Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Wanita Yang Menutup Aurat

Status
Please reply by conversation.
Chapter 13

Gila, tidak mungkin aku mengabulkan keinginan Mang Gandhi untuk melecehkankua walau informasi yang aku butuhkan sangat penting. Aku bisa bertanya langsung kepada ibuku yang pasti bersedia menyebutkan nama nama yang pernah ewean dengannya. Walau berarti aku harus membuka luka lamanya kembali dan membuka aibnya yang selama ini tertutup rapat.

"Terimakasih....!" kataku jutek meninggalkan Mang Gandhi begitu saja. Buaya tua yang tidak tahu diri sudah dikasih hati malah minta jantung. Awas saja, kalau ada kesempatan aku akan membalas kekurang ajarannya padaku. Cepat atau lambat aku paati akan menemukan caranya.

*******

"Kom, ke rumah Ecih yuk?" ajak Tina sore sebelum berangkat ngaji.

"Sebentar lagi kita ngaji. Kataku agak keberatan dengan ajakan Tina.

" kita gak usah ngaji, sebentar lagi Ecih nikah, kita gak bisa maen sama Ecih lagi. Ecih pasti dibawa sama suaminya." kata Tina.

Apa yang dikatakan Tina ada benarnya, sebentar lagi kami akan jarang bertemu. Satu satunya alat komunikasi kami cuma hp. Aku akan merasa kehilangan sabat terbaikku. Petualangan ke Gunung Kemukus akan menjadi kenangan terindah buatku. Sedih kehilangan sahabat terbaik yang selalu siap membantuku dalam suka maupun duka.

"Aku pamitan dulu." kataku sambil berjalan masuk menemui ibuku. Setidaknya aku selalu meminta ijin ke manapun aku pergi, itu sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil.

"Emak lagi apa?" tanyaku heran melihat ibuku di dapur sedang menciumi terong ungu yang besar dan panjang.

"Ech, ini lagi meriksa terongnya masih segar apa gak..!" jawab ibuku tersipu malu karena aku melihatnya sedang menciumi terong ungu yang besar.

"Kok meriksanya diciumin?" tanyaku heran.

"Iya, biar tahu di dalamnya masih segar apa sudah busuk." kata ibuku lagi.

Aku baru tahu ternyata memeriksa terong harus begitu. Mungkin dari baunya kita bisa mengetahui terong itu masih bagus apa tidak. Ternyata cara memerilsa buah itu berbeda beda. Aku sering melihat Mang Gandhi mengetuk batok kelapa untuk mengetahui kelapa itu sudah tua atau masih muda. Atau tukang semangka yang mau kami beli selalu menyentil nyentil semangka untuk mengetahui semangka itu sudah matang. Begitu juga dengan terong ungu, untuk mengetahuin harus dicium cium dan dijilat seperti yang dilakukan ibuku.

"Mak, Kokom mau ke rumah Ecih, ya?" kataku memeinta ijin.

"Kamj gaj ngaji?" tanya ibuku heran karena sebentar lagi aku harus mengaji.

"Libur dulu, Mak. Sebentar lagi Ecih mau nikah." kataku beralasan.

"Ya sudah, pulangnya jangan malam malam, sebentar lagi juga kamu sudah mulai masuk sekolah." kata ibuku memberi ijin.

Aku mencium tangan ibuku dan mencium bau aneh seperti bau memekku. Beda, tapi hampir sama karena baunya lebih tajam menempel pada tangan ibuku. Sesuatu yang menggelitik perasaanku dan rasa ingin tahuku selalu tidak mampu dibendung. Apa lagi tadi aku gagal mengorek keterangan dari Mang Gandhi.

"Mak, selain Mang Gandhi yang pernah ewean sama Emak, siapa saja?" tanyaku berani, toh ibuku sudah berterus terang tentang kelainan yang diderita ayahku sehingga ibuku harus rela tubuh indahnya dinikmati pria lain di hadapan ayahku.

"Kamu nanya apa, sich? Sudah pergi sana.!" kata ibuku memalingkan wajahnya. Tangannya membelai terong yang berada digenggamannya. Terong yang terlihat licin dan mengkilap.

"Makkk..!" aku merajuk manja, senjataku yang selalu berhasil meluluhkan hati orang tuaku dan kakak kakakku.

"Sudah, kamu katanya mau ke rumah Ecih.!" kata ibuku sambil pura pura sibuk memeriksa kulkas. Di desaku kulkas adalah barang mewah yang tidak semua orang punya.

"Nanti malam ceritain ya, Mak!" kataku sambil meninggalkan ibuku dan menemui Tina yang sudah menungguku. Aneh, ibuku tidak mengantarku ke depan seperti kebiasaannya selama ini.

"Lama amat, Kom?" protes Tina melihatku keluar.

"Iya, tadi ngobrol dulu sama Emak." kataku menggandeng Tina mengajaknya jalan ke rumah Ecih. Jarak rumahku dan Ecih lumayan jauh, ada sekitar 300 meter. Walau untuk ukuran desa jarak itu tidaklah terlalu jauh.

"Kom, kata Asep kamu sama Ecih habis dari Gunung Kemukus ya? Kok gak ngajak ngajak!" kata Tina membuatku kaget. Ternyata Asep mulai membuktikan ancamannya dengan mengatakan hal yang seharusnya dirahasiakan.

"Iya..." kataku singkat. Aku akan membuat perhitungan dengan Asep dan mencari tahu kepada siapa saja berita ini sudah tersebar agar aku busa mengantisipasinya.

"Kata Asep kamu ritual sama Asep di Gunung Kemukus, ya? Emang benar ritual di Gunung Kemukus harus ewean dengan yang bukan muhrimnya?" tanya Tuna lagi membuat wajahku menjadi merah karena marah.

"Iya..!" kataku dongkol."Ech maksudku..!" aku berusaha meralat perkataanku tapii Tina sudah memotong ucapanku.

"Enak gak ewean sama, Asep?" tanya Tina. Hampir saja aku menampar wajah Tina. Untung aku masih bisa mengendalikan diri sehingga aku tidak menambah musuh. Bisa runyam kalau menjadikan Tina musujh, rahasiaku akan tersebar dengan cepat.

"Kamu diewe Mang Gandhi enak, gak?" Tanyaku berusaha mengalihkan pertanyaan Tina yang ngawur.

"Pertama kali sakit, memek Tina berdarah banyak. Tapi setelah dua hari memek Tina jadi gatel pengen diewe lagi. Rasanga enak banget." kata Tina, entah karena keluguannya atau karena kebodohannya.

"Kamu minta diewe lagi ke Mang Gandhi?" tanyaku tidak percaya dengan apa yang dikatakan Tina.

"Enggak, Mang Gandhi yang ngajak aku ngewe lagi." kata Tina dengan wajah yang tidak bersalah. Kenapa dua sahabatku ini tidak merasa menyesal mehilangan perawan dan sepertinya mereka sangat menikmatinya seolah itu adalah hal yang biasa saja. Bukan perkara berat.

Apa benar apa yang dikatakan ibu, sekali kita mencobanya maka kira akan melakukannya lagi dan tanpa mampu berhenti. Senikmat itukah sex sehingga ibuku yang selalu menutup auratnya tidak mampu menolak setiap pria yang ingin mencicipi tubuhnya dan kini Ecih dan Tina terperosok pada lobang yang sama.

"Gak usah ngomongin ngewe mulu." kataku gelisah. Sehebat utukan sex? Bahkan baru mendengar katanya saja sudah mampu membuatku merinding dan dialiri perasaan aneh. Apakah aku tetap bisa bertahan tanpa kehilangan perawanku sampai aku menikah nanti.

"Iya, udah mau sampe. Bentar lagi Ecih bisa bebas ewean.!" kata Tina membuatku hampir saja menjitak kepalanya. Aku berjalan mendahului Tina agar mulut embernya berhenti mengoceh.

"Assalam mu'alaikum..!" kataku mengucapkan salam rumah Ecih yang masuh sepi. Tiga hari lagi rumah Ecih akan mulai ramai oleh orang yang membantu mempersiapkan acara hajatan.

"Eh, Neng Kokom. Masuk aja Neng, Ecih di kamar." kata ibunya Ecih menyuruhku masuk ke dalam rumahnya.

"Nuhun, Bi..!" kataku menarik tangan Tina masuk me kamar Ecih yang sedang dipingit.

"Ecuh...!" kataku langzung membuka pintu kamar Ecih seperti kebiasaanku tanpa menunggu disuruh.

"Kokom...!" Ecih memelukku seperti sudah lama kami tidak bertemu. "Ecih sepertinya hamil, Kom..!" kata Ecih berbisik saa sedang memelikku.

Aku sangat terkejut mendengarnya. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi. Aku melepaskan pelukannya dan menatap Ecih dengan kedipan mata mecegah Ecih meneruskan kalimatnya. Jangan sampai Tima tahu. Rupanya Ecih dengan kedipan mataku, dia mengangguk.

"Wah calon pengantin..!" kata Tina memeluk Ecih. Aku bisa melihat raut wajah sedih Ecih.

"Kita ngobrol di saung, yuk..!" ajakku karena ngobrol di tempat ini tidak bisa sebebas kalau kami ngobrol di luar. Apa lagi aku takut Tina keceplosan ngomong dan terdwngar oleh ibunya Ecih, urusannya akan menjadi panjang.

"Hayu..!" Ecih dan Tina menjawab berbarengan. Ada saung di belakang rumah Ecih, saung yang menghadap ke arah hamparan sawah yang sangat luas. Tanpa berpamitan kami keluar lewat dapur menuju saung yang jaraknya hanya 50 meter.

"Kok calon pengantin sedih?" tanyaku melihat wajah Ecih yang murung saat kami duduk di saung panggung. Semilir angin sore menggerakkan batang batang padi yang mulai menguning. Biasanya pernikahan akan dilakukan setelah panen. Tapi karena calon suami Ecih orang dari daerah dolar biasa kami menyebutnya, maka pernikahan dilakukan secepatnya. Aku dengar orang tua Ecih akan mendapatkan sawah satu hektar setelah Ecih menikah. Dengan sawah seluas itu orang tua Ecih bisa hidup berkecukupan.

"Iya, padahal kan enak kalau sudah punya suami, bisa bebas ewean..!" kata Tina membuatku tidak mampu menahan tawa. Dasar anak gelo, dia pikir nikah cuma buat ewean doang.

"Kamu mah, gelo. Emang nikah cuma ewean doank. Kamu udah kepelet kontol Mang Gandhi sich, jadi mikirnya ewean mulu. Emang kamu udah berapa kali diewe Mang Gandhi?" tanyaku ngomel panjang pendek.

"Baru segini..!" kata Tina nyengir dengan 4 jari terangkat menerangkan berapa kali dia sudah berhubungan badan dengan Mang Gandhi. Anehnya aku tidak melihat rona wajah menyesal di wajahnya. Justru Tina terlihat bangga. Apakah begini Kids Zaman Now seperti yang ada di kota kota. Tapi inikan desa walau jarak desa kami ke ibu kota tidak terlalu jauh.

"Empat x?" tanya Ecih takjub, untuk sesaat kesedihannya agak terobati oleh tingkah Tina yang selalu memandang remeh setiap persoalan.

"Dasar jelema gelo, orang gila..!" kataku mengeleng gelengkan kepala. Betapa beruntungnya Mang Gandhi mendapatkan perawan Ecih, wajahnya manis apa lagi saat tersenyum, sepasang lesung pipit akan membuatnya semakin manis. Aku melihat Ecih yang tiba tiba tertawa twr ahak bahak sambil memegang perutnya.

"Cih, eling, sadar. Maneh kasibat lain? Kamu kesurupan siapa?" tanyaku sambil mengguncang guncang tubuh Ecih sambil membaca ayat kursi dengan keras. Sebentar lagi Maghrib dan di sebelah saung ada pohon besar yang konon kalau malam suka ada penampakan.

"Gak, aku gak kasibat, kesurupan. Cuma ngebayangin gigi Mang Gandhi yang ompong lagi ngenyot susunya Tina, pasti geli banget. Hihihihi...!" Ecih kembali tertawa terbahak bahak. Aku yang sadar apa yang sedang ditertawakan Ecih, ikut ikutan tertawa membayangkan gigi depan Mang Gandhi yang ompong karena jatuh waktu naik pohon mangga, menurut pengakuan Mang Gandhi.

Tiba tiba aku berhenti tertawa karena aku tidak hanya menyertawakan Tina, aku juga sedang mentertawakan ibuku. Karena menurut pengakuan ibuku Mang Gandhi rutin ewean dengan ibuku seminggu sekali. Ini gila, sehebat itukah Mang Gandhi sehi gga bisa mencicipi tubuh indah ibuku.

"Tapi kontol Mang Gandhi gede, enak banget.!" kata Tina membela diri dan terlihat tidak merasa bersalah dengan apa yang dilakukannya. Benar benar Kida Zaman Now.

"Udah ach, ngomongin ewean mulu.!" kata risih dengan topik pembicaraan yang membuatku terangsang. Hanya aku yang masih perawan jadi aku tidak tahu senikmat apa ewean yang sedang mereka bicarakan. Apa lagi pikiranku masih tergelitik untuk mencari tahu siapa yang membunuh ayahku.

Tidak terasa kami ngobrol di saung, matahari semakin tergelincir di ufuk timur. Cahayanya yang lembayung membuat sangat kontras dengan padi yang sudah mulai menguning. Tidak ada sedikitpun kami menyinggung petualanganku dan Ecih ke Gunung Kemukus. Tina terlalu asik menceritakan pengalamannya menikmati surga dunia, aku dan Ecih menjadi pendengar yang baik.

"Anak anak, masuk. Sebentar lagi Maghrib, siap siap wudhu. Kita sholat berjamaah." kat ibunya Ecih memanggil kami dari kejauhan.

********

Jam 8 malam aku pupang. Pintu tertutup tapi tidak terkunci. Aneh, tidak biasanya begini. Ibuku selalu menungguku di ruang tamu, atau kadang kala ayahku duduk di teras menungguku pulang mengaji. Tapi aku tidak akan melihat ayahku duduk di teras menungguku. Tanpa sadar air mataaku jatuh membasahi pipiku yang kata orang orang sehalus pipi bayi.

Aku masuk dan menutup pintu pelan pelan. Ke mana ibuku? Rumah ini sekarang hanya tinggal kami berdua penghuninya. Kakak pertamaku A Agus kos dekat tempat kerjanya, kakak ke dua dan ke tigaku mereka kuliah di Jakarta. Tinggal kami berdua di rumah yang besar ini.

"Aduhhhh ennnnak kontol kamu.!" aku kaget mendengar suara ibuku yang keras sampai terdengar ke ruang keluarga.

Aku percepat langkahku ke dalam dan sebuah pemandangan mengejutkan sedang terjadi. Ibuku yang bugil berjongkok di atas tubuh seorang pria yang terlentang di atas kasur lantai depan tv. Dan gilanya melihat kedatanganku, ibu tidak terkejut justru tersenyum melihat kedatanganku.

"Udah pulang Geulis? Kok malah bengong gak langsung cium tangan.?" kata ibuku sambil menaik turunkan pinggulnya di atas tubuh pria yang belum kulihat wajahnya. Karena posisi ibuku yang membelakanginya dan .enghadap ke arah ruang tamu.

Dengan ragu aku menghampiri ibuku, payudaranya yang besar berguncang guncang dengan keras dan untuk pertama kalinya aku bisa melihat dengan jelas kontol pria itu keluar masuk memek ibuku. Kontol itu yerlihat basah. Siapa pria itu? Apa Mang Gandhi? Tapi sepertinya bukan, kakinya lebih bersih dibandingkan kilit Mang Gandhi yang hitam legam.

"Ampunnnnn Bu Haji kellllluar. Kontol kamu enak banget, Sep....!" ibuku mengerang, aku melihat tubuhnya menegang. Entah apa yang dirasakannya. Bukan itu yang menari perhatianku. Tapi ibuku menyebut, Sep. Apa mungkin pria itu adalah Asep.

Aku melihat ke arah pria yang terlentang di kasur lantai, ternyata benar, dia adalah Asep.

Bersambung







.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd