Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Episode 20
Bentrokan Terbuka


POV Dani

Pagi hari buta ini kami sudah kembali menyusuri hutan. Kami kurang sekali tidur, dan yang paling penting kami semua belum mandi. Tidak ada waktu untuk mandi karena seluruh strategi harus berjalan sesuai rencana. Badan gue udah mulai gerah begini.

Kami akan keluar dari Blue Mountain ini dari sisi selatan. Kemudian, kami harus sangat cepat sampai di dekat dinding tinggi pembatas kota Kraun itu. Tembok Persatuan namanya. Di situlah kami akan kembali memutus akses jembatan untuk jalur pengiriman sumber daya darat mereka.

Julia berjalan kaki, meninggalkan kudanya tetap di perkemahan. Julia pun mulai cerita kepada kami bahwa banyak desa mengosongkan diri dan dievakuasi ke pemukiman lain nun jauh dari Kota Kraun. Namun, kini masih ada sejumlah desa yang berada di bawah tekanan untuk mengirimkan hasil-hasil sumber dayanya. Desa-desa tersebut dijaga dan dikontrol oleh pasukan dari istana. Begitu jembatan target kami itu diputus, kami dapat menolong desa-desa itu dengan mudah.

“Kok mirip film itu, apa namanya, Hunger Games?” Tanya gue.
“Emangnya inspirasi Suzzane Collins dari mana.” Kata Julia.
“Dari perang dunia lain gitu?” gue bertanya lagi.

Gue berhenti berjalan.

“Semua perang kaya juga gitu kali, jajah sana sini buat dapet sumber daya. Udah dari dulu, Belanda masuk ke Nusantara, Inggris berdagang ke India, Spanyol datang ke Meksiko. Banyak lah contohnya. Bahkan atas nama agama sekali pun kaya katolik ortodoks di Yunani sama Kerajaan Ottoman juga begitu.”

Erna menimpali percakapan kami sambil menyusul langkah gue.

Julia tertawa mendengar penjelasan Erna. Bahkan dia memuji, mengatakan bahwa Erna memiliki wawasan yang luas. Asal Julia tau, bukan cuma wawasannya doang yang luas. Wilayah jajahan Erna demi mengisi kapasitas memori kameranya juga luas.

Lama-lama Erna dan Julia jadi asik berdua. Gue terpaksa mundur pelan-pelan mencari teman ngobrol yang baru. Hari sedang fokus berbincang dengan salah satu prajurit. Mereka banyak sekali melakukan gaya ini itu, bagiamana cara merunduk, melindungi kepala, dan menggunakan tameng. Dengan begitu, Hari tersisih dari pilihan gue saat ini.

Ada Pur dan Erwan di belakangnya lagi. Erwan masih sedikit mencari sisa-sisa kenyataan tentang dunia yang baru dia hadapi. Dia banyak bertanya kepada Pur. Kasihan Erwan, karena dia gak bisa membedakan mana penjelasan Pur yang bercanda dan serius.

Gue mundur lebih jauh lagi.

“Gimana menurut lu?” Laras menepuk gue.
“Apanya?” gue bingung.
“Itu, Erwan dikerjain terus sama Pur.” Tunjuk Laras ke depan.
“Biarin lah hehehe.” Tawa gue tipis.

Gue akhirnya bisa menemukan teman ngobrol. Laras bercerita bahwa dia udah mencoba berbasa-basi beberapa kali dengan Rosi yang ada di paling belakang barisan kereta manusia ini. Sesuai instruksi semalam, pasukan dipimpin Julia dan dikawal Rosi dari belakang. Kedua pengawal Frey senior itu selalu dipatuhi pasukannya sehingga tidak ada yang komplain, meski mereka berdua perempuan.

Tapi Rosi itu gak selucu yang dibayangin. Pembawaannya lumayan serius sesuai tempatnya.

“Efek mau perang kali.” Gue menanggapi.
“Atau efek ditinggal Erwan?” Kata Laras.
“Erwan kali yang ditinggal.” Kata gue.
“Siapa tau.”

Ujung hutan ini mulai terlihat. Pohon-pohon berbatang merah yang kemarin dikiran pohon saninten atau pinus oleh Hari sudah makin kecil komunitasnya. Gak lagi sebesar pohon-pohon yang ada di bagian hutan lebih dalam. Tapi bagi kami rakyat bumi, pohon-pohon ini tetaplah besar.

Julia menginstruksikan kami istirahat sebentar untuk minum. Itu perlu, karena nanti kami harus bergerak lebih gesit dengan kaki sendiri supaya bisa sampai desa terdekat dengan Tembok Persatuan. Selama istirahat, pasangan ngobrol masih sama seperti sepanjang perjalanan tadi.

Usai istirahat, munculah pidato dari Julia sebagai pemimpin. Hampir 500 orang jumlah kami, semuanya mendengarkan dengan hikmat hingga di posisi orang terjauh sekali pun. Seolah dia bisa mendengar apa yang dikatakan Julia dari ujung satunya. Atau mungkin orang-orang bangsa Vanaheim memiliki jarak dengar yang lebih jauh, dengan daun-daun telinga mereka yang tak begitu beda dengan rakyat bumi.

Selanjutnya, keluarlah kami dari dalam hutan dengan semangat yang memburu.

---

POV Hari

Kami dengan cepat masuk ke desa-desa yang telah ditinggalkan. Butuh waktu tak sampai matahari tiba di atas kepala untuk mencapainya. Selain itu, kami masih beruntung karena tidak menemukan hambatan selama perjalanan.

Di desa ini, kami sekali lagi beristirahat hingga lewat tengah hari. Kelompok kami terbagi menjadi banyak. Semuanya ada di dalam rumah-rumah semi permanen dengan atap ijuk berlapis-lapis.

Ada Dani, Erna, Pur, Laras dan gue dalam grup ini sebagaimana tugas kami sebagai tim utama. Selain kami, ada dua orang lagi dari pasukannya Julia untuk menggenapi jumlah menjadi enam orang. Beberapa dari kami menjelajahi isi rumah yang gak seberapa luas ini, sedangkan gue dan Pur langsung tergeletak lelah.

“Gue mau mandi dulu.” Dani mengipaskan bajunya sendiri
“Emang ada kamar mandi?” tanya Pur.
“Ada sumur di belakang.” Tunjuk Dani ke belakang rumah.
“Waaaw...”

Mata Pur mendelik penuh makna mesum.

“Awas kalo kurang ajar.” Laras mencubit pipi Pur.
“Iyayaya...” Pur meringis dengan tawanya.

Gue ikut tertawa tanpa perlu berpikir mesum seperti Pur, karena gue udah pernah melihat tubuh Dani tanpa busana. Tapi cukup dua kali itu saja kami bermain cinta. Tak boleh ada kali-kali lainnya.

“Gue mau liat-liat ke luar.” Erna keluar rumah.
“Jangan jauh-jauh.” Nasihat Laras.
“Nggak.”

Laras memberi perintah kepada salah satu pasukan pendamping kami untuk menemani Erna berjalan-jalan, diitambah juga Laras yang mendadak mau ikut. Meskipun Erna menolak, dia gak bisa membantah apa yang udah diperintahkan. Ini bukan wilayah yang sama seperti bumi. Ancamannya juga gak sama. Erna juga pasti masih ingat SOP pengamatan lapangan waktu kuliah dulu, minimal pergi bertiga.

Jadi, sekarang di sini tersisa gue, Pur, dan seorang pasukan yang sedang duduk-duduk tanpa kerjaan. Di sini, kami ngobrol ngalur ngidul. Dari senda gurau ini pula kami tau nama teman kami itu adalah Axel. Rupa wajahnya sama seperti orang-orang eropa yang tinggi kurus bertulang pipi menonjol. Gue gak bisa memberikan ciri spesifik karena semua orang terlihat sama. Hanya matanya yang lebar mendelik seperti mau keluar itu yang bisa jadi ciri khasnya.

Axel merahasiakan umurnya yang barusan gue tanyakan. Katanya malu, kalah muda sama oramg-orang bumi. Padahal, mau usianya jutaan tahun sekalipun, gue bisa bilang kalo dia mirip orang bumi usia dua puluhan akhir.

“Ayolah, kasih tau.” Bujuk gue.
“Malu ah hahahaha.” Katanya disertawi tawa keras.

Pur cuma ikut tertawa. Dia cuma peduli sama istirahatnya dan ditambah sedikit tidur sekarang ini.

Cahaya matahari yang menerobos dari sela-sela ijuk lambat laun bergeser titik jatuhnya. Dani lama sekali melakukan kegiatan mandi bersihnya itu, sedangkan gerombolan Erna juga masih belum kembali dari luar. Sementara itu, Pur udah tertidur. Tinggal Axel dan gue yang masih terbangun tanpa melakukan apa-apa.

“Gak tidur?” Tanya gue.
“Kalo tidur semua gak ada yang jaga kan.” Kata Axel.

Padahal, gue bisa melihat garis matanya udah menyerupai eyeliner luntur. Pasti berat sekali menjadi bagian dalam perang ini. Ancaman kematian selalu ada setiap harinya. Semua orang bertaruh nyawa saat berhadapan satu sama lain. Kemudian, mereka tetap harus patuh terhadap instruksi pemimpin meski lelah.

Uang bukan segalanya di Vanaheim, itu yang terlintas pertama di kepala gue. Pasti bukan uang yang mereka cari dalam perang ini. Semua pasukan Julia adalah orang-orang yang loyal terhadap Raja Frey, maka itu mereka menentang pemerintahan yang dianggap korup oleh si ratu di dalam istana sana.

“Ngomong-ngomong, bisa all-speak juga?” tanya gue yang mulai ngelantur.
“Bisa dikit aja. Belum jago.” Jawab Axel.

Lalu hening lagi.

“Tidur aja kalo mau.” Kata Axel.
“Gapapa.” Jawab gue singkat.

Gapapa maksudnya dia adalah gak apa-apa kalo gue gak tidur. Padahal bukan masalah kalo gue tetap bangun, melek, tapi gak melakukan apa-apa. Gue bukannya gak enak sama Axel yang nanti ditinggal sendirian kalo gue tidur. Tapi gue penasaran kapan Dani selesai mandinya.

“Haaah, segeerrr.” Dani datang.
“Nah ini dia.” Gue refleks bicara begitu.
“Kangen ya?” Ledek Dani.
"Idih."

Niscaya Axel langsung memiliki keyakinan kalo gue dan Dani sedang berpacaran. Sumpah, kenyataannya bukan begitu.

Dani memakai baju ganti. Dia ngakunya selalu bawa baju cadangan meski tadinya kami cuma mau ke Monas. Dia juga bilang kalo butuh berlama-lama mandi karena harus menuang air beberapa kali dari kendi ke kendi lain karena airnya kotor. Ya percaya aja lah.

“MUSUH!! MUSUH!!”

Erna berlarian dari luar. Dia langsung berdiri di depan pintu masuk sambil mengambil nafas pendek banyak-banyak.

“MUSUH!! AYO KELUAR!!!” Erna sedikit membentak.

Axel membangunkan Pur, lalu kami semua keluar setelah Dani membereskan barang-barangnya ke dalam tas ransel. Sambil kami berlari keluar, Erna bilang dia melihat banyak pita-pita frekuensi melintang. Pita itu turun dari langit ke arah yang gak jauh dari kami. Lama-lama jumlah pita itu semakin banyak, dan barulah Erna menyadari itu warna pita frekuensi yang sama seperti milik pasukan berzirah robot.

“Laras mana?” Tanya Pur.
“Sama Anders, ngasih tau semua orang.” Kata Erna.

Rupanya nama orang yang satu lagi itu Anders. Gak perlu dipikirin sebenernya sih.

Gak perlu waktu lama, kami udah berkumpul di bekas ladang luas milik desa yang ditinggalkan ini. Semua orang bersiap dengan senjata mereka. Selain pedang, tombak, panah, dan tameng, kami gak punya apa-apa lagi, bahkan semisal kuda sekalipun.

Dari belakang keramaian, berjalanlah Laras dan Anders. Mereka diberikan jalan karena mengawal Julia dan Rosi. Orang-orang pun menyingkir supaya Julia bisa melihat apa yang akan kami hadapi.

“Kakak gue mana?” Tanya Erna.

Situasi mendadak gemuruh ketika kami semua melihat banyak pasukan berzirah robot datang dari kejauhan. Sorak-sorai membahana menyerukan nama Raja Frey untuk membakar semangat. Julia, dikawal dua orang, maju beberapa langkah untuk mendapat pengelihatan yang lebih jelas.

Dani berlari ke pinggiran, mencari reruntuhan tembok, batu, apapun yang beralas rata untuk membuka laptopnya. Dia mulai mengutak-atik jaringan seperti mencari wifi. Gue meninggalkannya untuk tetap bersama Julia di garis depan karena Dani ada di posisi yang sudah lebih aman.

“Sesuai rencana?” Tanya gue.
“Sesuai rencana.” Jawab Julia.

Julia menatap pasukan berzirah robot itu dengan harapan penuh dengan kemenangan. Apalagi ada kami sebagai inhuman.

“Kakak gue mana?” Tanya Erna lagi.

Suara Erna terbenam dalam keriuhan orang-orang. Gue sendiri tadinya kurang sadar dengan suara Erna itu sampai akhirnya dia mendatangi Julia.

“Erwan mana? Kakak gue?” Erna menarik lengan Julia.
“Aman, di dalam rumah.” Jawab Julia.
“Gue mau ke sana.”
“Erna...!” Julia tak selesai bicara.

Erna langsung menyelinap di antara orang-orang, meninggalkan barisan depan untuk menuju ke rumah yang dikatakan Julia. Selintas langsung gue tanyakan kepada Julia, rumah mana yang dia maksud.

“Sial!” Julia menggeram.
“Saya kejar Erna!” Kata gue sambil teriak.
“Inhuman harus di depan! Rosi, kejar Erna!” Julia juga berteriak.

Julia berteriak pasti bukan karena marah. Ini pasti karena gue teriak duluan akibat gak bisa mendengar apa yang dikatakan Julia meski kami berdua berdekatan. Orang-orang ini terlalu berisik.

Rosi langsung menerima perintah Julia untuk segera menyusul Erna. Kemudian, Julia diam cukup lama. Mungkin mengkalkulasi sesuatu. Mungkin memang begitu kelakukannya sebelum bentrokan dimulai. Atau mungkin sekedar mengulur waktu sampai Rosi tiba lagi di sini bersama Erna.

“MAJU!” Tiba-tiba perintah Julia menggema, pedangnya teracung ke langit.

Gemuruh tapak kaki berderap di atas tanah. Gue dan Julia ikut maju di barisan paling depan bersama orang-orang berpedang ini, sementara gue gak memegang apa-apa. Telapak tangan ini harus tetap terbebas agar bisa teracung sewaktu-waktu, supaya sigap menyerap eenergi kinetik dari serangan-serangan yang mendadak.

Rasa takut mati pasti ada, tapi gue yakin pasti bisa menang hari ini.

Pasukan berzirah robot tidak meladeni upaya serangan jarak dekat kami. Mereka berhenti berjalan di jarak yang masih jauh. Kemudian, mereka menembakkan peluru-peluru mereka kepada kami.

Satu demi satu peluru ditembakkan. Satu demi satu pula orang-orang kami berjatuhan, tapi gak semuanya. Peluru itu gak terlalu tajam untuk menembus tameng besi yang dibawa beberapa orang terdepan. Oleh karena itu, gue berteriak sekeras mungkin agar pembawa tameng bergerak menuju lebih depan.

“TAMENG MAJU!!” Seru gue.
“MAJU!!” Seru Julia.

Dentang suara besi semakin banyak. Besi-besi dari tameng makin terlihat penyok, membekaslah cekungan yang berasal dari peluru-peluru lawan kami. Tapi kami masih tak gentar meski jarak masih terlalu jauh dari mereka.

Wuushh...

Satu peluru melesat dekat pipi gue. Kemudian, pipi gue berdarah. Gue deg-degan. Untungnya masih selamat. Inilah saatnya mengacungkan tangan sesering mungkin. Dengan ini pula, gue harus menjadi orang paling depan, sejajar dengan para pemegang tameng.

“Ayo, ini kaya waktu di Mangga Dua.” Batin gue.

Tiba-tiba, pemegang tameng di sebelah kanan gue jatuh tertembak, menyebabkan beberapa orang di belakangnya tersandung dan ikut jatuh berguling-guling. Kami terus maju seperti gak peduli dengan apa yang terjadi. Sedetik kemudian, pemegang tameng lainnya ikut tertembak jatuh dan kejadian orang-orang tersandung kembali berulang.

Sekali gue menoleh, tameng mereka yang masih bisa berdiri sudah bolong. Besi-besi tua itu gak sanggup lagi menahan laju peluru. Semakin banyak tembakan, semakin banyak bagian yang penyok, lalu semakin cepat juga bolong. Apalagi jarak kami juga turut menentukan kekuatan terjangan peluru.

Mau gak mau, gue harus menjadi semakin di berada di depan. Paling depan. Gue harus menjadi pelindung. Tangan gue dua-duanya teracung ke depan dengan kepala terlindung bahu. Gue berlari dengan posisi agak menyamping.

Terus berlari paling depan... Wuushh!

“AAAGGHHH!!” sumpah sakit. Apa ini?

Paha kanan gue terasa sakit. Rasanya mendadak perih sekaligus lemas. Gue mendadak tergeletak di tanah. Gue memegangi bagian paha gue yang bisa mendadak sakit. Apaan ini? Keram? Kok berdarah? Gue kena tembak???

“HARI!” Julia mendatangi gue.

Gue sudah berada dalam kerumunan pasukan lagi. Mereka menyusul gue yang tadinya berada paling depan. Julia melindungi gue supaya gak terkena injak oleh orang-orang ini. Ada juga Axel dan Anders yang tiba-tiba kakinya mengurung gue supaya terjaga.

Kenapa ini? Kenapa gue bisa kena tembak? Gue yakin kalo acungan tangan gue itu cukup untuk melindungi seluruh tubuh, bahkan dari jarak tiga meter. Gak mungkin kena tembak kan.

“ADA APA??!” Julia bertanya ke Axel.
“MEREKA MAJU!” Kata Axel.

Pasukan berzirah robot sudah bergerak maju dengan persenjataan mereka. Kamilah yang sekarang mendadak berhenti. Beberapa orang bahkan bergerak mundur. Kalau bukan karena Julia yang menyuruh bertahan di tempat, pasti mereka udah lari sejauh mungkin. Perintah Julia pasti semata-mata untuk melindungi gue.

Sial! Kenapa gue yang jadinya dilindungi. Gue lah ramalan runenya, yang dikatakan membawa kemenangan pasukan loyal Raja Frey. Kalau begini gimana gue bisa pulang. Sial!

Paha gue semakin perih dan lemas rasanya. Dentingan tameng-tameng yang sudah tidak fungsional semakin sering terdengar. Gue juga bisa melihat di antara sela-sela kaki, semakin banyak orang kami yang tergeletak tak bergerak. Mereka mati sia-sia.

“KITA HARUS MUNDUR!” Kata Axel.

Julia terdiam dengan matanya yang nanar.

“DENGAN HORMAT NONA! KITA HARUS MUNDUR!” Axel berteriak kepada Julia.

Gue mengangkat tangan, meminta dibantu bangun oleh Anders. Sampailah kami pada kenyataan bahwa taktik ini gagal. Gue terlalu percaya diri dengan ramalan rune. Gue terlalu percaya diri dengan kemampuan gue yang seolah tiada tandingan. Ditambah lagi, gue terlalu ingin cepat pulang.

Julia terlambat sadar seperti halnya gue. Kami sudah terkepung dalam lingkaran. Tidak ada lagi tembakan. Hanya ancaman dari para pasukan lawan untuk bisa mejatuhkan senjata-senjata kami. Maka begitulah cara senjata pasukan kami dilucuti.

Sampailah instruksi komandan mereka yang jelas kami bisa dengar. Kami diadili di tempat dengan mutlak, bersalah atas pemberontakan seantero Vanaheim. Hukuman mati menjadi vonisnya. Senjata-senujata mereka teracung, siap untuk ditembakkan.

“GAK HARI INI!”

Pur turun dari langit dengan keras, diikuti Laras dan Rosi.

Pur langsung bergerak lincah dalam balutan zirah emasnya. Tali temalinya mengikat senjata lawan satu persatu hingga senjata itu terbelah dua. Satu-dua kali tendangan turut mampu membuat Pur menjaga jarak dari lawan-lawannya.

Laras bergerak lebih ganas dengan pedang besarnya. Dia membenturkan sisi-sisi pedangnya ke tubuh lawan bagian mana pun. Uniknya, Laras tidak sekali pun menggunakan mata pedangnya. Baru kali ini gue melihat Laras beraksi lincah, karena saat melawan Roxxon waktu itu gue gak sempat melihat.

Rosi gak ikut bertarung. Dia merapalkan mantra dengan batu rune dalam genggamannya. Kemudian munculah kubah bergelombang berwarna emas. Kubah itu melindungi kami dari tembakan-tembakan yang masih mampu dilesatkan lawan.

“Dani masih lama?” Tanya Pur.
“Tergantung Erna.” Jawab Laras.
“Tergantung Dani lah.” Bantah Pur.
“Tergantung Erna lah.”

Laras dan Pur. Itulah tipikal mereka yang selalu bicara bolak-balik meski sedang berkelahi sekalipun.

Di saat mereka berdua berkelahi tanpa henti, tiba-tiba semua pasukan berzirah robot itu mengalami konslet. Percikan api mulai keluar dari ruas-ruas sendinya. Tak butuh waktu lama hingga mereka roboh tak berdaya. Mata robot mereka yang tadi menyala berwarna putih, kini padam. Senjata-senjata mereka terlepas begitu saja.

Kami menang?

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Episode 21
Terluka


POV Hari

“Minggir! Minggir!”

Itu kayanya Dani yang teriak. Gak keliatan. Kepala gue sekarang cuma menengadah ke langit sembari ditandu pergi entah ke arah mana. Yang menandu pun gue gak bisa tau siapa.

Panas sekali, sangat terik cuaca hari ini di Vanaheim. Pandangan gue yang tadinya silau lambat laun menjadi kabur. Lama-lama jadi pening. Gue ngantuk rasanya, letihnya gak terbayangkan. Apalagi tadi gue disuruh minum apa itu.

“Hari... Jangan tidur...”

Itu suara siapa.

“Tahan... Sebentar sakitnya...”

Itu suara siapa lagi. Sakit apa coba? Gue ngantuk banget.

Semuanya mendadak gelap. Ini gue tidur apa bukan? Tapi suara-suara yang tadi terdengar tetap masih ada. Tapi kok gelap. Tapi kok adem. Biarlah, gue mau tidur. Ngantuk banget. Badan letih.

---

POV Dani

“Hari pingsan!” Teriak gue.
“Oke, gapapa. Kita operasi di sini aja.” Rosi datang belakangan.

Beberapa orang lainnya terlibat dalam upaya operasi dadakan ini. Tidak ada dokter asli di sini, semuanya hasil belajar karena tuntutan perang. Operasi pun dilakukan di salah satu rumah penduduk tempat kami istirahat tadi.

Hari diberikan sejenis air minum yang katanya mirip campuran opium Midgard. Itu pun a diberikan dalam dosis yang dipertanyakan. Awalnya, air itu cuma diniatkan supaya jadi bius lokal. Tapi dosisnya kelebihan sampe-sampe Hari ini pingsan.

“Tolong keluar.” Rosi meminta semuanya keluar.
“Gue juga?” tanya gue.
“Satu orang boleh tinggal.”

Gue menoleh kepada Erna, Erwan, dan Julia yang mengekor di belakang. Dengan tatapan mata penuh ratap, gue meminta izin supaya gue aja yang tinggal. Semoga dimengerti.

“Gue aja.” Erna memotong.
“Eh??” Gue bengong.
“Oke yang lain silahkan keluar.” Respon Rosi tanggap.

Badan gue didorong keluar oleh salah seorang yang ditugaskan mengoperasi. Ternyata Rosi juga ikut keluar. Nah, lalu siapa orang yang mengeluarkan itu peluru-peluru dari kakinya Hari? Gue gak kenal mereka. Kalau pendarahan gimana? Cari darah yang cocok dari siapa di negeri asing begini?

Gue mondar-mandir di depan teras rumah. Gelisah.

Cuma ada Erwan bersama gue. Dia cuma diam aja sambil duduk. Sementara itu Pur dan Laras tidak ada di sini. Mereka dan banyak orang yang lainnya sedang melucuti baju-baju zirah robot milik lawan. Nantinya, mereka akan menghancurkan jembatan, merusak jalan-jalan utama, dan menutupinya dengan batang-batang besar pohon yang tumbuh di sekitar situ.

Gak jauh dari gue, Rosi menarik Julia pergi. Tapi gak cukup jauh untuk bisa gue dengar apa yang terjadi di antara mereka. Rosi marah besar sama Julia.

“Lu kenapa!? Kenapa bisa seceroboh itu!?” Bentak Rosi.
“hhhhh...” Julia membalas dengan nafasnya.
“Liat gue. Kenapa rune ini ditinggal?” Tanya Rosi lagi

Selesai cecaran pertanyaan Rosi. Julia menjelaskan pelan-pelan bahwa dia percaya dengan ramalan rune. Dia percaya inhuman bisa membantu mereka memenangkan perang. Dia percaya. Terlalu percaya, sampai melupakan hal-hal yang biasanya dilakukan saat di medan pertempuran, sebelum kedatangan kami.

“GILA!!” Suara Rosi
“Iya, sorry.” Suara Julia.
“SORRY APA. COBA KALO GUE GAK NEMU INI RUNE PAS NGEJAR ERNA, MATI KALIAN SEMUA DI DEPAN SANA!”

Baru kali ini ge melihat Rosi marah besar. Gue jadi pengen ikut meledak. Gimana mungkin Julia sang tangan kanan Raja Frey bisa jadi ceroboh karena sebuah ramalan.

Gue lantas berjalan cepat-cepat untuk menuju ke tempat mereka berantem di sana, di balik tembok. Tanpa berniat, gue mendadak langsung mendorong Julia sampai terbentur ke tembok. Punggungnya dan tembok itu menghasilkan bunyi yang dalam dan tegas.

“Gaggghhh!” Gue menggeram.

Rasanya gue mau ngeluarin semua kata-kata kotor di ujung mulut ini. Tapi gak bisa keluar satu pun. Jadi, beginilah rasanya kalau pikiran lagi kalut.

“Dani. Stop.” Rosi menahan gue.

Datang jugalah Erwan untuk melerai gue yang sebenarnya juga gak tau mau apa sama Julia. Julia pasti lebih kuat daripada gue kalau sekarang gue bertingkah makin jauh di luar kendali. Setelah akal sehat gue balik pelan-pelan, gue merasa beruntung Julia gak melawan balik.

Setelah itu, kami hanya berdiam diri di tempat masing-masing. Di jarak yang lumayan jauh antara satu sama lain.

Kurang lebih saat matahari udah condong ke tempat terbenam, barulah Erna keluar dari dalam rumah tempat operasi Hari. Kami berjalan pelan untuk segera berkerumun di depan Erna.

“Mau kabar yang mana dulu?” Kata Erna
“Tunggu, bukannya dokter yang harus bilang begini?” Erwan memotong.

Erna melotot.

“Oke, terserah.” Tanggapan Erwan.
“Kabar bagusnya, operasi berhasil. Ada tiga peluru yang aneh itu masuk di paha kanan Hari.” Jelas Erna.”

Erna menjelaskan secara gamblang bahwa pelurunya gak sampai pecah di dalam jaringan otot Hari. Lebih beruntung lagi, karena pelurunya itu gak sampai menembus ke arteri besar, padahal itu tinggal sekian centimeter lagi. Lalu, seekarang semua proyektil itu udah aman dikeluarkan.

“Berita buruknya?” Tanya gue.
“Dia gak boleh ikutan perang ini lagi.”

Erna kembali menjelaskan bahwa Hari harus istirahat. Malam ini mungkin cukup kritis buat dia, karena sistem imunnya lagi ngelawan calon-calon agen infeksius. Badannya bakal demam. So pasti, karena tempat ini gak steril sama sekali. Lalu, begitu selesai masa kritis pun dia harus nunggu semingguan sampai bisa jalan normal lagi.

Kami semua bubar dengan hanya sedikit kelegaan. Masa kritis Hari tetap bikin gue khawatir.

“Gue bilang gini dari dokternya yang di dalem ya.” Erna menghampiri gue.
“Kita pulang besok.” Gue langsung membalas jawaban Erna.

Ini memang keputusan sepihak yang mendadak. Tapi kami harus logis. Perang ini memang bukan milik kami. Tau bahwa Hari jadi begini aja udah bikin ngeri. Apalagi nanti di depan sana, pasti situasinya lebih buruk.

Gak lama kemudian, orang-orang Pur dan Laras kembali dari garis depan. Muka mereka kuyu, rautnya seolah mampu menggambarkan beratnya pekerjaan hari ini. Tapi di balik itu, mereka bersorak bahagia. Ada tawanan perang yang berbaris mengular sampai jauh ke belakang. Semuanya telanjang, hanya tersisa celana dalam yang masih sanggup menutupi kelamin mereka. Zirah-zirah robot hasil sitaan di tumpuk dalam beberapa gerobak kayu yang dibuat dadakan.

“Akses ke Kraun udah selesai diblokade.” Kata Laras.
“Mana Julia? mau lapor nih gue.” Pur dengan bangganya.

Yang muncul dari banyaknya kerumunan adalah Rosi. Dia datang dengan muka seriusnya setelah puas ngomelin Julia di sesi ketiga. Dia mengatakan bahwa semua orang penting harus segera berkumpul ke tenda besar. Tendanya Rosi dan Julia.

Berkumpulah kami. Gue, Erna, Laras, Pur, Rosi, dan Julia. Erwan tetap di luar karena merasa dirinya gak turut andil dalam perang ini. Dia hanya menunggu waktu yang tepat untuk pulang bersama-sama.

“Udah kumpul kan?” tanya Rosi.

Kami mengangguk tanpa suara. Tidak ada muka bahagia dari pimpinan kami.

“Saya minta maaf sebesar-besarnya atas kecerobohan tadi siang. Saya minta maaf sama Hari. Sama semuanya pokoknya. Kalian boleh pulang besok, biar Alex dan Anders yang antar. Jalur ke portal Midgard udah aman.” Pidato Julia.

Tepat sekali. Kami memang harus pulang. Erna meski gak sanggup menerima, dia harus tau kami harus pulang.

“Oke. Good deal. Kita emang mau pulang besok.” Jawab gue.
“Tapi...” Erna memotong.
“Aduh, apalagi, Na? Tadi kan kita sepakat.” Gue mulai ketus.

Erna menarik nafas.

“Tadi siang, saya sama Dani udah ketemu jalur frekuensi intinya mereka. Posisi pemancar dan kontrolnya juga udah ketemu. Kita bisa terusin ini sedikit lagi.” Jelasnya.
“ERNA!” Gue meninggi.

Ide gila apalagi yang Erna usulkan ini.

“Gak perlu banyak orang. Kita cuma perlu mutus jaringan mereka. Semua teknologi di dalam kota langsung lumpuh....”

Erna minta maaf sebentar sama gue, lalu dia meneruskan ide gilanya. Dia bilang cukup empat atau lima orang menyelinap ke dalam kota. Kami harus bergerak seperti hantu, lalu menghancurkan sistem mereka. Setelah lumpuh, semua menjadi terserah pimpinan pemberontak ini, mau melakukan invasi atau apa.

Erna kembali meminta hal yang mustahil. Satu, dia cukup butuh dirinya sebagai pencari sumber frekuensi. Kedua, dia butuh seorang ahli teknologi untuk merusak frekuensi itu, yang tidak lain adalah gue. Cuma gue di sini yang bisa melakukan itu. Tadi siang terbukti.

“Lu tau gue gak bakal ikut, Na.” Kata gue.
“Dani. Kita pulang abis ini.” Pintanya.
“Itu kalo masih bisa pulang kan.”

Erna terdiam sebentar. lalu, dia kembali meminta beberapa orang tambahan untuk menjaga kami. Pastilah Pur dan Laras langsung mengajukan diri jadi relawan. Yang mengejutkan adalah Rosi ikut mengajukan diri.

“Gue, Pur, sama Rosi bakal ikut nih ya." Rangkum Laras.
“Gue nggak.”
"Dani, ini semua tergantung elu.” Laras menatap gue.
“Dani, taktik gue yang mana yang pernah gagal. Lu sebutin satu, kalo ada, kita pulang besok.”

Gue gak pernah bareng Erna. Kami cuma benar-benar bersama-sama pun waktu itu setelah jadi agen lapangan. Gue memikirkan satu-satu pengalaman kami yang sedikit itu. Ada satu, momen waktu nyari kristal terrigen inhuman di kosan gue, itu ide Erna memang lumayan bagus dibanding ide gue. Terus apalagi?

Kayanya ide Erna emang gak ada yang gagal deh ya. Aduh, pusing gue.

“Pfftt...” Gue menghela nafas.
“So?” Tanya Erna.
“Jagain gue jangan sampe mati ya.” Gue pasrah,

Dengan tambahan Alex dan Anders yang udah kami kenal. Jadilah kami berenam akan berangkat. Besok, pagi buta.

---

POV Eda

“Ke mana deh ini Hari, Dani, Erna, gak ada yang bisa ditelepon.”

Gue bergumam sendiri di peron stasiun kereta Sudirman. Sore ini gue sedang menuju jalan pulang selepas dari seleksi tahap dua di perusahaan obat-obatan multinasional itu. Seleksi tahap dua artinya tahap wawancara. Senengnya bukan main. Yang namanya wawancara itu ternyata seru dan ada deg-degannya juga.

Harus menjelaskan data diri, pengalaman penelitian, pengalaman organisasi, dan lain-lain. Itu pun ternyata harus ada strateginya. Percaya diri, gak boleh anu-anu, tegas. Seru deh.

Rasa seru ini menutupi kekesalan gue tadi pagi. Padahal, tadi pagi ada yang mau ngajak ribut gue di kereta. Ada seseorang yang mikir gue mau nyolek pantatnya. Aslinya, gue cuma kesenggol sedikit karena kereta penuh. Sumpah ya gue bukan homo. Gue punya pacar lawan jenis yang cakepnya minta ampun.

Udah gitu, orang itu ikut turun sama-sama di Sudirman. Kemudian, meski keadaan ramai begitu, dia langsung mukul gue. Tiga kali gue kena tampol di muka. Abis itu, siapa yang sangka dia ditampol balik sama satu orang yang mau nolongin gue. Beberapa detik kemudian satpam langsung ngumpul. Gue diliatin orang-orang.

“Gapapa kan?” Kata satu orang yang nolongin gue.

Dia orang chinese. Mata sipitnya keliatan dengan jelas. Badannya ternyata cenderung kurus tipikal chinese yang gak suka angkat-angkat berat. Tapi tetap aja gue gak nyangka dia bisa nampol sebegitu kuat sampe orang asing tadi jatoh.

“Gapapa. Gak nyangka aja ada yang gampang tersulut di kereta.” Balas gue.
“Oknum aja itu mah hahaha. Kami kereta-ers selalu sabar kok.” Candanya.
“Bisa silat, Mas?” Tanya gue.

Gue geli sendiri. Memang udah budayanya orang Jakarta manggil laki-laki asing dengan sebutan ‘Mas’. Kadang-kadang ‘Bang’. Tapi begitu ngeliat lagi matanya yang sipit, rasanya aneh aja.

“Ah, biasa aja.” Katanya.

Selesailah basa-basi kami. Gue pamit pergi naik gojek. Dia juga pamit naik grab jemputannya. Tapi rupanya kami bertemu lagi di depan kantor obat itu. Naik lift juga bareng sampai lantai puluhan.

Kami berkenalan. Namanya Samuel. Cara ngomongnya khas banget, dengan huruf-huruf vokal yang dilebarkan, dijelaskan sejelas-jelasnya. Seperti seakan pendengar gak akan kedengeran kalau dia kurang membuka mulutnya.

Dari puluhan orang yang mengikuti tes tulis, kami ternyata pernah berpapasan tapi gak saling kenal. Baru hari inilah, setelah terseleksi dan tersisa 12 orang, kami bertemu. Itu pun secara gak sengaja di stasiun kereta.

Dengan makin banyaknya kami saling bercerita, gue tau dia tinggal di Pejaten. Hari ini, katanya, dia milih berangkat naik kereta dari Pasar Minggu karena males bawa kendaraan sendiri. Macetnya pasti gila-gilaan di daerah Pancoran dan sekitarnya. Dia juga akhirnya tau kalo gue tinggal di Depok. Di apartemen tepatnya.

“Gila, boros amat.” Tanggapnya.
“Ya gitu lah hahaha.” Balas gue.

Dia gak tau aja gue tinggal bareng pacar dan udah diizinin orang tua sendiri.

Kami pulang naik kereta lagi, tapi kini kami udah kehabisan topik bicara. Tau kan, tipikal topik umum yang layak dibincangkan sesama kenalan baru itu. Kami kehabisan topik di momen itu, apalagi sekarang kereta lagi penuh-penuhnya. Gue jadi cuma bisa liat-liat hape.

“Ke mana deh ini Hari, Dani, Erna, gak ada yang bisa ditelepon.”

Di situlah gue bergumam sendiri. Udah dua hari ini Hari dan kawan-kawannya yang jadi agen itu susah dihubungi. Anwar bilang, dia juga kehilangan Erna buat latihan band. Gue jadi khawatir ada sesuatu hal yang berbahaya lagi yang dilawan mereka.

Tiba-tiba hape gue jatuh. Kemudian, badan gue didorong seseorang dari belakang, padahal kereta lagi penuh-penuhnya. Terjadilah kericuhan yang bermulai di gerbong nomor 4.

“Elu yang tadi pagi kan!?” Kata orang yang mendorong gue.

Itu orang yang ngedorong gue tadi pagi, ternyata satu kereta lagi. Sial.

“Eda, turun.” Ajak Samuel.
“Oh, ada elu juga. Bagus.” Kata orang itu.

Turunlah kami di Manggarai. Di stasiun yang ramai itu. Terjadi perkelahian sebentar antara Samuel dan orang gila itu sebelum dilerai keamanan setempat. Gue sempet kena tampol lagi satu kali meski keamanan telah melerai. Kami dikawal ke kantor untuk menjelaskan semuanya.

Cerita versi orang gila ini lebih gila dari yang gue kira. Gue dibilang sebagai maho yang sekedar naik kereta untuk colek-colek pantat pria. Ya kali. Gue balas dengan mudahnya dan menunjukkan bukti-bukti kalau gue habis tes wawancara. Gue tunjukkan kopian formulir perusahaan, cv gue, dan banyak lagi sertifikat dalam tumpukan kertas.

Kami selamat setengah jam kemudian. Perjalanan pulang gue menggunakan kereta kembali dilanjutkan.

“Orang gila.” Keluh gue.
“Biar jadi pengalaman lucu aja.” Kata Samuel.
“Iya, tapi ini gue kena pukul lagi.”

Pipi gue bengep setelah kena pukul yang sore ini. Padahal, tiga pukulan tadi pagi gak berasa apa-apa. Mau bilang apa gue sama Rivin. Dia malah makin protektif sama gue kalo liat bekas kena tonjok ini.

Sepuluh menit di kereta, pipi gue jadi highlight orang-orang sekitar. Gue, selain ngelamun, juga memang berasa risih diliat seperti ini sembari berasa perih. Memangnya kalian orang-orang gak pernah liat makhluk berkaki dua kena tonjok sampe pipinya biru.

“Kenapa? Sakit?” Samuel nanya.
“Gapapa. Risih aja diliatin.” Jawab gue.
“Mampir ke rumah saya dulu aja. Saya punya obatnya biar mukanya gak bengkak gitu lagi. Obat cina gitu sih, tapi biasanya mempan.”

Sungguh, iming-iming yang menarik. Gue makin terus kebayang muka Rivin yang ngomel gara-gara gue kena bahaya lagi. Otomatis, gue langsung mengiyakan ajakan Samuel. Semoga lekas sembuh buat gue.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
ini bau baunya erna naksir hari

plis buat hari n dani ajeeee
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd