kursi meja makan. Aku mengambil posisi duduk sambil merapatkan kedua pahaku. Sementara Yeyen kududukan di atas kedua pahaku dengan posisi pahanya mengangkang sambil kutarik agar dia duduk di pahaku.
Tanganku kembali mengarahkan batang kemaluanku yang posisinya tegak berdiri itu agar pas dengan lubang vagina Yeyen. Dia sepertinya mengerti dengan maksudku, dengan lembut ia memegang batang kemaluanku sambil berupaya mengepaskan posisi lubang vaginanya dengan batang kemaluanku. Dan bless, perlahan-lahan batang kemaluanku menusuk lubang vagina Yeyen.
“Aahh..aaooww..mass,” Yeyen mengerang.
Kutekan pinggulnya agar dia benar-benar menekan pantatnya. Dengan demikian, batang kontolku pun melesak semuanya masuk ke lubang vaginanya.
“Aooww..teruss mass...aahh..”
Beberapa menit berlalu dengan Yeyen kini naik turun di pangkuanku, pantatnya terus memutar seperti inul sedang ngebor.
“Ohh..nikmat banget mass..” katanya lagi sambil bibirnya melumati mukaku.
Untuk mengimbangi dia, aku pun menjilati dan mengisap-isap puting susunya. Darahku semakin mendidih rasanya saat pantatnya terus memutar-mutar mengimbangi gerakan naik-turun pantatku.
“Mass..Yeeyeen mau.." kata-katanya terputus.
Aku semakin kencang menaik-turunkan gerakan pantatku. “Yeyeen mauu..kee..kkeeluaarr mass..” Yeyen semakin meracau.
Tiba-tiba, “Krriingg!"
“Aaooww, Mas ada yang datang Mas..” bisik Yeyen sambil tanpa hentinya mengoyang-goyangkan pantatnya.
“Yenn!" suara seseorang memanggil dari luar, “cepetan buka Yenn, aku kebelet nih."
Tak salah, itu adalah suara Ratri kakaknya sekaligus istriku. “Hah, Mbak Ratri Mas,” katanya terperanjat.
Yeyen seperti tersambar petir, ia langsung pucat dan berdiri melompat meraih celana dalam dan celana pendeknya yang tercecer di lantai dapur. Sementara aku tak lagi bisa berkata apa-apa, selain secepatnya meraih celana dan memakainya. Sementara itu suara bel dan teriakan istriku terus memanggil. “Yeenn, tolong dong cepet buka pintunya. Mbak pengen ke air nih,” teriak istriku dari luar sana.
Yeyen yang terlihat panik sekali, buru-buru memakai kembali celananya, sambil berteriak, “sebentar Mbak!!”
“Mas buruan dipake celananya,” Yeyen masih sempet menolehku dan mengingatkanku untuk secepatnya memakai celana. Dia terus berlari ke arah pintu depan, setelah dipastikan semuanya beres, iparku itu pun membuka pintu.
Aku buru-buru berlari ke arah ruang televisi dan langsung merebahkan badan di karpet agar terlihat seolah-olah sedang ketiduran. “Gila,” pikirku.
“Huu, lama banget sih buka pintunya? Orang dah kebelet kayak gini,” gerutu istriku kepada Yeyen sambil terus ke kamar mandi.
“Iya sori, aku ketiduran Mbak,” kata Yeyen begitu istriku sudah keluar dari kamar mandi.
“Haa, leganyaa,” katanya sambil meraih gelas dan meminum air yang disodorkan oleh adiknya.
“Mas Jeje mana Yen?”
“Tuh ketiduran dari tadi pulang ngantor di situ,” kata Yeyen sambil menunjuk aku yang sedang berpura-pura tidur di karpet depan televisi.
“Ya ampun, Mas kok belum ganti baju sih?” kata istriku sambil mengoyang-goyangkan tubuhku dengan maksud membangunkan.
“Pindah ke kamar gih Mas,” katanya lagi.
Aku berpura-pura ngucek-ngucek mata, agar kelihatan baru bangun beneran. Aku tak langsung masuk kamar, tapi menyolong ke dapur mengambil air minum.
“Lho katanya pulang ntar abis magrib, kok baru jam setengah lima udah pulang? Kamu pulang pake apa?” tanyaku berbasa-basi pada istriku.
“Nggak jadi rapatnya Mas. Pake taksi barusan,” jawab dia.
"Lho, kamu lagi masak toh Yen? Kok belum kelar gini dah ditinggal tidur sih?” kata istriku kepada Yeyen setelah melihat irisan-irisan tempe berserakan di meja dapur, “mana berantakan.” katanya lagi.
"Iya tadi emang lagi mo masak Tapi nggak tahan ngantuk. Jadi kutinggal tidur aja deh,” Yeyen berusaha menjawab sewajarnya sambil senyum-senyum.
Sore itu, tanpa mengganti pakaiannya dulu, akhirnya istriku yang melanjutkan masak. Yeyen membantu seperlunya. Sementara itu, aku hanya cengar-cengir sendiri saja sambil duduk di kursi yang baru saja kupakai berdua dengan Yeyen bersetubuh, walau belum sempat mencapai puncaknya.
“Waduh, kasihan Yeyen. Dia hampir aja sampai klimaksnya, eh keburu
datang nih mbaknya,” batinku sambil nyengir melihat mereka berdua yang lagi masak.
***
Terakhir diubah: