Tok.. Tok.. Tok..
Yak masuk!
Lapor komandan.
Oh Fadli, ada apa? tanya Kompol Arjuna.
Intel yang kita kirim untuk mengamati gudang yang kemungkinan menjadi lokasi penculikan Pak Wijaya dan keluarganya belum memberikan laporan ndan, bahkan sudah coba kami hubungi, tapi ponsel mereka tidak aktif, lapor Fadli kepada komandannya.
Jangan-jangan mereka ketahuan, dan terjadi hal buruk kepada mereka, ujar Kompol Arjuna.
Saya juga takutnya gitu ndan, tapi semoga saja tidak. Jadi gimana selanjutnya ndan? tanya Fadli meminta instruksi.
Tim sudah siap? tanya Kompol Arjuna.
Mereka sudah siap, tapi kita tidak tahu kondisi disana dan seberapa besar kekuatan lawan, jadi belum bisa memastikan berapa yang harus diberangkatkan, jawab Fadli.
Berangkatkan semuanya! perintah Kompol Arjuna.
Semua ndan? tanya Fadli memastikan.
Ya, kita belum tahu kekuatan mereka sebesar apa. Untuk jaga-jaga saja, karena saya yakin kalau sudah menyangkut Toro, ini bukan urusan main-main, jawab Kompol Arjuna.
Siap ndan, mohon ijin untuk berangkat.
***
Selamat malam komandan.
Malam. Duduk Fit.
Ada apa ya komandan? tanya Safitri setelah duduk di kursi di hadapan Kompol Arjuna.
Ada yang mau saya bicarakan sama kamu, tentang yang tadi, jawab Kompol Arjuna.
Tentang yang tadi? Maksudnya yang mana komandan? tanya Safitri kebingungan, namun sudah bisa menduga-duga.
Tentang yang terjadi antara kamu dengan seseorang yang bernama Ramon itu.
Saya kan tadi sudah janji sama kamu saya akan jaga rahasia ini, ujar Kompol Arjuna melihat Safitri terdiam.
Ii, iyaa komandan, jawabnya singkat menganggukan kepala, karena memang benar-benar tak tahu apa yang harus dikatakan lagi. Pikirannya berkecamuk.
Saya akan tepati janji saya, tapi saya ingin kamu melakukan sesuatu untuk saya, malam ini, saat ini, lanjut Kompol Arjuna.
Mme, melakukan apa ndan? tanya Safitri, dia mulai gugup. Pikirannya sudah dipenuhi dengan dugaan-dugaan kira-kira apa yang diinginkan oleh komandannya itu.
Tak segera menjawab, Kompol Arjuna hanya tersenyum, lalu berdiri dan berjalan ke arah pintu, kemudian menguncinya. Mengetahui hal itu dada Safitri makin berdebar tak karuan, dia bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Sambil menunggu kabar Pak Wijaya dari Fadli nanti, kita isi waktu dulu. Dan untuk mengisi waktu ini, saya minta kamu untuk
***
Nah gadis cantik, sekarang waktunya kamu untuk belajar menjadi wanita dewasa sepenuhnya, haha. Sekarang, buka celanaku! perintah Fuadi.
Nggak, Ara nggak mau, tolak Ara.
Kamu bicara seolah kamu punya pilihan saja, ayo cepat sebelum habis kesabaranku! hardik Fuadi.
Ara menggelengkan kepalanya. Dia masih tidak rela untuk melakukan hal ini, di depan keluarganya. Melihat penolakan Ara tentu saja membuat Fuadi geram. Dia kemudian melirik ke arah Ramon, dan kemudian, Dorrr..
Aaaarrrgghhh.
Terdengar teriakan dari Wijaya. Ramon baru saja menembak kaki kanan pria itu. Darah pun terlihat membasahi celana yang membungkus paha Wijaya.
Ayaaaahh, hiks, Ara berteriak dan menangis mendapati ayahnya di tembak karena dia menolak permintaan Fuadi. Dia hendak menghampiri ayahnya namun ditahan oleh tangan Fuadi.
Itu akibatnya kalau kamu menolakku. Kamu mengerti kan sekarang sayang?
Hiks Hiks, bajingan, ujar Ara lirih di sela tangisnya, namun masih cukup terdengar oleh Fuadi.
Ayo sayang, cepat buka celanaku! Fuadi mengulang kembali perintahnya.
Dengan tangan yang begitu gemetar, Ara meraih kepala gesper Fuadi dan membukanya. Lalu tangan Ara perlahan membuka kancing celana Fuadi, kemudian menarik turun resletingnya. Ara menghentikan kegiatannya, membiarkan celana itu turun dengan sendirinya. Nampak oleh Ara sesuatu yang cukup besar mengembung di balik celana dalam Fuadi. Dengan jengah ia lalu menatap ke Fuadi. Pria itu tersenyum, lalu memberikan kode kepada Ara untuk melanjutkan melepaskan celana dalamnya.
Tangan Ara semakin gemetar saat memegang karet celana dalam Fuadi. Dengan sangat perlahan dia menarik turun celana dalam itu, hingga nampaklah kemaluan Fuadi yang sudah setengah tegang.
Ayo cepat sayang, sebelum kepala ayah kamu tertembus peluru, ujar Fuadi mengingatkan posisi Ara.
Tangan halus Ara yang masih gemetar mulai menggenggam penis itu. Ara mulai menggerakkan tangannya mengocok pelan penis Fuadi hingga penis itu semakin membesar. Beberapa saat mendapat kocokan dari tangan Ara yang terasa begitu halus membuat Fuadi tak tahan hingga kini penisnya benar-benar sudah tegang. Dia lalu memberikan isyarat kepada Ara untuk mengulum penisnya.
Perlahan Ara mendekatkan kepalanya ke penis Fuadi. Jarak antara wajah Ara dan penis Fuadi hanya tinggal beberapa senti saja. Tercium oleh Ara aroma khas yang dikeluarkan dari pangkal paha Fuadi. Diiringi dengan suara tangis ibunya yang kian terdengar, Ara mulai membuka bibir mungilnya, bergerak ke depan hingga kepala penis besar itu berada di ambang mulutnya.
Aaaahhh Ara, mulut kamu enak banget sayang. Sepongan kamu aja udah nikmat gini, gimana memek kamu, aaahhh.
***
Aaaarrrggghhhh ampuuun, sakiiiitttt.
Badan wanita yang kini hanya tinggal mengenakan kerudungnya itu terlonjak-lonjak saat Toro dengan kasar menyodok-nyodokkan penis besarnya di lubang anusnya yang masih sempit. Teriakan kesakitannya dari tadi sama sekali tak membuat Toro menjadi iba, namun semakin bersemangat untuk mengerjainya. Hentakan penisnya semakin lama justru semakin cepat.