Chapter 7
Gathering?
“Ayah,
weekend besok jadi ikut acara
gathering kan?”
“Ya jadi dong Bun, kenapa emangnya?”
“Nggak, ini si Eko mau mastiin aja, katanya buat finalisasi
booking penginapan sama bus,” Ara pun kembali sibuk dengan ponselnya membalas pesan dari Eko.
“Oh gitu. Kok nggak pakai mobil sendiri sendiri aja sih?”
“Pak Hamid bilang sih biar lebih akrab Yah. Lagian kata Eko juga kalau kita bawa mobil sendiri sendiri entar ribet parkirnya. Penginapannya nggak nyediain tempat parkir yang luas.”
“Ooh gitu,” Budi hanya manggut-manggut saja mendengar jawaban dari Ara.
Sebenarnya dia sudah tahu itu dari Eko. Beberapa hari yang lalu dia mendapat kabar dari Eko mengenai penginapan yang akan mereka tempati selama acara
gathering itu. Eko meminta saran dan pertimbangan kepada Budi, karena penginapan itu bisa jadi membangkitkan kenangan buruk bagi Ara, juga Nadya dan Lia. Eko sendiri sebenarnya ingin mencari tempat lain namun teman-teman panitia yang lain sepertinya sudah terlanjur menyukai tempat itu.
Karena yang lain memang sudah sepakat untuk memilih penginapan itu, maka Budi pun menyarankan kepada Eko untuk mengikutinya saja. Perkara nanti seperti apa reaksi Ara akan dia tangani sendiri, sedangkan untuk Nadya dan Lia, dia tak terlalu memikirkannya karena dia juga sudah tahu dari Eko kalau keduanya tidak akan ditempatkan di penginapan itu.
Tak lama kemudian mobil yang dikemudikan Budi sampai di depan gerbang kantor Ara. Ara pun segera merapikan diri dan mengambil tasnya, lalu menyalami dan mencium tangan suaminya.
“Bunda turun dulu ya, Yah.”
“Iya, semangat kerjanya ya sayang,” Budi mencium kening Ara sesaat sebelum istrinya itu turun dari mobil.
“Iya, Ayah juga. Hati-hati di jalan Yah.”
Setelah melambaikan tangan dan mobil suaminya bergerak meninggalkannya, Ara pun berjalan santai memasuki gerbang kantornya. Terlihat dua orang satpam yang cukup dikenalnya karena sudah cukup lama bekerja disana. Ara menyapa keduanya untuk sekedar berbasa-basi. Suasana kantor ini memang tak banyak berubah seperti saat pertama kali Ara masuk bekerja. Orang-orangnya baik, lingkungannya nyaman dan asri, membuatnya benar-benar betah bekerja disini.
Memasuki ruangan kantornya, seperti biasa sudah ada gadis cantik berkerudung yang sudah duduk manis di kursinya. Pagi ini dia terlihat sedang berbincang dengan seorang lelaki yang kini cukup dekat dengan Ara. Cukup dekat setelah pada peristiwa beberapa tahun yang lalu dia turun andil dalam membantu Ara dan keluarganya terlepas dari kejahatan yang menimpa mereka. Lelaki itu tak lain adalah Eko.
“Haii,, pagi Indah, pagi Ko.”
“Eh mbakku yang cantik udah datang, pagi Mbak.”
“Pagi Ra.”
Ketiganya pun bersalaman. Dan seperti biasanya, Indah selalu saja mencium tangan Ara. Gadis itu benar-benar menganggap Ara seperti kakaknya.
“Lagi ngobrolin apa nih kayaknya seru banget?” tanya Ara kepada Indah dan Eko setelah dia menghempaskan pantat di tempat duduknya.
“Ini lho Ra, lagi bahas masalah
gathering besok. Aku sama Indah kan kan panitianya,” Eko mengambil kursi dan duduk di dekat mereka berdua.
“Oh iya ya, yang jomblo jomblo yang jadi panitia. Ehem, bisa-bisa abis acara
gathering nanti kalian jadi nggak jomblo lagi nih, haha,” canda Ara yang ditanggapi berbeda oleh keduanya. Indah cemberut namun merona merah wajahnya sementara Eko justru tertawa terbahak-bahak.
“Ih Mbak Ara gitu deh. Nggak kok, lagian kan Mas Eko udah ada calonnya.”
“Kan masih calon Ndah, belum resmi ini.”
“Iya Ndah, sebelum janur kuning melengkung, aku masih milik umum kok.”
“Trus kalau janurnya udah melengkung gimana Ko?”
“Ya aku nyari janur satu lagi, buat dilengkungin sama Indah, haha.”
Ara dan Eko begitu kompak menggoda Indah sampai-sampai gadis cantik itu semakin merah wajahnya. Tak berapa lama kemudian mulai berdatanganlah rekan kerja mereka. Semakin ramai, semakin bertambah yang menggoda Indah membuat gadis itu semakin tak bisa berkutik, namun lama-lama dia ikut tertawa juga karena pandainya beberapa orang dalam melemparkan
joke-joke segar.
******
On The Weekend
Budi dan Ara sedang duduk di teras rumahnya saat Pak Sarbini datang dengan mengendarai sepeda motornya. Pagi ini mereka akan diantar oleh Pak Sarbini sebelum nantinya berangkat bersama-sama ke tempat acara
family gathering yang diadakan oleh kantor Ara. Setelah berbasa-basi sejenak mereka pun segera berangkat karena barang-barang bawaannya sudah sedari tadi dimasukan ke bagasi mobil oleh Budi.
Tak sampai 15 menit perjalanan mereka pun sudah sampai di kantor Ara. Terlihat sudah banyak rekan kerja Ara beserta keluarga mereka yang datang. Para panitia juga sudah berkumpul dan terlihat sibuk, mulai dari mengatur pembagian tempat duduk peserta hingga mempersiapkan keperluan yang akan mereka bawa untuk acara ini.
Setelah semuanya datang dan diberikan pengarahan oleh panitia, kedua bus yang mengangkut peserta itu pun berangkat, menyusul mobil panitia yang sudah terlebih dahulu berangkat. Jalanan mulai padat saat memasuki kawasan yang berbukit dan berkelok-kelok. Karena ini adalah
long weekend, maka banyak sekali kendaraan berplat nomor luar kota. Namun untungnya kondisi jalan yang cukup padat itu tak sampai menimbulkan kemacetan.
Perjalanan ke tempat tujuan mereka memang cukup panjang, namun jadi tak terasa karena masing-masing mulai asyik bercengkerama dengan rekan-rekannya. Meskipun hampir setiap hari bertemu di kantor, namun karena sekarang mereka bersama dengan keluarganya masing-masing, ada saja tema untuk dibicarakan, hingga tak terasa dua jam sudah terlewati dan mereka kini sudah sampai ke tempat tujuannya.
Setelah semua turun dari bus, kembali panitia memberikan pengarahan untuk pembagian penginapan. Setelah itu mereka pun menuju ke penginapan masing-masing untuk beristirahat sejenak, sebelum nantinya berkumpul lagi untuk makan siang bersama. Begitupun dengan Ara dan Budi. Dengan menggendong Ardi, mereka berdua berjalan menuju ke tempat dimana mereka akan menginap untuk 2 malam ini.
Ara sempat berhenti dan terdiam beberapa saat sebelum memasuki penginapan ini. Dia tidak asing dengan tempat ini, tempat dimana sekitar 3 tahun lalu pernah ia inapi bersama Lia dan yang lainnya. Tempat dimana dia pernah dilecehkan oleh Ramon. Beruntung, kemudian ada seseorang yang menolongnya sebelum Ramon berbuat lebih jauh lagi.
Melihat istrinya yang terdiam, Budi segera mendekatinya dan memegang lembut pundak Ara. Ara tersentak dari lamunannya, memandang Budi yang tersenyum hangat kepadanya. Senyuman yang selama ini mampu memberinya ketenangan dan kehangatan dalam situasi apapun. Dan kini, melihat senyuman suaminya, Arapun ikut tersenyum, karena dia tahu, kali ini dia bersama suaminya, kali ini dia dilindungi oleh suaminya.
“Apa mau minta tuker aja Bun?” Budi mengangkap kegelisahan Ara. Dia tahu apa yang terjadi pada istrinya di penginapan ini beberapa tahun yang lalu.
“Eh, nggak Yah. Bunda cuma ngerasa, hmm...”
“Iya, Ayah tahu kok. Kalau Bunda mau biar Ayah bilang ke Eko.”
“Nggak usah, entar malah repot lagi ngaturnya,” meskipun kurang sreg dengan penginapan ini tapi Ara juga tak enak jika harus kembali merepotkan panitia.
“Yaudah kalau gitu, yuk masuk. Bunda tenang aja, tempat ini bukan tempat yang sama seperti dulu, tempat ini udah aman sekarang,” Budi menepuk-nepuk pundak Ara, menenangkan istrinya itu.
“Maksudnya?” Ara menatap suaminya bingung, belum paham dengan maksud dari perkataan Budi.
“Sebelumnya Ayah udah dikasih tahu sama Eko kalau kita bakalan nginep disini, makanya Ayah sekalian minta ke Eko buat ngecek tempat ini, dan Eko bilang udah aman. Percaya kan sama Eko?” penjelasan Budi yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh Ara.
“Lagian yang ngelola udah ganti orang kok Bun, jadi tenang aja. Yuk masuk, kasian nih jagoan kita, udah pengen rebahan kayaknya,” Budi menunjukkan wajah Ardi yang nampak kecapekan ke Ara, sang ibu tersenyum geli.
Ara sudah tak lagi merasa gundah. Meskipun masih sedikit terbayang kenangan buruk itu, namun kini dia benar-benar yakin lebih terlindungi oleh suaminya. Apalagi ternyata, suaminya sudah menyuruh Eko untuk memeriksa penginapan ini terlebih dahulu. Tentu saja diapun mempercayai Eko, orang yang 3 tahun lalu juga sudah membantunya untuk lepas dari jeratan serta jebakan Ramon dan Fuadi.
Ketika masuk, penginapan ini memang telah benar-benar berubah. Seingat Ara dulu ada 5 kamar, namun rupanya pengelola penginapan ini sudah merenovasinya hingga tinggal ada 4 kamar saja, dan memang terasa lebih nyaman. Sekarang Ara merasa beruntung karena ditempatkan disini, karena tempat yang lain adalah penginapan dengan kapasitas yang lebih banyak, sehingga pastinya akan lebih ramai. Disini dia akan bersama dengan Kartika dan keluarganya, Wulan dan keluarganya, serta Indah dan Tasya sebagai panita.
Kecuali Indah dan Tasya, semua sudah berkumpul disini. Masih ada waktu lebih dari 2 jam untuk beristirahat sebelum nantinya mereka berkumpul lagi. Semua berharap acara
gathering ini bisa membuat mereka semakin dekat satu sama lain, bukan hanya dengan sesama karyawan namun juga dengan keluarga mereka masing-masing. Namun siapa sangka, bahwa ternyata acara kali ini akan membuat sebuah perubahan untuk seseorang.
*****
Disaat yang bersamaan, di sebuah
private room rumah makan mewah di kawasan kota, nampak 5 orang pria baru saja selesai menyantap makanan mereka. Kelimanya nampak serius membicarakan sesuatu di ruangan yang kini mulai dipenuhi kepulan asap rokok itu.
“Gimana Ton, anak buah udah bisa kamu kumpulkan semua?” tanya Bastian disela-sela kepulan asap rokoknya.
“Beres boss, yang jelas semua pentolannya udah pada kepegang sama saya. Begitu denger nama boss dan rencana kita, mereka langsung bersedia buat gabung,” Tono memberikan penjelasan, sambil mulutnya masih sibuk mengunyah buah-buahan.
“Bagus, dengan begitu kita bisa mulai bergerak,” Bastian menatap Rio, Steve dan David yang sedari tadi hanya diam.
“Jadi langkah selanjutnya gimana boss?” tanya Tono yang nampak sudah tak sabar untuk memulai aksi mereka.
“Yang jelas, kita bebaskan dulu keempat orang itu, biar para anak buahmu itu tambah semangat.”
“Caranya boss? Pengamanan mereka ketat banget lho, kalau kita paksain, bisa heboh nanti.”
“Kalau masalah itu kamu tenang aja. Bukan kamu atau anak buah kamu yang bakal beraksi. Aku juga nggak mau kalau sampai bikin heboh, bisa berantakan rencana kita nanti Ton,” ujar Bastian disambut oleh senyum dari Rio, Steve dan David.
Melihat ketiga orang yang lainnya tersenyum, membuat Tono pun ikut tersenyum. Dia memang belum begitu mengenal ketiga orang itu, tapi kalau sampai menjadi orang kepercayaan bossnya, sudah tentu ketiganya bukanlah orang sembarangan. Dan Tono yakin, ketiganyalah, atau paling tidak salah satu dari ketiga orang itu yang akan membebaskan keempat temannya dari penjara.
Bastian yang melihat Tono pun ikut tersenyum. Dia sudah tahu apa yang ada di benak Tono, namun bukan itu yang menjadi rencananya. Bukan Rio, Steve ataupun David yang akan dia tugasi untuk membebaskan keempat orang yang akan menjadi mata angin selanjutnya.
Dia sudah memiliki rencana lain, dan orang lain yang akan ditugasinya. Tentu saja orang itu adalah orang dengan potensi resiko terkecil sehingga operasi pembebasan para napi itu nanti tidak akan diketahui, bahkan disadari oleh pihak yang berwajib. Semua sudah direncanakan dengan detail oleh Bastian, dan sampai sekarang, belum ada satupun rencananya yang meleset.
Kelima pria itu masih melanjutkan obrolannya, dimana kakak beradik Steve dan David lebih banyak diam mendengarkan. Obrolan kali ini lebih banyak membahas rencana-rencana yang akan mereka lakukan setelah keempat calon mata angin itu dibebaskan. Jika saat ini semua terasa berjalan lambat, namun tidak begitu jika keempatnya sudah bebas. Mereka sudah menyusun serangkaian rencana jahat, sangat jahat.
*****
Budi sedang bersiap saat Ara masih membangunkan si kecil Ardi. Sejak sampai di kamar tadi, Ardi memang langsung merebahkan dirinya di kasur dan tertidur. Nampak sekali anak itu kelelahan, apalagi memang sebenarnya kondisi badannya belum benar-benar sehat karena baru saja sembuh dari sakitnya.
Setelah Ardi bangun, Budi lah yang kemudian menggendongnya. Mereka akan menuju ke salah satu penginapan yang memang memiliki ruang makan paling luas, yang menjadi tempat untuk makan siang mereka. Terlihat bahwa Wulan dan keluarganya, serta Kartika dan keluarganya juga sudah bersiap, sedangkan Indah dan Tasya sudah sedari tadi pergi untuk mempersiapkan acara lainnya.
Bersama-sama mereka pun pergi ke tempat makan siang. Rekan-rekan mereka banyak yang sudah berkumpul disana, suasana begitu ramai sehingga mereka pun segera berbaur. Menu untuk siang itu tentu saja menu-menu makanan laut. Ada beberapa diantaranya yang berbeda, karena alergi makan
seafood.
Setelah acara makan siang, panitia mengumumkan kalau acara selanjutnya adalah bebas, para peserta dibolehkan untuk melakukan kegiatannya masing-masing namun sebisa mungkin untuk tidak terlalu jauh dari area penginapan. Akhirnya beberapa ada yang memilih untuk jalan-jalan ke pantai yang sudah mulai ramai oleh pengunjung, ada juga yang memilih untuk beramah tamah dengan yang lainnya.
Kondisi Ardi yang terlihat lemas membuat Budi memilih untuk ngobrol saja dengan keluarga dari rekan kerja istrinya, sedangkan Ara meminta ijin Budi untuk pergi ke pantai karena tadi diajak oleh Nadya dan Lia. Ketiga wanita ini awalnya hanya ngobrol-ngobrol biasa saja, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah tempat yang tidak terlalu ramai, Nadya menanyakan perihal penginapan Ara.
“Eh Ra, kamu nginepnya di tempat yang, hmm dulu itu ya?” Nadya nampak ragu-ragu menanyakan hal itu pada Ara.
“Iya Nad, di tempat yang dulu,” jawab Ara singkat.
“Kamu nggak apa-apa Ra disitu? Kenapa nggak minta tukeran aja sama yang lain?” tanya Lia menambahkan.
“Nggak kok nggak apa-apa. Tempatnya udah beda sekarang, dari luar sih masih kelihatan sama, tapi dalamnya udah bener-bener beda. Nggak enak juga lah kalau minta tuker gitu, entar malah repot kalau ditanya alasannya kan. Lagian, peristiwa itu kan juga udah lama,” jawab Ara, menangkap apa yang dimaksud oleh kedua sahabatnya itu.
“Hmm iya sih, tapi aku sempet kepikiran lho tadi pas ngelihat penginapan itu. Tahu tahu keinget aja gitu Ra,” ujar Nadya sambil matanya menatap ke laut lepas.
Diantara mereka bertiga, memang Nadya lah yang paling mengingat peristiwa itu, meskipun tidak semuanya. Lia dan Ara memang saat itu diberikan obat tidur dengan dosis yang lebih banyak dibandingkan Nadya, sehingga sama sekali tidak ingat apa yang terjadi. Sedangkan Nadya, dia masih ingat bagaimana disetubuhi oleh Pak Yusri si pemilik penginapan terdahulu.
Dia kembali mengingat pada awalnya betapa terkejutnya dia mendapati dirinya sudah telanjang, hanya memakai kerudungnya saja. Dan saat itu, sebuah penis yang keras sedang bergerak dengan cepat keluar masuk di vaginanya. Dia yang awalnya menolak, kemudian terhanyut dan mengikuti permainan gila itu. Dia bahkan sampai mendapatkan 2 kali orgasme saat digagahi oleh Pak Yusri.
Dia juga teringat malam itu dirinya justru semakin terangsang saat mengetahui suaminya sedang menyetubuhi sahabatnya, Lia. Setelah peristiwa itu, Hendri suaminya pun mengakui kepadanya apa yang telah terjadi malam itu. Hendri bahkan menunjukkan kepadanya foto-foto telanjang Lia ketika sedang disetubuhi. Hendri berkata padanya bahwa suatu saat ingin kembali menikmati tubuh indah sahabatnya itu. Nadya menyanggupi untuk membantunya, namun sampai sekarang hal itu belum sekalipun terwujud.
Masih ada satu hal yang menjadi pertanyaan Nadya yang sampai sekarang belum terjawab. Dia masih penasaran, apakah malam itu, Ara berhasil disetubuhi oleh Ramon. Dia tak sempat menanyakannya karena setelah kejadian di penginapan itu dia jarang berkomunikasi dengan Ramon, hingga akhirnya terjadilah peristiwa malam tahun baru berdarah yang menewaskan banyak orang, termasuk Ramon.
Meski begitu, banyangan bahwa Ara telah dilecehkan, atau bahkan telah disetubuhi oleh Ramon sudah meracuni pikiran suaminya, sehingga kerap kali Hendri menyetubuhinya dengan membayangkan Ara. Nadya tak terlalu peduli sebenarnya, namun fantasi-fantasi Hendri sedikit banyak mengganggu pikirannya, bahkan dia juga dimintai bantuan oleh Hendri agar suaminya itu bisa merasakan tubuh Ara juga. Permintaan yang sulit karena dia tahu bagaimana Ara.
“Heh Nad, kok malah melamun sih,” tegur Lia mengagetkan Nadya.
“Hehe, nggak Li, aku keinget aja lagi sama peristiwa itu. Kalian berdua beneran nggak inget apa-apa?”
“Nggak tuh, seingetku sih tahu tahu aku udah dirumahku aja, di kamar, sama kayak kalian,” jawab Ara, yang kini pandangannya juga tertuju ke arah laut.
“Iya, aku sama sekali nggak inget. Cuma ya itu, kayak yang pernah aku ceritain ke kalian, pas aku bangun, kerasa lengket-lengket dan ngilu gitu vaginaku, sama kayak Nadya. Kamu nggak ya Ra?” kembali Lia menanyakan pertanyaan yang pernah dia tanyakan kepada Ara beberapa tahun lalu.
“Nggak, sama sekali nggak,” Ara menggelengkan kepalanya. Dia memang masih menutupi kalau saat itu, saat dirinya terbangun, ada lelehan sperma yang mulai mengering di wajahnya, dan juga bekas cupangan di kedua buah dadanya.
Sampai saat ini Ara belum mengetahui siapa yang melakukan itu padanya. Pikirannya tertuju pada Rio, tapi apakah mungkin dia yang melakukannya? Karena menurut Budi, Rio lah yang telah menolongnya, dan kedua sahabatnya, meskipun itu terlambat untuk Lia dan Nadya. Lagi pula, Rio masih memiliki ikatan saudara dengannya, meskipun jauh. Kalau bukan Rio, lalu siapa yang melakukannya?
Ketiga wanita itu kini terdiam. Mereka duduk memandang ke lautan lepas, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Tanpa mereka sadari, seseorang memperhatikan mereka dari kejauhan. Tatapan orang itu, seolah menelanjangi ketiganya. Dia memang sudah mengetahui bagaimana lekuk indah tubuh wanita-wanita itu, namun itu semua hanya dari video.
Dia ingin melihatnya langsung, menikmati setiap inchi kulit mereka. Rencana demi rencana telah tersusun sedemikian rupa di dalam kepalanya. Dia harus berhati-hati dan memainkannya selembut mungkin. Karena dia tahu, sedikit saja celah terbuka, semuanya bisa hancur berantakan.
‘
Sebentar lagi, sebentar lagi aku akan menikmati kalian bertiga,’ sang pria menyeringai tanpa melepaskan tatapannya dari ketiga wanita itu.
*****
Malam ini, suasana makan malam terasa begitu hangat. Lantunan musik yang dimainkan oleh band yang disewa panitia menambah syahdu suasana. Band yang disewa itu kebetulan bisa memainkan berbagai macam aliran musik, sehingga mampu melayani permintaan dari para peserta. Tidak sedikit pula yang menyumbangkan suara emasnya, termasuk sang pimpinan, Pak Hamid.
Terlihat bahwa para peserta semakin akrab karena siangnya sudah sempat saling berkenalan dan beramah tamah. Sedangkan para panitia sendiri terlihat sibuk mendiskusikan persiapan untuk acara esok hari. Ya, acara untuk besok lebih banyak diisi dengan berbagai permainan dan pembagian hadiah kepada para peserta. Bukan hadiah yang mahal memang karena sifatnya hanya untuk meramaikan saja.
Saat itu Ara dan Budi sedang bersama dengan yang lainnya. Terlihat oleh mereka Edwin, suami dari Lia, sendirian. Ara sempat melihat-lihat di sekitar, mencari sahabatnya itu, tapi Lia sepertinya tidak ada di tempat itu. Ara pun segera menghampiri Edwin.
“Mas Edwin, kok sendirian aja? Lia kemana?”
“Eh Ara. Lia tadi pergi sama Nadya, nggak tahu kemana, ada yang mau dibicarain katanya. Entahlah, urusan wanita mungkin, hehe.”
“Oh gitu. Pantesan nggak kelihatan dari tadi.”
“Iya, abis makan tadi langsung cabut mereka.”
“Yaudah Mas, ayo gabung disana sama yang lain.”
“Entar dulu Ra, mau ngerokok dulu.”
“Yaudah deh, aku balik kesana dulu ya Mas,” Edwin hanya mengangguk saja, kemudian Ara berlalu dan kembali ke suami dan teman-temannya.
“Kenapa Bun?” tanya Budi sesampainya Ara di sampingnya.
“Enggak Yah, nyamperin Mas Edwin tadi, nanyain Lia kemana, katanya lagi pergi sama Nadya,” mereka pun kembali asyik dengan obrolan bersama dengan teman-temannya.
Edwin masih menghisap rokoknya sambil menunggu istrinya. Lia sudah hampir setengah jam pergi bersama dengan Nadya, entah apa yang mereka bicarakan namun perasaan Edwin tidak enak. Dia sendiri bingung kenapa merasa seperti itu, tapi mencoba untuk tidak berpikir macam-macam.
Entah kenapa saat ini firasatnya benar-benar buruk. Dia teringat tadi siang waktu baru sampai di tempat ini, wajah Lia sempat berubah terlebih saat melihat Ara dan suaminya berjalan menuju ke penginapan mereka. Wajah Lia menyiratkan sesuatu, entah apa Edwin tak bisa menyimpulkannya. Saat ditanya, Lia seperti salah tingkah dan menjawab tidak ada apa-apa, kemudian segera berlalu meninggalkan Edwin yang makin keheranan.
Perubahan Lia itu sempat terlupakan karena setelah itu Lia bersikap biasa-biasa saja. Namun saat tadi Lia pamit untuk pergi dengan Nadya, tiba-tiba perasaanya menjadi tak enak. Dia ingin melarangnya, tapi tak punya alasan yang tepat untuk itu. Kini dia hanya berharap tidak terjadi apa-apa terhadap istrinya. Edwin tak tahu, jika firasat buruknya benar-benar terjadi.
*****
Lia
Nadya
Minggu pagi yang cerah, hari kedua acara
gathering yang sepertinya akan penuh dengan kegiatan sebelum besok kembali ke rumah masing-masing. Fajar tadi, beberapa orang sudah terbangun dan mencari tempat terbaik di pantai ini untuk menyongsong matahari terbit, beberapa yang lainnya memilih untuk menyelesaikan mimpi mereka.
Sekarang semua sudah berkumpul di sebuah tempat yang cukup lapang. Terlihat semuanya sudah bersiap untuk acara hari ini, kecuali Budi dan Ara yang disibukan dengan si kecil Ardi yang nampaknya kondisi badannya semakin menurun. Beruntung panitia sudah menyiapkan obat-obatan yang diperlukan untuk penanganan awal. Mereka sempat menawarkan kepada Budi dan Ara untuk diantar ke dokter, namun karena Ardi tidak sampai menunjukkan gejala yang terlalu serius mereka menolaknya dengan halus.
Di tempat berkumpul itu, nampak sebuah panggung yang tak terlalu besar dan tinggi di hadapan para peserta
gathering yang kini sudah berbaris rapi. Ada 3 orang wanita dengan pakaian ketat berdiri di panggung itu. Bentuk tubuh ketiga wanita itu mampu membuat para pria sesaat menatapnya lekat-lekat, sebelum akhirnya dijewer oleh istrinya masing-masing. Sedangkan yang tidak ada istrinya, sudah berbaris paling depan agar dapat memandangi ketiga wanita itu sepuasnya.
Ketiga wanita itu adalah instruktur yang disewa panitia untuk memimpin agenda pertama hari ini, yaitu senam aerobik. Irama musik yang cukup menghentak mengiringi senam mereka pagi itu. Semua peserta nampak antusias mengikuti gerakan para instruktur yang cukup santai, tidak terlalu sulit dan berat.
Setelah acara senam pagi selesai para peserta langsung menuju ke tempat dimana berbagai macam makanan sudah disuguhkan disana. Untuk hari ini, panitia memang tidak menyiapkan sarapan di lokasi penginapan, namun mereka telah bekerja sama dengan para pedagang makanan yang biasanya berjualan di area pantai untuk membuka stan di tempat itu, sehingga para peserta bebas untuk memilih makanan yang mereka inginkan.
Karena memang
gathering ini lebih bersifat santai, panitia memberikan waktu yang cukup lama untuk acara pertama ini. Setelah acara ini akan diadakan berbagai macam games yang melibatkan semua peserta. Memang tidak semua games akan dimainkan oleh masing-masing, tapi panitia sudah membagi-bagi siapa saja yang akan mengikuti masing-masing games. Mereka memilih orang-orang yang dalam keseharian pekerjaan tidak terlalu akrab atau jarang berinteraksi untuk tergabung dalam satu game, tujuanya jelas agar kedepannya semua pegawai bisa lebih akrab di kantor.
Semua orang nampak antusias dengan acara yang selanjutnya yang akan mereka mainkan, kecuali Lia. Sedari tadi dia hanya melamun, hanya mengaduk-aduk makanannya yang baru berkurang sedikit. Dia sama sekali tidak merasa lapar pagi ini. Pikirannya melayang pada kejadian tadi malam, saat dimana dia meninggalkan suaminya setelah makan malam untuk pergi bersama Nadya.
Malam Sebelumnya said:
“Pah, Mamah pergi sebentar ya sama Nadya.”
“Mau kemana Mah?”
“Tahu nih, diajakin Nadya. Ada yang mau diomongin katanya.”
“Ngomongin apaan?”
“Palingan juga urusan wanita Pah, hehe.”
“Oh yaudah kalau gitu.”
Setelah mendapat ijin dari suaminya, Lia pun segera menemui Nadya yang sudah menunggunya. Mereka berdua berjalan sambil bercanda menuju ke salah satu penginapan yang ditempati Nadya. Suasana sangatlah sepi karena memang semua orang sedang berkumpul untuk makan malam, dan rasanya belum akan kembali dalam waktu singkat.
Sesampainya di depan kamar, Nadya pun membukakan pintu dan mempersilahkan Lia untuk masuk. Ternyata di dalam kamar itu ada Hendri suami Nadya. Lia sempat keheranan, karena tadi Nadya bilang ada sesuatu yang sangat penting yang ingin dibicarakan. Dia berpikir Nadya ingin bicara 4 mata dengannya, tapi sekarang, kenapa ada Hendri disini?
“Eh Lia udah dateng,” Hendri beranjak dari ranjangnya menyalami Lia.
“Hai Hen, kamu disini? Nggak makan tadi?” Lia sedikit berbasa-basi dengan Hendri.
“Nggak ah, udah makan tadi sore. Lagian disini lagi nunggu yang enak-enak,” senyum Hendri membuat Lia mengernyitkan dahinya.
“Hmm Nad, jadi mau ngomongin apa nih?” tanpa menanggapi Hendri, Lia menanyakan maksud Nadya mengajaknya kemari.
“Oh, sebenernya bukan aku yang mau ngomong Li, tapi Mas Hendri,” jawab Nadya dengan santainya.
“Hah, Hendri? Mau ngomong apaan?” Lia semakin tak mengerti.
“Oh nggak, aku cuma pengen ngasih liat kamu sesuatu kok Li, bentar ya,” Hendri mengambil ponselnya dan terlihat sibuk mengotak-atik ponsel itu.
“Udah siap?” Hendri tersenyum-senyum, begitu juga Nadya. Sedangkan Lia nampak semakin bingung.
“Apaan sih?”
“Ini, aku mau kasih liat ini sama kamu.”
Mata Lia terbelalak saat Hendri memperlihatkan ponselnya. Di layar ponsel ini, nampak sebuah foto dirinya. Ya, itu foto dirinya, sangat jelas. Namun yang membuat Lia begitu terkejut adalah, foto itu menunjukkan dirinya yang sedang terlentang di sebuah kasur, matanya tertutup, dan, tubuhnya telanjang bulat.
“Apa ini Hen?!”
“Apanya yang apa? Udah jelas kan ini foto kamu,” Hendri menjawab dengan santainya, lalu menggeser tampilan di layar ponselnya, hingga kemudian nampak foto lain yang kali ini memperlihatkan tubuh telanjang Lia, sedang disetubuhi oleh seseorang.
“Iya, tapi... apa maksudnya semua ini?” emosi Lia mulai terbakar, bibirnya tergetar, begitu juga badannya.
“Tenang Lia, tenang. Aku tahu kamu tidak ingat sama sekali dengan foto ini, tapi aku kasih tahu ke kamu, bahwa foto ini asli, tanpa rekayasa sama sekali. Ini adalah foto-foto persetubuhan kita beberapa tahun yang lalu, di tempat ini. Di penginapan sebelah, yang sekarang ditempati sama Ara,” Hendri tersenyum menjelaskan, sementara Nadya ikut tersenyum melihat drama yang sedang dimainkan suaminya.
“Apa?! Nggak, nggak mungkin!” Lia tersentak tak percaya dengan perkataan Hendri. Tapi kalau itu benar, maka terjawablah teka-teki yang selama ini menghantui pikirannya, tentang siapa yang telah menyetubuhinya malam itu, beberapa tahun silam.
“Kamu boleh nggak percaya, tapi ini bukti-buktinya.”
“Hapus foto itu Hen!” hardik Lia. Dia sudah benar-benar emosi.
“Hapus? Waduh, ini satu-satu kenanganku waktu ngentotin kamu dulu Lia, masa mau dihapus sih? Foto inilah yang ngingetin aku betapa nikmatnya memek kamu, meskipun waktu itu kamu sedang nggak sadar, haha,” tawa Hendri semakin lebar, mengitimidasi Lia.
“Apa yang kamu mau?” Lia mulai menyadari apa yang diinginkan oleh Hendri. Matanya memerah, menahan air mata yang sudah menggenang disana.
“Mauku? Sudah jelas kan? Aku pengen ngulangin ini lagi, dengan kamu dalam kondisi sadar, nggak pingsan kayak dulu. Dan aku rasa kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu nolak kan?”
Ya, Lia paham, sangat paham dengan apa yang diinginkan oleh lelaki ini, dan apa konsekuensinya jika dia menolak. Dia pernah mengalami ini sebelumnya, saat akhirnya dia terpaksa harus menjalani affair dengan mantan bossnya. Namun kali ini, lelaki yang menjebaknya adalah suami dari orang yang sudah dia anggap sebagai sahabatnya sendiri. Dia benar-benar tak menyangka Nadya tega berbuat seperti ini kepadanya. Apalagi saat ditatapnya Nadya hanya tersenyum, tanpa ekspresi bersalah sedikitpun.
“Aku nggak mau lama-lama Lia. Sekarang kamu yang mutusin, kalau kamu menolak, silahkan pergi dari kamar ini, dan bersiaplah menyambut hari esok yang akan sangat heboh, apalagi disini semua orang di kantormu membawa keluarganya. Kalau kamu menerima, kunci pintu kamar itu, dan segeralah kemari, emut kontolku.”
Lia masih berdiri mematung. Dia tahu, tak ada negosiasi, tak ada lagi tawar menawar. Hendri memberinya pilihan, tapi siapapun tahu, tak akan ada yang berani mengambil pilihan pertama. Dengan meneteskan air matanya, Lia berjalan perlahan menuju pintu kamar. Dia ingin sekali meraih gagangnya, membukanya, lalu pergi jauh-jauh dari kamar ini. Tapi dia tahu itu tak mungkin dilakukannya, hingga kini akhirnya dia mengunci pintu itu.
Hendri semakin tersenyum lebar saat Lia berjalan pelan mendekatinya. Dia kemudian duduk di ranjang disamping istrinya. Lia terduduk di depan Hendri, tangannya begitu gemetar saat meraih resleting celana Hendri dan melepaskannya. Kini penis Hendri yang belum sepenuhnya tegang berdiri di hadapannya, menunggu untuk mendapatkan kenikmatan malam ini.
Dengan air mata yang semakin deras, Lia menyentuh batang itu, mengocoknya perlahan sambil mendekatkan kepalanya. Matanya terpejam saat penis itu masuk ke dalam mulutnya. Dengan segera Lia memaju mundurkan kepalanya memberikan pelayanan kepada suami sahabatnya itu. Dia ingin menyelesaikan ini secepat mungkin, karena tak ingin membuat suaminya menunggu terlalu lama.
“Gimana Pa sepongannya Lia? Enak?” Nadya yang sedari tadi diam kini terdengar suaranya.
“Yaah lumayan laah Ma, uuugghh.”
Karena menutup matanya, Lia tak sadar kalau apa yang dia lakukan saat ini sedang direkam oleh Nadya. Nadya memang sudah berulang kali melakukan hal seperti ini. Kadang ketika tubuhnya digarap oleh lelaki lain, suaminya lah yang bertugas untuk merekam. Namun yang menarik baginya kali ini adalah, Lia, sahabatnya sendirilah yang kini sedang direkamnya.
“Aaaaagghhh udah Lii, aku nggak mau keluar duluan. Ayo sekarang buka baju kamu.”
Tanpa memprotes Lia pun segera berdiri dan melepaskan bajunya satu persatu hingga telanjang bulat. Dia masih belum sadar kalau sedang direkam, karena memang tidak memperhatikan sepasang suami istri yang telah menjebaknya itu. Pikirannya saat ini bagaimana bisa menuntaskan semua ini sesegera mungkin.
Setelah tubuhnya polos tak tertutup apapun, Hendri pun dengan buas langsung menerkam Lia, menghempaskan tubuh indah wanita itu ke kasur dan segera mencumbui setiap jengkal kulit mulusnya. Kembali Lia terpejam pasrah, menunggu apa saja yang akan dilakukan oleh Hendri. Meskipun dirinya menolak, namun semua cumbuan Hendri itu mau tak mau membuat bagian vitalnya basah.
Tak berapa lama merangsang Lia, Hendri yang sudah tak tahan pun segera memposisikan tubuhnya diantara kedua paha Lia yang sudah terbuka. Dengan sekali gerakan kasar amblaslah kemaluannya yang tak jauh beda besarnya dengan milik suami Lia itu. Lia sempat terpekik sebelum kembali menutup rapat mulutnya.
Dia tak ingin terdengar mendesah menikmati permainan ini, karena memang dia tak menikmatinya sama sekali. Permainan Hendri yang cenderung kasar hanya menimbulkan rasa sakit di sekujur tubuh Lia. Hendri memang tak bisa lagi mengendalikan dirinya, karena momen ini sudah dia tunggu lebih dari 3 tahun lamanya.
“Wah ekspresi kamu dapet banget Li di kamera,” ucapan Nadya sontak membuat Lia kaget dan langsung memandangnya.
“Nad aaahhh, jangan direkmmmppphhh,” belum sempat menyelesaikan kalimatnya mulut Lia langsung dibekap oleh mulut Hendri.
Dengan buas Hendri menciumi Lia. Lidahnya pun liar bermain di dalam mulut Lia, membuat wanita itu kelabakan. Gerakan Hendri terasa semakin cepat, menandakan lelaki itu akan segera klimaks. Lia yang mengetahui itupun ikut menggerakan pinggang dan juga otot-otot kemaluannya. Sekali lagi, bukan karena dia ikut menikmati, namun karena dia ingin semua ini cepat berakhir.
“Aaaahhh Liaaaaa, aku keluaaarrr. Terima pejukuuuuuu.”
Hendri memekik saat gelombang orgasmenya datang. Dia melepaskan beberapa kali semprotan di dalam vagina Lia, bersamaan dengan orgasme wanita itu. Meski Lia sama sekali tak menikmati permainan ini, namun mau tak mau tubuhnya pun ikut berekasi.
Tubuh Hendri ambruk di samping Lia, nafasnya tersengal-sengal, namun bibirnya tersenyum lebar. Akhirnya keinginan yang dia pendam selama ini terwujud juga, meskipun dia hanya bisa bertahan sebentar saja. Nadya pun sudah mematikan ponselnya, ikut tersenyum melihat suaminya terpuaskan. Sedangkan Lia, air mata kembali membasahi pipinya, menyesalkan yang baru saja terjadi.
Mengingat sang suami yang masih menunggu, Lia bergegas untuk bangun menuju kamar mandi, membersihkan dirinya. Dia yang sudah berkomitmen untuk menghentikan semua kegilaannya semasa dahulu, kini harus kembali masuk ke dalam lembah hitam itu lagi. Lia tahu, Hendri tak akan berhenti sampai disini, dia pasti akan memintanya lagi.
Setelah membersihkan diri dan kembali memakai pakaiannya, Lia pun segera meninggalkan kamar itu, setelah sebelumnya mengiyakan permintaan dari Hendri. Bukan permintaan, lebih tepatnya mungkin adalah perintah. Tapi Lia tak mempedulikannya, yang dia pikirkan sekarang hanyalah segera kembali menemui suaminya.
Dengan hati-hati Lia keluar dari kamar Nadya, memeriksa keadaan memastikan tak ada yang melihatnya. Namun tanpa sepengetahuan Lia, juga Nadya dan Hendri, ada seseorang yang sedari tadi mendengarkan apa yang terjadi di kamar itu. Saat Lia keluarpun, orang itu mengamati dari kegelapan. Orang itu kini tahu apa yang terjadi diantara ketiganya. Sebuah rencana tersusun di benak orang itu, namun dia masih harus menunggu, tak mau buru-buru menjalankan rencananya. Terlebih saat ini sedang dalam acara kantor. Setelah selesai acara nanti, dan mereka pulang dari tempat ini, saat itulah orang itu akan segera menjalankan rencananya.
“Heh, ngelamun aja. Ayok kita ke tempat games, yang lain udah pada kesana lho,” Lia kaget saat seorang temannya menempuk pundaknya dari belakang.
“Oh iya Mbak,” jawabnya begitu menyadari tempat ini sudah mulai sepi.
*****