Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Tumanurung [LCPI 2016]

Yang kurasakan hanya kedamaian. Tidak ada kalut, putus asa dan takut seperti beberapa waktu sebelumnya. Kubuka mataku, menatap langit di Buangeng Asu yang bergerak menjauh.

Kuberikan senyum terakhirku pada dunia sebelum mengendurkan badan, sebuah
gesture perpisahan.

***

Ini bulan kedua sejak aku memutuskan kembali ke kampung, menuruti tuntutan bapakku.

Dua tahun lamanya kusembunyikan kenyataan bahwa aku dropout kuliah. Sampai akhirnya terungkap juga, ketika seorang remaja di kampungku membacanya di laman media sosialku.

“Fuck f*cebok.” Aku mengumpat, menirukan slogan tidak resmi Mysp*ce.

Lima puluh tujuh hari di puncak gunung ini, dan aku belum melakukan apa-apa. Menulis blog? Macet. Membantu di perkebunan keluarga? Terkutuklah fisikku yang lemah. Kondisi yang selalu menjadikanku bahan bully sejak kanak-kanak.

Terkutuklah bapak dan ibuku yang dulu “membuangku” ke Jakarta. Mengasingkanku di rumah keluarga yang juga tidak peduli padaku, yang membuatku memutuskan untuk menyewa kamar kos sejak SMA.

Terkutuklah perlakuan mereka yang menjadikanku tumbuh dalam depresi, sebagai kambing hitam keluarga.

***

Desa Tonrollebbi’ terletak di dataran paling tinggi Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Desa dengan dua dusun ini menempati puncak gugusan gunung La Toli, Jennae dan Nampoe; pegunungan tertinggi di jazirah Bosowa Sipilu[sup](1)[/sup]. Tonrollebbi’ berasal dari dua kata bahasa Bugis; Tonrong yang berarti dataran tinggi, dan Malebbi’, yang berarti mulia.

Dusun bawah desa ini hanya dapat dijangkau dengan berjalan sejauh 37 km dari jalan kabupaten. Kemudian menanjak, melintasi sebuah hutan untuk mencapai dusun atas, dusun eksotis dengan penghuni yang hampir semuanya berusia jompo.

Bapakku adalah Datu. Jabatan sosial setingkat raja selalu dipandang lebih tinggi daripada jabatan administratif apapun, hampir di semua suku. Tetapi menjadi Datu di desa ini adalah berbeda.

Datu Tonrollebbi’ tidak dipilih oleh masyarakat. Jabatan ini dipangku turun-temurun oleh putra tertua dari keluarga Tumanurung[sup](2)[/sup].

Legenda kampungku menyebutkan, bahwa dahulu kala, seorang putri dari Botillangi[sup](3)[/sup] turun ke dunia manusia, memilih tinggal di rumah leluhurku, menikahi putranya, dan menurunkan keluargaku. Sejak kala itu, setiap putra tertua dari keluargaku dinobatkan sebagai Datu Tonrollebbi’.

Kekuasaan dan wewenang Datu Tonrollebbi’ tidak bersifat lokal. Tuah kedatuannya menjangkau seluruh kerajaan Bugis. Raja, Arung maupun Mangkauk[sup](4)[/sup] baru dapat bertahta di wilayahnya setelah berjalan kaki mendaki gunung ke desa ini untuk dilantik oleh Datu Tonrollebbi’, di suatu tempat di dusun atas. Tetapi tuah dan kekuasaan keluargaku kini menyempit dan memburam, seiring kemajuan jaman.

Beberapa hari terakhir ini kuhabiskan dengan berjalan menuju dusun atas. Menelusuri jalan dengan rumah-rumah panggung berjajar rapi di kiri-kanan, lalu berakhir di tepi hutan.

Rasa lega selalu mengisi dadaku ketika pemukiman dusun bawah sudah terlewati. Sapaan warga kepadaku selalu diikuti dengan tatapan aneh yang membuat tidak nyaman. Membuatku merasa telanjang dan tersadar, bahwa aku memang berbeda.

Aku terlahir dengan kelainan pigmen tubuh. Kulitku terlalu putih, juga rambutku. Riwayat ketidaknormalan dan kegilaan menyertai keluargaku di setiap angkatan, dipercaya sebagai kutukan. Aku punya paman yang berkulit belang, juga seorang nenek dengan down syndrome.

Keluargaku dan seluruh warga percaya bahwa aku - dan kerabat-kerabatku yang mengalami kelainan fisik itu - adalah titipan iblis. Ini yang membuatku dikucilkan keluarga sejak kecil. Sikap penolakan pada satu anggota keluarga sudah menjadi hal yang - mereka anggap - lumrah dari masa ke masa.

Empat orang kakakku tinggal di dusun bawah. Sejak remaja mereka sudah diberi sebidang tanah dan sebuah rumah. Kebutuhan hidup mereka dipenuhi oleh bapakku, dengan kewajiban bekerja membantu di perkebunan cengkeh, ladang merica dan peternakan keluarga.

“Mari singgah, Puang....”

Seorang ibu menyapa dari beranda rumah kayunya. Aku hanya mengangguk. Berada di ibukota sejak umur dua tahun membuatku kaku akan ramah-tamah sosial di sini. Aku masih bingung, apakah harus tersenyum atau justru memasang wajah datar yang angkuh, seperti bapakku.

Di dusun atas, suasana lebih sepi. Hanya ada beberapa rumah reyot yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Rumah terakhir dihuni oleh Mak Raila, seorang nenek tuna netra yang usianya mungkin satu abad. Mak Raila tinggal bersama Mariona, anak perempuannya yang lumpuh setengah, yang usianya sudah setengah baya.

Kutemukan tempat favoritku jauh di ujung dusun; sebuah naungan teduh pohon juniper di tengah padang rumput. Padang berbentuk lingkaran dengan pagar bebatuan setinggi paha. Lingkaran batu ini disebut Barugae. Di sinilah - pada masa lalu - para raja Bugis dikukuhkan oleh leluhurku, sebelum kembali ke daerah masing-masing untuk bertahta.

Perjalanan dari dusun bawah melelahkanku. Kurebahkan diri di rerumputan yang tebal. Angin gunung yang dingin dan kering berembus, menggerakkan dedaunan.

Lena mulai mengaburkan pandanganku ketika seraut wajah muncul di atas wajahku.

“Whoa!” seruku terkejut.

“Duh, maaf. Aku bikin kaget yah?” Si pemilik wajah tersenyum. Seorang gadis dalam kebaya.

Gadis itu melangkah mundur ketika aku bangkit terduduk. Wajahnya menampakkan ekspresi meminta maaf.

“Kamu bisa bicara, kan?” Gadis itu bertanya ketika aku tak kunjung bersuara.

“I-iya..”

“Kamu dari dusun bawah ya? Aku belum pernah lihat kamu sebelumnya,” tanyanya lagi.

“I-iya..”

“Kamu bukan cuma bisa bilang ‘i-iya’ kan?”

“I-iya..”

Gadis itu sontak tertawa keras sekali hingga bahunya terguncang-guncang.

“Eh, maksudku tidak, eh, iya....”

Seorang gadis mempermainkanku dengan pertanyaan paradoks sederhana. Seorang gadis yang jelas usianya lebih muda. Kulitku yang - terlalu - putih tentu menampakkan rasa maluku.

“Hei... Maaf, aku hanya bercanda,” katanya dengan suara lembut. Benar-benar lembut, seperti gema.

Aku hanya tersenyum kecut.

Orang yang sejak kecil di-bully dan dikucilkan tentu tidak suka bercanda.

“Aku Ressa. Kamu siapa?” tanyaku mengulurkan tangan.

“Saira,” jawabnya sambil mengatupkan kedua telapak tangan.

Masyarakat di dusun ini masih sangat erat dengan animisme dan dinamisme. Jika seorang wanita tidak bersedia berjabat tangan dengan seorang pemuda, maka dapat dipastikan itu bukan karena alasan agamis. Alasannya hanya satu...

“Kamu Tumanurung juga?” tanyaku terang-terangan.

“Kata orang-orang sih begitu,” jawabnya sambil duduk di sampingku, memeluk lutut.

Baru kali ini seseorang tidak berlama-lama menatap kelainan fisikku, pada kali pertama bertemu. Raut wajah dan nada suaranya terlihat dan terdengar tidak terlalu senang ketika berbicara perihal status sosialnya, persis denganku. Sebuah kesamaan yang melahirkan keakraban seketika.

“Rumahmu di dusun atas, kan? Yang mana persisnya?” tanyaku.

“Jelas terlihat, kok. Rumah paling besar dengan warna kuning mencolok, hihi...,” jawabnya terkikik.

Kami mengobrol sepanjang pagi sampai tengah hari. Perkenalan diri, keluarga, tetangga. Tidak satupun nama kami kenal bersama. Dengan geli kusadari bahwa aku benar-benar asing di desa ini.

Sebuah pesawat terbang melintas jauh di atas. Sosoknya terbias oleh prisma kristal bebatuan Barugae, menghasilkan bayangan kecil yang merayap di tanah dan rerumputan, seperti hewan pengerat.

“Itu apa?” tanya Saira.

“Apa?” sahutku. Tidak mengerti apa yang ditanyakannya.

“Itu, yang di atas itu. Itu bukan burung, kan?”

Kutatap Saira dengan heran. Mencoba menerka, apakah dia bercanda seperti beberapa saat sebelumnya. Ketika kusadari bahwa dia bertanya dengan sungguh-sungguh, kujelaskan dengan ragu-ragu.

“Jadi maksudmu, di dalam benda itu ada manusia? Semacam kendaraan?” tanyanya dengan mata berbinar takjub.

Sulit dipercaya, masih ada masyarakat dengan tingkat sosialisasi dan informasi se-terbelakang ini.

Obrolan kami terinterupsi oleh dering ponselku. Ringtone indikator pesan baru.

We Datu said:
Kamu dicari Wak Datu


Bapakku terlalu malu punya anak sepertiku. Bahkan memanggilku dilakukannya lewat ibuku.

“Iyaa, baik...,” gerutuku pelan.

Saira terkikik geli melihatku menggerutu ke layar ponselku. Tangannya bergerak menyampirkan rambut ke belakang telinga. Manis sekali.

Matahari mulai tergelincir ke arah terbenamnya ketika aku berpamitan. Sesaat tadi kami berjanji, bertemu kembali di tempat itu keesokan hari.

Untuk pertama kalinya selama seperempat abad kehidupanku, seseorang membuatku menantikan pertemuan kedua.


***

“Dia ada di luar. Dari dusun atas. Jalan-jalan, katanya,” jawab ibuku.

“Kerjanya cuma jalan-jalan tidak jelas. Kerja yang benar tidak mampu, disekolahkan malah bikin malu.”

Aku tersenyum sendiri di luar kamar mereka.

Bukankah aku sudah membuat kalian malu sejak mula aku dilahirkan?

***

Aku nyaris bertabrakan dengan dua sosok manusia ketika sedang berjalan memasuki lingkaran Barugae.

“Whoa!” seruku terkejut.

“Eh, Puang, maaf bikin kaget...,” kata seorang di antaranya.

Ternyata keduanya adalah pamanku, adik sepupu ibuku.

“Eh, Wak Sappe, Wak Kesang. Mencari saya?” tanyaku.

“Tidak, Puang, cuma mencari sinyal. Di Barugae sinyalnya kuat.” Sahut Wak Kesang yang sedang memegang ponsel.

“Puang Ressa mau ke mana?” tanya Wak Sappe.

“Mau bertemu teman. Itu, yang sedang duduk di situ,” jawabku sambil mengangguk kepada Saira yang tersenyum ke arahku.

“Wak berdua pulang saja. Jangan mengganggu anak muda,” kataku sambil tertawa.

Wak Kesang dan Wak Sappe tersenyum dan menggelengkan kepala.

Hihi, kalian kan pernah muda juga.

***

“Bagaimana kalau besok kita ke Buangeng Asu?” kata Saira siang itu.

“Buangeng Asu?” tanyaku.

“Air terjun paling besar yang letaknya paling jauh dari sini. Konon dulu tempat menghukum mati pelaku kejahatan. Perbuatan-perbuatan hina yang dianggap serendah anjing. Letaknya di sebelah sana...,” ujar Saira sambil menunjuk lurus ke jalur sempit di sela pepohonan.

“Terlihat terjal dan berbahaya...,” ujarku.

“Justru asyiknya di situ, kan?” Mata Saira berbinar-binar menatapku. Raut jenaka yang mempesona.

Ini pertemuan kami yang ke-sekian kali. Tidak ada kecanggungan lagi.

“Tapi kau tahulah, ketatnya aturan bepergian bagi wanita di kalangan kita...,” ucap Saira lirih memeluk lutut.

Mengamatinya duduk di sampingku dengan keluh, membuatku merasakan perasaan sayang yang akut. Kira-kira apakah dia marah jika kupeluk?

“Sebenarnya, aku tidak tahu. Kakakku laki-laki semua,” kataku pelan.

“Kita sepertinya bersepupu yah...,” lanjutku.

“Memangnya kenapa?” Saira menoleh bertanya. Seperti merasakan nada menyayangkan dalam ucapanku.

“Ti-tidak, bukan apa-apa,” jawabku tergagap.

Saira menatapku lama. Matanya seperti menembus ke pikiranku yang terdalam. Lalu dia tersenyum.

“Kau tahu, hubungan sedarah di keluarga kita bukan hal yang baru, lho....”

Sekarang aku benar-benar malu. Gadis cantik ini tidak hanya menerka isi kepalaku, tetapi juga menanggapinya.

Ketika aku - hanya bisa - terdiam, Saira melanjutkan,

“Aku pernah dengar obrolan berbisik orangtuaku, tentang asal mula sebenarnya dari Tumanurung.”

“Jadi, pada mulanya di sini hanya ada beberapa keluarga, semuanya setara. Hingga suatu saat, seorang di antara mereka ingin menjadi lebih dari yang lainnya. Bukan sekedar ingin memimpin, tetapi ingin dimuliakan dalam semua segi kehidupan.”

Mengamati Saira berbicara dengan lancar, membuatku semakin terpesona. Kata-katanya mengalir lancar, menunjukkan potensi wawasan yang luas, namun tidak berkembang karena isolasi budaya. Aku selalu berprinsip bahwa kecerdasan adalah kecantikan yang baru. Saira cerdas dan rupawan, dan, ah, sudahlah....

Saira melanjutkan cerita. Syahdan, pria ini mempunyai istri kedua yang berdiam jauh di daerah lain. Tidak ada yang tahu, termasuk istrinya yang pertama. Dari istrinya yang kedua itu, dia memiliki seorang putri berusia satu tahun.

Suatu waktu, diaturnya sebuah rencana. Putrinya itu diberi pakaian yang indah lalu disembunyikannya di hutan di dekat desa Tonrollebbi’. Pria itu lalu kembali ke desa, dan membuat pengumuman tentang penampakan sebentuk cahaya yang dilihatnya jatuh dari langit ke tengah hutan. Warga lalu beramai-ramai mencari.

Ketika sang anak ditemukan, muncullah keyakinan bahwa anak itu adalah penghuni langit yang turun ke bumi. Tumanurung pertama.

Dengan akal sederhana, sang bapak mengatur suatu rembuk warga untuk menentukan siapa yang berhak untuk membesarkan sang Tumanurung. Diusulkannya agar sang Tumanurung yang memilih sendiri.

Putrinya yang sudah menangis ketakutan sejak ditinggalkan di hutan, langsung berlari dan menghambur ke arah sang bapak. Keputusan diambil. Gelar dan kemuliaan kemudian diatur setelahnya, turun temurun hingga kini.

Yang membuatku bergidik adalah ketika Saira menjelaskan, bahwa sang bapak kemudian menikahkan sang Tumanurung dengan putranya dari istri pertama. Sang Tumanurung dibuat yakin bahwa dia adalah orang lain. Ini untuk mempertahankan keturunan Tumanurung tetap ada dalam keluarganya.

***

“Jadi menurut cerita ini, Tumanurung pertama melakukan pernikahan sedarah?” tanyaku ketika Saira selesai bercerita.

“Menurut kisah ini, ya. Tetapi belum tentu benar,” katanya tersenyum.

“Kok aku tidak pernah mendengar cerita ini sebelumnya?”

“Hanya cerita berbisik, kan,” ujar Saira datar.

Hari beranjak sore tanpa terasa.

“Besok kau ada kegiatan?” tanya Saira.

“Selain bersantai di sini? Tidak,” jawabku tersenyum.

“Kalau begitu besok temani aku ke Buangeng Asu!” serunya riang. Keriangan yang menular.

“Kalau aku berhalangan?”

“Kutunggu di sana sampai kau datang, haha....”

“Kalau kau membuatku menunggu, kau akan kusuruh terjun di sana!” teriaknya lagi ketika aku mulai berjalan pulang.

Kutolehkan wajah, membalas senyumannya yang berlesung pipi. Sebuah keindahan surgawi.

***
 
Terakhir diubah:
Rumah Datu adalah rumah panggung besar dengan warna kuning menyala; simbol kemegahan, kekuasaan dan kemewahan Botillangi’. Rumah ini setiap hari ramai dikunjungi warga dan keluarga.

Sebagian besar waktuku di rumah kuhabiskan dengan mendengarkan percakapan orang-orang lain. Obrolan bapakku dengan paman-pamanku, kakak-kakakku, atau percakapan lirih bapak dan ibuku. Hanya ibuku yang mau mengobrol denganku, itupun dilakukannya hanya jika ada perlu. Menjadi kambing congek albino adalah hal yang mulai kuanggap biasa.

Hingga suatu hari, ketika sedang duduk di beranda, kudengar obrolan yang menyentuh area baru dalam benakku.

"Dia bukannya tidak mampu bekerja, Daeng saja yang tidak memberinya kesempatan membuktikan diri. Berilah dia kesempatan-," kata ibuku.

"Kesempatan untuk menyentuhkan tangan terkutuknya di tanaman yang akan kita makan? Menularkan sengatan iblis yang dia bawa dari Uriliu’?" Terdengar Bapakku menghardik dengan murka.

Kalimat demi kalimat terlontar seperti sembilu. Mengiris dan menyakiti perasaanku kata demi kata. Bertahun-tahun diasingkan tidak membuat hatiku mati rasa. Jika warga segan bergaul denganku karena tuah bapakku, namun keluarga mengucilkanku karena iblis dalam diriku, maka siapa sebenarnya aku?

"Dia cukup beruntung karena aku masih sudi membiayai hidupnya, setelah dia membuatku malu dengan kuliahnya yang tidak selesai," lanjut bapakku.

Ibuku menyela, "Daeng-daengnya malah tidak ada yang kuli-"

"Karena mereka memang memilih berhenti bersekolah dan kembali mengabdi!" sergah Bapakku.

"Apa Daeng memberi Ressa pilihan, dengan mengirimkannya jauh ke Jakarta?" Suara ibuku terdengar bergetar.

"Daeng, walaupun benar dia adalah kutukan dari Uriliu’, dia tetap keluar dari rahimku, dari nutfahm-"

"Jangan pernah berani menyebutnya sebagai anakku! Aku sudah cukup merendahkan diri dengan memberinya gelar seperti anak-anakku, dengan membiarkannya berkeliaran di desa, memamerkan kutukannya!"

"Daeng, biarkanl-"

"Cukup! Mulai besok, kularang anak iblis itu keluar rumah! Kau bilang padanya! Dan pembicaraan ini berakhir," tandas bapakku.

Kemudian hening. Kesunyian yang menyiksa.

Untuk apa kalian membiarkanku hidup jika perlakuan ini yang akhirnya ditimpakan padaku? Untuk apa gelar Andi Bauk disematkan di depan namaku - Andi Bauk Mapparessa - jika di mata kalian, aku bahkan tidak layak disejajarkan dengan manusia?

Dengan gontai kutinggalkan beranda, berjalan pelan menuju kamarku di bagian rumah paling belakang. Kumatikan lampu lalu merebahkan diri di atas dipan. Gaung percakapan bapak dan ibuku terus berulang.

Seketika kelebatan ingatan menyeruak ke dalam kepalaku.

Persetan dengan strata sosial yang kalian agung-agungkan!

Kuraih ponselku. Layarnya yang lebar berpendar, menjadi satu-satunya sumber cahaya di dalam kamarku yang gelap, ketika kubuka akun blog-ku. Seperti punya pikiran sendiri, kedua ibu jariku mulai menari.

Ketika kemudian kuangkat pandanganku, menatap bayangan wajahku yang terpantul di bias jendela, seraut wajah balas menatapku di sana. Wajah albino dengan senyum mengerikan dan bibir terbuka.

***

Dasar iblis! Aku sudah tahu sejak dulu, kau memang ata paling ata[sup](5)[/sup]!

Buk! Buk! Buk! Prang!

Pukulan demi pukulan dilayangkan bapakku ke wajah dan tubuhku, diikuti suara kaca pecah, ketika tubuhku terlontar membentur lemari bercermin.

"Apa maksudmu menuliskan itu semua, hah???"

Tunggu. Tahan sebentar. Apa yang membuat bapakku sedemikian murka? Mari memutar waktu beberapa saat ke belakang....

Dua malam yang lalu, sebuah feature kulayangkan ke semesta, melalui blog-ku yang memang ramai pembaca. Sebuah ulasan panjang yang sinis, tentang skenario alternatif lahirnya budaya Tumanurung dan taksonomi sosial masyarakat Bugis. Sebuah narasi yang sebenarnya ditulis tanpa riset dan minim narasumber, dimaksudkan sebagai satir yang tidak serius. Semua kutuliskan berdasarkan cerita berbisik yang disampaikan Saira padaku, beberapa hari yang lalu.

Tumanurung khawatir bahwa darah bangsawan mereka tidak lagi matase’ (murni), sehingga pernikahan dengan keluarga lain sangat dibatasi.

Pada beberapa generasi, bahkan dilaksanakan perjodohan antar sepupu untuk menjaga kemurnian silsilah dan gelar. Hal ini menjelaskan timbulnya lingkaran abnormalitas, kelahiran prematur dan cacat bawaan yang muncul hampir periodik.


Pada mulanya hanya dibaca. Kemudian dalam beberapa jam, laman ini mulai ramai dibagikan, diulas kembali dan dikomentari.

Seorang akademisi bergelar doktor bahkan melakukan komparasi terhadap artikel yang kutulis ini dengan I La Galigo [sup](6)[/sup]; sebuah naskah sejarah dan budaya Bugis paling tua.

Masyarakat Bugis seketika digegerkan oleh isu kepalsuan yang kronis dan menahun. Tatanan kehidupan yang sudah dikuatkan ratusan tahun oleh prasasti, buku silsilah dan Lontarak Latoa[sup](7)[/sup], mengalami guncangan oleh suatu rangkaian kalimat iseng nan sepele.

Namun yang memicu kemurkaan bapakku adalah kalimat penutup yang kusematkan di akhir paragraf. Kalimat yang membuat segala kecaman, ancaman dan hujatan mengarah dan berpusat kepada Bapakku, sang Datu Tonrollebbi’.

Ditulis oleh Andi Bauk Mapparessa; putra Datu Tonrollebbi’.

Puluhan telepon dan ratusan pesan singkat meneror bapakku sejak berita ini menimbulkan kegegeran. Para pejabat dan keturunan raja-raja Bugis meminta jawaban. Bapakku dikecam dan dianggap bertanggungjawab atas penistaan budaya dan wibawa.

Hal yang membawanya merangsek murka ke kamarku, pagi-pagi buta.

Jadi di sinilah aku sekarang. Berbaring meringkuk, belum sempat berdiri tetapi masih tersenyum.

Rasanya lucu, bahwa seingatku, baru kali ini bapakku berbicara langsung padaku, hihi....

“Kau senang, hah??? Kau senang karena sekali lagi membuatku malu???”

Buk! Buk! Buk! Tendangan bertubi-tubi bersarang di punggungku.

Kulirik sekilas ke arah pintu, beberapa kepala mengintip ke dalam, wajah-wajah warga yang penasaran dan - beberapa di antaranya - penuh kebencian. Juga seraut wajah ibuku, basah oleh air mata, namun dingin tanpa ekspresi.

“Aku tidak menulis itu seandainya Wak Datu tidak melarangku meninggalkan rumah...,” sahutku.

“Agar kau bisa berkeliaran membuatku lebih malu lagi??? Berbicara dan tertawa-tawa sendiri???” sergahnya.

“Apa???” sahutku tajam sambil berdiri. Kuabaikan rasa nyeri di sekujur tubuhku. Kuusap darah yang mengalir di sudut bibirku.

“Sappe! Kesang!” Bapakku berteriak memanggil kedua pamanku. Yang dipanggil berlari-lari masuk ke kamarku.

“Katakan pada anak ini, apa yang kalian lihat selama kalian membuntutinya.” Bapakku memerintah.

“Aku dibuntuti??? Kenapa???”

Tidak ada yang menanggapi.

“Puang Ressa setiap hari ke Barugae, Wak Datu. Duduk di bawah pohon dan berbicara sendiri sampai sore,” kata Wak Kesang.

“Dusta! Aku berbicara dengan Saira, gadis dari dusun atas!” sergahku, “Wak Kesang, Wak Sappe, kenapa kalian begini???”

“Di dusun atas tidak ada gadis, Wak Datu,” jawab Wak Sappe menyanggahku.

Ini gila! Aku menghambur keluar kamar, berlari sekencang yang aku bisa. Bapakku berteriak meminta semua orang mengejarku.

Wajah-wajah penasaran bermunculan di sisi jalan, di beranda dan kolong rumah, memandangiku berlari membelah dusun. Lebam dan bilur di wajah dan tubuhku tentu terlihat jelas, karena warna kulitku yang terlalu terang.

Kakiku yang lemah membawaku ke dusun atas. Kuarahkan pandangan ke sekeliling, mengamati satu per satu rumah reyot yang berjajar rapi. Seperti anjing gila, aku berlari berkelok-kelok, menengadah, mencari rumah paling besar dengan warna kuning mencolok yang dikatakan Saira.

Rumah itu tidak ada.

Dengan panik aku terus berlari, nyaris bertabrakan dengan Wak Kesang, sang pemimpin pengejaran.

“Puang Ressa, mari kembali ke rumah Wak Datu. Kita bicarakan di sana....”

Bicara?

Aku tertawa keras sekali, ketika kurasakan ironi yang benar-benar lucu dari ucapan Wak Kesang. Tawa yang membuat mereka yakin; aku benar-benar gila.

Kukencangkan lagi langkah kakiku, berlari menuju Barugae. Mungkin Saira di sana. Dengan sabar, Wak Kesang dan beberapa pamanku terus mengikuti.

Aku berlutut pasrah ketika Saira tidak kutemukan di Barugae.

“Puang Ressa, mari kita pulang….” Wak Kesang menghampiriku, duduk di sebelahku.

“Saira itu nyata, Wak!” seruku, lebih terdengar seperti upaya meyakinkan diri sendiri.

“Puang, jika ini bisa membantu, lihat ini…,” Wak Kesang menyodorkan ponselnya.

Videoku. Suaraku. Duduk sendiri di sini.

Terlihat terjal dan berbahaya...,

Sebenarnya, aku tidak tahu. Kakakku laki-laki semua,

Kita sepertinya bersepupu yah…,

Ti-tidak, bukan apa-apa,


Sendiri.

“Puang Ressa…,” Wak Kesang meletakkan tangannya di bahuku.

Aku mulai menangis ketika terngiang suara Saira,

Bagaimana kalau besok kita ke Buangeng Asu?

Letaknya di sebelah sana….


Kumantapkan hati sebelum bangkit dan kembali berlari….

***

Mariona sedang menyalakan lampu minyak di beranda, ketika ibunya, Mak Raila, bertanya dari dalam rumah,

“Sudah dua hari ini kudengar ada yang ribut-ribut di luar. Kamu tahu ada apa?”

“Tidak jelas, Mak. Tapi kata orang-orang dua hari lalu ada yang jatuh di Buangeng Asu.”

“Siapa?” tanya Mak Raila.

“Salah satu Tumanurung.”

“Hehe, lucu... Rumah Datu dipindahkan dari dusun ini ke dusun bawah, juga setelah ada Tumanurung yang jatuh di sana. Berpuluh-puluh tahun yang lalu.”

Mariona dan Mak Raila hampir tidak pernah turun dari rumah karena kondisi fisik mereka. Suara Mak Raila terdengar lirih ketika melanjutkan berbicara.

Nenekku mendengar dari ibunya, bahwa dulu sekali, seorang gadis dari keluarga Tumanurung menjatuhkan diri di sana, karena gila.

“Disebutkan, namanya Saira. Gadis cantik dan cerdas, anak kedua dari Datu Tonrollebbi’ masa itu. Semua orang sayang padanya.”

“Tetapi kemudian Saira didapati sering duduk di Barugae, berbicara sendiri. Orang-orang mulai yakin dia gila ketika dia juga sering berteriak dan menunjuk ke udara, ‘Burung besi kendaraan manusia,’ katanya.”

Mariona hanya terdiam mendengarkan.

“Dia berlarian sambil menangis di seluruh dusun, atas dan bawah. Lalu melewati hutan ke tepi teratas Buangeng Asu, menjatuhkan diri dan mati.”

“Hatinya hancur ketika mengetahui bahwa pria yang selama ini diajaknya berbicang, yang mulai dicintainya, sebenarnya tidak ada. Seorang pria berkulit putih, katanya, yang selalu membawa sebuah kotak yang bercahaya dan bernyanyi....”

***

Terima kasih kepada Jaya Suporno, untuk proofread dan diskusinya.

Semoga terhibur warga 64.237.43.94 sekalian…

***

Catatan :

(1)Bosowa Sipilu adalah satu rumpun yang terdiri atas enam wilayah Bugis; Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang dan Luwu.

(2)Tumanurung merupakan kaum paling dihormati dalam budaya Bugis. Dipercaya sebagai keturunan penghuni kahyangan yang diturunkan ke bumi untuk menjadi Raja. Tau Manurung berarti orang yang turun dari langit.

(3) Botillangi, Lino dan Uriliu’ adalah tiga lapisan alam semesta menurut pandangan Bugis kuno. Botillangi dihuni oleh para dewa. Lino adalah dunia kaum fana. Adapun Uriliu’ adalah representasi neraka, sebagai lapisan alam paling rendah.

(4) Arung dan Mangkauk adalah gelar raja Bugis di daerah-daerah lain.

(5) Ata merupakan lapisan kasta paling rendah dalam taksonomi sosial Bugis.

(6) I La Galigo adalah naskah kebudayaan Bugis yang merupakan epos terpanjang di dunia, sejauh yang dikenal manusia. Panjangnya mengalahkan kisah Mahabharata. Potongan salinannya tersimpan di Makassar, Belanda dan Malaysia.

(7) Lontarak Latoa adalah buku panduan kuno pejabat kerajaan Bugis pra-Islam.

Istilah, gelar dan sapaan dituliskan sebagaimana adanya.

Nama Desa Tonrollebbi’ adalah fiksi. Pelaku, perilaku, titipan iblis dan cerita berbisik dalam cerita ini juga fiksi dan dramatisasi.

Tetapi desa tersebut benar-benar ada, dengan budaya yang mirip seperti yang diceritakan.

Air terjun Buangeng Asu dan Barugae benar-benar ada.
 
Terakhir diubah:
Beneran udah rilis...:takut:

Sek, tak baca dulu..:baca:

Edit.

Well, I have no words anymore...

Just speechless, speechless, and speechless...:ampun:
 
Terakhir diubah:
Well, i've done sist...

Sebuah cerita yang "brrrrr", gak tahu harus ngomong apalagi, saran dan kritik, ndak ada sist...

Terima kasih sudah menulis cerita yang benar-benar mengalir lembut,


Pantas menjadi yang terbaik, like this
 
^
^^
^^^
ini pada melongo:ngupil: kenapa yaa... udah baca belum tuchhh...
kalau ane belum:bata: baca...
:Peace: mau berangkat jumatan dulu.. nanti tak lanjut...
baru sempat intip-intip dikit...:D


hah!:kopi::baca:
:takut:
[size=+2]Saira![/size]

dua kurun waktu bertemu di lempeng batu...
:pusing:
jadiiii,,, mbah buyut ketemu cicit ini yaaa... Sejarah yang Agung menjadi 'teori' konspirasi..
 
Terakhir diubah:
Kembali dibuat spicles, heran, kaget, kagum dengan tulisan Agan Croot. Nyaman banget ngikutin penceritaannya, sampe kelupaan jumatan.

Konsepnya mateng dan teliti, sejarah yang diangkat cukup berani, dengan penggabungan konsep psikologi yang membuat diri.. ahhhh...
Intinya...

Woow... woow

Bring me the horizon, Buangeng asu
 
Gak tau kudu komentar apa
Semacam gabungan project astral dan time traveller.
Jika ressa hidup di jaman ini, entah saira hidup di jaman apa
;)

Sangat worth untuk jadi juara
:jempol:
 
Wah.tomanurung ya..cuma ngerti dikit" dulu wkt belajar kerajaan" bugis..
Keren sis..:mantap:
Cipok dulu ahhhh :cup: :cup: :sayang: :kangen:
 
Sekian lama Boa menjadi member, baru tahu kalau LilCR san adalah seorang wanita. Fufufufu...
Semoga kecantikannya tidak lebih dariku.
Tulisan tidak usah dikomentari, karena seperti yang sudah2 Lil san memang diatas rata-rata. Keren^^
Suka warna hijau?
Sayangnya aku hanya punya abu2, semoga suka.
 
Kembali tak bisa kasih komen lebih...

Hanya bisa bilang... Mantap non... :jempol:

Nubi kasih :cendol: lima mangkok aja ya..., biar segerrrr...
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Ini gile. Baru kali ini ada cerita daerah yang digabung ama mindfuck. Bagus banget bisa gambarin detail TKP. Bahkan juga tentang adat istiadatnya. Seperti biasa pemilihan kosakata yanv pas bikin cerita ini berbobot.

Well, ane nggak tahu budaya bugis seperti apa. Tapi overall pesan yang tersirat udah ngena banget. Salut buat suhu litle crot. Ceritanya bagus.
 
Bingung....sama mbuletnya dengan insomnia.
Congrat deh sis. Moga yang ini bisa juara :jempol:
 
Beneran udah rilis...:takut:

Sek, tak baca dulu..:baca:

Edit.

Well, I have no words anymore...

Just speechless, speechless, and speechless...:ampun:


:ampun:


Widihhh... akhirnya rilis juga.

Gak bisa ngasih kritik dan saran sist croot.

Kah ikatte mi ntuh yang jadi juarana cika.
:jempol:

Menambah wawasanku ces tentang tanah kelahiranku. Thanks atas ceritanya yang begitu luar biasa.

:beer:


:ampun:


Kyaaaaa.......:takut:

Super sekali om....


:ampun:

Terima kasih, suhu... terima kasih cappo'...
Semoga suka...
:)
 
Well, i've done sist...

Sebuah cerita yang "brrrrr", gak tahu harus ngomong apalagi, saran dan kritik, ndak ada sist...

Terima kasih sudah menulis cerita yang benar-benar mengalir lembut,


Pantas menjadi yang terbaik, like this


:ampun:


[size=+2]Saira![/size]

dua kurun waktu bertemu di lempeng batu...
:pusing:
jadiiii,,, mbah buyut ketemu cicit ini yaaa... Sejarah yang Agung menjadi 'teori' konspirasi..
[/center]


:ampun:


Sebuah karya yang indah sis croot. Bener2 gak nyangka bakal terhubung ama konsep tumbukan ruang dan waktu. Jadi kaya nonton sixth sense, tapi ini bener-bener khas mistis ala Indonesia. Alur dan pemilihan kata2 yang memanjakan para pembaca.

you...are...the man brada :beer:


:ampun:

Sudah lama pengen nulis fiksi ilmiah, tpi pengetahuan dasar nubi masih gak memadai. Jadilah dijejalkan dengan unsur etnis semi-mistis, hihi..

Terima kasih, suhu.. terima kasih, bross..
 
Bimabet
Kembali dibuat spicles, heran, kaget, kagum dengan tulisan Agan Croot. Nyaman banget ngikutin penceritaannya, sampe kelupaan jumatan.

Konsepnya mateng dan teliti, sejarah yang diangkat cukup berani, dengan penggabungan konsep psikologi yang membuat diri.. ahhhh...
Intinya...

Woow... woow

Bring me the horizon, Buangeng asu


:ampun:


Gak tau kudu komentar apa
Semacam gabungan project astral dan time traveller.
Jika ressa hidup di jaman ini, entah saira hidup di jaman apa
;)

Sangat worth untuk jadi juara
:jempol:


:ampun:

Wah.tomanurung ya..cuma ngerti dikit" dulu wkt belajar kerajaan" bugis..
Keren sis..:mantap:
Cipok dulu ahhhh :cup: :cup: :sayang: :kangen:


:ampun:


Nganu, nubi pengen banget bicara banyak ttg budaya pernikahan darah biru, tpi cuma brani nyentil lewat fiksi murni.

Cuma pengen ngulangin aja; pembatasan pernikahan (mesti sesama darah biru) itu ada dan terjadi hampir di semua suku di dunia. Adapun ttg "cerita berbisik" dan lingkaran abnormalitas itu murni karangan aja...
:)

Terima kasih, master ucil, bro nos, bu nick...
:D
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd