Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Wanita Yang Menutup Aurat

Status
Please reply by conversation.
waduh nanti hamil nih si Kokom.. semakin gak real aja nih udah di genjot gak hamil, padahal rencana mau pasang spiral..!. Gimana...?
lebih gak real lagi, ibu yang ingin anaknya sukses membiarkan anaknya hamil.

yang paling real seorang ibu akan berusaha dengan berbagai macam cara anak gadisnya yang masih remaja gak hamil, karena itu artinya aib buat keluarga dan masa depan anak hancur. you now karekter seorang ibu?????
 
Chapter 27

Gila, dua sahabatku melihatku sedang diewe dengan kontol Mang Ikat masih tertancap di memekku
Sebenarnya ini tidak masalh nuatku. Toh aku sering liat Ecih diewe oleh beberpa pria termasuk oleh A Agus. Jadi ini bukan masalah besar buat kami. Tapi kenapa wajah Ecih seperti tegang seperti itu melihatku diewe ayahnya.

Mang Ikat mencabut kontolnya dari memekku. Perlahan pejuhnya merembes keluar dari memekku. Rasanya geli geli nikmat saat pejuh Mang Ikat merembes kelluar dari memekku. Hanya mereka yang punya memek yang bisa merasakannya.

Aku tidak perduli dengan kehadiran dua sahabatku, kakiku tetap mengangkang membiarkan lelehan pejuh Mang Ikat keluar. Tina menghampiriku melihat memekku dengan takjub dan tiba tiba Tina berjongkok menjilati memekku, lebih tepatnya menjilati pejuh Mang Ikat.

"Tina, nanaonan maneh? ( apa apaan kamu?)" tanyaku menggelinjang nikmat lidah Tina menyapu memekku. Nikmat, benar benar nikmat hingga pejuh Mang Ikat habis ditelan, Tina baru menyudahi aksinya.

Aku masih melihat Ecih berdiri mematung di pintu, melihat adegan yang terjadi. Berdiri seperti patung sangat berbeda dengan sifatnya yang lincah dan cerewet. Sementara Mang Ikat duduk di kursi kayu yang menempel di bilik, cuek dengan kehadiran Ecih. Matanya lebih tertuju pada aksi Tina. Jangan jangan Mang Ikat pengen nyobain memek Tina.

Hal yang tidak kuduga terjadi, Tina ternyata cewek agresif dan memang dia yang paling centil di antara kami bertiga. Melihat Mang Ikat duduk dengan tubuh bugil, kontolnya terlihat menjuntai lemas. Tina langsung berjongkok di hadapan Mang Ikat. Tanpa basa basi Tina meraih kontol Mang Ikat dan langsungsug dikulumnya. Sepertinya Tina berusaha membangunkan kontol Mang Ikat yang isinya sudah kukuras habis.

"Ampun Tina, kontol Mamang ngilu...!" Mang Ikat mengerang berusaha mencegah Tina menghisap kontolnya dengan keras. Tapi sepertinya Tina semakin kuat menghisap kontol Mang Ikat, terlihat dari pipinya yang menjadi kempot.

"Terus Tin, biar kapok si ayah berani ngewe Kokom.?" kata Ecih masuk dan menarik tangan Mang Ikat yang berusaha menahan kepala Tina.

Melihat adegan yang terjadi membuatku tertawa geli. Aku ikut membantu Ecih memegang tangan Mang Ikat agar Tina semakin leluasa menghisap kontol Mang Ikat yang lemas dan tidak mau bangkit sekeras apapun Tina menghisapnya.

"Ampun, udah Tin. Kontol Mamang ngilu...!" Mang Ikat mengeliat berusaha melepaakan diri dari kami bertiga. Tapi kami tidak mau mengalah, sekuat tenaga kami menahan Mang Ikat, memberinya pelajaran agar kapok.

*******

Sepanjang perjalanan pulang aku tidak berhenti tersenyum membayangkan kejadian yang baru saja terjadi. Mang Ikat yang meraung minta ampun terpaksa kami lepaskan saat mendengar suara adzan dari masjid. Yang lucu adalah melihat wajah Mang Ikat yang pucat dan hampir kehabisan nafas. Benar benar kejadian lucu yang akan sangat sulit kulupakan.

"Kom...!" panggil Eko dari kejauhan menghentikan langkahku. Tidak.ada alasan buatku terus terusan menghindar darinya karena dia akan semakin nekad mengejarku. Aku menunggunya di bawah pohon rindang yang melindungiku dari sengatan matahari sambil memperhatikan Asep yang berlari kecil di pematang sawah menghampiriku.

"Ada apa, Sep?" tanyaku berusaha berdamai dan melupakan kejaengkelanku. Toch aku lebih kotor dari pada Asep. Sekarang aku tidak lebih dari piala bergilir yang bisa dinikmati oleh setiap pria.

"Aku mau ngasih liat sesuatu ke kamu..!" kata Asep wajahnya terlihat sangat serius mampu menarik perhatianku.

"Apaan yang mau kamu kasih liat?" tanyaku penasaran. Dari raut wajahnya yang serius jelas si Assp gak akan macem macem. Kalaupun macam macam dia tidak akan bisa merawanin aku lagi. Segelku sudah rusak.

"Ikut...!" ajak Asep agar mengikitinya yang berjalan lebih dulu ke arah sungai yang airnya digunakan untuk saluran irigasi. Setelah berjalan sekitar 150 meter kami sampai di sebuh pohon yang batangnya menjorok ke sungai. Tempat ini agak rimbun oleh pphon pohon liar yang tumbuh di sepanjang sisinya. Setahuku tempat ini sangat jarang di gunakan oleh penduduk sekitarnya.

"Lihat itu!" seru Asel menunjuk ke bawah.

Aku melihat sebuah golok yang gagangnya terbuat dari tanduk dan berukir kepala garuda tersangkut di antara pohon pohon liar yang biasa tubuh di pinggir sungai. Golok yang sangat aku kenal, golok ayahku. Semua masyarakat di sini sudah tau dengan golok ayahku yang selalu dibangga banggakannya du beri nama si Naga. Walau terasa janggal karena bentuk gagangnga lebih mirip dengan kepala garuda dibandingkan naga.

"Itu golok ayah...!" seruku dengan jantung berdegup kencang dan dengkul bergetar nyaring tidak mampu menahan tubuhku. Golok itu hilang bersamaan dengan kematian ayahku. Padahal golok itu selalu dibawanya kalau keluar rumah. Golok yang menjadi kebanggannya dan katanya sudah memakan korban saat dirinya menjadi jagoan di Jakarta..

"Aku ambil, ya...!" kata Asep tanpa menunggu jawabanku dia turun dengan berpegangan pada pohon pohon di sekelilingnya untuk bisa mengambil golok itu.

Aku memperhatikannya dengan tegang. Asep mengacungkan golok yang tanpa sarung ke arahku. Aku seger mengulurkan tangan meraih golok yang diberikan Asep. Tangannku gemetar memegangnya. Ada bercak hitam yang memenuhi badan golok. Tapi sepertinya bukan karat.

"Itu noda darah...!" kata Asep menerangkan bercak hitam di golok tanpa aku minta. Aku menoleh ke arahnya yang sudh berdiri di sampingku.

"Darah?" tanyaku untuk memastikan apa yang kudengar.

"Iya, itu darah..!" jawab Asep yang menjatuhkan pantatnya di atas tanah yang keras.

Darah, kenapa ada darah di golok ini padahal selama ini selalu terawat. Ayah sangat rajin mengasahnya agar tetap tajam tanpa karat. Tapi sekarang kenapa ada noda darah? Apa ini darah ayah? Apa golok ini yang digunakan untuk membunuh ayahku karena polisi tidak menemukan alat untuk membunuh ayahku. Aku juga tidak tahu bagian mana yang terluka dari tubuh ayah karena aku langsung pingsan saat mayatnya dibawa pulang.

"Kamu bisa menemukan golok ini bagaimana caranya?" tanyaku curiga. Jangan jangan Asep tahu sesuatu selain golok ini. Apa benar yang dikatakan Mang Ikat pembunuh ayah adalah Mang Gandhi?

"Aku lagi nyari telor bebek, tahu tahu aku lihat golok itu. Tapi aku gak berani ngambilnya. Tadinya mau bilang ke Bu Haji." jawab Asep sambil mempermainkan daun yang ada di tangannya. Entah sejak kapan dia memetiknya.

Kalau benar golok ini digunakan untuk membunuh ayah, berarti orang yang melakukannya orang yang sangat akrab dengan ayah. Karena setahuku ayah tidak pernah membiarkan orang memegangnya apa lagi meminjamkannya. Kalau Mang Ikat mengatakan Mang Gandhi adalah pembunuh ayahku, itu masuk akal. Karena orang yang paling dekat dengan ayahku adalah Mang Gandhi dan beberapa kali aku melihat Mang Gandhi disuruh mengasah golok ini.

"Gak ada sarungnya..!" gumamku gelisah.

"Kabawa palid, meureun..!( kebawa anyut, kali.)" gumam Asep melihat ke arahku yang ikut duduk di sampingnya.

Jarak kami sangat dekat, bahkan tanpa kusadari kami duduk berdempetan dan berdempetan dan itu memancing rasa heran Asep yang menatapku dari samping. Sebenarnya wajar aku duduk menempel Asep untuk menghindari panasnya matahari. Tapi pikiran Asep beda lagi, dia menganggapku memberinya lampu hijau.

"Jangan culangung..! (Kurang ajar )" bentakku saat Asep merangkul pinggangku. Hanya ventakan kospng karena aku membiarkan tangannya tetap berada di pinggangku. Bau keringat Asep terasa menyegat. Bau keringat has lelaki yang memancing gairahku.

"Golok ini sepertinya dibuang oleh orang yang membunuh ayah kamu." bisik Asep semakin berani membisiku, tepat menempel di telingaku yang tertutup jilbab.

"Siapa yang membunuh ayahk?" tanyaku sedih. Tanganku memeluk dengkul dan daguku menempel dengkul sambil melihat bayang bayang pohon di kali. Angin yang berhembus tidak mampu menghilangkan kegelisahanku. Bahkan angin semakin mempertajam bau keringat Asep. Bau has lelaki yang mampu meruntuhkan keimananku.

Golok ayahku tergeletak di tanah dekat kakiku sudah tidak kuperhatikan lagi. Bau keringat Asep telah mendominasi kegelisahanku.

"Pulang yuk...!" ajakku masih tetap duduk. Rasanya aku enggan untuk meninggalkan tempat ini, menghirup bau keringat Asep memenuhi rongga dadaku.

"Yuk...!" Asep berdiri mendahuluiku. Menyadarkanku dari pesona bau keringatnya. Aku mengambil golok ayahku dan berdiri dengan perasaan bingung. Rasanya terlalu mencolok membawa golok yang terhunus dan pasti akan menimbulkan kehobohan orang yang melihatnya.

"Goloknya bungkus pake kertas ini...!" kata Asep mengambil kertas semen yang tergeletak tidak jauh dari kami duduk. Walau kertas utu tidak menutupi seliruh bagian golok, setidaknya bisa nenutupi bagian besinya. Mudah mudahan di jalan kami menemukan kertas yang lebih besar untuk menutupnya.

"Aku yang bawa goloknya biar gak kelihatan orang ya?" Asep menawarkan jasanya.

"Gimana caranya biar gak kelihatan orabg?" tanyaku heran.

Asep mengambil golok yang kupegang dan memaaukkannya ke dalam celananya. Bagian gagangnya lansung tertutup oleh kaos yang sudam mulai pudar warnanya. Nahkas maauk dalam kategori dekil. Dalam sekejap golok sudah hilang dari pandanganku, tersembunyi di balik celana dan baju Asep.

******

Aku merahasiakan penemuan golok ayah karena menganggapnya sebagai sebuah petunjuk penting yang bisa membawaku pada pembunuh ayah. Walau Mang Ikat mengatakan pembunuh ayahku adalah Mang Gandhi dan bukti mengarah ke Mang Gandhi. Tapi aku harus melakukan penyelidikan lebih mendalam agar tidak salah orang.

Sempat terpikir olehku untuk menyerahkan golok ini ke polisi yang sedang menyelidiki kematian ayahku seperti yang disarankan Asep. Tapi rasa penasaran dan keinginanku untuk menyelidikinya sendiri membuatku tidak melaporkan penemuanku ke polisi hingga aku merasa menemui jalan buntu.

Sepertinya aku harus menemui Mang Gandhi saat ini juga, tapi sekarang sudah jam 4 sore, sebentar lagi Ecih dan Tina datang menyampar ngaji. Apa lagi malam ini aku harus mempersiapkan segala macam atribut sekolah. Lusa aku sudah mulai ikut ujian kelulusan.sekolah yang jaraknya hanya 2 kilo meter dari rumahku. Bisa ditempuh dengan Angkutan Umum karena ibu melarangku membawa motor sendiri dengan segudang alasan.

"Kokom...?" panjang umur ke dua sahabatku, saat aku sedang memikirkan mereka, mereka langsung datang. Mereka memanggilku dari jwndela kamar yang terbuka. Aneh, biasanya mereka mengetuk pintu bukan kewat jendela seperti sekarang.

"Kok lewat ndndela?" tanyaku heran melihat kedatangan mereka yang terlihat sudah rapi karena akan pergi mengaji.

"Iya, pintu depan di konci. Bu Haji ke mana, Kom?" tanya Ecih.

"Ke rumah Bi Leha nganterin uang ngored." jawabku sambil keluar kamar mau membukakan pintu untuk ke dua sahabatku. Kami memang bersahabat sejak kecil. Orang menjuluki kami tiga serangkai bunga desa walau julukan itu rasanya sudah tidak cocok lagi buat kami setelah kami ternoda. Mungkin julukan tiga serangkai jilbab binal lebih cocok buat kami sekarang.

Begitu aku membuka pintu, ternyata ke dua sahabatku sudah berdiri di depan pintu. Gerakkan mereka lebih cepat dariku. Tanpa disuruh mereka menerobos masu ke dalam rumahku dan langsung menuju kamarku yang lebih luas dibandingkan kamar mereka

"Tadi lucu, ya?" kata Tina mulai membuka percakapan di anyara kami seperti biasanya.

"Apanya yang lucu?" tanyaku heran.

"Itu Mang Ikat kontolnya gak bisa ngaceng lagi. Malah ampun ampunan.." kata Tahu mengingatkan kejadian tadi membuatku tersenyum geli.

"Gila kamu...!" Ecih tertawa geli sambil mencubit paha Tina.

"Aduh, sakit tahu. Jangan jangan semalam abis ewean sama kamu sampe gak bisa bangun lagi ya?" tanya Ecih semakin gila...

"Gelo kamu, masa Ecih ewean sama bapak sendiri. Kamu kali ewean sama bapak sendiri...!" kata Ecih semakin sewot.

"Gak apa apa, Cih. Yang penting jangan sampai hamil." kata Tina membuatku berpikir jangan jangan si Tina sudah melakukannya dengan bapaknya sendiri.

"Gimana rasanya ewean sama bapak kamu, Tin?" tanyaku berusaha menjebak Tina.

"Kokom, apaan sich! Belum pernah tau. Orang tua Tina nyangkanya Tina masih perawan." kata Tina melotot ke arahku. Aku hanya tertawa melihat espresi wajahnya yang lucu.

"Kom, ini apa?" tanya Ecih melihat golok peninggapan ayahku yang tergeletak di meja belajarku terbungkus kertas semen tapi gagangnya tetap terlihat sangar. Golok yang sangat terkenal di kampungku.

"Itu golok almarhum ayahku, tadi dutemuin Asep di pinggir kali." lalu aku mencerikan penemuan golok ini kepada dua sahabatku yang mendengarkan ceritaku dengan serius.

Sudah saatnya ke dua sahabatku ini tahu dengan rencanaku mencari orang yang sudah membunuh ayahku. Siapa tahu mereka bisa membantu penyelidikanku. Apa lagi kami tiga serangkai bunga desa mempunyai cara interogasi yang tidak mungkin gagal. Interogaai kami adalah dua bibir yang bicara. Bibir atas dan bibir selangkangan. Ide itu muncul mengingat kejadian dengan Mang Ikat. Ya, rencana ini bisa aku jalankan dengan ke dua sahabatku ini.

"Kalian mau bantu aku melakukan penyelidikan untuk mencari pembunuh ayahku gak?" tanyaku.

"Mau....!" sahut Ecih dan Tina berbarengan. Ya, sudah saatnya aku menyusun rencana dengan ke dua sahabatku ini.

"Kom, Kokom....!" serentak kami melihat ke arah jendela. Asep nyengir melihat ke arah kami dari luar.

Bersambung.... tanyaku untuk memastikan apa yang kudengar.
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd