Episode 15
Anak Bawang
POV Akmal
Tahun 1998
Aku menonton televisi, semuanya acara berita. Bahkan, hingga waktunya aku tidur, dunia dalam berita masih tayang menyampaikan berita-berita penting yang belum selesai. Selain itu, lain juga dari sebelum-sebelumnya, ibu bapakku gak langsung pergi menimang dan menjaga Gilang. Mereka banyak sekali berbincang soal sesuatu.
Sampai di malam ketiga, aku gak tahan untuk menguping dari dalam sepetak kamar.
“Pak, besok apalagi yang bisa digoreng?” Ibu memulai pembicaraan.
“Bapak pusing, bu.” Bapak pasrah.
“Jangan pusang pusing doang pak, Gilang juga susunya abis.”
Bapak terdengar menghela nafas. Di tempatku menguping, aku gak bisa melihat apakah bapak masih bisa membakar rokok kreteknya apa nggak.
“Besok pagi coba ambil singkong aja dari kebon Pak Sulis.” Solusi bapak.
“Singkong, pak?”
“Uang bapak habis. Honor baru turun lusa, itu juga kalo jadi.” Bapak membuka masalah baru.
Belum juga pembicaraan mereka berdua selesai, Gilang udah nangis. Buru-buru aku naik ke kasur kapuk buluk untuk pura-pura tidur. Aku bisa mendengar ibu masuk kamar tak berpintu ini untuk menimang Gilang. Niscaya kalo Gilang belum bisa berhenti nangis setelah 10 menit, dia demam besoknya. Selalu kejadian.
Adikku itu baru lahir enam bulan lalu. Kata ibu, harusnya dia udah mulai dikasih asupan bubur bayi. Tapi tiba-tiba aja kondisi keuangan bapak terjun bebas. Toko jual-beli emas tempat bapak bekerja di Daan Mogot ditutup pak bos. Bahkan, bapak dengar kabar kalo pak bos mau menyelamatkan diri ke Singapura. Aku sendiri terheran-heran, orang sebaik pak bos harus menyelamatkan diri dari siapa.
Akibatnya, Satu per satu lauk di meja makan gak tesedia seperti biasanya. Dua bulan lalu, dari nasih sampai buah jeruk masih lengkap. Sebulan lalu, hanya tinggal nasi dan ikan kembung. Sejak kemarin, semua piring kosong.
“Gilang masih nangis?” Bapak datang.
“Sttt... Udah tidur.” Ibu berbisik.
“Kalau sakit lagi, bisa repot kita.” Balas bapak.
---
Tahun 2006
Aku bahagia karena menjadi satu-satunya siswa seangkatan yang bisa akselerasi di bangku SMA. Di saat teman-teman seangkatan yang lain merasa bahagia karena naik ke kelas 3, aku bahagia karena lulus tahun ini. Semua pendidikanku ditanggung beasiswa pula.
Hanya ada satu masalah, aku kurang berbaur dengan kakak kelas. Hasilnya, aku sendirian dalam upacara pelepasan siswa hari ini. Bapak dan ibu sudah kupesankan tak usah datang karena mereka gak akan ketemu orang tuanya Billy, orang tuanya Agnes, dan orang-orang tua temanku yang lainnya.
Sesampainya di rumah tanpa pintu kamar ini, aku disambut bak penganten sunat. Beberapa tetangga datang menyampaikan selamat. Pak RT bahkan menyempatkan bolos dari tempat kerjanya di kios fotokopi.
“Selamat ya, Kamal. Nama kamu itu berkah dari daerah sini.” Pak RT tersenyum lebar.
“Akmal, pak.” Ralatku.
Pak RT selalu salah menyebut namaku dari dulu. Dia juga selalu menganggap jin penunggu daerah Kamal Muara lah yang selalu berada di balik setiap keberuntunganku. Begitu Pak RT melihat mukaku, bisa dijamin dia akan teringat jin Kamal Muara yang gagal dia botolkan untuk dijual.
“Pak RT, tahun depan saya bikin KTP. Jangan salah tulis nama saya ya.” Ledekku.
“Hehehe. Gampang, itu. Gampang.” Pak RT membenarkan kopiah hitamnya.
Menjelang maghrib, orang-orang udah menghilang dari rumahku. Tapi Gilang belum juga pulang.
“Mal, cariin Gilang!” Nyokap teriak dari dapur.
“Iyaaak!” Teriakanku udah ngebass.
Aku berkeliling kampung yang jalananya becek sehabis banjir rob hanya untuk mencari Gilang. Hanya gara-gara adekku yang satu itu, sendalku biasanya suka putus begitu lewat depan rumah Bu Haji. Lumpur di sana selalu menumpuk setelah banjir sehingga sendalku pasti nyangkut.
Sayangnya, hanya bisa lewat itulah aku bisa ke tempat Gilang main. Dia pasti suka lempar batu ke jalan tol bandara, ikutan temen-temennya yang lebih gede.
“Gilaaang! Pulaaang!” Teriakku dari jarak lumayan jauh.
Teriakanku udah familiar di telinga mereka. Responnya juga selalu sama, mereka langsung lari tunggang langgang meninggalkan Gilang yang pelan-pelan nangis. Gilang, si bocah umur 8 tahun, masih cengeng, dan suka ingusan, cocok sekali buat jadi bahan bully dan adu domba teman-teman sepermainannya.
Sesampainya di rumah, Gilang sudah pasti langsung ingusan akibat aku yang kurang lihai menenangkan dia. Sisi bagusnya, kebiasaan demamnya bukan lagi ancaman.
Selepas makan malam, bapak menanyakan arah hidupku. Ini serius. Banget.
“Habis lulus mau ke mana, Mal?”
“Kuliah, Pak” Jawab gue mantap.
“Iya, bagus itu kuliah.” Bapak ngangguk.
“Pak!” Ibu memotong.
Ibu menjelaskan bagaimana keadaan ekonomi kami pasti gak akan cukup menanggung beban uang kuliahku. Padahal, aku bisa menjelaskan bahwa beasiswa itu bejibun jumlahnya, mulai dari beasiswa PPA-BBM, beasiswa macam-macam dari pemerintah, sampai beasiswa dari perusahaan swasta sekali pun. Aku pun turut harus membanggakan diri dengan kemampuanku yang cerdas. Semuanya demi satu tujuan. Kuliah di universitas negeri.
Kedua orangtuaku memang terbilang masih kolot, apalagi di lingkungan seperti ini. Ketua RTnya aja masih percaya sama keberuntungan jin Kamal Muara. Buat mereka-mereka, keuangan praktis adalah yang utama. Apa yang bisa didapat hari ini haruslah terlihat jelas. Bukan angan-angan yang dijanjikan bisa dicapai 5 atau 10 tahun kemudian.
“Bapak bukannya mau mutus semangat kamu.” Bapak bernada rendah.
“Terus apa, Pak? Bu?” Aku mulai kesal.
Dalam saat seperti ini, aku berniat kabur dari rumah. Aku pun memang bisa. Banyak yang mau menampungku karena berguna buat mereka. Agnes misalnya, yang rumahnya di Grand Wisata Bekasi, perumahan elit.
“Ini pilihan lain buat kamu. Ikut akpol.” Bapak menyodorkan formulir kosong.
Formulir kosong itu bertuliskan akademi polisi. Bapak dapat lembaran itu dari polisi yang sering minta uang kemanaan di toko emas pak bos. Bapak juga menjelaskan dengan sabar bagaimana ikut akademi polisi bisa membuat keluarga ini lebih baik. Semuanya dibiayai pemerintah dan kesempatan punya masa depan yang cerah. Apalagi aku ditunjang badanku yang lambat laun tegap berisi mengikuti postur bapak.
“Ini lebih baik daripada saran ibumu itu.” Sindir bapak ke ibu.
“Saran ibu apa emangnya?” Aku menoleh ke ibu.
“Menurut ibu, kamu jadi sopir taksi bandara lebih bagus.”
Aku geleng-geleng.
Aku tetap bersikeras untuk kuliah. Tapi, akhirnya luluh setelah berbagai alasan untuk tetap bisa menyekolahkan Gilang supaya bisa sama suksesnya sepertiku. Gilang menjadi selalu menjadi anak bawang yang disayangi keluarga, termasuk olehku. Kami semua menyayangi Gilang.
---
Tahun 2010
Aku lulus akpol sebulan lalu. Gelar Ipda sukses disematkan di depan nama Akmal Pradana, sekaligus juga menerima penghargaan sebagai taruna terbaik. Setiap gemblengan dan didikan keras akademi polisi aku terima dengan ikhlas hanya demi Gilang.
Buatku, Gilang harus meneruskan pendidikannya sampai kuliah. Biarlah bapak dan aku yang berkorban demi membiayai dia.
“Gilang mana, bu?” Aku pulang dinas sore.
“Sini, Mal...” Ibu ngajak berbisik.
Rupanya ada masalah yang tercium oleh tetangga akibat ulah Gilang. Dia mulai ikut nongkrong-nongkrong gak jelas, terbawa oleh pergaulan teman-teman SMPnya. Satu minggu belakangan, Gilang kelihatan selalu pulang dalam keadaan setengah mabuk. Mulutnya bau alkohol, kata ibu.
Tapi, label anak bawang tetaplah terikat dalam diri Gilang. Bapak dan ibu gak pernah keras. Aku pun baru tahu hari ini tentang kelakuan Gilang.
“Gak bisa dibiarin ini, Bu.” Aku bergegas pergi lagi.
Gilang juga harusnya udah pulang sekolah dari tadi siang. Tapi, dia belum pulang sekarang. Cari ke mana? Warnet? Warung rokok belakang sekolah? Lokalisasi? Semuanya saja lah kucari.
Kutemukan Gilang di warung rokok belakang sekolah. Celananya cingkrang, ketat, dan ikat pinggangnya terpasang berantakan. Badannya yang kurus tak bisa sama sekali bergerak cepat ketika aku memergokinya menghisap sebatang rokok.
“Gilang! Pulang!’ Bentakku.
Teman-temannya kocar-kacir karena kedatanganku. Mereka takut dengan baju dinas yang masih kukenakan rapi ini. Label polisi rupanya berpengaruh juga.
Gak seperti dulu, Gilang gak lagi-lagi nangis atau ingusan. Dia berubah jadi pembangkang dan menolak pulang, Teriakan parau khas ABGnya bahkan lebih nyaring dari suaraku. Setiap kata-kata yang keluar adalah hinaan kepadaku dan perlakuan keluarga yang sempurna kepadaku.
Dia gak sadar siapa yang sebenarnya jadi anak istimewa.
“Pulang!” Hanya itu pembelaanku.
Kalau bukanlah anak bawang, Gilang sudah kupukul dari tadi. Hinaannya kian melebar hingga kepada bapak. Bapak dihinanya tidak becus membina keluarga. Bapak yang tidak punya uang. Bapak yang tidak bisa membela diriku agar bisa kuliah. Bapak ini, bapak itu, pokoknya bapak haruslah menjadi jelek di mata Gilang.
“PULANG ATAU GUE TAMPAR SEKARANG!” Aku menarik kerah seragam Gilang.
Gilang terangkat sekian sentimeter dari tanah. Kakinya terayun tak berpijak. Bahkan, aku sendiri tak menyangka postur tubuhku berkembang sedemikian tinggi dan besarnya untuk bisa ditakuti Gilang.
“Pulang.” Aku ulangi sekali lagi.
Sayangnya, insiden sore itu bukan membuat Gilang menjadi anak yang lebih baik. Ada jarak yang semakin renggang antara aku dan bapak dengan Gilang. Semakin sering aku menjemput dia ke tempat nongkrongnya, semakin sering juga dia bersembunyi ke tempat nongkrong yang baru. Aku sampai harus memamerkan pistol agar teman-temannya mau berbicara soal tempat Gilang bersembunyi.
Lambat laun Gilang menjadi tidak banyak teman. Hanya segelintir orang masih mau berteman dengan dia, itu pun hanya gamers yang bisa tiba-tiba tenggelam dalam dunianya sendiri setelah duduk manis di depan komputer.
---
Tahun 2016
Gilang masuk SMK pilihan terakhir karena hasil UNnya jelek. Pergaulannya semakin gak karuan. Dia tak naik kelas satu kali. Lalu, beberapa kali aku harus menjemput ke tahanan karena terangkap sedang mabuk atau tawuran.
Selepas SMK, Gilang pengangguran. Nilainya tak cukup untuk ikut SNMPTN. Gairahnya untuk berkuliah juga luntur. Bapak dan ibu sudah habis akal, sedangkan aku sudah jarang pulang. Apalagi sejak ikut pendidikan lanjutan agar bisa naik pangkat.
Aku yang terlalu rajin juga harus dipanggil dalam pendidikan satuan satuan khusus. Tahun ini resmilah aku memiliki kualifikasi anggota intelijen keamanan. Konsekuensinya, aku harus sering berada di lapangan daripada di rumah.
Untungnya, dalam waktu dua tahun belakangan, aku sanggup mengkreditkan rumah baru untuk bapak, ibu, dan Gilang. Kami resmi pindah dari Kamal Muara ke perumahan yang lebih layak di Citayam.
Keluarga kami menjadi lebih kompeten dari hal keuangan. Aku bekerja sebagai polisi, dan bapak punya toko sepatu yang buka di Pasar Baru. Bapak jadi lebih sering nginap di toko ketimbang pergi subuh pulang malam naik kereta.
“Gilang mana, bu?” Itu pertanyaan wajib sepulangnya aku ke rumah.
“Main di bengkel kali.” Ibu udah antipati.
“Aku jemput ya.”
“Terserah.” Ibu lanjut nonton tivi
Aku menjemput Gilang ke bengkel tempat teman main barunya, Teman-temannya kali ini kurasa lebih baik. Sebagian besar dari mereka memang tak lanjut sekolah selulus SMA atau SMK, tapi mereka masih punya penghasilan. Dua dari mereka, Sunar dan Abed, bahkan sudah berkeluarga meski dari hasil kecelakaan.
Setidaknya gaya hidup mereka masih dikontrol, seolah punya pedal rem yang bisa diinjak sewaktu-waktu.
“Bed, liat Gilang?” Gue memarkirkan motor.
“Siap, Komandan. Saya baru dateng, jadi gak liat.” Abed orangnya supel.
“Sunar.” Panggil gue.
“Gilang udah jarang nongkrong di mari, Bang.” Jawab Sunar.
Ini masalah baru. Padahal, gue udah percaya Gilang akan nyaman dengan pergaulan di sini. Sayangnya, aku terlalu percaya dan melepas pengawasanku padanya.
“Ada hubungannya sama ini kali.” Sunar menyodorkan brosur.
Sebuah brosur cetakan murahan di atas kertas kuning menarik perhatian kami bertiga. Kata Sunar, Gilang tadi pagi datang, dia kesekian kalinya cerita soal tawaran seseorang untuk asrama pelatihan bodyguard. Sunar menolak mentah-mentah tawaran Gilang karena gak bisa ninggalin anak dan istri.
BADAN KECIL BUKAN MASALAH. NIAT ADALAH YANG UTAMA. Gue membaca dua kalimat propaganda itu, ditulis kapital dalam balon kata, di atas gambar Agung Hercules fotokopian resolusi kecil.
“Terima kasih ya. Saya balik.” Gue berpamitan.
“Siap, komandan!” Timpal Abed.
"jangan bilang tau dari saya ya, Bang." Pinta Sunar
"Beres lah."
Malam itu dan malam-malam selanjutnya Gilang gak pulang lagi ke rumah.
---
Awal Tahun 2017
Laporan orang hilang udah dilakukan. Pencarian selalu dilakukan olehku dan rekan-rekan sejawat di kedinasan. Hasilnya, nihil. Di sisi lain, aku beberapa kali melihat brosur yang mirip dengan yang diberikan Gilang ke Sunar. Brosur itu tertempel di di tiang listrik, tembok pabrik, dan ada juga yang terlindas di aspal sampai buluk.
Aku sempat memberikan brosur mencurigakan itu ke komandan, tapi penyelidikan terhambat banyaknya insiden kerusuhan, baik itu soal SARA atau inhuman.
“Kamu masih mau cari Gilang?” Tanya bapak di waktu liburnya.
“Sampe kapan pun, Pak.” Jawabku tegas.
“Carilah. Bapak sama ibu udah capek. Udah tua.” Kata bapak lagi.
Aku pun mencari bantuan dari jalur-jalur alternatif yang bisa menghubungkanku dengan koneksi lain. Akhirnya, sampailah aku pada kabar berita penyerangan satu kelompok teroris di Thamrin. Ada juga berita aneh yang sangat tak terduga dari Karang Tengah. Di situlah aku berhasil mencari identitas Hari Fiddi Lasya dan ibunya, temannya yang bernama Persadani Putri, serta Ernawati.
Mereka rupanya anggota A.T.C.U. Mereka inhuman. Kecuali perempuan bernama Persadani Putri itu. Mereka berkompeten dalam lima kasus terrigenesis yang kudengar-dengar telah terjadi di Indonesia. Mereka pasti bisa kumintai tolong untuk menemukan Gilang.
Beberapa rencana kusiapkan untuk bisa bertemu dengan mereka di sela kesibukanku. Untungnya, aku bertemu mereka bisa lebih cepat dan dalam keadaan yang tak direncanakan. Bahkan, aku menemukan targetku yang menyebar brosur. Hammer Tech dan Roxxon.
---
Saat ini
“Maafin... Maafin saya...” Aku menangis gak karuan.
Aku mengusap air mataku lagi setelah berhasil kuceritakan semuanya. Rasanya bebanku terangkat sebagian, berbagi dengan yang sama kompetennya untuk membantuku.
“Kalo adik lu ikut pelatihan bodyguard, pasti ulah Roxxon.” Terang Dani.
“Betul banget.” Hari ikutan ngomong.
“Bodyguard itu kekar, kaya kasusnya Eda dan kami waktu di Karang Tengah.” Jelas Dani lagi.
Jelaslah sudah bagiku kalau Hammer tech dan Roxxon adalah organisasi berbeda. Selain itu, mereka juga tidak terafiliasi, malah bersaingan untuk menciptakan manusia super.
“Saya mau ikut kalian.” Pintaku.
“Bisa diatur.” Pur nimbrung.
Pur menjelaskan dengan bahasa Inggris kepada dua agen C.I.A. Entah apa negosiasinya. Yang kutahu, kedua agen itu mengangguk setuju tanpa melewati proses debat panjang. Hari, Dani, dan Erna hanya menyimak.
“A.T.C.U. minta segala informasi yang kamu tau dari polisi.” Kata Pur ke gue.
“Deal.”
Kini aku mempertaruhkan karirku hanya untuk mencari dan menyelamatkan adik satu-satunya. Gilang, kalau kamu bisa dengar, kamu benar-benar anak bawang. Harusnya kamu bersyukur, bukan lari dari kenyataan.
BERSAMBUNG