lanjutan...
PRAAKKK....
Ujung tongkatku patah karena menghantam ubun-ubun salah seorang preman di hadapanku dan dalam sekejap saja dia langsung tak sadarkan diri. Preman yang kuhantam ulu hatinya kembali bangkit sepertinya sudah pulih dari tidurnya.
"Bangsat, lo apain temen gue! Mampus lo" Teriaknya sambil berlari menyabetkan parangnya.
Sontak aku langsung menghindar ke kanan setelah itu kupukul ujung tongkatku ke tangannya supaya parangnya terlepas dari genggamannya. Kuhentakkan kaki kiriku ke perutnya setelah itu dengan gaya memutar kuarahkan tongkatku ke pipinya dan sebagai finishing kuputar-putar tongkatku terlebih dahulu dan setelah beberapa kali putaran ku pukulkan telah ke kepalanya.
PRAAKKK ....
Arghhh....
Sekali lagi ujung tongkat kayuku patah karena kerasnya pukulkan yang kuberikan sehingga dia tak sadarkan diri, tongkatku semakin pendek sehingga tidak bisa disebut tongkat lagi dan tidak bisa dijadikan senjata jarak jauh. Ku buang tongkatku mencari-cari benda yang bisa dijadikan senjata, kalau parang terlalu beresiko mengingat aku kalau memakai senjata tajam sedikit brutal dalam situasi ini aku tak ingin ada korban nyawa, karambit yang kusampirkan di pinggang pun tak akan kupakai sampai situasiku memang benar-benar terjepit dan membahayakan nyawaku. Aku kembali menyapu pandanganku ke sekitar mencari benda tumpul, akhirnya aku menemukan kumpulan pipa besi yang berukuran sepanjang tanganku."Hmmm, cukuplah buat menahan sabetan parang mereka" ucapku dalam hati. Lalu aku pun beranjak ke lantai 3 tempat Dina disekap, darisini pun sudah terdengar teriakan kegirangan preman yang memerkosa Dina dan jeritan menyayat hati Dina. "Waduh, aku harus buru nih ntar gak dapat liveshow ntar" gumamku lagi, aku pun bergegas ke lantai 3.
Aku kini sudah sampai di lantai 3 ruko yang memang tak berdinding pembatas ini karena sedang dalam pembangunan tapi lama tak dilanjutkan pengerjaannya sehingga terbengkalai. Aku mengendap-endap dibalik sebuah tiang tak jauh dari tempatku para preman-preman keparat itu tengah mengelilingi Dina yang kulihat telanjang bulat. Apa?! Dina telanjang bulat, ya ampun, mataku kembali melotot seperti aku memelototi tubuh bugil Nadine malam itu. Payudaranya yang pas sekali dalam genggaman tangan, putingnya yang coklat kemerahan, wajahnya yang innocent, dan yang membuat mataku nyaris lepas adalah vaginanya, sebuah garis lurus dengan sedikit tonjolan yang mengintip di atasnya, warna yang merah muda pun sangat mengundang birahi namun sayang harus dikotori oleh sperma-sperma hina mat upil dan kroni-kroninya. Kuhitung jumlah mereka tak lebih dari sepuluh termasuk mat upil, sepertinya dia tak mengerahkan semua anak buahnya.
"Kampret, udah gak tahan gue, nafsuin banget nih memek, pengen gue jebol" ucap mat upil sambil menggesekkan penisnya divagina Dina.
"Ahhh ... bangsat kalian, lihat saja sebentar lagi kalian akan binasa hiks...hiks... Kak Rafa" ucap Dina dalam tangisannya, aku kaget kok bisa dia menyebut namaku, tahu darimana dia, apa jangan-jangan?
PLAKKKKK.... tamparan keras Mat Upil di pipi putih Dina
"Eh, pecun SMP jaga mulutmu ya, gak ada yang bakal nolongin lo, Kakak lo yang pengecut itu gak bakalan datang apalagi temennya yang sok jagoan itu, kemaren gue karena ngalah aja" ucap Mat Upil sambil menjambak rambut Dina.
"Cuiiih... dasar pecuundang, gak pantes lo hidup di dunia ini" ucap Dina kasar seraya meludahi wajah Dina.
PLAAAKKK.... sekali mat upil menampar Dina
"Udah, kalo diajak ngomong terus bakalan nyolot nih pecun, Be, Reng, pegangin dia, gue mau nusuk kontol gue ke memek perawannya" ucap mat upil
"T-Tapi bos, Pak Ali bilang-"
"Banyak bacot lo anjing, persetan sama si ali, udah sange berat nih gue, cepat pegangin biar gak berontak nih pecun" setelah itu babe dan gareng tak menjawab hanya menuruti kata mat upil dengan memegang erat kedua lengan dina.
"Jangaaaaaan, brengseeek, Kak Rafaaaaaa..." jerit dina pilu, aku sudah tak tahan lagi.
Mat Upil sudah bersiap-siap melakukan penetrasinya di lubang vagina dina, kepala penisnya sudah menyeruak ke dalam, aku harus bergerak, kebetulan di sebelah kananku ada tumpukan batu-bata merah, tepat sekali. Aku mengambil dua bongkah batu-bata yang keras, aku lemparkan ke atas pelan-pelan sebelum melempar batu itu ke kepala dua orang yang memegangi dina, wajah mereka tampak mesum sekali.
Saat Mat upil bersiap-siap melanjutkan penetrasinya, aku pun langsung melempar seperti melempar bola kasti secara berurutan kedua buah batu-bata yang ku pegang mengarah ke kepala mereka berdua,
SWIIIIING....
SWIIIIING....
TRAAAAKKK...
TRAAAAKKK...
Dua buah batu bata yang kulempar mengenai telak kepala mereka berdua yang sedang memegangi lengan Dina, mereka pun tumbang terhempas ke belakang dan melepas genggamannya. Mat Upil cs tampak kaget begitu pula Dina, dia melihat ke arahku, matanya masih menangis tetapi mulutnya kini menyunggingkan sebuah senyuman.
"Woi Upil brengsek, siapa yang lo bilang yang gak bakalan datang buat nyabut nyawa lo?" hardikku sambil menatap tajam kepada mat upil.
"E-e-e-eh, datang juga lo, bocah" ucap mat upil terbata-bata, wajahnya tampak ketakutan tapi langsung disembumyikannya.
"Kak Rafaaaaaa" Jerit Dina, karena tak ada yang menahannya lagi dia langsung berlari ke arahku dengan tubuh yang masih telanjang bulat, sekali telanjang bulat.
BUGHHHHH.... tubuhnya yang bugil itu kini memelukku, juniorku pun mendadak bangun
"Kakakkk, akhirnya datang juga, dina pikir kakak... hiks...hikss" dina masih memeluk erat diriku, wajahnya di benamkan seragam putihku, buah dadanya terasa sekali, ahhh tak tahan rasanya, anntara perasaaan jijik dan nafsu.
"D-D-D-Din, lo, lo, lo masih bugil din"