Yang kurasakan hanya kedamaian. Tidak ada kalut, putus asa dan takut seperti beberapa waktu sebelumnya. Kubuka mataku, menatap langit di Buangeng Asu yang bergerak menjauh.
Kuberikan senyum terakhirku pada dunia sebelum mengendurkan badan, sebuah gesture
perpisahan.
***
Ini bulan kedua sejak aku memutuskan kembali ke kampung, menuruti tuntutan bapakku.
Dua tahun lamanya kusembunyikan kenyataan bahwa aku
dropout kuliah. Sampai akhirnya terungkap juga, ketika seorang remaja di kampungku membacanya di laman media sosialku.
“Fuck f*cebok.” Aku mengumpat, menirukan slogan tidak resmi Mysp*ce.
Lima puluh tujuh hari di puncak gunung ini, dan aku belum melakukan apa-apa. Menulis
blog? Macet. Membantu di perkebunan keluarga? Terkutuklah fisikku yang lemah. Kondisi yang selalu menjadikanku bahan
bully sejak kanak-kanak.
Terkutuklah bapak dan ibuku yang dulu “membuangku” ke Jakarta. Mengasingkanku di rumah keluarga yang juga tidak peduli padaku, yang membuatku memutuskan untuk menyewa kamar kos sejak SMA.
Terkutuklah perlakuan mereka yang menjadikanku tumbuh dalam depresi, sebagai kambing hitam keluarga.
***
Desa Tonrollebbi’ terletak di dataran paling tinggi Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Desa dengan dua dusun ini menempati puncak gugusan gunung La Toli, Jennae dan Nampoe; pegunungan tertinggi di jazirah Bosowa Sipilu[sup](1)[/sup]. Tonrollebbi’ berasal dari dua kata bahasa Bugis;
Tonrong yang berarti dataran tinggi, dan
Malebbi’, yang berarti mulia.
Dusun bawah desa ini hanya dapat dijangkau dengan berjalan sejauh 37 km dari jalan kabupaten. Kemudian menanjak, melintasi sebuah hutan untuk mencapai dusun atas, dusun eksotis dengan penghuni yang hampir semuanya berusia jompo.
Bapakku adalah Datu. Jabatan sosial setingkat raja selalu dipandang lebih tinggi daripada jabatan administratif apapun, hampir di semua suku. Tetapi menjadi Datu di desa ini adalah berbeda.
Datu Tonrollebbi’ tidak dipilih oleh masyarakat. Jabatan ini dipangku turun-temurun oleh putra tertua dari keluarga Tumanurung[sup](2)[/sup].
Legenda kampungku menyebutkan, bahwa dahulu kala, seorang putri dari Botillangi[sup](3)[/sup] turun ke dunia manusia, memilih tinggal di rumah leluhurku, menikahi putranya, dan menurunkan keluargaku. Sejak kala itu, setiap putra tertua dari keluargaku dinobatkan sebagai Datu Tonrollebbi’.
Kekuasaan dan wewenang Datu Tonrollebbi’ tidak bersifat lokal. Tuah kedatuannya menjangkau seluruh kerajaan Bugis. Raja, Arung maupun Mangkauk[sup](4)[/sup] baru dapat bertahta di wilayahnya setelah berjalan kaki mendaki gunung ke desa ini untuk dilantik oleh Datu Tonrollebbi’, di suatu tempat di dusun atas. Tetapi tuah dan kekuasaan keluargaku kini menyempit dan memburam, seiring kemajuan jaman.
Beberapa hari terakhir ini kuhabiskan dengan berjalan menuju dusun atas. Menelusuri jalan dengan rumah-rumah panggung berjajar rapi di kiri-kanan, lalu berakhir di tepi hutan.
Rasa lega selalu mengisi dadaku ketika pemukiman dusun bawah sudah terlewati. Sapaan warga kepadaku selalu diikuti dengan tatapan aneh yang membuat tidak nyaman. Membuatku merasa telanjang dan tersadar, bahwa aku memang berbeda.
Aku terlahir dengan kelainan pigmen tubuh. Kulitku terlalu putih, juga rambutku. Riwayat ketidaknormalan dan kegilaan menyertai keluargaku di setiap angkatan, dipercaya sebagai kutukan. Aku punya paman yang berkulit belang, juga seorang nenek dengan
down syndrome.
Keluargaku dan seluruh warga percaya bahwa aku - dan kerabat-kerabatku yang mengalami kelainan fisik itu - adalah titipan iblis. Ini yang membuatku dikucilkan keluarga sejak kecil. Sikap penolakan pada satu anggota keluarga sudah menjadi hal yang - mereka anggap - lumrah dari masa ke masa.
Empat orang kakakku tinggal di dusun bawah. Sejak remaja mereka sudah diberi sebidang tanah dan sebuah rumah. Kebutuhan hidup mereka dipenuhi oleh bapakku, dengan kewajiban bekerja membantu di perkebunan cengkeh, ladang merica dan peternakan keluarga.
“Mari singgah, Puang....”
Seorang ibu menyapa dari beranda rumah kayunya. Aku hanya mengangguk. Berada di ibukota sejak umur dua tahun membuatku kaku akan ramah-tamah sosial di sini. Aku masih bingung, apakah harus tersenyum atau justru memasang wajah datar yang angkuh, seperti bapakku.
Di dusun atas, suasana lebih sepi. Hanya ada beberapa rumah reyot yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Rumah terakhir dihuni oleh Mak Raila, seorang nenek tuna netra yang usianya mungkin satu abad. Mak Raila tinggal bersama Mariona, anak perempuannya yang lumpuh setengah, yang usianya sudah setengah baya.
Kutemukan tempat favoritku jauh di ujung dusun; sebuah naungan teduh pohon
juniper di tengah padang rumput. Padang berbentuk lingkaran dengan pagar bebatuan setinggi paha. Lingkaran batu ini disebut Barugae. Di sinilah - pada masa lalu - para raja Bugis dikukuhkan oleh leluhurku, sebelum kembali ke daerah masing-masing untuk bertahta.
Perjalanan dari dusun bawah melelahkanku. Kurebahkan diri di rerumputan yang tebal. Angin gunung yang dingin dan kering berembus, menggerakkan dedaunan.
Lena mulai mengaburkan pandanganku ketika seraut wajah muncul di atas wajahku.
“Whoa!” seruku terkejut.
“Duh, maaf. Aku bikin kaget yah?” Si pemilik wajah tersenyum. Seorang gadis dalam kebaya.
Gadis itu melangkah mundur ketika aku bangkit terduduk. Wajahnya menampakkan ekspresi meminta maaf.
“Kamu bisa bicara, kan?” Gadis itu bertanya ketika aku tak kunjung bersuara.
“I-iya..”
“Kamu dari dusun bawah ya? Aku belum pernah lihat kamu sebelumnya,” tanyanya lagi.
“I-iya..”
“Kamu bukan cuma bisa bilang ‘i-iya’ kan?”
“I-iya..”
Gadis itu sontak tertawa keras sekali hingga bahunya terguncang-guncang.
“Eh, maksudku tidak, eh, iya....”
Seorang gadis mempermainkanku dengan pertanyaan paradoks sederhana. Seorang gadis yang jelas usianya lebih muda. Kulitku yang - terlalu - putih tentu menampakkan rasa maluku.
“Hei... Maaf, aku hanya bercanda,” katanya dengan suara lembut. Benar-benar lembut, seperti gema.
Aku hanya tersenyum kecut.
Orang yang sejak kecil di-bully dan dikucilkan tentu tidak suka bercanda.
“Aku Ressa. Kamu siapa?” tanyaku mengulurkan tangan.
“Saira,” jawabnya sambil mengatupkan kedua telapak tangan.
Masyarakat di dusun ini masih sangat erat dengan animisme dan dinamisme. Jika seorang wanita tidak bersedia berjabat tangan dengan seorang pemuda, maka dapat dipastikan itu bukan karena alasan agamis. Alasannya hanya satu...
“Kamu Tumanurung juga?” tanyaku terang-terangan.
“Kata orang-orang sih begitu,” jawabnya sambil duduk di sampingku, memeluk lutut.
Baru kali ini seseorang tidak berlama-lama menatap kelainan fisikku, pada kali pertama bertemu. Raut wajah dan nada suaranya terlihat dan terdengar tidak terlalu senang ketika berbicara perihal status sosialnya, persis denganku. Sebuah kesamaan yang melahirkan keakraban seketika.
“Rumahmu di dusun atas, kan? Yang mana persisnya?” tanyaku.
“Jelas terlihat, kok. Rumah paling besar dengan warna kuning mencolok, hihi...,” jawabnya terkikik.
Kami mengobrol sepanjang pagi sampai tengah hari. Perkenalan diri, keluarga, tetangga. Tidak satupun nama kami kenal bersama. Dengan geli kusadari bahwa aku benar-benar asing di desa ini.
Sebuah pesawat terbang melintas jauh di atas. Sosoknya terbias oleh prisma kristal bebatuan Barugae, menghasilkan bayangan kecil yang merayap di tanah dan rerumputan, seperti hewan pengerat.
“Itu apa?” tanya Saira.
“Apa?” sahutku. Tidak mengerti apa yang ditanyakannya.
“Itu, yang di atas itu. Itu bukan burung, kan?”
Kutatap Saira dengan heran. Mencoba menerka, apakah dia bercanda seperti beberapa saat sebelumnya. Ketika kusadari bahwa dia bertanya dengan sungguh-sungguh, kujelaskan dengan ragu-ragu.
“Jadi maksudmu, di dalam benda itu ada manusia? Semacam kendaraan?” tanyanya dengan mata berbinar takjub.
Sulit dipercaya, masih ada masyarakat dengan tingkat sosialisasi dan informasi se-terbelakang ini.
Obrolan kami terinterupsi oleh dering ponselku.
Ringtone indikator pesan baru.
We Datu said:
Bapakku terlalu malu punya anak sepertiku. Bahkan memanggilku dilakukannya lewat ibuku.
“Iyaa, baik...,” gerutuku pelan.
Saira terkikik geli melihatku menggerutu ke layar ponselku. Tangannya bergerak menyampirkan rambut ke belakang telinga. Manis sekali.
Matahari mulai tergelincir ke arah terbenamnya ketika aku berpamitan. Sesaat tadi kami berjanji, bertemu kembali di tempat itu keesokan hari.
Untuk pertama kalinya selama seperempat abad kehidupanku, seseorang membuatku menantikan pertemuan kedua.
***
“Dia ada di luar. Dari dusun atas. Jalan-jalan, katanya,” jawab ibuku.
“Kerjanya cuma jalan-jalan tidak jelas. Kerja yang benar tidak mampu, disekolahkan malah bikin malu.”
Aku tersenyum sendiri di luar kamar mereka.
Bukankah aku sudah membuat kalian malu sejak mula aku dilahirkan?
***
Aku nyaris bertabrakan dengan dua sosok manusia ketika sedang berjalan memasuki lingkaran Barugae.
“Whoa!” seruku terkejut.
“Eh, Puang, maaf bikin kaget...,” kata seorang di antaranya.
Ternyata keduanya adalah pamanku, adik sepupu ibuku.
“Eh, Wak Sappe, Wak Kesang. Mencari saya?” tanyaku.
“Tidak, Puang, cuma mencari sinyal. Di Barugae sinyalnya kuat.” Sahut Wak Kesang yang sedang memegang ponsel.
“Puang Ressa mau ke mana?” tanya Wak Sappe.
“Mau bertemu teman. Itu, yang sedang duduk di situ,” jawabku sambil mengangguk kepada Saira yang tersenyum ke arahku.
“Wak berdua pulang saja. Jangan mengganggu anak muda,” kataku sambil tertawa.
Wak Kesang dan Wak Sappe tersenyum dan menggelengkan kepala.
Hihi, kalian kan pernah muda juga.
***
“Bagaimana kalau besok kita ke Buangeng Asu?” kata Saira siang itu.
“Buangeng Asu?” tanyaku.
“Air terjun paling besar yang letaknya paling jauh dari sini. Konon dulu tempat menghukum mati pelaku kejahatan. Perbuatan-perbuatan hina yang dianggap serendah anjing. Letaknya di sebelah sana...,” ujar Saira sambil menunjuk lurus ke jalur sempit di sela pepohonan.
“Terlihat terjal dan berbahaya...,” ujarku.
“Justru asyiknya di situ, kan?” Mata Saira berbinar-binar menatapku. Raut jenaka yang mempesona.
Ini pertemuan kami yang ke-sekian kali. Tidak ada kecanggungan lagi.
“Tapi kau tahulah, ketatnya aturan bepergian bagi wanita di kalangan kita...,” ucap Saira lirih memeluk lutut.
Mengamatinya duduk di sampingku dengan keluh, membuatku merasakan perasaan sayang yang akut.
Kira-kira apakah dia marah jika kupeluk?
“Sebenarnya, aku tidak tahu. Kakakku laki-laki semua,” kataku pelan.
“Kita sepertinya bersepupu yah...,” lanjutku.
“Memangnya kenapa?” Saira menoleh bertanya. Seperti merasakan nada menyayangkan dalam ucapanku.
“Ti-tidak, bukan apa-apa,” jawabku tergagap.
Saira menatapku lama. Matanya seperti menembus ke pikiranku yang terdalam. Lalu dia tersenyum.
“Kau tahu, hubungan sedarah di keluarga kita bukan hal yang baru, lho....”
Sekarang aku benar-benar malu. Gadis cantik ini tidak hanya menerka isi kepalaku, tetapi juga menanggapinya.
Ketika aku - hanya bisa - terdiam, Saira melanjutkan,
“Aku pernah dengar obrolan berbisik orangtuaku, tentang asal mula sebenarnya dari Tumanurung.”
“Jadi, pada mulanya di sini hanya ada beberapa keluarga, semuanya setara. Hingga suatu saat, seorang di antara mereka ingin menjadi lebih dari yang lainnya. Bukan sekedar ingin memimpin, tetapi ingin dimuliakan dalam semua segi kehidupan.”
Mengamati Saira berbicara dengan lancar, membuatku semakin terpesona. Kata-katanya mengalir lancar, menunjukkan potensi wawasan yang luas, namun tidak berkembang karena isolasi budaya. Aku selalu berprinsip bahwa kecerdasan adalah kecantikan yang baru. Saira cerdas dan rupawan, dan,
ah, sudahlah....
Saira melanjutkan cerita. Syahdan, pria ini mempunyai istri kedua yang berdiam jauh di daerah lain. Tidak ada yang tahu, termasuk istrinya yang pertama. Dari istrinya yang kedua itu, dia memiliki seorang putri berusia satu tahun.
Suatu waktu, diaturnya sebuah rencana. Putrinya itu diberi pakaian yang indah lalu disembunyikannya di hutan di dekat desa Tonrollebbi’. Pria itu lalu kembali ke desa, dan membuat pengumuman tentang penampakan sebentuk cahaya yang dilihatnya jatuh dari langit ke tengah hutan. Warga lalu beramai-ramai mencari.
Ketika sang anak ditemukan, muncullah keyakinan bahwa anak itu adalah penghuni langit yang turun ke bumi. Tumanurung pertama.
Dengan akal sederhana, sang bapak mengatur suatu rembuk warga untuk menentukan siapa yang berhak untuk membesarkan sang Tumanurung. Diusulkannya agar sang Tumanurung yang memilih sendiri.
Putrinya yang sudah menangis ketakutan sejak ditinggalkan di hutan, langsung berlari dan menghambur ke arah sang bapak. Keputusan diambil. Gelar dan kemuliaan kemudian diatur setelahnya, turun temurun hingga kini.
Yang membuatku bergidik adalah ketika Saira menjelaskan, bahwa sang bapak kemudian menikahkan sang Tumanurung dengan putranya dari istri pertama. Sang Tumanurung dibuat yakin bahwa dia adalah orang lain. Ini untuk mempertahankan keturunan Tumanurung tetap ada dalam keluarganya.
***
“Jadi menurut cerita ini, Tumanurung pertama melakukan pernikahan sedarah?” tanyaku ketika Saira selesai bercerita.
“Menurut kisah ini, ya. Tetapi belum tentu benar,” katanya tersenyum.
“Kok aku tidak pernah mendengar cerita ini sebelumnya?”
“Hanya cerita berbisik, kan,” ujar Saira datar.
Hari beranjak sore tanpa terasa.
“Besok kau ada kegiatan?” tanya Saira.
“Selain bersantai di sini? Tidak,” jawabku tersenyum.
“Kalau begitu besok temani aku ke Buangeng Asu!” serunya riang. Keriangan yang menular.
“Kalau aku berhalangan?”
“Kutunggu di sana sampai kau datang, haha....”
“Kalau kau membuatku menunggu, kau akan kusuruh terjun di sana!” teriaknya lagi ketika aku mulai berjalan pulang.
Kutolehkan wajah, membalas senyumannya yang berlesung pipi. Sebuah keindahan surgawi.
***